Salsa tersentak ketika sebuah mobil melaju dengan kencang dan mencipratkan genangan air di jalan ke wajah dan tubuhnya. Perlahan kelopak mata wanita itu terbuka. Lalu meredup dan menyipit menghalau cahaya yang tiba-tiba menerpa wajahnya. Salsa melihat sekeliling, hampir pagi. Suasana masih gelap hanya satu atau dua mobil yang lewat. Itu pun tak menyadari keberadaan dirinya yang mengenaskan.
Salsa berusaha bangun, lalu duduk meski tubuhnya terasa sakit. Sesaat dia tertegun mendapati dirinya berada di atas trotoar. Sekelebat kejadian tadi malam menghantam benaknya dengan cepat, membuatnya refleks melihat pakaian yang dia kenakan robek tak terbentuk: nyaris memperlihatkan bagian atas tubuhnya.Perlahan Salsa bangkit, tapi baru beberapa langkah dia terhuyung dan hampir terjengkang jika saja tidak ada seorang wanita yang menupang tubuhnya. Wanita itu memapah tubuh Salsa dan membawanya duduk di halte bus yang ada di dekat mereka.Wanita paruh baya itu mengamati kondisi Salsa. Pakaian robek, luka lebam, dan darah kering di sudut bibir serta sorot mata kosong. Tanpa bertanya dia paham apa yang terjadi. Seketika rasa iba menjalari hati wanita itu. Dia memeluk Salsa hangat, seakan ingin mengatakan jika semua baik-baik saja."Nak, rumah kamu di mana?" tanya wanita itu setelah mengurai pelukannya.Salsa bergeming, mengatupkan bibirnya rapat. Dia tak peduli sekitar. Baginya mati lebih baik dari pada hidup ternoda.Wanita paruh baya itu menghela napas. Perlahan menggamit lengan Salsa, lalu menuntunnya berjalan. Dia berniat membawa wanita malang itu pulang ke rumah hingga nanti keadaannya lebih baik dan bisa berkomunikasi.*Arkan melempar ponsel ke atas meja kerjanya. Sejak kemarin dia berusaha menghubungi ponsel Salsa, tetapi nihil.Arkan menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi, menatap langit-langit kantornya nanar. Sejak memimpikan Salsa, hatinya gelisah dan terus memikirkan wanita itu. Dia menghilang begitu saja. Baru dua hari dan pria itu uring-uringan. Arkan tidak mengira kehilangan Salsa membuatnya gila. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika lebih lama tidak menemukannya.Arkan kembali meraih ponselnya. Membuka aplikasi galeri dan menatap foto Salsa. Di sana wajah wanita itu belepotan tepung. Rautnya terlihat begitu serius mengaduk sesuatu, sementara celemek berwarna merah hati membungkus tubuh mungilnya. Potret itu diambil candid oleh Arkan. Dia ingat saat itu Salsa bekerja keras membuat cheese cake untuknya. Wanita itu memang payah dalam urusan dapur. Salsa bahkan menangis karena kue yang dibuatnya asin. Dia tidak bisa membedakan antara gula dan garam. Akan tetapi, Arkan tetap memakannya. Sejak itu wanita penyuka teh itu semakin giat belajar memasak hingga dia benar-benar ahli.Tanpa sadar lengkung senyum terbit di bibir Arkan. Dia merindukan kemanjaan Salsa, kekonyolannya, spontanitas, dan kepolosannya. Dia baru menyadari ternyata hal-hal remeh yang dilakukan wanita tersebut begitu berharga. Tusukan rasa bersalah semakin menjadi di hati Arkan. Harusnya dia bisa lebih bijak. Mestinya sejak awal dia jujur tentang pernikahannya dengan Nadia dan harusnya saat ini dia bisa memiliki mereka berdua. Arkan hanya bisa menyesali semua yang telah terjadi dan berharap bisa bertemu Salsa lagi.*Nadia memberikan selembar amplop coklat ke tangan Arkan. Pria itu membuka dan mengeluarkan sehelai kertas. Dahinya berkerut membaca isi yang tertera di dalamnya."Apa ini?" tanya Arkan tidak senang.Nadia tersenyum tipis sambil mengamati kukunya yang baru saja dipoles kutek berwarna merah."Sayang, kamu bisa baca,'kan? Jadi tidak perlu bertanya," jawab Nadia manja.Rahang Arkan mengeras. Dia tahu kalau itu surat gugatan cerai. Yang dia pertanyakan kenapa Nadia mengurusnya tanpa memberitahu dirinya terlebih dahulu.Nadia melirik Arkan. Pria itu memijit pangkal hidungnya. Terlihat sang pria keberatan dengan langkah yang diambilnya dan itu membuat Nadia meradang."Kamu kenapa, sih, Sayang?" tanya Nadia ketus."Tidak apa-apa. Hanya saja ... maksudku, kenapa kamu repot ngurus surat gugatan ini?" tanya Arkan hati-hati."Aku cuma mau bantu kamu. 'Kan kamu udah talak dia, sekalian aja dilegalkan daripada nanti dia nuntut macem-macem," dengkus Nadia.Arkan menggeleng pelan. Rautnya berubah kelam. "Tapi tidak secepat ini, Sayang. Aku-""Jangan bilang kamu menyesal menceraikannya?" tuduh Nadia ketus. "Ingat, Mas. Kamu tidak punya kewajiban apa pun padanya. Kita saling mencintai dan sebentar lagi anak kita akan lahir. Aku mau status kita legal di mata hukum dan semua orang harus tahu bahwa akulah satu-satunya istri sah Arkan Nanyendra," tuntut Nadia tegas.Arkan hanya mendesah lelah. Nadia benar, Salsa bukan urusannya lagi. Wanita itu telah memilih jalannya sendiri. Dia terlalu egois dan percaya diri bisa bertahan tanpa sokongan darinya. Arkan tersenyum tipis. Dia yakin tidak berapa lama lagi Salsa akan kembali padanya.*Satu bulan kemudianSemua pelayan berbaris dan menunduk hormat ketika seorang pria melangkah dengan angkuh ke dalam rumah megah berlantai tiga. Membuka kacamata yang tersemat di hidungnya, lalu tersenyum sinis ketika seorang pria paruh baya tergopoh mendekatinya."Selamat datang Tuan muda Liam," sambut pria itu dengan senyum ramah.Pria itu hanya mengangguk. Pandangannya menyapu seluruh pelayan dan seluruh ruangan. Dahi berkerut karena tidak menemukan orang yang dicarinya."Darto, di mana Buk Halimah?" tanyanya pada pria paruh baya yang menyambutnya."Buk Halimah ada di belakang Tuan muda," jawab Darto menunduk ketika melihat raut Tuan mudanya mengeras."Apa yang lebih penting di belakang. Apa dia tidak tahu aku pulang?" ujar pria itu dengan raut kesal.Darto dan semua pelayan semakin menunduk ketakutan. Mereka hapal perangai sang tuan muda yang tidak suka diabaikan. Dengan langkah menghentak kesal pria itu berderap ke arah belakang.Di belakang rumah megah itu terdapat sebuah pavilliun yang ditumbuhi aneka jenis bunga mawar dan anggrek sehingga terlihat asri. Pria itu mengedarkan pandangan sekeliling pavilliun. Dia melihat Halimah tengah menyuapi seorang wanita yang hanya diam seperti patung. Dia mengernyitkan dahi, merasa tidak mengenal sosoknya.Perlahan dia berjalan mendekat. Sayup terdengar suara Halimah menasehati wanita itu."Ibu tidak tahu siapa namamu. Ibu juga tidak tahu apa yang sudah kamu alami hanya saja saat ini kamu sedang hamil dan janin ini tidak bersalah." ucap Halimah berusaha menasehati wanita itu.Halimah, wanita paruh baya yang menolong Salsa sebulan yang lalu terlihat telaten menyuapi wanita malang itu. Sejak ditemukan Halimah dan dibawa pulang, Salsa masih membungkam mulutnya. Wanita itu seperti mayat hidup. Sepanjang hari dia hanya melamun memandang keluar dari jendela. Sorot matanya kosong, tidak ada lagi kehidupan di sana. Meski begitu, Halimah pantang menyerah apalagi ketika dia tahu wanita itu tengah mengandung tiga bulan. Halimah yakin terjadi sesuatu yang menyebabkan dia trauma dan Halimah tidak ingin mendesak.*"Jadi, siapa dia sampai ibuk melupakan aku?!" tanya pria itu menatap sinis ke arah Salsa.Sontak Halimah menoleh, lalu tersenyum melihat sosok yang berdiri di depannya."Tuan muda Sagara?" Halimah berdiri dan memeluk pria itu hangat.Pria bernama Sagara Liam membalas pelukan Halimah. Dia rindu wanita ini. Halimah pengasuh Saga sejak bayi. Sagara Liam adalah pewaris tunggal Liam Grup. Perusahaannya bergerak di bidang properti, retail, pertambangan minyak, dan emas. Selain itu Liam Grup termasuk perusahaan besar dan disegani, bahkan cabangnya tersebar hingga ke luar negeri."Kapan Tuan muda pulang?" tanya Halimah dengan mata berkaca-kaca. Dia terharu bocah lelaki kurus yang dulu dilepasnya ke luar negeri kini berdiri gagah menjulang di depannya.Pipi Saga menggembung kesal. "Berapa kali kubilang, panggil Saga saja, Ibuk," rajuknya.Halimah tersenyum sambil mengusap pipi Saga. "Iya, maafkan Ibuk. Kamu sudah besar sekarang." sahut Halimah.Saga tersenyum, lalu tatapannya jatuh pada sosok Salsa yang juga tengah memandangnya. Sekilas dada Saga berdesir melihat sorot mata Salsa yang kosong, tapi di balik itu dia juga melihat kilat kebencian, entah untuk siapa dan membuat sang pria merinding."Kau yakin dia pelakunya?" Jake, teman Saga di kepolisian kembali bertanya untuk memastikan. "Kita tak bisa menuduh seseorang melakukan kejahatan tanpa bukti yang kuat, bisa-bisa kita dituntut balik." "Aku sangat yakin dengan firasatku. Jamie sudah lama mengincar Salsa, dia juga mengincar perusahaanku. Harusnya dulu aku halangi pembebasan bersyaratnya." Wajah Saga memerah menahan marah. Rasa takut juga menyelinap masuk ke dadanya membayangkan apa yang dilakukan orang-orang ja-hat itu pada Salsa. "Kita harus meminta deskripsi wajah para penc-ulik itu, sedikit informasi sangat berharga saat ini. Saga hendak menjawab, tetapi ponselnya berdering menampilkan nomor tak dikenal. "Sebaiknya kau jawab, mungkin itu pelakunya.' Jake memberi saran. Saga menurut. Dia menggeser ikon hijau lalu menempelkan ponsel ke telinga. "Ya ...." "Saga, aku Reva." "Bicara yang penting saja atau aku tutup." "Ini tentang Salsa." Kelopak mata Saga melebar mendengar penjelasan Reva, pegangan di ponsel pun
"Apa?!" Tangan Saga yang memegang ponsel mengerat, andai benda itu tak terbuat dari bahan keras mungkin sudag hancur karena genggaman Saga yang sangat kuat. "Aku segera pulang. Kalian tunggu aku!" "Ada apa Tuan?" Dani gegas mengemasi berkas-berkas di atas meja ketika melihat wajah gusar Sagara Liam. "Kita pulang ke villa sekarang!" Tanpa babibu Saga bangkit dari kursi lalu meninggalkan meja beserta relasi bisnisnya begitu saja. Dani segera ambil alih dengan memberi kode agar asistennya segera menyelesaikan proses penyelesaian dokumen kerjasama sambil meminta maaf atas sikap sang tuan. "Tuan, ada apa?" Dani ngos-ngosan mengejar langkah Saga, tetapi laki-laki itu masih diam. Dia masuk ke dalam mobil sambil menghubungi seseorang. "Jake, datang ke Villa di Bogor sekarang." Saga mengusap wajahnya, raut cemas sangat kentara di wajahnya. "Aku tidak terima alasan apa pun. Aku tunggu!" Dani tak lagi bertanya sebab bila Saga terlihat sangat kesal artinya ada sesuatu yang buruk sedang terj
"Apa?!" Jaime membalikkan badan dengan cepat ketika mata-matanya melaporkan kalau Saga hendak mengakuisisi perusahaannya. Bahkan, rencana itu sudah berjalan karena Sagara Liam sudah mengutus beberapa orang kepercayaan melobi para pemegang saham di perusahaannnya. Amarah membuncah di dada Jamie, ditambah Nadia melaporkan, kalau rencana mengundang Salsa ke ho-tel gagal total. Awalnya dia sangat senang mengetahui Nadia berhasil meyakin Salsa bertemu dengan alasan ingin menjernihkan masalah mereka. Sebenarnya itu hanya siasat untuk menjebak istri Sagara Liam tersebut. Namun, entah mengapa tiba-tiba saja dibatalkan begitu saja. Impian Jamie untuk memiliki Salsa pupus sudah. Padahal Jamie sudah membayangkan hal-hal romantis bersama Salsa meski harus membuat si wanita tak sadarkan diri. "Kau keluar!" Jamie memberi isyarat mata-matanya keluar hingga di ruang kerjanya hanya tinggal Nadia. "Beri aku alasan yang masuk akal kenapa rencanamu gagal?" Wajah Nadia memucat, dia menundukkan kepal
"Jadi namanya Salsa?"Nadia menganguk. "Dia mantan istri Arkan."Masih tampak kemarahan di wajah Nadia ketika kata-kata Saga terngiang-ngiang di benak. Dia pikir lelaki itu akan tergoda kecantikan, tapi yang terjadi melihat saja tidak padanya. Dia semakin kesal ketika mengetahui bahwa suami Salsa seorang miliarder terkenal. Selama ini dia hanya mendengar nama Sagara Liam dari mulut Arkan dan rekan-rekannya, mereka memuji kehebatan laki-laki itu membuat Nadia penasaran sekaya dan setampan apa si laki-laki. Dia sangat girang ketika Reva mengajaknya ke pesta di mana lelaki itu datang sebagai tamu. Ketika berhadapan langsung dengan laki-laki itu, sejenak dia terpana oleh ketampanan Saga. Angannya sejenak melayang membayangkan betapa enaknya menjadi kekasih si lelaki. Namun kemarahan segera membakar dadanya setelah mengetahui istri dari laki-laki itu adalah Salsabila, wanita yang memporak-porandakan hidupnya. Nadia tidak ingin kalah setapak pun dari Sala, dia tidak terima dengan nasib baik
"Jadi gimana?" Saga menatap Salsa yang masih cemberut. Meski kehamilan wanita itu sudah masuk minggu ke-16, dia semakin sensitif. Apa-apa Saga harus mengerti tanpa dijelaskan. Ya, kali, laki-laki itu cenayang bisa tahu apa yang ada di dalam pikiran sang istri."Aku gak mau! Pokoknya kamu harus cari sampai dapat." Salsa memberengut. Dia melangkah ke kamar dengan kaki menghentak. Andai saja kaki Salsa punya kekuatan seperti Hulk, mungkin dalam satu minggu sekali laki-laki itu harus mengganti semua granit di rumahnya.Saga berdecak keras sambil meraup wajahnya dengan kasar. Menghadapi permintaan istri yang sedang hamil benar-benar melelahkan. Kalau boleh memilih, lebih baik dia memberikan iPhone gratis kepada sepuluh orang daripada harus mencari apa yang diminta Salsa. Bukan apa-apa, masa iya wanita itu meminta dicarikan jambu klutuk yang masih 'nemplok' di pohon? Di tengah malam pula. Kalau di toko buah mungkin banyak, tetapi memanjat langsung dari pohon di pekarangan orang? Cari mam-pu
"Reva beberapa kali datang ke kantor menemuiku menawarkan untuk membeli saham miliknya, tapi aku tahu itu hanya alasan saja, sebab setiap datang yang dibahas tentang dirimu. Dia mengatakan betapa beruntungnya kamu menjadi istriku. Dia membandingkan dengan sepupunya yang harus depresi karena pernikahannya berantakan.""Sepupu Reva adalah Nadia. Kau tahu itu?" Aku menyela cerita Saga, gemas sekali mengetahui di belakangku Reva berusaha mendekati lelaki itu."Aku tahu, Sayang, karena itu aku tak pernah menanggapi cerita Reva. Dia terus-menerus datang sampai akhirnya kamu memergoki kami.""Tapi kenapa dia duduk di pangkuanmu?" Aku masih menaruh curiga, tidak mungkin kan Reva tiba-tiba saja duduk di sana.Saga tertawa. "Kamu kalau sedang cemburu cantiknya nambah."Aku bisa merasakan pipiku memanas, mungkin warnanya sudah merah sekarang mendengar rayuan Saga, sejak dulu lelaki itu sangat pintar membuat hatiku melambung."Gak usah ngalihin topik. Ayo cerita." Aku mendesak saga karena penas