Sabrina melemah. Wanita itu merasa tak bisa bernapas seolah tak ada oksigen yang bisa dihirupnya. Bulir bening yang sedari tadi ia tahan seketika luruh di pipi. Tak bisa dipercaya, suami yang selama ini dianggap setia nyatanya berdusta.
"Loh, Mba Sabrina. Kenapa menangis?" RT Yahya tercengang melihat tamunya tiba-tiba menangis.Jaka menoleh ke arah Sabrina. Ia tak bisa menjelaskan."Maaf, Pak. Saya kelilipan," jawab Sabrina dengan suara lirih. Ia segera menghapus air mata yang tak bisa diajak kompromi."Oh iya, Pak. Kalau boleh tahu, dimana ya rumah Bu Miranda dan Pak Hasbi? Kami belum sempat memberikan kado pernikahan untuk mereka," tanya Jaka dengan alasannya lagi."Kado pernikahan? Memang kalian siapanya?" RT Yahya menatap kedua tamunya nanar."Kami sahabatnya, sekedar ingih mampir dan mengucapkan selamat saja." Wajah Jaka sungguh meyakinkan."Bu Miranda dan Pak Hasbi sudah lama menikah. Sudah 7 tahun lebih, masa baru memberikan kado selamat hari ini," pria yang memiliki jabatan RT itu mengkerutkan dahi."Oh i-iya, Pak. Karena kami saudara jauh. Mungkin pernikahan siri yang membuat mereka tak memberi kabar pada kami." Jaka masih mengelak. Dia tetap berusaha membongkar rahasia dibalik kesedihan sahabatnya, Sabrina.RT Yahya sepertinya percaya dengan alasan, Jaka. Dia menunjukan pada Jaka dan Sabrina pada sebuah rumah yang jaraknya tak terlalu jauh dari rumah RT Yahya. Mungkin sekitar tiga ratus meter saja."Terima kasih banyak ya, Pak," ucap Jaka dan Sabrina. Pria paruh baya itu langsung pergi meninggalkan kedua tamunya setelah tugasnya selesai.Sementara Jaka dan Sabrina kini telah berdiri di depan rumah minimalis modern berwarna putih. Di depannya banyak sekali tanaman bunga bias berwarna-warni. Rumahnya terlihat sepi. Jam di dinding baru saja menunjukan pukul sepuluh siang."Kita masuk lagi ke dalam mobil ya. Kita tunggu sampai pemilik rumahnya keluar terlebih dahulu," saran Jaka. Sabrina yang lemah, mengangguk saja karena dia belum mampu berbicara.Jaka dan Sabrina kembali ke mobil. Mereka akan menunggu sang pemilik rumah yang dituju keluar.Sepuluh menit berlalu, Sabrina merasa tidak sabar. "Kita keluar saja, Jak. Kita ketuk pintunya sekarang," pintanya. Hati Sabrina sudah memanas ingin segera marah dan meluapkan emosinya. Sebelah tangannya sudah menarik handle pintu mobil, bersiap keluar."Tunggu dulu! Jangan gegabah!" Jaka menahannya."Kenapa? Saya sudah tidak sabar ingin segera membuka semua kebusukan Mas Hasbi. Dia pendusta, pengkhianat! Dia harus merasakan betapa hati ini telah hancur dan sakit sekali rasanya," ungkap Sabrina bernada emosi. Air mata itu kembali membasahi pipinya. Rasa sakitnya tak bisa ditahan. Inginnya berteriak sekencang-kencangnya, akan tetapi suaranya tersengal di tenggorokan."Jangan sekarang, kamu belum punya bukti. Laki-laki selalu mampu mengelak tuduhan tanpa bukti." Jaka masih menahan langkah Sabrina yang dinilainya gegabah. Ia hanya ingin masalah sabrina selesai dengan baik-baik.Wanita yang sudah sepuluh tahun dinikahi Hasbi itu nampak mematung dalam beberapa detik, mengurungkan niatnya yang berambisi. Sabrina menarik napas cukup dalam lalu menghembuskannya dengan perlahan."Lalu, apa yang harus saya lakukan?" tanya Sabrina seraya menurunkan tatapannya. Ia tak tahu harus berbuat apa. Diusapnya kening yang terasa pusing."Kita kumpulkan bukti. Kita berdua tahu, Hasbi bukanlah orang biasa."Perkataan Jaka ada benarnya. Sabrina paham. Hasbi adalah seorang Brimob. Lelaki itu mampu mengelak apalagi dengan tuduhan tanpa bukti.Beberapa saat kemudian nampak sebuah kendaraan roda empat berwarna hitam nampak memasuki pekarangan rumah itu. Sabrina dan Jaka terkejut. Mobil itu adalah kendaraan yang dibeli hasil dari kerja keras Sabrina.Wanita itu mengepalkan tangan saat seseorang yang dikenal keluar dari mobil itu, Hasbi dengan seorang wanita yang memegang tangan anak laki-laki.Sabrina membulatkan kedua bola matanya. Pria di depan matanya benar-benar Hasbi, sementara wanita dan anak laki-laki itu nampak tak asing dalam pandangannya.Terlihat keluarga kecil yang bahagia tertawa riang. Sabrina menutup mulutnya. Air matanya kembali merembes keluar. Jelas sekali suaminya menggandeng wanita dan seorang anak kecil. Anak kecil yang tempo lalu mendaftar sebagai siswa baru, namun langsung hilang seperti disengaja."Apakah saya sedang bermimpi? Katakan, Jaka. Katakan kalau ini hanya mimpi," lirih Sabrina. Suaranya terdengar bergetar. Jangankan untuk menghampiri suaminya atau pun membuat perhitungan, keluar dari mobil saja kini sudah tak mampu Sabrina lakukan. Lututnya bergetar lesu sementara tubuhnya terasa remuk tanpa tulang."Sabar, Sabi. Tenanglah. Saya yakin, kamu wanita kuat. Kamu harus kuat. Menangislah jika itu bisa membuat perasaan kamu lebih tenang, karena itu adalah hal yang wajar," tutur Jaka yang berusaha menguatkan sahabatnya. Ia mengangkat sebelah tangan berniat mengusap bahu Sabrina, akan tetapi diurungkannya kembali. Jaka sadar, kalau Sabrina adalah wanita bersuami.Sabrina tak bisa membalas penuturan Jaka. Ia hanya bisa menangis tersedu-sedu. Ia sadar, ia hanyalah wanita lemah yang hanya bisa menangis saat perasaannya telah terluka.Belasan menit Sabrina terseguk-seguk dalam tangisannya, dia kemudian mengeringkan air matanya. Menghapus pipinya yang basah lalu mengatur napas yang terasa sesak."Jangan biarkan kamu tersingkir tanpa mendapatkan hak kamu. Ingat, Sabi. Bukankah mobil yang dibawa Hasbi adalah hasil jerih payah kamu?" Jaka berusaha menyadarkan Sabrina tentang kemungkinan terburuk. Pria itu sudah tahu tentang cerita sehari-hari Sabrina, termasuk mobil itu dan semua aset milik Sabrina.Sabrina mengangguk pelan. "Iya, Jak. Kamu benar. Saya tak akan membiarkan Mas Hasbi mengambil harta yang telah saya tabung sendiri."Sabrina bahkan ingat betul, sudah beberapa bulan ia tak menerima haknya sebagai istri yakni nafkah pinansial dari suaminya. Hasbi selalu beralasan kalau gaji bulanannya selalu dikirim pada ibunya yang tengah sakit."Kita akhiri pengintaian hari ini ya. Kumpulkan semua aset pribadi kamu, jangan sampai Hasbi mengambilnya. Jangan biarkan wanita lain menikmati hasil keringat yang telah kamu keluarkan," kata Jaka yang dibalas anggukan kepala oleh Sabrina."Tunggu sebentar, saya akan menelepon Mas Hasbi." Sabrina merogoh tas selempang. Ia mengambil ponsel pintar yang ada di dalamnya. Sepertinya ada ideu."Untuk apa?" Jaka tampak cemas."Untuk membiarkan Mas Hasbi tahu, bahwa dia bermain dengan wanita yang salah. Jika dia main cantik berselingkuh selama bertahun-tahun, maka akan saya balas dengan main cantik pula.""Apa yang akan kamu lakukan, Sabi?" Jaka memperbaiki posisi duduknya lebih memiring menghadap Sabrina."Saya akan buat dia kelimpungan," jawab Sabrina. Ia segera menekan kontak bernama 'suamiku' pada layar ponselnya. Berdering dan tak lama langsung dijawab."Halo, Sabi. Ada apa?" Suara Hasbi terdengar ketus begitu benda pipih itu Sabrina tempelkan pada telinganya."Halo, Mas. Kamu dimana?" Sabrina berbalik tanya sekedar basa-basi. Ia hanya ingin tahu jawaban apa yang akan dikatakan suaminya."Bukankah sudah aku katakan kalau aku sedang bertugas." Jawabannya jelas sekali bohong."Bisakah kamu pulang, Mas? Ini kan hari minggu," sindir Sabrina. Ia sesekali melirik ke arah Jaka yang tengah mendengarkan percakapannya."Hari minggu pun aku tetap bertugas, Sabi. Aku tak bisa pulang, memangnya ada apa?" Suara tegas Hasbi kembali beralasan. Lagi-lagi pria itu berbohong."Mas, perutku sakit sekali terasa ditusuk-tusuk. Aku tak dapat bangun dari tempat tidur, aku mohon pulanglah. Bawa aku ke rum
Setelah melakukan kesepakatan dengan Miranda, Sabrina dan Jaka memilih pulang. Namun di tengah perjalanan, Sabrina memilih turun dari kendaraan Jaka dan pulang ke rumah dengan menggunakan taksi online. Ia tak mau kalau Hasbi sampai curiga."Kamu dari mana saja? Beraninya kamu membohongi saya?!" Kedatangan Sabrina di rumah disambut dengan sentakan pertanyaan dari Hasbi. Pria itu sudah berdiri di depan rumah saat Sabrina keluar dari taksi online. Tatapannya nanar penuh selidik membuat Sabrina harus pandai beralasan."Kamu pikir aku dari mana, Mas? Menunggu kedatangan kamu yang berpuluh-puluh menit hanya akan membuat penyakitku kian bertambah parah." Sabrina mengelak. Ia segera melanjutkan langkah kemudian masuk ke dalam rumah melewati tubuh Hasbi dengan acuh. Namun, pergelangan tangannya digenggam sang suami sehingga langkahnya terhenti di ambang pintu."Alasan!" Satu kata yang keluar dari mulut Hasbi yang membuat Sabrina tak sudi membalasnya.Sabrina tetap melanjutkan langkahnya. Sesa
"Pinjaman PNS tak perlu menggunakan surat-surat itu, Sabi. Kamu pikir aku bodoh!" Hasbi tetap berkilah. Membuat Sabi kian penasaran saja."Memang iya. Tapi aku hanya butuh surat-surat penting itu untuk pemberkasan, Mas. Apa salahnya sih," gerutu Sabi. Wanita itu dibuat geram dengan sikap Hasbi."Aku hanya pinjam, Mas. Lagi pula itu surat-surat yang seharusnya disimpan seorang istri," sambungnya menekan.Namun, Hasbi masih saja diam mematung. Ia nampak kesulitan untuk menjawab."Mana, Mas? Aku akan ajukan pinjaman seratus juta untuk Mama kamu. Itu pun kalau surat yang aku minta sudah ada di depan mata." Sabrina kembali menekan.Hasbi masih saja membeku. Dia kebingungan karena surat itu tak ada padanya. Akhirnya Sabrina memilih meninggalkan."Tunggu, Sabi!" Hasbi menahan langkah Sabrina."Akhirnya kamu bersuara juga." Sabrina kembali duduk di dekat Hasbi."Maaf, Sabi. Surat-surat itu tak ada padaku." Hasbi menundukan kepala."Apa maksudnya?" Dahi Sabi mengkerut tak paham."Surat rumah t
"Perkenalkan, saya adalah Sabrina Mecca—istri sah dari Hasbi Adhitama."Bola mata Miranda membulat sempurna seakan hendak loncat dari sarangnya. Sama halnya dengan Hasbi."Apa-apaan ini, Bu Sabi? Saya tidak suka dengan lelucon macam ini." Miranda menggelengkan kepala.Sementara Hasbi menundukan kepala. Ada emosi yang tengah ditahannya."Loh, ini bukan lelucon kok. Saya memang istri sah Mas Hasbi. Kami sudah sepuluh tahun menikah. Namun sepertinya Mas Hasbi tak terlalu kuat dengan ujian yang menerpa pernikahan kami," tekan Sabrina mengulum senyum miring. Ia terlihat kuat, tapi sebenarnya tidak."Mas Hasbi, apa benar?" Miranda menatap nanar suaminya."Mungkin suami anda malu mengakuinya, Miranda. Ops, sory. Maksud saya suami saya, karena anda hanya istri simpanan yang tak dianggap," cibir Sabrina."Cukup, Sabi! Apa-apaan kamu ini. Kamu sudah merencanakan semuanya? Kamu menjebakku! Kamu berani melawanku?!" sergah Hasbi seraya menghentakan kepalan tangannya di atas meja.Sabrina menggeleng
Nampaknya Hasbi tak akan terima kalau sampai Miranda pergi dari kehidupannya. Dia segera meraih tangan sang istri muda, saat wanita itu hendak pergi."Jangan, Mira. Aku mohon. Kita kembali ke tempat duduk. Kita harus bicara," bujuknya dengan sungguh-sungguh.Miranda yang tengah dibakar api kecewa, nyatanya tetap menuruti perintah Hasbi. Dia mengangguk memberi kesempatan pada sang suami untuk bicara. Akhirnya mereka berdua kembali duduk di tempat semula."Jelaskan sekarang, Mas. Mengapa kamu tega membohongiku," tekan Miranda. Dia menyilangkan kedua tangan di depan dada sementara wajahnya begitu nanar kepada sang suami."Oke, aku akan bicara jujur dan kamu harus percaya sebab aku melakukan ini hanya demi, Aksa," jawab Hasbi."Apa hubungannya dengan anak kita?" Miranda mengernyitkan dahi."Mira, aku sudah lama ingin meninggalkan Sabrina. Wanita itu tidak mampu memberikan aku keturunan. Sebagai laki-laki, aku pun ingin memiliki anak dari darah dagingku. Tapi Sabrina tidak bisa. Aku sudah t
"Tega sekali Mama bicara seperti itu," lirih Sabrina. Bulir bening tak bisa lagi dibendung sampai akhirnya harus menetes di pipi mulus Sabrina. Bibirnya bergetar, menahan rasa sakit di dalam dadanya.Sementara Hasbi, dia tampak membatu saat mamanya menghina Sabrina."Mama bicara apa adanya, Sabi. Wajar kan kalau Hasbi ingin memiliki anak di saat kamu tak mampu memberikannya. Jangan egois, Sabi." Wanita paruh baya itu seperti tak memikirkan perasaan Sabrina. Air mata yang tumpah di pipi cantiknya, tak membuat Hasbi membuka mulut untuk sekedar membela sang istri."Miranda bahkan rela menjual perhiasannya demi membantu Mama, lalu bagaimana dengan kamu, Sabi? Kamu terlihat tak sudi direpotkan."Bak petir menyambar tubuh, ucapan mertua Sabrina terasa meremukan tubuh Sabrina sampai ke tulang-tulang."Cukup, Ma! Jangan pernah banding-bandingkan aku dengan wanita yang baru saja Mama kenal!" tukas Sabrina. Dihapusnya air mata yang seharusnya tak boleh keluar."Kalau Mama lebih menerima pelako
Sambungan telepon itu langsung diakhiri Jaka begitu suara bariton milik Hasbi terdengar."Mengapa jadi Hasbi yang menjawab telepon?" Jaka bertanya-tanya. Dia kini tengah berada di ruang kantornya. Memijat pelipis karena khawatir suami Sabrina jadi salah paham.Semalam, Jaka mengantarkan Sabrina ke rumahnya tanpa ada Hasbi. Dia tak tahu kalau panggilan teleponnya akan dijawab oleh Hasbi. Padahal saat ini Jaka sudah selesai mengumpulkan semua berkas yang dipinta Sabrina. Termasuk berkas penting milik Hasbi yang juga diamankan padanya.Satu jam kemudian pintu ruangan Jaka terdengar diketuk seseorang dari luar."Permisi, Pak. Ada tamu yang ingin bertemu." Sekestaris melapor pada Jaka usai membuka pintu."Siapa?" tanya Jaka biasa saja."Atas nama, Hasbi Adhitama," jawab wanita berambut pendek itu.Sedikit terkejut. Dia langsung mengamankan berkas milik Sabrina. "Bawa ke ruangan saya," titahnya pada sekertaris."Baik, Pak." Wanita itu keluar lagi. Sementara Jaka langsung sibuk memastikan ka
"Sudah, Ma. Sudah. Mama ke sini sama siapa?" Jaka mengalihkan perhatian."Diantar supir," jawab mamanya Jaka masih dengan senyuman yang terukir di bibirnya."Oh baguslah. Aku pamit, Ma. Aku mau antar Sabrina pulang ya." Jaka menarik pelan tangan Sabrina."Tante, saya pamit.""Iya, Sabi. Hati-hati di jalan. Tante tunggu di rumah nanti." Wanita paruh baya itu masih saja melebarkan senyuman. Terlihat bahagia. Pasalnya, Jaka sering sekali bercerita tentang Sabrina padanya.Kini Sabrina dan Jaka telah berada di lobi. Wajah Jaka memerah karena tak enak dengan sikap mamanya yang so akrab, padahal baru pertama bertemu dengan Sabrina."Jak, sepertinya aku akan pesan taksi online saja ya," ucap Sabrina."Oke. Maaf ya kalau tak bisa antar sampai ke rumah kamu," balas Jaka. "Mm-aku mau minta maaf atas sikap mamaku yang so akrab sama kamu," imbuhnya seraya menggaruk pundak yang tak gatal."Tidak apa-apa, Jak. Aku malah senang sama Mama kamu yang ramah. Mengingatkan pada ibuku di rumah." Sabrina ke