Widiani berdiri lama di depan cermin pagi ini, untuk pertama kalinya ia mengenakan pakaian rapi dalam beberapa bulan terakhir. Bukan daster atau kaos longgar yang biasa menemaninya di rumah. Wajah yang biasanya polos tanpa riasan, kini dipoles tipis dengan bedak dan lipstik merah muda. Widiani melirik sekilas ke arah tempat tidur, ia melihat sang suami masih terpejam tanpa beban.
Rendy saat ini, bukan lagi pria yang Widiani anggap sebagai tempat bersandar. Kini, di mata Widiani, Rendy hanyalah sumber luka yang nyaris menggerogoti habis hidupnya. Dengan tangan bergetar, Widiani memungut tas kecil di atas meja rias, mengecek kembali map berisi surat-surat penting, salinan rekening tabungan pribadi, dan daftar kontak orang-orang yang ia ambil dari ponsel Rendy semalam. Widiani melangkah keluar kamar dan ternyata ada sepasang mata memperhatikan gerak-geriknya.
"Mau ke mana kamu pagi-pagi begini. Pake dandan segala!" tanya Hera ketus pada sang menantu.
Widiani berhenti sejenak, menoleh dengan tatapan dingin. "Mencari cara agar rumah ini tidak disita!"
"Oh, bagus itu. Kamu memang wajib membantu kalau suami sedang kesusahan. Bukan malah ongkang-ongkang kaki di rumah," ujar Hera tanpa perasaan. "Sebelum pergi, kamu harus siapin sarapan dulu untuk ibu dan Rendy. Masalah cucian dan menyapu rumah, itu bisa dikerjakan setelah kamu pulang nanti."
Widiani menahan napas, berusaha menahan diri agar tidak membalas dengan kata-kata kasar. Ia menatap Hera, kali ini tanpa rasa hormat seperti biasanya.
"Maaf, Bu," ucap Widiani dengan suara dingin, "Hari ini, saya tidak akan memasak. Saya juga tidak akan menyapu, mencuci, atau melayani siapa pun di rumah ini."
Hera melotot, tak percaya kata-kata itu akan keluar dari mulut Widiani. "Kamu bilang apa?! Percuma dong ada kamu di sini. Ibu 'kan sudah tua, sudah tidak ada tenaga untuk pekerjaan berat."
Widiani tersenyum getir. "Ibu masih muda, kok. Buktinya, Ibu masih kuat pergi belanja sama teman-teman Ibu. Masa, iya, nggak sanggup buat sarapan sendiri."
"Widiani! Jangan kurang ajar kamu!" bentak Hera sambil berdiri dari sofa, wajahnya memerah karena emosi.
Akan tetapi, Widiani tidak bergeming sedikit pun. Ia hanya memandang Hera sekilas dengan tatapan jengah, sebelum melangkah ke arah pintu. Tangannya terulur, kemudian membuka daun pintu lebar-lebar.
"Kalau Ibu tidak suka, Ibu bisa keluar dari rumah ini. Karena ini rumah saya, bukan rumah Ibu atau pun Mas Rendy." Tanpa menunggu reaksi Hera, Widiani melangkah keluar. Ia membiarkan pintu terbuka begitu saja, meninggalkan Hera yang tidak bergeming dari tempatnya.
***
Tujuan utama Widiani saat ini adalah CV. Lintang Advertising, sebuah usaha kecil yang ia bangun dengan susah payah di sebuah ruko sewaan dua lantai. Meskipun sederhana, usaha itu menjadi sumber kebanggaan bagi Widian. Sebuah sumber kehidupan rumah tangganya, sebelum semua berubah kacau karena ulah Rendy.
Mobil angkot yang ia tumpangi berhenti di depan deretan ruko. Mata Widiani langsung menemukan ruko bercat putih pudar dengan papan nama yang sudah mulai miring. Ia turun, membayar ongkos sambil menarik napas panjang.
Saat mendekat, ia menyadari bagian depan ruko tampak kurang terurus. Beberapa poster promosi menempel lusuh di kaca jendela. Hatinya tercekat. Ada rasa sesak di dada melihat tempat yang dulu bersinar dan terawat menjadi terbengkalai seperti ini.
Begitu masuk, Widiani disambut aroma pengap dan suasana suram. Dua orang karyawan yang tersisa langsung menoleh canggung, bahkan. Tanpa menunggu lama, Widiani segera menyapa para pekerja tersebut.
"Selamat pagi, Pak Burhan dan Pak Yanto," ucap Widiani.
"Selamat pagi juga, Bu," jawab kedua orang pekerja tersebut.
Widiani mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan di lantai satu. Komputer yang dulu lengkap, kini hilang satu-dua. Bahkan dia juga tidak melihat beberapa mesin yang biasanya digunakan untuk keperluan proses produksi pekerjaan di sana.
"Maaf, Bu Widi. Pak Rendy tidak ke sini, ya, Bu?" tanya Pak Burhan sungkan pada istri atasannya. "Masalahnya, banyak orang yang mencari beliau sejak beberapa hari kemarin, Bu. Akhirnya, kami terpaksa memberi alamat rumah Pak Rendy karena mereka semua keukeuh ingin bertemu langsung."
"Hari ini Mas Rendy tidak bisa datang, Pak Burhan. Tapi tenang saja, saya yang akan menghandle semuanya mulai hari ini," ucap Widiani meyakinkan mereka. "Jadi, saya mohon kerja samanya, ya, Pak Burhan dan Pak Yanto."
Pak Burhan dan Pak Yanto saling berpandangan, lalu mengangguk pelan. Wajah mereka nampak lega, seakan kehadiran Widiani memberi secercah harapan di tengah kekacauan yang terjadi selama ini. Termasuk gaji mereka yang belum diberikan oleh Rendy.
"Iya, Bu. Kami siap membantu semampunya," ujar Pak Yanto dengan tulus.
Widiani tersenyum tipis, lalu mengangguk. "Terima kasih."
Tanpa membuang waktu, Widiani segera menuju meja yang biasanya Rendy gunakan untuk menerima klien. Widiani membuka map yang tadi ia bawa, mengeluarkan beberapa berkas yang berisi rincian modal awal usaha itu dibuat. Setelah itu, Widiani mengeluarkan nota dan apa pun itu dari dalam laci meja. Ia akan memeriksa semuanya hari ini, agar tahu apa saja yang dibutuhkan dan berapa uang yang harus ia persiapkan agar usaha itu tetap berjalan sebagaimana mestinya. Terlebih lagi, ia tidak ingin berurusan dengan pihak berwajib.
Widiani menemukan sebanyak tiga orderan yang belum diproses, tetapi uang muka sebanyak 50 persen sudah mereka terima. Termasuk dari CV. Ganesha Interior milik Fabian Ganesha yang kemarin mendatangi kediamannya.
"Pak Yanto," panggil Widiani pada Pak Yanto yang duduk tak jauh dari tempatnya. "Saya berencana untuk meminta waktu kembali pada klien yang orderannya belum selesai. Kira-kira, berapa modal yang kita butuhkan untuk bahan, Pak? Dan berapa lama proses pengerjaannya?"
Pak Yanto menghampiri Widiani, lalu mengambil salah satu SPK di atas meja. Ia memeriksa rincian pesanan dengan cermat, sambil menghitung di kepalanya. Pak Yanto menjelaskan dengan rinci segala sesuatu yang memang dibutuhkan pada Widiani.
Widiani mengangguk pelan setelah menerima penjabaran dari Pak Yanto yang memang selama ini bertugas untuk proses produksi. "Alat dan mesin kita masih lengkap, Pak?"
"Mesin laser cutting kita sudah tidak ada, Bu," timpal Pak Burhan dari tempat duduknya. "Dijual Pak Rendy dua bulan yang lalu. Selama mesin tidak ada, biasanya kami ngoper untuk potong bahan."
Widiani hanya bisa mengelus dada mendengar keterangan dari Pak Burhan, ingin marah pun sudah percuma rasanya. "Kalau begitu, kita akan prioritaskan proyek dari CV. Ganesha. Untuk dua orderan lainnya, saya akan langsung dan minta tenggat tambahan."
Pak Burhan dan Pak Yanto mengangguk setuju. "Baik, Bu Widi."
Widiani menghabiskan hampir dua jam di ruangan untuk memeriksa setiap nota, kuitansi, dan dokumen keuangan yang tersisa. Tangannya cekatan mencatat kekurangan bahan, dan menghitung ulang saldo terakhir yang tersimpan di rekening. Di tengah segala keterbatasan, masih memiliki sedikit harapan untuk menyelamatkan usaha ini.Setelah selesai, ia menutup map dengan rapi lalu berdiri sambil merapikan pakaiannya. Widiani berjalan pelan menuju tangga, ia berniat berpamitan sebelum pulang pada Pak Burhan dan Pak Yanto. Namun, saat kakinya menapaki dua anak tangga pertama, ia mendengar suara percakapan samar keduanya dari atas.
"Katanya, dia nikah sama Bu Widi karena harta," ujar Pak Burhan pelan.
"Serius, Pak?" sahut Pak Yanto setengah berbisik.
"Dia sendiri yang bilang, saya mana berani bohong. Mas Rendy pikir, Ayah Bu Widi akan merestui mereka secepatnya. Tapi malah zonk. Akhirnya, dia cari perempuan lain yang lebih kaya, lalu buang-buang uang untuk modal ngedeketin perempuan itu," ujar Pak Burhan panjang lebar.
Degh!
Degup jantung Widiani berdetak semakin kencang. Tubuhnya membeku di tengah tangga, tangan menggenggam erat pegangan kayu yang terasa dingin di kulit. Ia menunduk, berusaha menelan gumpalan amarah dan luka yang mendesak di tenggorokan.
Restoran yang terletak di lantai 2 sebuah hotel bintang 5 tampak ramai siang itu, banyak tamu yang sedang menikmati makan siang sambil berbincang santai dengan rekan mereka. Di antara deretan meja yang terisi, salah satunya ditempati oleh Rendy dan Shakila, sepasang kekasih gelap yang tengah menjalin hubungan dan melakukan pengkhianatan terhadap Widiani. Shakila menyilangkan kaki dengan anggun. Senyum Shakila tak lepas dari bibir, tapi matanya penuh selidik ke wajah Rendy. “Kamu kelihatan capek, Mas.” Rendy meraih gelas air mineral dan meneguk cepat, seolah berharap rasa gerah di hatinya ikut tertelan. “Gimana nggak capek, Yang. Aku susah payah membangun usaha, tapi diambil alih oleh Widi.” Shakila mengangguk pelan, seakan mengerti dengan penderitaan sang kekasih hati. “Istri kamu itu memang kurang ajar sekali, Mas!" “Entahlah, Yang. Kamu tau sendiri, 'kan, aku sudah nggak punya apa-a
Koper itu mendarat dengan bunyi berdebum, didorong kasar oleh Widiani hingga berhenti tepat di depan kaki Rendy. Rendy berdiri terpaku, ia tak menyangka Widiani akan melakukan hal seperti itu. Padahal, selama ini Rendy berpikir kalau Widiani sudah ia kendalikan dan akan menuruti segala keinginannya.“Sayang ...?” suara Rendy terdengar parau, "kamu mau usir aku hanya karena aku nasehati kamu?"Widiani menegakkan bahu. “Apa yang kamu katakan tadi itu bukan nasehat. Udahlah, aku capek."“Oke, maafkan aku kalau kamu tersinggung," ucap Rendy sedikit melunak. Tidak ada lagi suara garang seperti tadi, bisa gawat kalau Widiani benar-benar mengusirnya. "Sekarang, masukan lagi koper itu ke dalam.""Kamu tidur di kamar lain aja, deh," perintah Widiani tiba-tiba. "Aku lagi pengen tidur sendirian."Widiani pergi meninggalkan Rendy yang masih berdiri terpaku. Terus melangkah, tanpa sedikit pun menoleh pada sang suami. Widiani tak lupa mengunci pintu kamar, agar Rendy tak bisa menyelinap masuk di sa
Pagi itu, langit mendung menggantung di atas atap rumah keluarga Widiani. Udara dingin terasa terasa menusuk tulang, seperti beban yang selama ini ditahan oleh Widiani. Perlahan, beban itu mulai memadat di dada.Widiani sudah bersiap dengan blus biru laut dan celana kain hitam, rambut dikuncir dan riasan tipis seperti biasa. Dihadapannya, sudah tersedia satu cangkir teh hangat dan satu tangkup roti bakar untuk mengganjal perut. Setelah selesai menghabiskan sarapan, Widiani berjalan menuju kamar. Tampak Rendy masih di tempat tidur, berbaring sambil memainkan ponselnya."Mas," panggil Widiani, "kita ke ruko hari ini, banyak pekerjaan yang harus diselesaikan!"Rendy melirik sekilas, lalu berdecak malas. "Ck! Aku mau di rumah aja.""Tapi itu tanggung jawab kamu, Mas!" ujar Widiani kesal."Kamu kenapa cerewet banget, sih? Kamu aja sana yang urus!" hardik Rendy pada sang istri.Widiani mengangguk pelan, berusaha menelan rasa kecewa yang menggelayut di ujung lidahnya. Widiani tak ingin mema
Widiani berdiri lama di depan cermin pagi ini, untuk pertama kalinya ia mengenakan pakaian rapi dalam beberapa bulan terakhir. Bukan daster atau kaos longgar yang biasa menemaninya di rumah. Wajah yang biasanya polos tanpa riasan, kini dipoles tipis dengan bedak dan lipstik merah muda. Widiani melirik sekilas ke arah tempat tidur, ia melihat sang suami masih terpejam tanpa beban.Rendy saat ini, bukan lagi pria yang Widiani anggap sebagai tempat bersandar. Kini, di mata Widiani, Rendy hanyalah sumber luka yang nyaris menggerogoti habis hidupnya. Dengan tangan bergetar, Widiani memungut tas kecil di atas meja rias, mengecek kembali map berisi surat-surat penting, salinan rekening tabungan pribadi, dan daftar kontak orang-orang yang ia ambil dari ponsel Rendy semalam. Widiani melangkah keluar kamar dan ternyata ada sepasang mata memperhatikan gerak-geriknya."Mau ke mana kamu pagi-pagi begini. Pake dandan segala!" tanya Hera ketus pada sang menantu.Widiani berhenti sejenak, menoleh den
"Widi, cepat temui Tante Tini! Kalau rumah ibu dibakar, kita mau tinggal di mana?" ucap Hera dengan suara bergetar.Widiani terpaksa beranjak dari kamar untuk menemui rentenir yang sedang mengamuk di luar. Namun, begitu sampai di ambang pintu kamar, Widiani berbalik kemudian menatap suami dan ibu mertuanya. "Yang akan mereka bakar ini, rumahku! Bukan rumah Ibu atau pun Mas Rendy.""Alah! Sudah mulai perhitungan kamu sama suami dan mertua sendiri," sinis Hera dengan nada pelan.Widiani tidak mempedulikan ocehan sang ibu mertua, ia segera melangkah ke depan walau dengan perasaan kalut. Begitu Widiani membuka pintu utama, ia melihat seorang perempuan paruh baya dengan dandanan glamor serta beberapa pria bertubuh tegap dengan wajah garang. "Pasti kamu menantunya Hera!" ucap tante Tini begitu melihat Widiani. "Mana Rendy dan Hera? Suruh mereka keluar.""Suami dan ibu saya sedang ... begini saja, berapa hutang suami saya sama Ibu?" tanya Widiani langsung ke intinya. Ia juga sudah terlanjur
Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, Widiani merebahkan diri di sofa ruang tamu, menikmati sejenak ketenangan yang jarang ia dapatkan. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama ketika dua orang pria berpakaian formal mengetuk pintu rumahnya. Lebih parahnya lagi, wajah kedua orang tersebut tidak menunjukkan keramahan sama sekali."Permisi, perkenalkan saya Restu. Dan beliau tuan Fabian, atasan saya," ujar Restu. "Kami mencari pak Rendy, untuk menanyakan progres pengerjaan pesanan kami. Apa dia ada di rumah?" Widiani hendak menjawab bahwa Rendy ada di kamar mereka. Namun, sebelum sempat berbicara Hera–-ibu mertua Widiani menyela ucapannya."Rendy sedang tidak ada di rumah," ujar Hera--ibu Rendy dengan lantang dari arah belakang Widiani.Kening Widiani mengkerut, merasa heran dengan perkataan sang ibu mertua. Entah apa maksudnya berbohong tentang keberadaan Rendy, tapi pertanyaan itu hanya bisa ia telan di dalam hati. "Kalau boleh tau, di mana keberadaan pak Rendy saat ini? Masalahn