Share

Bab 2

Penulis: Dayana Quiins
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-19 19:29:20

"Widi, cepat temui Tante Tini! Kalau rumah ibu dibakar, kita mau tinggal di mana?" ucap Hera dengan suara bergetar.

Widiani terpaksa beranjak dari kamar untuk menemui rentenir yang sedang mengamuk di luar. Namun, begitu sampai di ambang pintu kamar, Widiani berbalik kemudian menatap suami dan ibu mertuanya. "Yang akan mereka bakar ini, rumahku! Bukan rumah Ibu atau pun Mas Rendy."

"Alah! Sudah mulai perhitungan kamu sama suami dan mertua sendiri," sinis Hera dengan nada pelan.

Widiani tidak mempedulikan ocehan sang ibu mertua, ia segera melangkah ke depan walau dengan perasaan kalut. Begitu Widiani membuka pintu utama, ia melihat seorang perempuan paruh baya dengan dandanan glamor serta beberapa pria bertubuh tegap dengan wajah garang. 

"Pasti kamu menantunya Hera!" ucap tante Tini begitu melihat Widiani. "Mana Rendy dan Hera? Suruh mereka keluar."

"Suami dan ibu saya sedang ... begini saja, berapa hutang suami saya sama Ibu?" tanya Widiani langsung ke intinya. Ia juga sudah terlanjur malu dengan banyaknya tetangga yang melihat ke arahnya. 

"Jadi, kamu yang mau melunasi hutang mereka. Bagus lah, toh mereka berhutang juga untuk biaya kamu di rumah sakit. Total semuanya 115 juta, itu sudah berikut bunganya." Tante Tini berkata sambil berkacak pinggang.

"115 juta? Mas Rendy dan Ibu benar-benar kelewatan!" batin Widiani geram. "

"Kenapa diam saja? Cepat bayar!" desak Tante Tini.

"Maaf, Bu. Kalau untuk sekarang Mas Rendy dan ibu mertua saya belum bisa membayar," Widiani menjawab dengan lirih.

"Ya, sudah kalau begitu. Terpaksa rumah ini saya sita. Karena rumah ini yang dijadikan jaminan oleh Rendy dan Hera," ucap Tante Tini lantang.

Widiani terkejut hingga tubuhnya reflek mundur ke belakang, suami dan ibu mertuanya sangat lancang. Tanpa izin telah menjadikan sertifikat rumah sebagai jaminan hutang pada rentenir. Rumah itu Widiani beli dengan uangnya sendiri, sebelum ia dan Rendy merencanakan pernikahan mereka.

"Cepat kosongkan rumah ini sekarang juga!" hardik tante Tini.

"Tu-tunggu dulu. Tolong, beri kami waktu. Saya janji akan segera melunasi hutang mas Rendy kepada Ibu," mohon Widiani.

"Minta waktu lagi? Dari kemarin-kemarin Rendy dan Hera minta waktu terus sama saya! Tapi gak ada bukti kalau kalian niat bayar," ujar Tante Tini dengan nada tatapan menusuk.

Widiani menggeleng, matanya mulai menggenang. Ia juga mati-matian menahan malu karena beberapa orang sekitar menyaksikan kejadian di rumahnya saat ini."Saya janji, Bu. Tolong beri saya dua minggu saja. Saya akan cari uangnya. Saya akan melunasi semuanya."

Tante Tini mendengus, lalu melirik salah satu anak buahnya yang berdiri paling dekat. "Satu minggu. Tapi lewat dari itu, saya tidak akan menerima alasan apa pun. Rumah ini tetap saya ambil."

"Terima kasih, Bu. Terima kasih," Widiani menunduk dalam, menggenggam ujung kaos yang dipakainya dengan erat.

Setelah Tante Tini dan para pria itu pergi dengan langkah berat dan tatapan mengancam, Widiani menutup pintu dengan pelan. Begitu daun pintu kembali tertutup, amarah yang sejak tadi ia tahan akhirnya pecah.

Ia berbalik, menatap Hera dan Rendy yang baru muncul dari balik tirai ruang tengah. Widiani tidak melihat sedikit pun rasa bersalah dari keduanya.

"Sudah aman 'kan?" tanya Rendy, tapi hanya dibalas Widiani dengan tatapan penuh kemarahan.

"Kenapa, Mas?" suara Widiani bergetar, dan tangisnya mulai pecah. "Itu rumahku! Aku yang beli dengan uangku sebelum kita menikah. Kenapa kamu pakai sertifikat rumahku untuk meminjam uang pada rentenir? Kenapa!?"

"Oh, sudah berani, ya, bentak suami. Mau jadi istri durhaka kamu, Wid?" ujar Hera sebelum Rendy menjawab pertanyaan sang istri. "Harusnya kamu cari solusi, bukannya banyak tanya kayak gini."

"Kamu jangan seperti anak kecil yang berlindung di balik ketiak ibu. Bisa-bisanya kamu pakai alasan kesehatan aku biar kamu dapat pinjaman. Kamu pakai untuk apa uang yang kamu pinjam pada rentenir tadi?" Widiani tidak menghiraukan ucapan Hera, fokusnya hanya pada sang suami yang sejak tadi hanya diam. "Cepat jawab aku, Mas Rendy!"

"Iya, aku jawab. Uang pinjaman itu sebagian aku pakai untuk modal. Sebagian lagi dipakai ibu," ujar Rendy.

Widiani menghela napas kasar, kemudian memegang kening yang berdenyut dengan sebelah tangan. Widiani berjalan ke arah kursi dan duduk dengan tubuh lemas, ia tak habis pikir dengan sikap sang suami. 

"Selama ini, aku selalu tanya sama kamu tentang urusan usaha kita dan selama itu juga kamu selalu jawab nggak ada kendala. Tapi hari ini, ada customer yang datang menanyakan pesanan mereka dan kamu bilang uang muka dari mereka untuk membayar hutang. Nyatanya, ada rentenir yang menagih hutang ke sini," ucap Widiani lirih. "Entah masalah apalagi yang akan datang setelah ini."

Rendy menghampiri Widiani, kemudian duduk disamping sang istri. "Maafin mas, Wid. Mas janji akan mencari solusi untuk masalah ini."

"Kamu mau cari uang 300 juta lebih kemana dalam waktu singkat, Mas? Dan Ibu, Ibu pakai uangnya untuk apa?" Kini tatapan Widiani beralih pada Hera yang sedang melipat tangan di dada, terlihat tidak merasa bersalah sama sekali.

"Uang itu ibi pakai untuk renovasi rumah adik Rendy di kampung, biar nggak malu-maluin kalau keluarga besar datang," jawab Hera enteng.

Widiani tertegun. "Renovasi rumah?"

"Iya, untuk renovasi rumah Indri. Dia 'kan adik Rendy, wajar dong kalau Rendy renovasi rumah adiknya," jawab Hera, seolah penjelasannya sangat masuk akal.

"Wajar kalau memang ada uangnya. Yang nggak wajar itu kalau memaksakan keadaan sampai pinjam rentenir dan menggadaikan sertifikat milik orang lain tanpa izin," ucap Widiani dengan nada sinis. Sudah pudar rasa hormatnya pada Hera. "Bahkan aku rela diberi uang yang hanya cukup untuk keperluan rumah saja sama suamiku sendiri."

Rendy dan Hera terdiam. Atmosfer dalam rumah mendadak pekat, seolah setiap dinding ikut menahan napas menanti ledakan selanjutnya. Widiani bangkit dari duduk, wajahnya basah oleh air mata.

Widiani berjalan melewati Rendy dan Hera tanpa sepatah kata pun. Tubuhnya terasa lunglai, tapi kemarahan dan kekecewaan yang meletup dalam dadanya membuat langkahnya tetap tegas menuju kamar. 

Setibanya di dalam, ia menutup pintu dengan perlahan. Begitu punggung Widiani menyentuh daun pintu, air matanya kembali tumpah tanpa bisa ditahan. Widiani bersandar, mengusap wajah yang panas karena emosi. Napas Widiani memburu, kemudian mulai memikirkan langkah apa yang akan ia ambil demi menyelamatkan rumah dan usaha yang selama ini ia perjuangkan. 

"Siapa yang bersedia meminjamkan uang sebanyak itu?" ujar Widiani pelan.

Mata Widiani tak sengaja melihat ponsel Rendy yang tergeletak di atas kasur. Widiani menatap ponsel itu beberapa detik, hatinya mulai berdebar kencang. Widiani sempat ragu, tapi perlahan berjalan ke arah kasur dan mengambil ponsel tersebut dengan tangan bergetar. Sebelum itu, Widiani telah mengunci pintu kamar agar aksinya tidak diketahui oleh sang suami.

Widiani mengotak-atik ponsel Rendy, mencari tahu apapun yang terlihat mencurigakan. Widiani membuka galeri, tapi tidak ada yang janggal di sana. Widiani lanjut membuka aplikasi mobile banking, kemudian melihat riwayat transaksi.

Mata Widiani membelalak ketika melihat beberapa transaksi keluar, salah satunya adalah transfer senilai 25 juta rupiah ke rekening atas nama Shakila Putria dua hari yang lalu. Ada juga transaksi beberapa lainnya dengan nominal yang cukup besar, padahal Rendy selalu mengeluh soal kondisi keuangan mereka.

"Apa kamu sudah menghianatiku, Mas?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Membalas Penghianatan Suami Matre    Bab 13

    "Tolong!" jerit Widiani, suaranya tercekat.Di luar kamar, Ana yang baru saja meletakkan panci sayur di meja makan, mendengar samar-samar suara teriakan. Ia mengernyitkan dahi."Pak Rendy?" panggil Ana pelan, tapi tidak ada jawaban. Suara teriakan Widiani kembali terdengar, kali ini lebih jelas. Ana merasakan firasat yang tidak enak. Ana ragu sejenak, tapi kemudian memutuskan untuk mendekati kamar Widiani.Tok... tok... tok...Ana mengetuk pintu kamar dengan pelan. "Pak Rendy? Bu Widi? Makan malam sudah siap."Tidak ada jawaban. Yang terdengar justru suara samar-samar seperti desahan tertahan dan gesekan kain. Ana mengetuk lagi, sedikit lebih keras.Tok... Tok... Tok..."Pak Rendy, Bu Widi! Maaf mengganggu, makanan sudah saya siapkan," ujar Ana lagi.Tiba-tiba, pintu terbuka dengan kasar. Rendy berdiri di ambang pintu dengan wajah merah padam, rambutnya makin berantakan dan kaos oblongnya semakin kusut. Kilatan amarah terpancar jelas di mata Rendy."Apa?!" bentak Rendy, nadanya sangat

  • Membalas Penghianatan Suami Matre    Bab 12

    Jam menunjukkan pukul enam sore ketika Widiani sampai di rumah, pelipisnya masih terasa tegang setelah seharian bergelut dengan pekerjaan. Widiani rasa, kepalanya akan makin bertambah pusing bila Hera mengajaknya untuk berdebat lagi. Widiani memutuskan masuk ke dalam lewat pintu samping yang terhubung ke dapur agar tidak berpapasan dengan Hera atau pun Rendy. Begitu Widiani membuka pintu samping, indra penciumannya langsung disambut oleh aroma berbagai jenis masakan. Alis Widiani mengernyit, suara mendesis dari wajan yang sedang digunakan menandakan ada seseorang yang sedang memasak. "Tumben," batin Widiani karena ia mengira Hera yang sedang memasak. Widiani berjalan pelan ke area dapur dan langsung mendapati seorang perempuan berdiri membelakanginya, bukan Hera seperti yang ada dipikiran tadi. Perempuan itu mengenakan blouse bermotif bunga pudar dan rok batik panjang, rambutnya dikuncir rapi. Tangannya cekatan mengaduk tumisan di wajan besar. “Apa itu Indri?” tanya Widiani di

  • Membalas Penghianatan Suami Matre    Bab 11

    "Rendy, bangun!" teriak Hera pada Rendy yang masih tertidur pulas di atas sofa ruang tamu. "Ini sudah siang, Ren. Cepetan susul istri kamu ke ruko."Hera melihat Rendy tidak bergeming, sang putra masih saja berkelana di alam mimpi. Hera mendekat dan tanpa ragu menepuk punggung Rendy beberapa kali dengan cukup keras."Rendy! Bangun! Ini udah hampir jam sebelas!" ujar Hera dengan nada semakin tinggi. Rendy menggeliat, lalu mengerang pelan sambil memijat pelipis. “Aduh, Bu ... Rendy masih ngantuk.”“Ngantuk terus, kalau kayak gini terus gimana kamu bisa sukses, Ren?!” sentak Hera. “Cepat duduk. Ibu mau minta uang."Rendy duduk perlahan, wajahnya kusut dan mata masih setengah terpejam. “Lah, uang yang Rendy kasih kemarin habis, Bu?"Hera melotot. “Kemarin? Kamu kasih uang sama ibu itu udah mau 2 minggu lebih, Rendy! Cepetan, ibu mau arisan nanti sore."“Bu, Rendy udah gak pegang uang sama sekali. Harusnya Ibu minta sama Widiani sebelum dia berangkat,” jawab Rendy sambil berdiri malas.“

  • Membalas Penghianatan Suami Matre    Bab 10

    “Ma-maksudnya apa, ya?” tanya Widiani gugup, ia refleks menjauh sedikit dari Fabian. Melihat respon Widiani, Fabian cepat-cepat melambaikan tangan di depan dada dan tersenyum. “Eh ... maksudnya, aku mau ajak kamu makan malam. Maaf, sudah membuat kamu salah paham."Widiani langsung menunduk dengan wajah memerah, sudah 2 kali ia berpikiran buruk tentang Fabian malam ini. Namun, ada satu hal yang mengganjal dalam pikiran Widiani. Kenapa Fabian terlihat begitu perhatian? Apa Fabian seperti itu juga pada kliennya yang lain? Akhir-akhir ini, Widiani memang begitu sensitif dengan perlakuan orang-orang di sekitar, terlebih pada makhluk berjenis kelamin pria. Luka batin akibat pengkhianatan Rendy membuat Widiani lebih mudah curiga dan berprasangka buruk. Widiani takut terjebak lagi dalam situasi yang salah, di mana ia dikhianati padahal sudah menaruh kepercayaan sepenuhnya."Terima kasih, Mas Fabian. Tapi aku sedang tidak lapar saat ini," ujar Widiani. "Oke," balas Fabian singkat, lalu meng

  • Membalas Penghianatan Suami Matre    9

    Widiani segera pergi setelah puas melihat Rendy merintih kesakitan. Itu belum seberapa, Widiani berjanji akan membalas Rendy lebih dari yang pria 27 tahun itu lakukan padanya. Baru beberapa langkah, Widiani mendengar suara pintu kamar Hera terbuka dengan keras. Brak! Hera keluar dengan wajah merah padam dan napas memburu. Mata tuanya menatap tajam ke arah Widiani, seperti buaya yang ingin menerkam mangsanya. "Kamu apakan Rendy!?" tanya Hera histeris. Widiani berdiri tegak, tak gentar sedikit pun meski Hera sudah mendekat sambil menunjuk-nunjuk wajahnya. "Tanya sendiri sama anak Ibu." Hera melihat Rendy yang sedang duduk sambil memegang bagian tengah tubuhnya. "Kamu diapain sama istrimu, Ren?" "Titiw Rendy ditendang Widi, Bu. Sakit banget," ucap Rendy sambil menahan ngilu. Entah masih bisa berfungsi atau tidak benda pusakanya setelah ini? Pikir Rendy. "Astaga! Kamu benar-benar keterlaluan, Widi. Bisa-bisanya kamu berbuat kasar sama suami sendiri!" maki Hera. "Dia yang ta

  • Membalas Penghianatan Suami Matre    Bab 8

    Widiani telah melakukan dua kesalahan yang sangat fatal dalam hidup, mencintai pria yang salah dan mati-matian memperjuangkan pria itu meski sang ayah tidak setuju. Mungkin karena itulah Widiani mendapatkan teguran dari Sang Pemberi Kehidupan, menunjukkan siapa Rendy yang sebenarnya.“Rendy itu pria yang tak bisa diandalkan!” bentak Arman keras pada malam Widiani meminta persetujuan untuk menikah dengan Rendy.“Ayah belum kenal sama Rendy. Ayah belum tahu dia yang sebenarnya,” ujar Widiani, berusaha menahan getar suara, walau matanya sudah memerah.“Justru karena ayah tahu seperti apa pria itu, Ayah menolak! Kamu pikir ayah diam saja selama ini? Ayah tahu dia punya hutang di mana-mana. Ayah tahu dia manipulatif dan cuma pandai bicara! Dia cuma memanfaatkanmu, Widi! Tapi kamu malah tutup telinga dan butakan hati!” Arman menunjuk wajah anak perempuannya dengan jari gemetar karena emosi. “Apa yang sudah terjadi sampai kamu keras kepala seperti ini? Apa kamu sudah di—?”“Aku nggak mungki

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status