"Apa yang akan kamu lakukan, Sabi?" Jaka memperbaiki posisi duduknya lebih memiring menghadap Sabrina.
"Saya akan buat dia kelimpungan," jawab Sabrina. Ia segera menekan kontak bernama 'suamiku' pada layar ponselnya. Berdering dan tak lama langsung dijawab."Halo, Sabi. Ada apa?" Suara Hasbi terdengar ketus begitu benda pipih itu Sabrina tempelkan pada telinganya."Halo, Mas. Kamu dimana?" Sabrina berbalik tanya sekedar basa-basi. Ia hanya ingin tahu jawaban apa yang akan dikatakan suaminya."Bukankah sudah aku katakan kalau aku sedang bertugas." Jawabannya jelas sekali bohong."Bisakah kamu pulang, Mas? Ini kan hari minggu," sindir Sabrina. Ia sesekali melirik ke arah Jaka yang tengah mendengarkan percakapannya."Hari minggu pun aku tetap bertugas, Sabi. Aku tak bisa pulang, memangnya ada apa?" Suara tegas Hasbi kembali beralasan. Lagi-lagi pria itu berbohong."Mas, perutku sakit sekali terasa ditusuk-tusuk. Aku tak dapat bangun dari tempat tidur, aku mohon pulanglah. Bawa aku ke rumah sakit, Mas. Tolong aku, Mas," rintih Sabrina dengan nada suara seperti orang yang tengah kesakitan.Terdengar Hasbi mendengus kesal, tapi Sabrina seolah tuli. Hasbi memang tahu akan keluhan Sabrina yang sering sakit pada perut bagian bawah. Hasbi juga tahu kalau penyakit Sabrina sudah kambuh, istrinya itu tak akan dapat bangun sama sekali."Baiklah, aku akan pulang sekarang ya." Akhirnya Hasbi menuruti permintaan Sabrina. Sambungan telepon itu berakhir. Ideu Sabrina berhasil.Sabrina segera menurunkan benda pipih itu dari telinganya dan ia masukan kembali pada tas selempang."Kita akan biarkan Mas Hasbi keluar dari rumah itu. Saya penasaran dengan wanita yang bernama Miranda, apa dia mengenal saya sebagai istri Mas Hasbi." Sabrina mengepalkan tangan bersamaan dengan aura panas di dalam dadanya."Boleh saja, tapi jangan gegabah, ya. Saya gak ingin terjadi apa-apa sama kamu, Sabi." pesan Jaka mengingatkan lagi. Pria itu tampak menunjukan kekhawatirannya. Pandangannya ke arah Sabrina menunjukan kalau kecemasannya melebihi dari sekedar sahabat."Iya, saya paham." Sabrina menganggukan kepala. Ia tak sadar dengan pandangan yang dilayangkan Jaka kepadanya.Tak lama, keluarlah dari rumah minimalis modern itu, hasbi yang langsung masuk mobil hitam. Kendaraan roda empat yang dikendarai Hasbi melaju meninggalkan area perumahan.Sabrina dan Jaka berjalan dengan tergesa-gesa menuju pekarangan rumah milik wanita lain suaminya. Mereka sudah berdiri di depan pintu utama kemudian menekan tombol bell yang menempel di dinding dekat pintu, hingga beberapa detik kemudian, seorang wanita pemilik nama Miranda membuka pintu."Loh, Bu Miranda!" Sengaja Sabrina memasang wajah seolah terkejut setelah Miranda membuka pintu."Bu Sabrina!" Sama halnya dengan Sabrina, Miranda pun nampak terkejut."Ada keperluan apa ya, Bu, Pak?" Miranda menatap Sabrina dan Jaka secara bergantian. Ia menautkan kedua telapak tangan."Kami sedang mencari alamat rumahnya Bu Ayuni. Ada yang mengatakan rumahnya yang ini. Tapi, kok yang keluar malah Bu Miranda, ya?" Sabrina mengada-ngada. Wajahnya sengaja dibuat terlihat bingung sambil sesekali melirik Jaka di sampingnya.Miranda tampak mengernyitkan dahi. "Mungkin saja alamatnya salah, Bu," balas Miranda. Raut wajahnya seperti jujur. Tak ada sedikit pun menyiratkan kecurigaan dengan kedatangan Sabrina dan Jaka.Sabrina mengusap keningnya seraya melemparkan tatapan sendu pada Jaka. "Wah, Pak Jaka. Bagaimana ini, sepertinya kita salah alamat. Mana sudah jauh-jauh datang ke sini. Mana haus, capek juga."Jaka mengangkat kedua tangan dan bahunya bersamaan."Ya mau bagaimana lagi, Bu," balasnya sekedar mempertebal akting Sabrina."Bu Sabrina dan Pak Jaka masuk dan istirahat di dalam saja dulu, ya. Nanti saya akan bantu carikan alamat Bu Ayuni. Mungkin ada kesalahan di nomor rumah.” ucap Miranda berbaik hati, mempersilakan Sabrina dan Jaka masuk.Dua gelas jus jeruk serta cemilan yang masih terlihat hangat disajikan Miranda di atas meja untuk tamu tak diundangnya itu. Meskipun kedatangan Sabrina dan Jaka sangat mendadak, tak ada ekspresi curiga di wajahnya."Kalau boleh tahu, kenapa Aksa tiba-tiba mendadak pindah sekolah, Bu? Saya sampai tak sempat berpamitan, lho." Sabrina basa-basi mengawali percakapan."Saya juga tidak tahu, Bu. Suami saya meminta untuk segera pindah saat itu juga dan memilih sekolah di tempat lain. Katanya saya telah salah masuk lembaga sekolah" jawab Miranda jujur. Dari ekspresi wajahnya, jelas sekali kalau wanita yang ternyata selingkuhan suami Sabrina memang tidak tahu apa-apa."Oh begitu." Sabrina manggut-manggut. Ia hendak melanjutkan beberapa pertanyaan. Namun suara deru mobil berhenti di depan rumah sehingga menggagalkan niatnya.Sialnya yang datang adalah mobil Hasbi. Sabrina tak pernah menyangka bahwa suaminya itu akan kembali lagi ke rumah. Pria itu keluar dari mobil lalu berjalan dengan langkah yang cepat menuju pintu utama rumahnya, kemungkinan besar tersadar bahwa dia meninggalkan sesuatu."Ada tamu, Mah?" Hasbi sudah berada di ambang pintu. Ia bertanya saat Miranda berdiri menyambutnya."Oh i-iya, Pah. Hanya sales yang menawarkan internet rumah saja. Papah mengapa kembali lagi?"Di ruang tamu tak nampak siapa-siapa. Hasbi sedang buru-buru sehingga ia tak ada waktu memperpanjang pertanyaannya. Ia segera mengambil dompet yang ada di kamar pribadi kemudian pergi melanjutkan perjalanannya.Detik itu, Hasbi melewatkan fakta bahwa Sabrina dan Jaka sedang bersembunyi di balik lemari pajangan yang terdapat di ruang tamu. Di tempat yang sempit itu, mereka berdiri saling berhadapan."Maaf, Sabi." Jaka membuang pandangan yang tak pantas. Isi dadanya berdebar saat berdekatan dengan Sabrina yang hanya berjarak dua senti meter saja."Tidak usah minta maaf. Kita hanya bersembunyi sebentar," balas Sabrina setengah berbisik. Setelah dirasa aman atas kode dari Miranda, mereka akhirnya keluar."Mengapa harus bersembunyi?" Miranda nampak penasaran. Ia belum mendapat alasan atas permintaan Sabrina untuk bersembunyi."Kami mengenal Pak Hasbi. Mohon jangan sampaikan kedatangan kami padanya karena ini menyangkut sesama pegawai negeri. Semoga Bu Miranda bisa mengerti." ucap Sabrina merapikan pakaiannya."Maaf, Bu Sabi, Pak Jaka. Saya tidak mengerti dengan kalian. Apa maksud kedatangan kalian? Kalau kalian gak mau bilang, saya akan laporkan hal ini pada suami saya." Miranda melontarkan kecurigaannya. Pasang maniknya menelisik Jaka dan Sabrina secara bergantian."Apa Bu Miranda tahu mengapa Pak Hasbi hanya menikahi anda secara siri?" Sabrina menantang. Miranda pun menggeleng tak paham.Sabrina mengukir senyum sinis. "Itu karena anda hanyalah istri kedua, Bu Miranda. Ibu Miranda ini adalah seorang madu untuk istri pertama Pak Hasbi." ucapnya tak menunda waktu."Apa!?" Bola mata Miranda membulat mendengar penuturan Sabrina. "Jangan main-main ya, Bu Sabi!" sentaknya."Saya tidak main-main, Bu. Untuk apa saya datang ke rumah ini hanya untuk membual kepada anda?" Sabrina menautkan alisnya, wajahnya terlihat lelah.Sebaliknya, wajah Miranda kini nampak memerah menahan amarah. "Apa buktinya?" Dia menantang Sabrina."Saya akan bawa buktinya kepada ibu. Dengan syarat, jangan katakan mengenai kedatangan saya saat ini. Jika Bu Miranda penasaran dengan istri sahnya Pak Hasbi, maka saya akan memberitahukan rahasia besar yang disembunyikan suami anda selama bertahun-tahun." Sabrina nampak berani."Oke! Saya tunggu buktinya. Saya akan jaga rahasia ini sampai Bu Sabi membawa bukti atas ucapan barusan. Namun jika anda berdusta, maka bersiap-siaplah karena saya akan laporkan pada Mas Hasbi!"Setelah melakukan kesepakatan dengan Miranda, Sabrina dan Jaka memilih pulang. Namun di tengah perjalanan, Sabrina memilih turun dari kendaraan Jaka dan pulang ke rumah dengan menggunakan taksi online. Ia tak mau kalau Hasbi sampai curiga."Kamu dari mana saja? Beraninya kamu membohongi saya?!" Kedatangan Sabrina di rumah disambut dengan sentakan pertanyaan dari Hasbi. Pria itu sudah berdiri di depan rumah saat Sabrina keluar dari taksi online. Tatapannya nanar penuh selidik membuat Sabrina harus pandai beralasan."Kamu pikir aku dari mana, Mas? Menunggu kedatangan kamu yang berpuluh-puluh menit hanya akan membuat penyakitku kian bertambah parah." Sabrina mengelak. Ia segera melanjutkan langkah kemudian masuk ke dalam rumah melewati tubuh Hasbi dengan acuh. Namun, pergelangan tangannya digenggam sang suami sehingga langkahnya terhenti di ambang pintu."Alasan!" Satu kata yang keluar dari mulut Hasbi yang membuat Sabrina tak sudi membalasnya.Sabrina tetap melanjutkan langkahnya. Sesa
"Pinjaman PNS tak perlu menggunakan surat-surat itu, Sabi. Kamu pikir aku bodoh!" Hasbi tetap berkilah. Membuat Sabi kian penasaran saja."Memang iya. Tapi aku hanya butuh surat-surat penting itu untuk pemberkasan, Mas. Apa salahnya sih," gerutu Sabi. Wanita itu dibuat geram dengan sikap Hasbi."Aku hanya pinjam, Mas. Lagi pula itu surat-surat yang seharusnya disimpan seorang istri," sambungnya menekan.Namun, Hasbi masih saja diam mematung. Ia nampak kesulitan untuk menjawab."Mana, Mas? Aku akan ajukan pinjaman seratus juta untuk Mama kamu. Itu pun kalau surat yang aku minta sudah ada di depan mata." Sabrina kembali menekan.Hasbi masih saja membeku. Dia kebingungan karena surat itu tak ada padanya. Akhirnya Sabrina memilih meninggalkan."Tunggu, Sabi!" Hasbi menahan langkah Sabrina."Akhirnya kamu bersuara juga." Sabrina kembali duduk di dekat Hasbi."Maaf, Sabi. Surat-surat itu tak ada padaku." Hasbi menundukan kepala."Apa maksudnya?" Dahi Sabi mengkerut tak paham."Surat rumah t
"Perkenalkan, saya adalah Sabrina Mecca—istri sah dari Hasbi Adhitama."Bola mata Miranda membulat sempurna seakan hendak loncat dari sarangnya. Sama halnya dengan Hasbi."Apa-apaan ini, Bu Sabi? Saya tidak suka dengan lelucon macam ini." Miranda menggelengkan kepala.Sementara Hasbi menundukan kepala. Ada emosi yang tengah ditahannya."Loh, ini bukan lelucon kok. Saya memang istri sah Mas Hasbi. Kami sudah sepuluh tahun menikah. Namun sepertinya Mas Hasbi tak terlalu kuat dengan ujian yang menerpa pernikahan kami," tekan Sabrina mengulum senyum miring. Ia terlihat kuat, tapi sebenarnya tidak."Mas Hasbi, apa benar?" Miranda menatap nanar suaminya."Mungkin suami anda malu mengakuinya, Miranda. Ops, sory. Maksud saya suami saya, karena anda hanya istri simpanan yang tak dianggap," cibir Sabrina."Cukup, Sabi! Apa-apaan kamu ini. Kamu sudah merencanakan semuanya? Kamu menjebakku! Kamu berani melawanku?!" sergah Hasbi seraya menghentakan kepalan tangannya di atas meja.Sabrina menggeleng
Nampaknya Hasbi tak akan terima kalau sampai Miranda pergi dari kehidupannya. Dia segera meraih tangan sang istri muda, saat wanita itu hendak pergi."Jangan, Mira. Aku mohon. Kita kembali ke tempat duduk. Kita harus bicara," bujuknya dengan sungguh-sungguh.Miranda yang tengah dibakar api kecewa, nyatanya tetap menuruti perintah Hasbi. Dia mengangguk memberi kesempatan pada sang suami untuk bicara. Akhirnya mereka berdua kembali duduk di tempat semula."Jelaskan sekarang, Mas. Mengapa kamu tega membohongiku," tekan Miranda. Dia menyilangkan kedua tangan di depan dada sementara wajahnya begitu nanar kepada sang suami."Oke, aku akan bicara jujur dan kamu harus percaya sebab aku melakukan ini hanya demi, Aksa," jawab Hasbi."Apa hubungannya dengan anak kita?" Miranda mengernyitkan dahi."Mira, aku sudah lama ingin meninggalkan Sabrina. Wanita itu tidak mampu memberikan aku keturunan. Sebagai laki-laki, aku pun ingin memiliki anak dari darah dagingku. Tapi Sabrina tidak bisa. Aku sudah t
"Tega sekali Mama bicara seperti itu," lirih Sabrina. Bulir bening tak bisa lagi dibendung sampai akhirnya harus menetes di pipi mulus Sabrina. Bibirnya bergetar, menahan rasa sakit di dalam dadanya.Sementara Hasbi, dia tampak membatu saat mamanya menghina Sabrina."Mama bicara apa adanya, Sabi. Wajar kan kalau Hasbi ingin memiliki anak di saat kamu tak mampu memberikannya. Jangan egois, Sabi." Wanita paruh baya itu seperti tak memikirkan perasaan Sabrina. Air mata yang tumpah di pipi cantiknya, tak membuat Hasbi membuka mulut untuk sekedar membela sang istri."Miranda bahkan rela menjual perhiasannya demi membantu Mama, lalu bagaimana dengan kamu, Sabi? Kamu terlihat tak sudi direpotkan."Bak petir menyambar tubuh, ucapan mertua Sabrina terasa meremukan tubuh Sabrina sampai ke tulang-tulang."Cukup, Ma! Jangan pernah banding-bandingkan aku dengan wanita yang baru saja Mama kenal!" tukas Sabrina. Dihapusnya air mata yang seharusnya tak boleh keluar."Kalau Mama lebih menerima pelako
Sambungan telepon itu langsung diakhiri Jaka begitu suara bariton milik Hasbi terdengar."Mengapa jadi Hasbi yang menjawab telepon?" Jaka bertanya-tanya. Dia kini tengah berada di ruang kantornya. Memijat pelipis karena khawatir suami Sabrina jadi salah paham.Semalam, Jaka mengantarkan Sabrina ke rumahnya tanpa ada Hasbi. Dia tak tahu kalau panggilan teleponnya akan dijawab oleh Hasbi. Padahal saat ini Jaka sudah selesai mengumpulkan semua berkas yang dipinta Sabrina. Termasuk berkas penting milik Hasbi yang juga diamankan padanya.Satu jam kemudian pintu ruangan Jaka terdengar diketuk seseorang dari luar."Permisi, Pak. Ada tamu yang ingin bertemu." Sekestaris melapor pada Jaka usai membuka pintu."Siapa?" tanya Jaka biasa saja."Atas nama, Hasbi Adhitama," jawab wanita berambut pendek itu.Sedikit terkejut. Dia langsung mengamankan berkas milik Sabrina. "Bawa ke ruangan saya," titahnya pada sekertaris."Baik, Pak." Wanita itu keluar lagi. Sementara Jaka langsung sibuk memastikan ka
"Sudah, Ma. Sudah. Mama ke sini sama siapa?" Jaka mengalihkan perhatian."Diantar supir," jawab mamanya Jaka masih dengan senyuman yang terukir di bibirnya."Oh baguslah. Aku pamit, Ma. Aku mau antar Sabrina pulang ya." Jaka menarik pelan tangan Sabrina."Tante, saya pamit.""Iya, Sabi. Hati-hati di jalan. Tante tunggu di rumah nanti." Wanita paruh baya itu masih saja melebarkan senyuman. Terlihat bahagia. Pasalnya, Jaka sering sekali bercerita tentang Sabrina padanya.Kini Sabrina dan Jaka telah berada di lobi. Wajah Jaka memerah karena tak enak dengan sikap mamanya yang so akrab, padahal baru pertama bertemu dengan Sabrina."Jak, sepertinya aku akan pesan taksi online saja ya," ucap Sabrina."Oke. Maaf ya kalau tak bisa antar sampai ke rumah kamu," balas Jaka. "Mm-aku mau minta maaf atas sikap mamaku yang so akrab sama kamu," imbuhnya seraya menggaruk pundak yang tak gatal."Tidak apa-apa, Jak. Aku malah senang sama Mama kamu yang ramah. Mengingatkan pada ibuku di rumah." Sabrina ke
Hasbi nampak mematung dengan penekanan yang diberikan Sabrina. Ia sempat menunduk kemudian mengangkat kembali wajahnya."Putuskan sekarang, Mas. Saya tidak punya banyak waktu." Sabrina kembali menekan. Wajahnya memang terlihat kuat di hadapan semua orang, tapi di dalam hatinya berbeda jauh. "Aku putuskan, aku akan memilih Sabrina." Keputusan pria bergelar ASN itu pada akhirnya.Tapi, tak ada wajah sendu yang ditampilkan oleh Miranda. Apalagi dengan orang tua Hasbi. Mereka terlihat biasa saja. Mereka tak nampak terkejut sedikit pun.Usai melemparkan tatapan pada orang-orang di ruangan itu, Sabrina kembali melayangkan tatapan nanar pada Hasbi. Ia merasa tak yakin dengan jawaban suaminya."Aku tidak yakin kalau kamu akan rela kehilangan istri muda dan anakmu, Mas," tukasnya. Setelah Sabrina memastikan wajah Hasbi yang biasa-biasa saja. Apalagi dengan Miranda yang harusnya bersedih atau marah."Karena aku lebih tak rela kehilangan kamu, Sabi. Perasana ini teramat yakin kalau aku tak rel