Share

Bab 4 Main Cantik

Sabrina melemah. Wanita itu merasa tak bisa bernapas seolah tak ada oksigen yang bisa dihirupnya. Bulir bening yang sedari tadi ia tahan seketika luruh di pipi. Tak bisa dipercaya, suami yang selama ini dianggap setia nyatanya berdusta.

"Loh, Mba Sabrina. Kenapa menangis?" RT Yahya tercengang melihat tamunya tiba-tiba menangis.

Jaka menoleh ke arah Sabrina. Ia tak bisa menjelaskan.

"Maaf, Pak. Saya kelilipan," jawab Sabrina dengan suara lirih. Ia segera menghapus air mata yang tak bisa diajak kompromi.

"Oh iya, Pak. Kalau boleh tahu, dimana ya rumah Bu Miranda dan Pak Hasbi? Kami belum sempat memberikan kado pernikahan untuk mereka," tanya Jaka dengan alasannya lagi.

"Kado pernikahan? Memang kalian siapanya?" RT Yahya menatap kedua tamunya nanar.

"Kami sahabatnya, sekedar ingih mampir dan mengucapkan selamat saja." Wajah Jaka sungguh meyakinkan.

"Bu Miranda dan Pak Hasbi sudah lama menikah. Sudah 7 tahun lebih, masa baru memberikan kado selamat hari ini," pria yang memiliki jabatan RT itu mengkerutkan dahi.

"Oh i-iya, Pak. Karena kami saudara jauh. Mungkin pernikahan siri yang membuat mereka tak memberi kabar pada kami." Jaka masih mengelak. Dia tetap berusaha membongkar rahasia dibalik kesedihan sahabatnya, Sabrina.

RT Yahya sepertinya percaya dengan alasan, Jaka. Dia menunjukan pada Jaka dan Sabrina pada sebuah rumah yang jaraknya tak terlalu jauh dari rumah RT Yahya. Mungkin sekitar tiga ratus meter saja.

"Terima kasih banyak ya, Pak," ucap Jaka dan Sabrina. Pria paruh baya itu langsung pergi meninggalkan kedua tamunya setelah tugasnya selesai.

Sementara Jaka dan Sabrina kini telah berdiri di depan rumah minimalis modern berwarna putih. Di depannya banyak sekali tanaman bunga bias berwarna-warni. Rumahnya terlihat sepi. Jam di dinding baru saja menunjukan pukul sepuluh siang.

"Kita masuk lagi ke dalam mobil ya. Kita tunggu sampai pemilik rumahnya keluar terlebih dahulu," saran Jaka. Sabrina yang lemah, mengangguk saja karena dia belum mampu berbicara.

Jaka dan Sabrina kembali ke mobil. Mereka akan menunggu sang pemilik rumah yang dituju keluar.

Sepuluh menit berlalu, Sabrina merasa tidak sabar. "Kita keluar saja, Jak. Kita ketuk pintunya sekarang," pintanya. Hati Sabrina sudah memanas ingin segera marah dan meluapkan emosinya. Sebelah tangannya sudah menarik handle pintu mobil, bersiap keluar.

"Tunggu dulu! Jangan gegabah!" Jaka menahannya.

"Kenapa? Saya sudah tidak sabar ingin segera membuka semua kebusukan Mas Hasbi. Dia pendusta, pengkhianat! Dia harus merasakan betapa hati ini telah hancur dan sakit sekali rasanya," ungkap Sabrina bernada emosi. Air mata itu kembali membasahi pipinya. Rasa sakitnya tak bisa ditahan. Inginnya berteriak sekencang-kencangnya, akan tetapi suaranya tersengal di tenggorokan.

"Jangan sekarang, kamu belum punya bukti. Laki-laki selalu mampu mengelak tuduhan tanpa bukti." Jaka masih menahan langkah Sabrina yang dinilainya gegabah. Ia hanya ingin masalah sabrina selesai dengan baik-baik.

Wanita yang sudah sepuluh tahun dinikahi Hasbi itu nampak mematung dalam beberapa detik, mengurungkan niatnya yang berambisi. Sabrina menarik napas cukup dalam lalu menghembuskannya dengan perlahan.

"Lalu, apa yang harus saya lakukan?" tanya Sabrina seraya menurunkan tatapannya. Ia tak tahu harus berbuat apa. Diusapnya kening yang terasa pusing.

"Kita kumpulkan bukti. Kita berdua tahu, Hasbi bukanlah orang biasa."

Perkataan Jaka ada benarnya. Sabrina paham. Hasbi adalah seorang Brimob. Lelaki itu mampu mengelak apalagi dengan tuduhan tanpa bukti.

Beberapa saat kemudian nampak sebuah kendaraan roda empat berwarna hitam nampak memasuki pekarangan rumah itu. Sabrina dan Jaka terkejut. Mobil itu adalah kendaraan yang dibeli hasil dari kerja keras Sabrina.

Wanita itu mengepalkan tangan saat seseorang yang dikenal keluar dari mobil itu, Hasbi dengan seorang wanita yang memegang tangan anak laki-laki.

Sabrina membulatkan kedua bola matanya. Pria di depan matanya benar-benar Hasbi, sementara wanita dan anak laki-laki itu nampak tak asing dalam pandangannya.

Terlihat keluarga kecil yang bahagia tertawa riang. Sabrina menutup mulutnya. Air matanya kembali merembes keluar. Jelas sekali suaminya menggandeng wanita dan seorang anak kecil. Anak kecil yang tempo lalu mendaftar sebagai siswa baru, namun langsung hilang seperti disengaja.

"Apakah saya sedang bermimpi? Katakan, Jaka. Katakan kalau ini hanya mimpi," lirih Sabrina. Suaranya terdengar bergetar. Jangankan untuk menghampiri suaminya atau pun membuat perhitungan, keluar dari mobil saja kini sudah tak mampu Sabrina lakukan. Lututnya bergetar lesu sementara tubuhnya terasa remuk tanpa tulang.

"Sabar, Sabi. Tenanglah. Saya yakin, kamu wanita kuat. Kamu harus kuat. Menangislah jika itu bisa membuat perasaan kamu lebih tenang, karena itu adalah hal yang wajar," tutur Jaka yang berusaha menguatkan sahabatnya. Ia mengangkat sebelah tangan berniat mengusap bahu Sabrina, akan tetapi diurungkannya kembali. Jaka sadar, kalau Sabrina adalah wanita bersuami.

Sabrina tak bisa membalas penuturan Jaka. Ia hanya bisa menangis tersedu-sedu. Ia sadar, ia hanyalah wanita lemah yang hanya bisa menangis saat perasaannya telah terluka.

Belasan menit Sabrina terseguk-seguk dalam tangisannya, dia kemudian mengeringkan air matanya. Menghapus pipinya yang basah lalu mengatur napas yang terasa sesak.

"Jangan biarkan kamu tersingkir tanpa mendapatkan hak kamu. Ingat, Sabi. Bukankah mobil yang dibawa Hasbi adalah hasil jerih payah kamu?" Jaka berusaha menyadarkan Sabrina tentang kemungkinan terburuk. Pria itu sudah tahu tentang cerita sehari-hari Sabrina, termasuk mobil itu dan semua aset milik Sabrina.

Sabrina mengangguk pelan. "Iya, Jak. Kamu benar. Saya tak akan membiarkan Mas Hasbi mengambil harta yang telah saya tabung sendiri."

Sabrina bahkan ingat betul, sudah beberapa bulan ia tak menerima haknya sebagai istri yakni nafkah pinansial dari suaminya. Hasbi selalu beralasan kalau gaji bulanannya selalu dikirim pada ibunya yang tengah sakit.

"Kita akhiri pengintaian hari ini ya. Kumpulkan semua aset pribadi kamu, jangan sampai Hasbi mengambilnya. Jangan biarkan wanita lain menikmati hasil keringat yang telah kamu keluarkan," kata Jaka yang dibalas anggukan kepala oleh Sabrina.

"Tunggu sebentar, saya akan menelepon Mas Hasbi." Sabrina merogoh tas selempang. Ia mengambil ponsel pintar yang ada di dalamnya. Sepertinya ada ideu.

"Untuk apa?" Jaka tampak cemas.

"Untuk membiarkan Mas Hasbi tahu, bahwa dia bermain dengan wanita yang salah. Jika dia main cantik berselingkuh selama bertahun-tahun, maka akan saya balas dengan main cantik pula."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status