KARMA UNTUK MANTAN SUAMIKU 4
------ Aku lekas menghampirinya, Mas Ardiyan menatapku dengan sama terkejutnya. "Renjana? Kamu, sedang apa di sini?" tanyanya sambil melihat pada Jasmin. "A-aku... Aku sedang ketemu Jasmin, Mas!" "Hmm...." ia berdehem dengan pandangan terus berputar seakan tengah mencari sesuatu. Dia Ardiyan, pria yang pernah mencintai ku sejak dulu. Pria yang selalu ada disetiap waktu, dan selalu memperhatikan ku. Dulu aku pernah sedikit dekat, hanya saja saat itu aku selalu berfikir dia hanya bergurau dengan perasaannya terhadapku. "Dimana suami kamu, Renjana?" "Renjana!" "Ehh iya, apa Mas?" aku tersentak kala suara Mas Ardiyan yang sedikit keras menegurku. Ia tersenyum menatapku, sambil mendekatkan pandangannya. "Kenapa? Ada masalah?" tanyanya dengan senyum yang terus mengembang di sudut bibirnya yang tipis. "Ehh Mas tadi nanya apa, maaf aku--" "Aku bertanya dimana suami, kamu?" potongnya cepat. "Ehh, dia... Mas Hendra... Dia lagi kerja Mas." dustaku dengan berusaha menyembunyikan debar jantungku yang kian berdetak cepat. "Kamu itu dari dulu tidak pandai berdusta, Renjana. Aku tahu sikap dan watakmu, kenapa? Aku tahu semua perbuatan suami mu!" Aku terperangah dengan mulut sedikit terbuka mendengar ucapannya. Benarkah Mas Ardiyan tahu, kenapa dia menatapku dengan begitu intens. Seolah ia tahu rasa sakit yang sedang ku coba sembunyikan. Tapi ini kami kali pertama bertemu? Apa maksud dari kata-katanya? Tak lama aku menatapnya dan langsung membuang pandangan, aku tak ingin terlihat lemah dan terlihat sedang rapuh dihadapannya. "Maaf Mas, aku lagi ada perlu sama Jasmin dan harus segera pergi." "Ayok Jas!" sambungku yang langsung menarik lengannya. Aku pun mengayunkan kaki hendak pergi meninggalkan Mas Ardiyan, namun saat aku melangkah ia menahan tanganku. "Jangan selalu memendamnya sendiri, ada aku yang masih menunggu kamu!" ujarnya yang langsung ku tepis cekalan tangannya. "Maaf Mas, sepertinya tidak usah terlalu ikut campur urusanku. Aku bisa menanganinya sendiri!" sahutku tanpa menunggu jawaban darinya dan lekas pergi. Jasmin meremas tanganku, ia aku tahu dia sedang menguatkan aku. Ia hanya diam tak bicara saat Ardiyan bicara denganku, tapi sesekali aku melihat wajahnya dengan harapan agar aku mau bicara dengan pria itu. Jasmin tahu segalanya tentangku, tentang Ardiyan. Dia tahu jika Mas Hendra saat itu terpuruk seperti aku, Jasmin selalu mengingatkan aku agar tidak membuka hati padanya. Namun saat aku terjatuh Mas Hendra seolah menjadi penolong, iya saat itu Ardiyan pun pergi meninggalkan aku. Dia meninggalkan sejumlah kenangan, ia pergi tanpa menemuiku terlebih dahulu. Aku tahu, saat itu Ardiyan menitipkan salam perpisahan pada Jasmin. Dari Jasmin pula aku tahu Ardiyan mencintaiku sejak lama, hingga ia selalu memintaku untuk menunggu Ardiyan hingga kembali datang. "Ren, Ardiyan pasti kembali. Dia pamit tanpa menemui kamu itu karena ia tidak mau melihat kamu nangis dan bersedih atas kepergiannya. Hanya satu dia menitipkan pesan agar kamu selalu menjaga diri, biasakan agar kamu bisa hidup lebih mengenal banyak orang." ucap Jasmin kala itu. "Tapi kenapa, Jas. Kenapa Ardiyan tidak menungguku datang, lima tahun bukanlah waktu yang sedikit. Aku itu cuma punya kamu dan dia." jawabku sambil terisak. Iya, aku sedih saat tahu Ardiyan pergi ke Luar Kota. Dia mengejar cita-citanya agar bisa menjadi sarjana, dan dia selalu bilang jika dia berhasil akulah orang pertama yang ingin dia bahagiakan. Aku tidak tahu, saat itu aku mencintai dia atau tidak. Karena kami hanga berteman, sejak kelas 1 SMP sampai SMA tidak pernah sekali pun berpisah. "Dia mencintai kamu, Renjana!" "Aku tidak percaya, aku tidak percaya karena dia meninggalkanku. Jika memang Ardiyan mencintaiku, dia tidak akan meninggalkanku, Jasmin." "Renjana! Renjana!" "Ehh... Iya Jas." "Kamu ini, kenapa melamun terus!" Lagi lamunanku kembali pudar saat Jasmin memanggilku, entahlah ini pertama kali aku bertemu lagi dengan Ardiyan. Bahagia, sedih atau marah aku tidak tahu. Yang pasti perasaan ku saat ini tengah hancur. "Jas, sejak kapan Ardiyan kembali?" tanyaku lirih dan ragu. "Sudah lama, bahkan dia kembali sejak setahun yang lalu." sahutnya datar. "Setahun? Bukannya dia di Luar Kota lima tahun?" Jasmin tak menjawabku lagi, dia berjalan tanpa menoleh. Tapi kenapa, jika Ardiyan sudah kembali sejak setahun yang lalu. Kenapa Jasmin tak bicara atau sekedar memberi tahuku. Lagi bayangan Mas Ardiyan menari di pelupuk mataku, postur tubuh, wajah dan ketampanannya masih sama. Tidak sama sekali berubah, bibirnya yang tipis, dengan kulitnya yang putih bersih dan sedikit jambang di wajahnya. Membuat kesan ketampanan dia tidak bisa di pungkiri, membuat bayangan masa lalu pun menghampiri. Ting! Suara gawai berbunyi, menandakan ada pesan masuk. Ku biarkan tanpa mau membukanya, dan sama sekali tidak ingin melihat siapa yang mengirim pesan itu. Ting! Ya ampun, tidakkah boleh aku ini sedikit tenang. Meski hanya dengan mengingat kenangan masalalu yang aku fikir itu adalah keindahan. Ku raih gawai di dalam tas, terlihat nama Mas Hendra yang mengirim pesan dengan beberapa pertanyaan. "Siapa, Hendra?" tanya Jasmin melihatku sekilas. "Hmm." Aku mengangguk lemas. Lagi mengingat Mas Hendra membuat hatiku terasa perih, dadaku sesak kala mengingat isi di dalam video itu. "Kenapa dia?" "Nggak papa, cuma nanyain doang karena aku nggak ada di rumah." "Ngapain, mau bikin drama lagi." "Udah Jas, aku capek. Sekarang ini aku harus mempertahankan rumah tanggaku, aku tidak ingin semuanya hancur hanya karena orang ketiga dan hanya karena alasan anak." "Kamu ini kenapa sih, Ren. Udah jelas dia ini nipu kamu selama lima tahun ini, dia pura-pura baik hanya karena menutupi wajah aslinya." "Aku yakin, Mas Hendra tidak seperti itu Jas. Mungkin aja dia memang lagi depresi karena menginginkan seorang anak." "Renjana dengar ya, apa pun alasannya dia itu tetap salah. Tidak bisakah dia bersabar sedikit, tapi tidak dengan cara dia ingin menikah lagi." "Jas aku--" Kriinggg Kriingg!-----"Bayu sudah meninggal, ia kecelakaan setelah menikah kesekian kalinya. Ibu mendengar kabar ini dari Linda, Papa kamu sudah nggak ada," isak Safira menjelaskan tentang ayah kandung putranya.Hendra terdiam, tatapannya nanar mengingat sang ayah yang ia akui sebagai ayahnya ternyata hanya orang asing.Dan ia pun menginginkan pertemuan dengan Bayu, tapi kabar yang ia dengar sangat menyakitkan."Bu, kita harus minta maaf sama Renjana, Ibu sudah kelewatan menyakiti dia." tutur Hendra.Safira menatapnya, ada benarnya apa yang dikatakan Hendra. Ia menyesali perbuatannya, tadinya ia hanya niat menggertak, agar Renjana segera hamil dan berusaha lebih baik lagi. Tetapi, sikapnya malah membuat Renjana pergi.Yang semakin membuat Renjana sakit, ia memfitnahnya dengan menyatakan tes palsu hasil dokter padanya."Kamu benar, Dra. Ibu minta maaf karena sudah menyakiti Renjana, selama ini Ibu salah sudah menyianyiakan dia." lirihnya dengan berderaian air mata."Besok kita kesana, Bu. Aku juga ma
***"A-aku sudah pergi dari rumah Mas Hendra. Dia bangkrut Mbak, dan Papa dia pergi dari rumah dan menceraikan Ibu. Maafin aku, Mbak. Selama ini aku buta karena mencintai pria beristri."Renjana menarik napasnya dan, "sudahlah Mbak, semua sudah berlalu. Saya dan keluarga sudah bahagia, apa lagi saya sudah memiliki seorang putri." ucapnya sambil menatap Reyana."Masih punya muka kamu, datang ke rumah saya setelah membuat hancur kehidupan putri saya?" celetuk Zia."Bu sudah, dia sudah mendapat balasan dan Mas Hendra... Dia sudah kehilangan segalanya, perusahaannya, semua sudah kita ambil alih. Mas Hendra sudah tidak punya apa-apa," Renjana menenangkan ibunya."Dan Ibu tahu, Mas Hendra ... Dia, di nyatakan mandul dan...." sambungnya gugup dengan mata melirik Ardiyan.Jessika yang mendengar cerita Renjana makin tak percaya, jika perusahaan suaminya benar-benar milik Renjana."Kenapa?""Papa sudah menikah lagi, dan apa Ibu tahu Mas Hendra bukan anak Papa?" mata Zia membulat.Jessika tertun
****"Apa ini," ucapku sambil mengambil benda tersebut.Ternyata sebuah cincin yang bermata biru, ini adalah cincin pemberian Mas Hendra dulu, saat aku akan pergi ke luar kota.Cih, ini malah makin membuatku muak. Membayangkannya saja rasanya malas, andai aku tahu dia miskin dan mandul mana mau aku menjadi istrinya. Merebut pula dari Renjana, dan akhirnya apa yang aku dapat sekarang.Hanya kesia-siaan, tiga tahun lamanya bertahan bersama pria cacat. Iya, bagiku dia cacat karena tak bisa membuatku hamil. Tetapi dengan angkuhnya dia mengatakan jika Renjana yang mandul.Malu sekali, aku membanggakan pria cacat pada semua orang, tapi kenyataannya aku sendiri yang malu."Bu, ini karena aku tak mendengar nasehat mu," aku berkata lirih.Orang tuaku melarang hubunganku dengan Mas Hendra, alasannya saat itu karena Hendra beristri. Namun, aku tetap memaksa karena aku mencintainya.Tetapi sekarang, mengingatnya saja aku menolak.Mataku sudah sangat berat, lelah sekali rasanya setelah membenahi r
****"Adriyan, apa ini?" tanya Zia sambil membuka lembaran kertas di tangannya."Buka, Bu."Zia membukanya, tapi matanya seketika membulat saat melihat sebuah foto yang menunjukkan wajah seorang pria sedang memeluk seorang wanita."Astagfirullah... Adriyan apa ini?" pekiknya dengan tangan gemetar."Kenapa, Bu?" Adriyan mengambil kertas di tangan mertuanya.Ia pun ikut terkejut, melihat wajahnya berada di sana. Yang semakin membuatnya terkejut, ia sedang memeluk Vega."Astaga... Apa ini, kenapa ada foto seperti ini?""Harusnya Ibu yang tanya, apa itu?"Ardiyan menggeleng, "tidak Bu, ini bukan aku. Percayalah,""Yaallah, Renjana ...,"Adriyan mengepalkan tangan, ia tidak tahu mengapa Vega melakukan ini. Padahal ia tahu jika mereka terakhir bertemu beberapa tahun lalu, dan Adriyan pun bukan tipe pria yang mudah dekat dengan wanita.Tanpa banyak bicara Adriyan pergi, ia menghubungi seseorang untuk mencari tahu semuanya. Meski tidak habis fikir dengan apa yang di lakukan Vega, tapi menurut
*****''Mas,'' suara merdu dengan senyum di bibirnya yang ranum itu memanggilnya.Ia menghampiri dengan wajah bahagia sambil mengusap wajahnya yang berlinangan air mata, Vega namanya. Wanita yang tengah mengamuk di depan kantor Adriyan.''Vega, ada apa kamu ke sini?" tanya Ardiyan.''Aku mau kamu tanggung jawab, Mas!" suara lantang dengan wajah sendu menatap nanar manik hitam miliknya.''Tanggung jawab? Apa maksudnya?"''Aku hamil... Aku hamil anak kamu, Mas!'' ucapnya dengan lantang.Wajah semua orang memandang Ardiyan dengan tatapan penuh tanya dan terkejut. Tatapan mereka semua memandang Ardiyan dengan penuh tanda tanya.''Cukup Vega... Jangan lagi berkata hal yang akan membuat saya murka. Pergi dan jangan membuat keributan dengan bicara hal yang tidak-tidak, aku tidak pernah melakukan apa yang kamu tuduhkan.'' hardik Ardiyan dengan wajah merah padam menahan amarah.''Kenapa Mas, kenapa kamu mau enaknya saja? Kenapa tidak mau bertanggung jawab, ini anak kamu, Mas.''''Aku sudah ber
****"Pah,""Kenapa Fira? Apa kamu bingung menjelaskan semuanya pada Hendra? Biar aku jelaskan, biar aku yang bicara!" Danendra berdiri diambang pintu dengan wajah datar dan dingin."Cukup Pah, aku mohon ja-jangan bilang apa pun sama Hendra. Kamu Ayahnya dia, Pah." ucap Safira terbata sambil mendekati Danendra.Danendra hanya tersenyum sambil menatap tajam wanita yang menatapnya iba."Bayu adalah Ayah kamu, Hendra. Ibu mu menikah denganku setelah ia hamil tiga bulan! Safira sama sekali tidak pernah aku sentuh, sekali pun!" Danendra berkata tegas kepada Hendra dan Safira.Hendra terperangah dengan wajah terkejut dengan bola mata yang membulat. Iya menatap Safira dengan rasa tak percaya.Pandangannya berputar kepada Safira dan Danendra, Iya tak mengerti dengan apa yang terjadi sebenarnya."Ini tidak benar kan Bu, Ini semua tidak benar!" pekik Hendra."Maafkan Ibu, Dra. Maafkan Ibu,""Lalu di mana, Ayahku?" tanya Hendra.Safira menggelengkan kepalanya, Iya tidak tahu harus menjawab apa.