Share

Bab 7-Isi Hati Pelakor

Aku mengikuti dorongan Mas Adam untuk melepas pelukanku. Perlahan ku angkat kepalaku dan bertanya dengan bibir yang bergetar. "K-kenapa, Mas? Mas nggak mau maafin aku?" Ujung mataku sudah memanas. Riak air sudah ingin turun. Ditambah raut wajah Mas Adam yang datar. Sulit ku tebak.

"Kamu minta maaf terus. Tapi nol aksi. Besok-besok kamu lakuin hal yang sama lagi," kata Mas Adam datar tanpa ekspresi.

Aku menggelengkan kepala dengan kuat. "Nggak, Mas. Aku janji kali ini nggak akan ngulangin hal yang sama lagi. Aku janji akan menghargai setiap keputusan yang Mas Adam buat." Aku mengatakan itu dengan terisak. Aku sangat mencintainya. Setiap kali kami memiliki masalah, selalu aku yang menangis tersedu-sedu. Tangisanku itu adalah ketakutanku kehilangan Mas Adam. Meski aku tahu, Mas Adam tidak akan kemana-mana. Ia tidak akan meninggalkanku. Kami sudah berjanji dari tujuh tahun yang lalu, bahwa kami akan terus melanggengkan pernikahan ini sampai maut yang memisahkan. Bagaimanapun cobaan yang menghadang rumah tangga kami.

Mas Adam terdiam. Pandangannya lurus kedepan. Netranya sama sekali tidak menatap ke arahku. Ia melangkahkan kakinya begitu saja dan membuka pintu, kemudian masuk ke dalam kamar. Aku masih mengikutinya, alias masih mencoba untuk merayunya agar mau memaafkanku.

"Mas, lagi pula aku nggak jadi mecat Nira. Dia masih kerja disini sebagai Babysitternya Cleo. Tapi Mas masih aja marah sama aku," ujarku. Aku menghalangi setiap langkah kaki Mas Adam. Ketika ia ingin masuk ke dalam kamar mandi, kemudian badannya berbalik arah lagi untuk duduk diatas ranjang karena aku menghalanginya.

Aku ikut duduk disebelahnya. "Mas, maafin aku. Aku emang bukan istri yang sempurna buat kamu. Aku ngaku salah dan banyak kekurangan. Tapi, kasih aku kesempatan untuk memperbaikinya, Mas."

Air mataku menetes secara perlahan. Mas Adam sekilas memandang ke arahku. Tampaknya emosinya sudah mereda dan amarahnya sudah bisa terkendali. Sebab, suara Mas Adam tidak meninggi seperti tadi lagi. Ia sudah dapat berbicara baik-baik denganku.

"Oke. Aku kasih kesempatan kamu untuk berubah. Jangan egois, Dek. Belajar untuk mendengarkan dan menghargai keputusan orang," kata Mas Adam menasihatiku baik-baik.

Aku menganggukkan kepala dengan senang. Ku seka air mata yang sudah membasahi pipiku. "Terimakasih, Mas. I love you."

Mas Adam tersenyum dan membalas ucapanku. "Too."

Aku memeluknya dengan erat. Bersyukur karena akhirnya Mas Adam memaafkanku. Suamiku itu pun membalas pelukanku dengan erat juga. Ia mengelus-ngelus punggungku dan kemudian berbisik ditelingaku dengan suara manjanya. "Hari ini Mas lagi pengen."

Ku cubit pelan dengan spontan pinggangnya. Mas Mas Adam menjerit kecil. "Awww. Apa sih sayang?"

Aku tersenyum malu. "Mas ini ada-ada aja. Ini masih pagi tau. Sebentar lagi aku juga mau otw ke kantor."

Mas Adam memasang wajah kecewanya seperti seorang anak kecil yang permintaannya tidak diturutin. "Hm, ayolah, Sayang. Katanya janji untuk dengerin Mas dan nurut."

Mas Adan berdalih seperti itu agar aku bersedia mengiyakan permintaannya. Padahal, ini masih pagi sekali dan akupun sudah rapi mengenakan outfit untuk ngantor. Tapi suamiku itu sudah ingin bercinta denganku.

Aku mengangguk malu. "Baiklah, Sayang." Aku tidak bisa menolaknya, karena baru saja Mas Adam memaafkanku.

Mas Adam tersenyum sumringah. Ia langsung menggendongku secara tiba-tiba dan membawaku ke atas ranjang. Aku berteriak kegirangan.

Entah hanya aku saja yang merasakan atau para ibu-ibu disana juga, tapi setiap kali aku bertengkar dengan Mas Adam, akhir dari penyelesaiannya adalah bercinta diatas ranjang. Tidak pandang waktu, jika urusan memberi jatah pada suami wajib dilakukan setelah perdebatan panjang selesai.

"Aaaa, kamu ini, Mas!" Kedua pipiku memerah seperti kepiting rebus. Pertanda aku sedang malu saat ini.

"Sstt! Suaranya jangan kencang-kencang, nanti kedengaran keluar." Mas Adam mengingatkanku sembari menempelkan jari telunjuknya ke bibirku.

Aku membekap mulutku. Berusaha agar suaraku tidak kedengaran kemana-mana. Sebab, aku sedang menahan geli dan rasa sakit yang dipenuhi kenikmatan. Suamiku sedang memasukkan jari tangannya ke area kewanitaanku. Aku mengerang kesakitan. Tapi terus meminta Mas Adam melakukannya. Sial, aku ketagihan. Padahal ini masih pemanasan.

"Enak?" tanya Mas Adam sambil menatapku dengan tatapan yang menantang. Apalagi wajah genit dan suara desahan lembutnya, semakin membuatku ingin cepat-cepat klimaks.

Aku tidak berdaya rasanya menjawab pertanyaan suamiku. Hanya anggukan kepala yang mengisyaratkan kenikmatan tersebut.

Tahukan apa yang terjadi setelah ini? Tentu kami melakukan permainan intinya. Kami berdua tenggelam didalam kenikmatan duniawi yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

***

Pelakor's POV

"Bangs*t! Setelah bermain denganku, bisa-bisanya dia main sama istrinya!" gerutuku kesal ketika melihat dua sejoli sedang bermain panas diatas ranjang.

Dari balik tirai jendela luar kamar mereka, aku menyaksikannya sendiri dengan mata dan kepalaku. Mas Adam tampak bergairah. Padahal tadi malam ia mengatakan bahwa ia tidak nafsu lagi dengan istrinya. Ia merasa bosan. Tapi apa yang dilakukannya hari ini? Ia seperti binatang buas yang menjamah setiap daging mangsanya. Mas Adam berbohong padaku!

Lihat saja, setelah ini aku tidak akan tinggal diam, Mas. Aku akan terus menyelundup masuk ke dalam rumah tanggamu dan mengambil hatimu hanya utuh milikku saja. Kamu telah berjanji padaku untuk setia dan memperjuangkan hubungan gelap kita. Sebab, aku sudah memberikan keperawananku kepadamu. Jatah selangkangan untukmu, tentu aku yang lebih lihai daripada istrimu. Karena aku yang masih belia!

"Tunggu pembalasanku!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status