"Widi, cepat temui Tante Tini! Kalau rumah ibu dibakar, kita mau tinggal di mana?" ucap Hera dengan suara bergetar.
Widiani terpaksa beranjak dari kamar untuk menemui rentenir yang sedang mengamuk di luar. Namun, begitu sampai di ambang pintu kamar, Widiani berbalik kemudian menatap suami dan ibu mertuanya. "Yang akan mereka bakar ini, rumahku! Bukan rumah Ibu atau pun Mas Rendy."
"Alah! Sudah mulai perhitungan kamu sama suami dan mertua sendiri," sinis Hera dengan nada pelan.
Widiani tidak mempedulikan ocehan sang ibu mertua, ia segera melangkah ke depan walau dengan perasaan kalut. Begitu Widiani membuka pintu utama, ia melihat seorang perempuan paruh baya dengan dandanan glamor serta beberapa pria bertubuh tegap dengan wajah garang.
"Pasti kamu menantunya Hera!" ucap tante Tini begitu melihat Widiani. "Mana Rendy dan Hera? Suruh mereka keluar."
"Suami dan ibu saya sedang ... begini saja, berapa hutang suami saya sama Ibu?" tanya Widiani langsung ke intinya. Ia juga sudah terlanjur malu dengan banyaknya tetangga yang melihat ke arahnya.
"Jadi, kamu yang mau melunasi hutang mereka. Bagus lah, toh mereka berhutang juga untuk biaya kamu di rumah sakit. Total semuanya 115 juta, itu sudah berikut bunganya." Tante Tini berkata sambil berkacak pinggang.
"115 juta? Mas Rendy dan Ibu benar-benar kelewatan!" batin Widiani geram. "
"Kenapa diam saja? Cepat bayar!" desak Tante Tini.
"Maaf, Bu. Kalau untuk sekarang Mas Rendy dan ibu mertua saya belum bisa membayar," Widiani menjawab dengan lirih.
"Ya, sudah kalau begitu. Terpaksa rumah ini saya sita. Karena rumah ini yang dijadikan jaminan oleh Rendy dan Hera," ucap Tante Tini lantang.
Widiani terkejut hingga tubuhnya reflek mundur ke belakang, suami dan ibu mertuanya sangat lancang. Tanpa izin telah menjadikan sertifikat rumah sebagai jaminan hutang pada rentenir. Rumah itu Widiani beli dengan uangnya sendiri, sebelum ia dan Rendy merencanakan pernikahan mereka.
"Cepat kosongkan rumah ini sekarang juga!" hardik tante Tini.
"Tu-tunggu dulu. Tolong, beri kami waktu. Saya janji akan segera melunasi hutang mas Rendy kepada Ibu," mohon Widiani.
"Minta waktu lagi? Dari kemarin-kemarin Rendy dan Hera minta waktu terus sama saya! Tapi gak ada bukti kalau kalian niat bayar," ujar Tante Tini dengan nada tatapan menusuk.
Widiani menggeleng, matanya mulai menggenang. Ia juga mati-matian menahan malu karena beberapa orang sekitar menyaksikan kejadian di rumahnya saat ini."Saya janji, Bu. Tolong beri saya dua minggu saja. Saya akan cari uangnya. Saya akan melunasi semuanya."
Tante Tini mendengus, lalu melirik salah satu anak buahnya yang berdiri paling dekat. "Satu minggu. Tapi lewat dari itu, saya tidak akan menerima alasan apa pun. Rumah ini tetap saya ambil."
"Terima kasih, Bu. Terima kasih," Widiani menunduk dalam, menggenggam ujung kaos yang dipakainya dengan erat.
Setelah Tante Tini dan para pria itu pergi dengan langkah berat dan tatapan mengancam, Widiani menutup pintu dengan pelan. Begitu daun pintu kembali tertutup, amarah yang sejak tadi ia tahan akhirnya pecah.
Ia berbalik, menatap Hera dan Rendy yang baru muncul dari balik tirai ruang tengah. Widiani tidak melihat sedikit pun rasa bersalah dari keduanya.
"Sudah aman 'kan?" tanya Rendy, tapi hanya dibalas Widiani dengan tatapan penuh kemarahan.
"Kenapa, Mas?" suara Widiani bergetar, dan tangisnya mulai pecah. "Itu rumahku! Aku yang beli dengan uangku sebelum kita menikah. Kenapa kamu pakai sertifikat rumahku untuk meminjam uang pada rentenir? Kenapa!?"
"Oh, sudah berani, ya, bentak suami. Mau jadi istri durhaka kamu, Wid?" ujar Hera sebelum Rendy menjawab pertanyaan sang istri. "Harusnya kamu cari solusi, bukannya banyak tanya kayak gini."
"Kamu jangan seperti anak kecil yang berlindung di balik ketiak ibu. Bisa-bisanya kamu pakai alasan kesehatan aku biar kamu dapat pinjaman. Kamu pakai untuk apa uang yang kamu pinjam pada rentenir tadi?" Widiani tidak menghiraukan ucapan Hera, fokusnya hanya pada sang suami yang sejak tadi hanya diam. "Cepat jawab aku, Mas Rendy!"
"Iya, aku jawab. Uang pinjaman itu sebagian aku pakai untuk modal. Sebagian lagi dipakai ibu," ujar Rendy.
Widiani menghela napas kasar, kemudian memegang kening yang berdenyut dengan sebelah tangan. Widiani berjalan ke arah kursi dan duduk dengan tubuh lemas, ia tak habis pikir dengan sikap sang suami.
"Selama ini, aku selalu tanya sama kamu tentang urusan usaha kita dan selama itu juga kamu selalu jawab nggak ada kendala. Tapi hari ini, ada customer yang datang menanyakan pesanan mereka dan kamu bilang uang muka dari mereka untuk membayar hutang. Nyatanya, ada rentenir yang menagih hutang ke sini," ucap Widiani lirih. "Entah masalah apalagi yang akan datang setelah ini."
Rendy menghampiri Widiani, kemudian duduk disamping sang istri. "Maafin mas, Wid. Mas janji akan mencari solusi untuk masalah ini."
"Kamu mau cari uang 300 juta lebih kemana dalam waktu singkat, Mas? Dan Ibu, Ibu pakai uangnya untuk apa?" Kini tatapan Widiani beralih pada Hera yang sedang melipat tangan di dada, terlihat tidak merasa bersalah sama sekali.
"Uang itu ibi pakai untuk renovasi rumah adik Rendy di kampung, biar nggak malu-maluin kalau keluarga besar datang," jawab Hera enteng.
Widiani tertegun. "Renovasi rumah?"
"Iya, untuk renovasi rumah Indri. Dia 'kan adik Rendy, wajar dong kalau Rendy renovasi rumah adiknya," jawab Hera, seolah penjelasannya sangat masuk akal.
"Wajar kalau memang ada uangnya. Yang nggak wajar itu kalau memaksakan keadaan sampai pinjam rentenir dan menggadaikan sertifikat milik orang lain tanpa izin," ucap Widiani dengan nada sinis. Sudah pudar rasa hormatnya pada Hera. "Bahkan aku rela diberi uang yang hanya cukup untuk keperluan rumah saja sama suamiku sendiri."
Rendy dan Hera terdiam. Atmosfer dalam rumah mendadak pekat, seolah setiap dinding ikut menahan napas menanti ledakan selanjutnya. Widiani bangkit dari duduk, wajahnya basah oleh air mata.
Widiani berjalan melewati Rendy dan Hera tanpa sepatah kata pun. Tubuhnya terasa lunglai, tapi kemarahan dan kekecewaan yang meletup dalam dadanya membuat langkahnya tetap tegas menuju kamar.
Setibanya di dalam, ia menutup pintu dengan perlahan. Begitu punggung Widiani menyentuh daun pintu, air matanya kembali tumpah tanpa bisa ditahan. Widiani bersandar, mengusap wajah yang panas karena emosi. Napas Widiani memburu, kemudian mulai memikirkan langkah apa yang akan ia ambil demi menyelamatkan rumah dan usaha yang selama ini ia perjuangkan.
"Siapa yang bersedia meminjamkan uang sebanyak itu?" ujar Widiani pelan.
Mata Widiani tak sengaja melihat ponsel Rendy yang tergeletak di atas kasur. Widiani menatap ponsel itu beberapa detik, hatinya mulai berdebar kencang. Widiani sempat ragu, tapi perlahan berjalan ke arah kasur dan mengambil ponsel tersebut dengan tangan bergetar. Sebelum itu, Widiani telah mengunci pintu kamar agar aksinya tidak diketahui oleh sang suami.
Widiani mengotak-atik ponsel Rendy, mencari tahu apapun yang terlihat mencurigakan. Widiani membuka galeri, tapi tidak ada yang janggal di sana. Widiani lanjut membuka aplikasi mobile banking, kemudian melihat riwayat transaksi.
Mata Widiani membelalak ketika melihat beberapa transaksi keluar, salah satunya adalah transfer senilai 25 juta rupiah ke rekening atas nama Shakila Putria dua hari yang lalu. Ada juga transaksi beberapa lainnya dengan nominal yang cukup besar, padahal Rendy selalu mengeluh soal kondisi keuangan mereka.
"Apa kamu sudah menghianatiku, Mas?"
Restoran yang terletak di lantai 2 sebuah hotel bintang 5 tampak ramai siang itu, banyak tamu yang sedang menikmati makan siang sambil berbincang santai dengan rekan mereka. Di antara deretan meja yang terisi, salah satunya ditempati oleh Rendy dan Shakila, sepasang kekasih gelap yang tengah menjalin hubungan dan melakukan pengkhianatan terhadap Widiani. Shakila menyilangkan kaki dengan anggun. Senyum Shakila tak lepas dari bibir, tapi matanya penuh selidik ke wajah Rendy. “Kamu kelihatan capek, Mas.” Rendy meraih gelas air mineral dan meneguk cepat, seolah berharap rasa gerah di hatinya ikut tertelan. “Gimana nggak capek, Yang. Aku susah payah membangun usaha, tapi diambil alih oleh Widi.” Shakila mengangguk pelan, seakan mengerti dengan penderitaan sang kekasih hati. “Istri kamu itu memang kurang ajar sekali, Mas!" “Entahlah, Yang. Kamu tau sendiri, 'kan, aku sudah nggak punya apa-a
Koper itu mendarat dengan bunyi berdebum, didorong kasar oleh Widiani hingga berhenti tepat di depan kaki Rendy. Rendy berdiri terpaku, ia tak menyangka Widiani akan melakukan hal seperti itu. Padahal, selama ini Rendy berpikir kalau Widiani sudah ia kendalikan dan akan menuruti segala keinginannya.“Sayang ...?” suara Rendy terdengar parau, "kamu mau usir aku hanya karena aku nasehati kamu?"Widiani menegakkan bahu. “Apa yang kamu katakan tadi itu bukan nasehat. Udahlah, aku capek."“Oke, maafkan aku kalau kamu tersinggung," ucap Rendy sedikit melunak. Tidak ada lagi suara garang seperti tadi, bisa gawat kalau Widiani benar-benar mengusirnya. "Sekarang, masukan lagi koper itu ke dalam.""Kamu tidur di kamar lain aja, deh," perintah Widiani tiba-tiba. "Aku lagi pengen tidur sendirian."Widiani pergi meninggalkan Rendy yang masih berdiri terpaku. Terus melangkah, tanpa sedikit pun menoleh pada sang suami. Widiani tak lupa mengunci pintu kamar, agar Rendy tak bisa menyelinap masuk di sa
Pagi itu, langit mendung menggantung di atas atap rumah keluarga Widiani. Udara dingin terasa terasa menusuk tulang, seperti beban yang selama ini ditahan oleh Widiani. Perlahan, beban itu mulai memadat di dada.Widiani sudah bersiap dengan blus biru laut dan celana kain hitam, rambut dikuncir dan riasan tipis seperti biasa. Dihadapannya, sudah tersedia satu cangkir teh hangat dan satu tangkup roti bakar untuk mengganjal perut. Setelah selesai menghabiskan sarapan, Widiani berjalan menuju kamar. Tampak Rendy masih di tempat tidur, berbaring sambil memainkan ponselnya."Mas," panggil Widiani, "kita ke ruko hari ini, banyak pekerjaan yang harus diselesaikan!"Rendy melirik sekilas, lalu berdecak malas. "Ck! Aku mau di rumah aja.""Tapi itu tanggung jawab kamu, Mas!" ujar Widiani kesal."Kamu kenapa cerewet banget, sih? Kamu aja sana yang urus!" hardik Rendy pada sang istri.Widiani mengangguk pelan, berusaha menelan rasa kecewa yang menggelayut di ujung lidahnya. Widiani tak ingin mema
Widiani berdiri lama di depan cermin pagi ini, untuk pertama kalinya ia mengenakan pakaian rapi dalam beberapa bulan terakhir. Bukan daster atau kaos longgar yang biasa menemaninya di rumah. Wajah yang biasanya polos tanpa riasan, kini dipoles tipis dengan bedak dan lipstik merah muda. Widiani melirik sekilas ke arah tempat tidur, ia melihat sang suami masih terpejam tanpa beban.Rendy saat ini, bukan lagi pria yang Widiani anggap sebagai tempat bersandar. Kini, di mata Widiani, Rendy hanyalah sumber luka yang nyaris menggerogoti habis hidupnya. Dengan tangan bergetar, Widiani memungut tas kecil di atas meja rias, mengecek kembali map berisi surat-surat penting, salinan rekening tabungan pribadi, dan daftar kontak orang-orang yang ia ambil dari ponsel Rendy semalam. Widiani melangkah keluar kamar dan ternyata ada sepasang mata memperhatikan gerak-geriknya."Mau ke mana kamu pagi-pagi begini. Pake dandan segala!" tanya Hera ketus pada sang menantu.Widiani berhenti sejenak, menoleh den
"Widi, cepat temui Tante Tini! Kalau rumah ibu dibakar, kita mau tinggal di mana?" ucap Hera dengan suara bergetar.Widiani terpaksa beranjak dari kamar untuk menemui rentenir yang sedang mengamuk di luar. Namun, begitu sampai di ambang pintu kamar, Widiani berbalik kemudian menatap suami dan ibu mertuanya. "Yang akan mereka bakar ini, rumahku! Bukan rumah Ibu atau pun Mas Rendy.""Alah! Sudah mulai perhitungan kamu sama suami dan mertua sendiri," sinis Hera dengan nada pelan.Widiani tidak mempedulikan ocehan sang ibu mertua, ia segera melangkah ke depan walau dengan perasaan kalut. Begitu Widiani membuka pintu utama, ia melihat seorang perempuan paruh baya dengan dandanan glamor serta beberapa pria bertubuh tegap dengan wajah garang. "Pasti kamu menantunya Hera!" ucap tante Tini begitu melihat Widiani. "Mana Rendy dan Hera? Suruh mereka keluar.""Suami dan ibu saya sedang ... begini saja, berapa hutang suami saya sama Ibu?" tanya Widiani langsung ke intinya. Ia juga sudah terlanjur
Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, Widiani merebahkan diri di sofa ruang tamu, menikmati sejenak ketenangan yang jarang ia dapatkan. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama ketika dua orang pria berpakaian formal mengetuk pintu rumahnya. Lebih parahnya lagi, wajah kedua orang tersebut tidak menunjukkan keramahan sama sekali."Permisi, perkenalkan saya Restu. Dan beliau tuan Fabian, atasan saya," ujar Restu. "Kami mencari pak Rendy, untuk menanyakan progres pengerjaan pesanan kami. Apa dia ada di rumah?" Widiani hendak menjawab bahwa Rendy ada di kamar mereka. Namun, sebelum sempat berbicara Hera–-ibu mertua Widiani menyela ucapannya."Rendy sedang tidak ada di rumah," ujar Hera--ibu Rendy dengan lantang dari arah belakang Widiani.Kening Widiani mengkerut, merasa heran dengan perkataan sang ibu mertua. Entah apa maksudnya berbohong tentang keberadaan Rendy, tapi pertanyaan itu hanya bisa ia telan di dalam hati. "Kalau boleh tau, di mana keberadaan pak Rendy saat ini? Masalahn