Share

Membalas Suami Selingkuh
Membalas Suami Selingkuh
Author: Dwi ratna sari

Bab. 1. BH yang menggantung.

"Halo, Bang, hallo, alhamdulillah akhirnya tersambung juga. Abang susah banget, sih, dihubungi. Macam nunggu aku lahiran aja, loh, lama banget nyambungnya. Abang sehat-sehat, kan, disana?" Nana tersenyum lebar ketika sambungan video call-nya dijawab oleh suaminya.

"Berisik, Na! Jangan teriak-teriak gitulah! Malu sama temen Abang disini, ah!"

Nana mencebik kesal. Suaminya yang bernama Lanang Pardede itu menjawab video call-nya dengan rasa malas. Jawaban yang tak enak di dengar itu membuyarkan semangatnya yang menggebu ketika telepon itu tersambung.

"Apanya Abang ini? Ditelepon binik bukannya senang malah malas gitu suaranya! Tak sukanya kau aku telepon?"

Wanita yang memiliki nama lengkap Nana Sudrina itu tak kalah ketus untuk membalas ucapan suaminya. Dia langsung kesal. Lanang tak menghargai usahanya yang susah payah menelponnya di ujung sana yang katanya susah sinyal.

Lanang mengusap kasar wajahnya karena kelepasan. Hampir saja dia emosi saat istrinya yang di kampung menelpon. "Bukan begitu, Na, Abang lagi sibuk ini malah diteleponin terus. Nanti nggak siap-siap, nih, kerjaan Abang," kilah Lanang untuk membela dirinya. Dia berusaha bersikap biasa saja agar tak dicurigai istrinya disana.

"Apaan nelponin terus. Baru ini aku nelpon, ya. Udah dua minggu lebih Abang tak juga nelpon aku. Gak kangen rupanya sama aku, Bang!" Nana memprotesnya lagi.

"Bukannya tak kangen, kau, kan, tau Abang sibuk kerja. Jadi jangan tanya terus! Pusing Abang!" Lelaki yang bekerja di perusahaan tambang itu terus saja membela diri.

"Katanya sibuk, kok, masih di rumah jam segini. Memangnya ggak kerja, Bang?" Nana melihat jam yang menggantung di atas pintu kamarnya, yang menunjukkan pukul dua siang.

"Ya… Abang ini, kan, mau makan siang, jadi, sekarang di rumah. Cemananya kau ini!" Suara bas itu mulai terbata-terbata. Pikirannya mendadak kacau karena istrinya mulai mengintrogasinya.

"Di rumah. Tapi, kok, kayak asing aku sama warna dinding rumahnya itu. Rumah siapa itu, Bang?" 

Dari balik kamera, Nana mengamati cat dinding kamar berwarna abu tua. Benar catnya tampak berbeda setelah hampir dua minggu terakhir dia tak menelpon dan tak melihat suasana rumah suaminya di sana.

"Ee, anu, itu… baru ganti itu catnya." Lanang semakin kelabakan. Wanita yang telah sepuluh tahun menjadi istrinya itu mulai mengamati kamar yang tengah dipakai untuk beristirahat.

"Yang benar? Bentuk kamarnya pun beda itu." Nana mulai memicingkan mata. Suaminya bersikap tak biasa yang cenderung mencurigakan.

"Ah, sudahlah! Segala macam cat pun kau ributin. Ada apa kau nelpon Abang siang bolong gini? Abang mau kerja lagi. Tak usah lama-lama nelponnya!" Seketika, Lanang mengalihkan pembicaraan itu agar istrinya tak semakin curiga padanya.

Nana menepuk keningnya karena lupa dengan tujuanya menelpon. "Oh, ya, sampai lupa aku, kan. Abang bisa pulang hari ini, kan? Utun mau lahiran, nih. Aku juga udah booking rumah sakit yang ada di kota. Katanya Abang pingin aku lahiran di rumah sakit besar. Jadi sudah aku siapkan semua ini, Bang."

Lanang hanya bisa meringis pelan. Ia menatap entah pada siapa yang ada di belakang kameranya itu. Dia pun mengusap keningnya dengan kasar karena hampir saja dia lupa kalau istrinya akan melahirkan. Tapi, urusan disini penting juga, jadi tak mungkin untuk ....

"Abang! Kenapa malah diam! Cepat kemas-kemas! Biar nanti malam tinggal berangkat! Apa perlu aku pesankan tiket pesawat dari sini, hah?" Nana memekik karena Lanang lama meresponnya.

"Duh, gimana, ya, Na? Sepertinya Abang belum bisa pulang ke Pekanbaru. Mendadak kerjaan disini tak bisa ditinggal. Lagi padat-padatnya."

Terpaksa Lanang memakai alasan itu lagi saat tak bisa pulang, hingga membuat Nana semakin mendelik. Dia tak suka suaminya batal pulang dari perantauan untuk kesekian kalinya.

"Apa? Jangan macam-macam Abang, ya! Kerjaan terus yang dijadikan alasan! Abang udah janji sama aku, ya, mau nemani lahiran! Jangan ingkar janji dong!" Nana bersungut-sungut karena emosi.

Dia bangkit dari ranjang. Napasnya mulai ngos-ngosan karena emosinya yang naik terus. Wanita yang tengah hamil tua itu pun berjalan pelan ke arah jendela kamar yang menghadap ke kebun buahnya yang tengah berbuah lebat. Dia butuh udara segar untuk menetralisirkan rasa amarah di dada.

"Siapa yang banyak alasan? Memang kenyataannya tak bisa. Mau gimana lagi coba. Kau mau Abang di denda sama atasan, hah!"

Tanpa pikir panjang, Lanang terus membantah tuduhan istrinya itu. Dia tak menyadari dengan sikapnya yang seperti itu semakin membuatnya dicurigai.

"Eh, kemana pulak muka Abang itu. Kenapa gelap kameranya. Sengaja Abang tutup, ya. Buka kameranya, Bang! Si utun masih kangen sama ayahnya ini."

Lagi dan lagi suara protes itu terus berdengung di telinga Lanang. Dia pun mulai naik pitam karena nada suara istrinya semakin tak enak didengar.

"Iya, iya, tunggu sebentar, ya! Banyak orang disini." Dengan rasa malas, Lanang membuka lagi kamera video callnya itu di seberang sana.

"Cepatlah! Tapi sepinya disana. Nggak ada suara apa-apa itu. Jangan bohong kau, Bang!" Nana terus membantah jawaban Lanang yang semakin tak masuk akal.

"Iya sepi loh, Ini Abang udah di kamar! Gak percaya kali sama suami kau, ya!" Lanang mendengus karena istrinya terus curiga padanya.

Kembali Nana tersenyum lebar, hingga kedua matanya menyipit. Namun tidak dengan Lanang, dia memutar kedua matanya malas dan tak berminat sama sekali ketika melihat bentuk rupa istrinya.

Penampilan istrinya hari ini seperti Upik Abu yang terlantar. Muka kusut, rambut acak-acakkan yang tak disisir sejak seminggu kemarin, lalu daster lusuh sobek di bagian bahunya yang membuat penampilannya semakin tak enak dipandang. Lanang pun sampai mual saat menatap istrinya itu.

"Dedek utun, ini Ayah, Nak. Jangan kangen terus, ya ... Papa lagi cari duit disana. Jangan rewel lagi."

Seakan sudah lupa dengan kekesalannya tadi, Nana terus menarik kedua ujung bibirnya. Dia pun terus mengelus perutnya di depan kamera ponsel itu.

Lanang sedikit tertegun ketika melihat perut buncit istrinya. Mendadak rasa sesal menelusup dalam seonggok daging yang ada dalam dadanya. Hingga tanpa sadar, Lanang menggeser ponselnya dan menghadap pada belakang pintu kamar yang tertutup.

"Maafin Ayah yang belum bisa pulang, ya, Dedek Utun. Ayah janji bakalan pulang cepet kalau kerjaan disini cepat siap, ya."

"Abang ini gimana, sih? Abang udah janji mau pulang hari ini! Kenapa bisa berubah lagi omongannya, hah! Aku sudah waktunya lahiran ini! Jangan aneh-aneh Abang, ya!" Nana mulai kesal kembali saat mengingat suaminya yang tak bisa pulang.

Karena sejak dua bulan yang lalu, dia selalu berkilah tak bisa pulang karena pekerjaannya masih banyak. Dan proyeknya yang baru gol tak bisa ditinggal begitu saja, katanya saat itu. Namun, Nana mulai meragu dengan alasan itu. Dia jadi teringat ucapan teman suaminya beberapa minggu yang lalu. Bahwa suaminya ada main disana.

Tapi, hatinya masih ragu untuk membuktikan itu semua. Dia takut, hatinya patah dan mengamuk dengan membabi buta. Rasa temperamentalnya tak bisa dikendalikan jika sudah terpancing amarah.

"Ya, mau gimana lagi atasan Abang yang tak kasih izin. Masa iya, Abang melawan nanti kalau dipecat gimana? Gak bisa kasih nafkah si Utun nanti, loh!" Lagi, Lanang berkillah dengan banyak kebohongan yang sengaja dibuat. Matanya bergulir kesana kesini tak berani menatap istrinya.

"Terus gimana, dong, Bang? Perutku udah mules terus dari tadi malam, nih. Nggak pengertian sama sekali Abang, ya, jadi suami!"

Omelan itu kembali meluncur dari bibir tipisnya. Kedua matanya mulai menganak sungai. Ia tak mau melahirkan tanpa suami di sampingnya.

"Minta antar Mamak, ya, Dek, atau Bang Sandi aja suruh ngantar! Ibu sama Ayah juga, kan, ada juga di sana. Udah, ya, Abang mau kerja lagi, nih. Abang tutup teleponnya." Jari telunjuknya bersiap mematikan sambungan video call itu.

"Eh, tunggu dulu, Bang! Kau enak kali ngomongnya minta anter orang lain. Dimana tanggung jawabmu sebagai suami, hah! Mau buntingin tapi tak mau tanggung jawab! Egois kau, ya!"

"Abang, kan, lagi kerja."

"Kerja apa sampai gak bisa pulang? Hampir sepuluh bulan Abang kerja di Kalimantan tapi belum pernah pulang! Sejak Abang pindah disana kok mulai agak lain, ya!"

Nana terus menghardik ayah biologis dari anak yang dikandungnya itu. Dia yang semakin tak mengerti atau suaminya yang tak tau diri. Entah lah.

"Ehh, itu beha siapa yang menggantung di pintu kamarmu, Bang? Memangnya kau pakai beha, ya!" celetuk Nana dengan mata melotot sempurna.

Mendadak bibirnya kelu saat melihat benda yang selalu dipakai oleh wanita di bagian dada itu, malah menggantung di belakang pintu kamar milik suaminya. Bibirnya sudah siap memuntahkan lahar panas untuk kesekian kalinya.

"Hah, apa? Mana! Mana!" Lanang berteriak dengan panik.

Dengan cepat dia menoleh ke arah pintu dan membelalakkan kedua matanya. Benar. Di belakang pintu itu ada beha berwarna pink yang sudah menggantung indah.

"Abang gak ada main-main di belakangku, kan?"

Tanpa menjawab, Lanang mematikan video call itu sepihak. Di ujung sana degup jantungnya berpacu dengan cepat. Rasa panik dan takut berbaur menjadi satu dalam perasaannya. Bahkan dia sampai mematikan ponselnya agar istrinya tak menelponnya lagi.

"Halo, Bang! Halo, Bang Lanang! Buset malah dimatikan teleponnya! Awas kau, Bang, kalau sampai terbukti bermain di belakangku! Bakalan habis kau sama aku!" Nana menggeram marah sambil menahan nyeri di perut bawahnya.

Tanpa terasa kaca-kaca bening itu mulai keluar dari ujung netranya. Nana menengadahkan wajah ke atas agar matanya tak semakin basah.

"Sabar, ya, Sayang. Kita berjuang sama-sama setelah ini."

♡♡♡♡♡♡

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status