Share

Bab. 2. Kontraksi.

Lima menit berlalu, sakit di perut bagian bawahnya kembali berangsur pulih. Wanita yang baru berusia tiga puluh tahun itu balik lagi ke ranjang untuk rebahan. Kedua kakinya tak kuat lagi untuk menopang bobot tubuhnya jika terlalu lama berdiri. Dadanya naik turun karena menahan beban dua janin dalam perut. Kehamilan yang kedua kali ini memang sangat dijaga sekali.

Belajar dari kehamilan pertamanya yang gagal saat usia pernikahannya baru tiga tahun, Nana sangat menjaga pola makan dan hidup sehatnya selama kehamilan keduanya itu terdeteksi.

Semua pantangan yang tak boleh selalu dia hindari. Walaupun untuk kehamilan kedua ini, dia harus berjuang sendiri tanpa pengawasan dari suaminya. Dia sangat bersyukur karena janin yang ada dalam kandungannya tidak begitu rewel.

"Aduh, duh, perutku mules lagi. Aww, sakit. Aduh, Mak'e. Perutku sakit."

Nana mengerang kesakitan. Gelombang cinta dalam perutnya datang kembali. Sepertinya kontraksi pada perutnya mulai sering datang. Dia harus menelpon.Mamak Mertuanya untuk mengantarkannya ke rumah sakit.

Jari-jarinya yang sedikit bergetar terus berusaha menggulir layar sentuh itu ke bawah untuk mencari nomor baru milik Mamak Mertua.

"Halo, ini ciapa?" Suara khas anak kecil itu menyapa pendengaran Nana.

"Hallo, ini Abang Ali, ya? Mamak dimana, Bang? Bunda mau ngomong, nih, sama Mamak. Kasihkan Mamak, ya, teleponnya!"

Satu kalimat perintah itu keluar untuk bocah laki-laki yang berusia enam tahun, yang menerima teleponnya. Untuk kesekian kalinya, Nana meringis lagi saat rasa sakit itu datang kembali.

"Ini Unda, ya. Tunggu cebental, ya, Nda!"

Seketika Nana menurunkan volume telepon itu karena terdengar suara berisik di ujung sana. Sepertinya bocah itu berlari untuk mencari ibu kandung dari suaminya.

"Dasar laki-laki nggak tanggung jawab. Mau buntingin tapi nggak mau nemenin aku lahiran, ya! Awas kau, Bang! Setelah lahiran ini tunggu pembalasanku, ya!"

Dia sudah bertekad untuk menyusul suaminya di Kalimantan Utara setelah melahirkan si kembar. Kalau suaminya terbukti ada main di belakangnya, maka Nana akan membalasnya dengan kejam. Takkan ada ampun pokoknya.

Sejak subuh tadi perutnya mulai mengeluarkan tanda-tanda ingin melahirkan. Dari setengah jam sekali kadang mules itu datang, hingga sepuluh menit sekali mulesnya lebih sering datang.

"Halo, Na. Ada apa, Nak? Kau mau lahirannya." Tanpa salam, suara di ujung sana langsung menginterupsinya dengan nada khawatir.

"Iya, Mak. Cucu Mamak mau lahir, nih. Ayo ke rumah sakit sekarang! Anterin Nana, Mak."

"Iya, iya. Kau jangan kemana-mana, ya. Mamak langsung ke rumahmu. Mamak kabarin Bapaknya Ali dulu biar dia yang bawa mobil."

"Ah, Iya, cepet, Mak! Dah, nggak tahan sakitnya ini."

"Iya. Iya. Mamak cepat ini."

Sambungan telepon itu langsung terputus tanpa ada jawaban dari seberang. Nana meletakkan kembali ponselnya di atas bantal yang memakai sarung bantal berwarna putih. Warna putih itu kesukaan Lanang. Sejak Subuh tadi, dia sudah sibuk mengganti seprai dan sarung bantal untuk menyambut kepulangan suaminya hari ini.

Perlahan Nana kembali beranjak dari ranjangnya. Dia mulai berjalan keluar kamar saat mendengar suara panggilan dari pintu depan. Khimar panjang yang menggantung di belakang pintu kamar, dia pakaikan di kepala. Jarak rumahnya yang berdampingan dengan rumah mertuanya sangat memudahkannya untuk memanggil ibu kandung dari suaminya itu.

Nana kembali melangkah dengan tertatih-tatih sambil berpegangan pada dinding di sebelah kirinya. Andaikan pintu rumahnya tak dikunci pasti dia tak perlu susah payah membuka pintu itu. Jarak yang dekat antara ruang TV dan pintu depan itu jadi terasa jauh karena langkahnya yang sangat pelan.

Dengan tangan yang gemetar luar biasa, Nana masih berusaha membuka anak kunci dan handle pintunya bersamaan. Tapi, usahanya itu terus gagal. Entah usaha yang keberapa kali, akhirnya pintu berwarna coklat tua itu berhasil dibuka. Seseorang yang menunggu di depan pintu rumahnya langsung menerobos masuk.

Wajah tua itu menatapnya khawatir.

"Astaga, Nana. Wajahmu pucat sekali, Nak. Ayo cepat kita ke rumah sakit!"

Mamak dari suaminya itu memekik dengan suara tuanya yang bergetar. Wanita tua yang memiliki nama panggilan Mak Suri itu dengan sigap memapah menantunya yang mulai kehilangan tenaga.

Nana masih sekuat tenaga menahan sakit yang terus menyerang perut bawahnya. Salah satu tangannya dengan kuat mencengkram pinggiran pintu rumahnya.

"Ahh!" Nana kembali menjerit kesakitan, sepertinya pembukaan pada rahimnya sudah kembali terbuka.

"Ayo, duduk dulu! Mamak ambilkan dulu perlengkapan melahirkanmu. Dimana kau letakkan tasnya?" Mak Suri berlari ke dalam rumah untuk mengambil tas itu.

"Di kamar bawah, Mak." Nana menunjuk ke arah kamar yang dekat dengan ruang tamunya.

Dengan langkah seribu, Mak Suri masuk ke kamar dengan luas 5x5 m. Matanya berkeliling ke dalam ruangan bernuansa putih itu. Senyumnya terbit kembali setelah menemukan tas besar yang ada di dekat lemari pakaian. Tangannya juga mengambil ponsel yang ada di atas bantal.

Setelah keluar dari kamar, Mak Suri mengunci kembali kamar pribadi milik Nana. Karena dalam kamar itu banyak barang berharga yang harus dijaga. Mak Suri tak mau rumah menantunya kemalingan lagi saat mereka tak ada di rumah sakit.

"Ayo, kita langsung ke rumah sakit, ya!" Nana mengangguk lemah tanpa bersuara.

Mak Suri kembali memapah menantunya untuk keluar rumah dengan membawa satu tas besar di tangan kanan. Dengan langkah pelan, Mak Suri membantu Nana untuk masuk ke mobil yang sudah siap di halaman rumah. Setelah Nana duduk dengan nyaman di mobil, Mak Suri keluar lagi dari mobil untuk mengunci pintu rumah.

"Ayo, cepat jalan, San! Ke rumah sakit Awal Bros, ya! Udah sakit kali si Nana ini. Jangan lambat kau nyupirnya." Mak Suri menutup pintu dengan keras, lalu dia duduk di sebelah Nana.

Tangan keriputnya dengan cepat mengambil tisu yang menggantung di atap mobil. Tisu itu dipakai untuk mengusap keringat yang mengalir deras di pelipis Nana. Tak henti-hentinya dia menggerutu karena Lanang tak ada disini. Anaknya yang nomor dua itu memang keterlaluan sekali. Hanya karena kerjaan tak mau pulang ke Pekanbaru.

"San, ayo jalan! kok malah bengong kau? Nana udah hampir pingsan ini." Lelaki yang ada di balik kemudi itu tergagap dan mengangguk. Dia malu sekali karena kepergok Mamaknya sedang menatap istri dari adiknya itu.

"Iya, Mak! Berangkat nih kita."

Lelaki bernama Sandi mulai memutar kunci mobil. Perlahan, dia melajukan kendaraan roda empat itu keluar dari halaman rumah adik iparnya.

Kedua mata teduh itu sesekali menatap iba pada adik iparnya melalui kaca spion depan. Sandi merasa iba karena wanita yang masih menyita perhatiannya itu harus berjuang sendirian untuk melahirkan tanpa suami.

"Mamak sudah nelepon Mang Udin untuk jaga rumah sekalian jaga Ali di rumah. Kalau Nana beneran lahiran, kau telepon Wak Ani untuk tidur dirumah, ya! Ali besok ujian. Kasihan dia kalau harus ke rumah sakit."

"Iya, Mak. Nanti Sandi urus semuanya."

Mobil itu terus melaju dengan cepat. Sesekali suara klakson mobil itu dia tekan, agar kendaraan lain tak mengganggu jalannya. Sandi mulai terbawa emosi. Lanang benar-benar tak bisa bertanggung jawab dengan istrinya.

🍁🍁🍁🍁

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status