Aku memandang Tere sebelum menjawab pertanyaan yang baru saja ia bisikkan kepadaku. "K-kenapa, Re?" Aku balik bertanya dengan kening yang berkenyit.
Tere berdehem. Ia memandang ke arah putraku lebih dulu. "Cleo, tunggu di kolam renang ya. Nanti miss menyusul." Tampaknya Tere sengaja memberi perintah Cleo untuk pergi dari hadapan kami. Gadis itu seperti ingin mengatakan sesuatu padaku.Si bungsuku itu mengerti dengan perintah Tere. Cleo diikuti Nira berjalan ke arah taman belakang.Setelah memastikan keduanya hilang dari pandangan kami, Tere menghadap ke arahku lagi. "Pakaiannya begitu, Kak. Nggak masalah?" tanya Tere mempertanyakan pakaian seksi yang dikenakan Nira.Aku tersenyum agak ragu. "Iya. Kakak udah tegur dia kok. Besok dia nggak akan pakai baju kayak gitu lagi.""Gimana sama Mas Adam, Kak?" tanya Tere tiba-tiba."M-maksudnya?" Aku mengernyitkan dahi. Belum mengerti dengan maksud pertanyaan Tere."Maksudku, apa Mas Adam nggak masalah sama Babysitter baru Cleo? Nggak risih ngeliat bajunya begitu? Ketat banget. Lekukan badannya keliatan." Tere memperjelas pertanyaannya."Ah, nggak kok. Justru Mas Adam yang menerimanya bekerja disini. Kakak kan lagi dikantor kemarin. Tiba-tiba Nira udah kerja disini aja," jawabku kembali menjelaskan kepada adik kandung sahabatku ini."Oh begitu ya, Kak?"Aku mengangguk.Disela-sela obrolan kami, terdengar suara orang yang mengucapkan salam."Assalammualaikum.""Waalaikumsalam," jawabku dan Tere secara bersamaan."Eh, udah siap nganter Xabi, Mas?" tanyaku basa-basi. Aku tahu Mas Adam masih marah padaku karena perdebatan kami tadi. Tapi karena ada Tere, Mas Adam bisa terlihat biasa saja didepanku. Suamiku itu tahu bagaimana bersikap dengan istrinya didepan tamu. Tidak akan membawa-bawa urusan pribadinya."Udah," jawab Mas Adam singkat."Hei, Mas." Tere menyapa suamiku."Hei, Tere. Sama siapa kesini?" tanya Mas Adam."Sendiri, Mas. Mau ngajar les renang Cleo," kata Tere memberitahu tujuan kedatangannya ke rumah."Oh iya. Udah jadwalnya ya?" Mas Adam balik bertanya untuk memastikan.Tere mengangguk. "Iya, Mas."Setelah itu ia mengangkat tasnya dan pamit untuk menyusul Cleo yang sudah menunggu dikolam renang. "Aku pamit dulu ya Mas, Kak untuk ngajarin Cleo.""Oh iya." Aku dan Mas Adam menjawab secara kompak.Setelah Tere tidak lagi bersama kami, Mas Adam kembali cuek kepadaku. Ia melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam kamar. Aku tentu tidak tinggal diam. Aku berdiri dan menyusul Mas Adam."Mas!" sapaku seraya melangkahkan kaki mengikutinya dari belakang.Tidak ada jawaban dari Mas Adam. Jangankan menyahut, menoleh ke arahku saja tidak. Mas Adam memang benar-benar marah padaku."Mas, maafin aku," ucapku masih sambil berjalan mencoba untuk menyusul suamiku itu.Permintaan maafku pun tidak digubrisnya. Mas Adam sampai didepan pintu kamar. Dengan cepat aku langsung mencegahnya untuk membuka pintu. Ku halangi pintu tersebut dengan tubuhku dan menghadap ke arah Mas Adam."Mas, maafin aku," lirihku pelan. Mas Adam akhirnya menatapku. Namun, tatapanya itu masih dingin."I am so sorry, Sayang. Aku nggak akan mengulanginya lagi. Aku berjanji nurut terus sama kamu, karna kamu sebagai kepala keluarga dirumah ini, Mas." Aku mencoba meminta maaf lagi kepada Mas Adam."Dari kemarin kamu gini terus sama aku. Setiap apapun yang aku lakukan, kamu selalu membantahnya. Apa karna kamu yang mencari nafkah dikeluarga kita? Sementara aku nggak. Jadi itu yang buat kamu bisa semena-mena sama aku?" Kedua mata Mas Adam tampak memerah. Ia meluapkan kekesalannya kepadaku.Aku hanya bisa terdiam. Ku telan air ludahku sendiri karena menahan takut mendengar suara Mas Adam yang meninggi.Aku pun hanya bisa terdiam juga. Kata-kata Mas Adam tadi mengingatkanku dengan keputusan-keputusan Mas Adam yang aku tidak setujui. Semisal, ketika Mas Adam ingin membeli mobil baru lagi untuk keluarga. Aku melarangnya. Sebab, aku adalah tipe orang yang super hemat. Menurutku, jika barang lama masih ada dan bisa dipakai, tidak perlu lagi membeli barang baru. Lebih baik uangnya ditabung saja untuk masa depan anak-anak. Mas Adam pun menuruti apa yang aku katakan.Tidak hanya itu, ketika suamiku itu memutuskan ingin membawa adik kandungnya untuk tinggal dirumahku bersama suaminya yang juga belum mendapat pekerjaan, aku pun melarangnya dengan alasan baik. Aku menolak adik iparku untuk tinggal bersama kami, namun suaminya ku beri pekerjaan sebagai supir pribadi distributor usahaku. Dan ku berikan juga mereka sepetak rumah kontrakan untuk sementara. Aku tahu rasanya tinggal seatap dengan ipar bukanlah pilihan yang tepat untuk dimasa yang akan datang. Tidak sependapat dan rasa segan yang meninggi bisa menimbulkan kesalahpahamam. Sebab, aku sudah merasakannya dulu. Jauh sebelum kedua putraku lahir.Dan banyak keputusan Mas Adam lainnya yang tidak bisa ku terima. Tapi ku pikir, aku memiliki alasan baik untuk menolak itu semua. Hanya saja, tanpa kusadari ternyata suamiku tersinggung dengan penolakan-penolakanku itu."M-maaf, Mas." Hanya itu yang bisa kuucapkan sekarang.Mas Adam mengusap wajahnya sambil mengucapkan istighfar berulang kali. Aku tahu saat ini suamiku itu tengah lepas kendali, dan ia masih berusaha untuk meredakan amarahnya sendiri.Aku tidak bisa melihat Mas Adam marah kepadaku. Apalagi, kesalahanku baru ku sadari saat ini. Langsung saja tanpa pikir panjang, aku memeluk Mas Adam dengan erat. Ku tumpahkan air mata didada bidangnya. Merasa sedih, karena aku merasa menjadi istri yang tidak bisa menghargai keputusan suami. Aku pun kecewa dengan diriku sendiri."Hikss! Mas, maafin aku. Apa yang kamu pikirkan tadi tentang aku nggak bener. Tetep Mas Adam yang jadi kepala keluarga dan pemimpin dirumah ini. Bukan aku, Mas. Aku nyesel," ucapku seraya menangis.Tangan Mas Adam mencengkram kedua bahuku dan berusaha untuk mendorong badanku agar terlepas dari pelukannya."Sampai tadi pagi pun aku tahu bahwa keadaan Ibu masih belum stabil. Itu makanya saya masih belum berani bilang ke ibu. Saya takut kalau keadaan Ibu semakin memburuk," kata Nira lagi. Dia memberi tahu alasannya padaku mengapa ia tidak memberitahuku bahwa Xabiru mengigau serius."Oh ya sudah enggak apa-apa, Nira. Saya minta tolong ya sama kamu. Tolong panggilkan dokter pribadi untuk memeriksa Xabiru. Okay? Tunggu saya pulang. Sebentar lagi ya saya akan pulang." Begitu kataku kepada Nira. "Baik. Siap laksanakan," ucapnya.Aku mengakhiri telepon. Ternyata Birana sudah berdiri dibelakangku. Wajahnya terlihat sedih melihat air di kedua sudut mataku sudah turun. "Ra, aku gagal jadi ibu. Aku nggak tahu kalau dia sakit," kataku pilu.Birana langsung mendekatiku dan memelukku. "It's okay. Nggak papa. Kamu bukan gagal jadi ibu. Cuman Tuhan kasih kamu waktu buat sendiri dulu untuk mewaraskan diri kamu yang lagi ditimpa masalah ini.***Tidak terasa waktu ku sudah habis 10 menit. Polisi memanggil
Aku dan Birana langsung saja menuju kantor Polisi. Sesampainya di sana, benar saja mas Adam sudah duduk di depan polisi untuk dimintai keterangan."Ibu Ghida, silakan duduk disebelah Bapak Adam," kata polisi tersebut. Kemudian ia melanjutkan kalimatnya lagi. "Kami sudah mencoba menghubungi bapak Ginanjar, namun beliau sedang ada kesibukan lain. Jadi beliau menitipkan semuanya kepada ibu Ghinda."Aku membalasnya dengan anggukan kepala. "Oh iya pak terima kasih."Selama proses pemeriksaan, aku sama sekali tidak menoleh ke arah kananku tepatnya ke arah mas Adam. Aku hanya bisa mendengar suaranya."Jika Bapak tahu hasil pemeriksaan visum dari bapak Ginanjar dan juga Ibu Ghinda sama sekali tidak menunjukkan bahwa mereka sedang habis melakukan hubungan seksual. Maka dengan ini kami menyatakan bahwa pelaporan yang bapak buat kemarin adalah sebuah fitnah. Bapak telah menuduh tanpa bukti. Jadi kami akan mengenakan Bapak sanksi," ujar polisi tersebut kepada mas Adam.Mas Adam hanya terdiam tida
"Lho! Itu ya bukan urusan aku dong. Itu karena kamu udah jahat sama aku. Kamu udah merebut suamiku. Sekarang kamu yang harus menikmati hukuman itu. Hukuman langsung dari Tuhan untuk kamu," kataku dengan ketus.Sementara Tere terus menangis. Malah tangisannya kini semakin kencang. Ia terlihat seperti orang yang tidak waras lagi."Kak tolong maafkan aku. Aku bisa ngelakuin apa aja yang kakak suruh asalkan kakak bisa memaafkanku dan membersihkan nama baik ku di sekolah. Di tempat kerjaku," pintanya.Ia menambahkan kalimatnya lagi sebelum aku membalas ucapannya. "Aku nggak ada kerjaan lagi, Kak. Cuman itu satu-satunya harapanku. Mohon kak jangan seperti ini.""Kamu aneh ya! Apa yang bisa aku lakuin?" tanyaku dengan sewot. Aku sudah sangat risih."Kakak bisa datang ke sekolahan. Kemudian kakak temui kepala sekolah dan katakan bahwa kasus ini nggak benar. Tolong bersihkan nama baikku. Tolong, aku tidak ingin dicap buruk."Aku tertawa kencang. "Hahaha. Kok ada ya orang kayak kamu, Tere? Kamu
Aku dan Mas Ginan memasuki ruangan yang dimaksud oleh polisi wanita tersebut. Dua polisi pria juga mengawal kami.Setelah masuk ke dalam, seorang perempuan yang mengenakan jas putih mempersilakan kami untuk duduk tepat dihadapannya. Ia adalah seorang dokter yang telah memeriksa visum kami. "Bapak dan Ibu hasil visumnya bisa dibaca disini," katanya sembari memberikan beberapa lembar kertas kepada kami.Aku dan mas Ginan melihat secara bersamaan. "Bapak dan Ibu hasil visumnya aman. Tidak terjadi terjadi tanda-tanda telah melakukan hubungan seksual. Jadi kalian dinyatakan bebas tidak melakukan perzinahan," katanya.Aku dan mas Ginan bernafas lega. Akhirnya tuduhan perzinahan tidak terbukti."Kalau begitu saya minta dibuatkan surat laporan karena mas Adam yang masih berstatus suami saya sudah menuduh saya berbuat zina," kataku meminta kepada polisi pria yang sedang berdiri di sebelah kami."Apakah itu tidak masalah, Bu?" tanya salah satu dari polisi tersebut. Wajahnya tampak bingung. Kemu
Mataku tidak sengaja melihat ke arah luar. Dibalik pohon akasia yang letaknya tepat di pinggir jalan rumahku, aku melihat Mas Adam sedang berdiri di balik sana dan memerhatikan kami di dalam. Mata kami sempat bertemu beberapa detik. Tampak Mas Adam terkejut. Ia malah lari setelah itu."Oh itu dia! Malah kabur!" kataku bereaksi spontan sembari menunjuk ke arahnya yang sedang berlari.Mas Ginan dan ketiga polisi tersebut secara bersamaan menoleh ke arah yang aku tunjuk. Mereka juga sempat melihat Mas Adam berlari."Tuh lihat, Pak! Kalau memang benar kami berzinah, kenapa dia nggak ikut masuk ke sini? Malah dia yang melarikan diri," kataku ketus kepada ketiga polisi tersebut.Ketiga polisi tersebut terlihat bingung. Lalu salah satu diantaranya bersuara. "Maaf, Bu. Kami tidak tahu yang dilaporkan oleh beliau benar atau tidaknya. Tapi karena negara kita adalah negara hukum sebaiknya Bapak dan Ibu harus membuktikan bahwa kalian benar-benar tidak sedang berzina."Au tercengang. Bisa-bisanya
"Gila kamu ya!" kata mas Adam kepadaku. Wajahnya masih dipenuhi amarah. Tapi tiba-tiba tanpa berkata apapun mas Adam pergi begitu saja. Dia melangkahkan kaki untuk keluar gerbang rumahku. Mungkin dia takut dengan ancamanku yang akan melaporkannya ke polisi atas dugaan kekerasan karena sudah memukul Mas Ginan.Ku biarkan dia pergi begitu saja. Sementara aku langsung menolong Mas Ginan. Kulihat rahang pipi Mas Ginan merah dan pria itu tampak sedari tadi harus menahan sakit."Mas, ayo masuk dulu ke dalam rumah. Aku akan mengompresnya. Biar aku obati ya," kataku.Mas Ginan melambaikan tangannya. "Aku nggak apa-apa kok. Aku bisa sendiri nanti ngobatinnya di hotel. Bener deh." Begitu kata Mas Ginan dengan napas yang tersengal-sengal.Aku menggeleng. "Enggak, Mas. Aku harus tanggung jawab karena ini kesalahanku juga. Biar aku obatin ya, Mas. Tolong Mas mau terima sebagai permintaan maaf ku." Aku memaksa mas Ginan untuk mengobatinya di rumahku karena aku benar-benar merasa bersalah.Mas Ginan