Apakah benar pria itu adalah Michael? Dan, bagaimana nasib Anaby di tangan sang pria bertopeng? Yuk, komen dan jangan lupa berikan gems dan like ya
Meski pikiran dan hatinya enggan menyerah pada rasa kantuk, tubuh Anaby tak mampu melawan rasa lelah. Raganya terasa tak lagi miliknya sendiri. Perlahan, tanpa ia sadari, mata Anaby terpejam. Ia terlelap dalam tidur yang tidak tenang, seperti berlayar dalam kabut. Menyisakan mimpi yang samar—wajah Michael yang pucat, darah, suara ambulans, dan sorotan lampu rumah sakit yang menyilaukan.Tak jelas berapa lama ia terlelap, tetapi Anaby baru terjaga ketika ia mendengar suara yang amat familiar memanggil namanya.“Ana….”Kelopak mata gadis itu perlahan membuka, samar menangkap sosok yang berdiri di tepi brankar. Begitu pandangannya pulih, air mata langsung membasahi mata Anaby.“Papa,” gumamnya dengan suara serak.Tuan Carlo segera mendekat, kerutan di wajahnya tampak semakin jelas oleh rasa khawatir. Tanpa perlu aba-aba, Anaby bangkit dari posisi berbaring lalu memeluk sang ayah erat-erat. Pelukan itu begitu kuat, seolah ia sedang mencari perlindungan dari segala bentuk kejahatan di du
Tak lama setelah mobil polisi yang membawa Aslan dan Sandra menghilang di tikungan jalan, deru mesin ambulance terdengar membelah malam. Lampu-lampunya berputar, memantulkan cahaya merah dan putih ke wajah-wajah panik yang masih berkumpul di sekitar tempat kejadian. Di antara mereka, seorang pria berjas hitam dan bermata tajam turun tergesa dari kursi depan ambulance. Dia-lah Mateo, asisten pribadi sekaligus orang kepercayaan Michael Rajasa.Dengan napas terburu, Mateo bergegas menghampiri Michael yang masih bersandar lemah di pangkuan Anaby. Beberapa petugas medis menyusul di belakangnya, membawa tandu, peralatan darurat, dan tabung oksigen.“Tuan Michael….” gumam Mateo, wajahnya tegang. Dua orang petugas medis segera berlutut, meraba nadi Michael lalu menoleh kepada tim medis yang lain. “Denyut nadinya lemah dan terjadi pendarahan. Cepat bawa ke ambulance. Kita tidak punya banyak waktu.”Anaby enggan melepaskan tubuh Michael. Matanya merah dan sembab, wajahnya pucat pasi seperti k
Napas Anaby terhenti di tenggorokan, matanya tak berkedip saat menatap layar ponsel di tangan Michael. Angka itu terpampang jelas di sana, menampilkan bukti transfer senilai sepuluh miliar.Tak disangka, demi melindungi dirinya dan sang buah hati, Michael rela melepaskan uang yang ia miliki.Detik itu juga, Anaby ingin menjerit dan menghentikan Michael, tetapi pisau yang masih menempel di perutnya membuat seluruh ototnya menegang. Ketakutan Anaby bukan lagi soal keselamatan sendiri, melainkan nyawa kecil yang baru tumbuh di rahimnya. Dia belum siap kehilangan.“Uang sudah aku kirim ke rekeningmu. Sekarang, bebaskan Ana!” ujar Michael lantang. Suaranya tajam, menahan amarah yang mendidih dalam dada.Anaby hanya bisa menatap sang suami dengan mata berembun. Hatinya terharu melihat cinta Michael yang begitu besar, cinta yang tak pernah ia dapatkan di kehidupan sebelumnya. Dahulu, ia hanya dianggap sebagai istri mandul sekaligus wanita penyakitan yang layak dibuang. Kini, ia menjadi seor
Pintu tua itu terbuka dengan hentakan keras, memperdengarkan derit engsel yang nyaring. Sinar lampu dari luar menembus masuk ke dalam ruang pengap itu. Anaby mendongak dengan sisa tenaga, dan saat itu langkah tegap seorang pria muncul dari balik ambang pintu. Michael masuk, diapit oleh dua pria berbadan kekar. Mata elang lelaki itu memancarkan bara yang siap membakar siapapun yang berani menyentuh miliknya.Netra Anaby membulat penuh kelegaan, seolah luka di tubuhnya tiba-tiba tak terasa sakit lagi. Ia merasa seluruh dunia kembali berpihak padanya. Hanya dengan melihat sang suami, seluruh penderitaan yang ia tahan selama ini luruh bersama dengan air mata.Michael benar-benar datang untuk menyelamatkannya. Tak hanya di kehidupan lalu, tetapi juga di kehidupan ini.“Michael … Tolong aku,” bisik Anaby lirih, keluar dari lubuk hati yang telah kelelahan. Wajah tegang Michael langsung berubah. Sorot matanya melembut, meski rahangnya tetap mengeras oleh amarah. Ia melangkah pelan, matanya t
Anaby masih memandangi benda mungil berwarna putih di tangannya. Pandangannya kosong. Test pack itu terasa begitu berat, seolah menampung seluruh takdir hidupnya. Di balik pintu kamar mandi, suara angkuh Sandra kembali terdengar, lantang dan mengancam.“Dua puluh menit, Ana. Aku hitung mulai sekarang. Kalau sampai waktunya belum ada jawaban, silakan bermalam di sana!”Bersamaan dengan kata-kata itu, terdengar bunyi ‘klik’ timer yang dinyalakan, menandakan Sandra mulai menghitung waktu. Anaby menarik napas panjang, tubuhnya bersandar lemah pada dinding kamar mandi yang dingin. Di wajahnya, tergambar dilema yang tak terhindarkan.Ia menatap test pack itu lagi dengan nanar. "Apa aku harus melakukannya?" gumam Anaby, lirih.Pilihan tak pernah benar-benar menjadi miliknya. Ia tahu itu. Jika ia tak memenuhi keinginan Sandra, maka malam ini ia bisa mati lemas. Tak ada yang lebih menakutkan dari terkunci bersama trauma masa lalu yang terus menghantui."Aku akan mencoba, apa pun hasilnya," u
Di dalam kamar yang sunyi, tubuh Anaby masih terbaring lemah di atas ranjang tua. Kedua pergelangan tangan dan kakinya semakin nyeri akibat terlalu lama terikat. Namun meski kesakitan, ia menolak untuk menyerah. Tangis tak lagi punya tempat di mata Anaby yang membara oleh tekad. Tuhan telah memberinya kesempatan kedua, melewati batas antara hidup dan mati. Karena itu, ia tidak akan mau dikalahkan oleh kejahatan yang sama."Aku pasti bisa keluar dari sini," gumam Anaby, meneguhkan hatinya. Anaby memejamkan mata, berusaha menenangkan napas yang tak menentu. Dalam hati, ia berharap semoga kekuatan cinta dapat menuntun langkah Michael ke tempat ini.Akan tetapi, harapan Anaby pupus ketika terdengar bunyi langkah kaki mendekat. Tak berselang lama, pintu berderit dan terbuka perlahan. Anaby menegang. Ia sempat menduga itu adalah Aslan sang pengkhianat sekaligus dalang dari penculikannya. Namun ketika matanya terbuka, sosok yang berdiri di ambang pintu membuat Anaby terperanjat.“Sandra?”