Bagian 7
"Sudah, hentikan. Kalian ini seperti anak kecil saja." Mas Ilyas terlihat marah.
"Nia, aku minta, tinggalkan aku dan suamiku. Kami ingin bersantai sambil bernostalgia," pintaku pada Nia. Nia pun menghentakkan kakinya lalu pergi meninggalkanku dengan Mas Ilyas.
"Sandra, kamu apa-apaan, sih? Mas perhatikan akhir-akhir ini kamu berubah. Kamu kenapa?" Pertanyaan Mas Ilyas tersebut semakin membuatku merasa kesal. Seharusnya ia merasa bersalah karena telah bermain api di belakangku.
"Justru kamu yang berubah, Mas! Sejak kehadiran Nia di rumah ini, Mas seolah tidak peduli lagi padaku. Mas selalu membela Nia."
"Mas tidak membelanya. Mas hanya kasihan padanya, itu saja!"
"Oh, jadi Mas kasihan pada wanita lain, sedangkan istrimu sendiri kamu abaikan, begitu, Mas?"
"Bukan seperti itu. Mas hanya kasihan padanya. Kamu nggak kasihan sama dia? Dia sudah diduakan oleh suaminya, dan dia membutuhkan tempat untuk bersandar, Sandra."
"Tempat untuk bersandar? Maksudnya apa, Mas? Apa jangan-jangan, tempat bersandar yang kamu maksud itu, kamu Mas?"
Mas Ilyas tampak gelagapan. Ia terjebak dalam perkataannya sendiri. Secara tidak sengaja, Mas Ilyas telah membuka rahasianya sendiri.
"Kok' ngomongnya jadi ngelantur gini, sih? Mas nggak suka dicurigai." Mas Ilyas berusaha menutupi kebohongannya. Padahal sudah jelas-jelas jika mereka memang menjalin hubungan di belakangku.
Melihat sikap Mas Ilyas seperti ini, aku tidak yakin akan bisa mempertahankan pernikahan ini. Jujur, aku capek dengan semua ini. Harus bersaing dengan sahabatku sendiri, demi untuk merebut hati suamiku.
Setiap manusia memiliki batas kesabaran. Aku tidak kuat jika harus menerima kebohongan dari suami dan sahabatku sendiri setiap hati.
Ada saatnya aku menyerah, dan jika saat itu tiba, maka aku tidak akan berpikir dua kali untuk meninggalkan Mas Ilyas. Akan kubuat perhitungan dengannya dan juga gundiknya itu.
***
"Nia, kamu nggak jadi pergi dari rumah ini?" Aku sengaja menanyakan hal itu di depan Mas Ilyas saat kami sedang makan malam.
Nia pura-pura tidak mendengar, ia sengaja mengalihkan pembicaraan. "Mas mau nambah? Sini biar Nia yang nambah nasinya," ucapnya sambil mengambil centong nasi, bersiap untuk menyendok nasi ke piring Mas Ilyas.
Nia selalu bersikap seperti itu di depan Mas Ilyas. Seolah ia adalah wanita baik-baik, dan itulah salah satu sikap Nia yang paling kubenci. Satu lagi, suka mencari perhatian dari Mas Ilyas.
"Nia, kapan kamu kembali ke rumah suamimu?" tanyaku lagi, karena Nia tidak juga menjawab pertanyaanku. Aku ingin agar Nia secepatnya angkat kaki dari rumah ini.
Nia menjatuhkan Sendok ke atas piring, sehingga menimbulkan bunyi dentingan.
"Selera makanku mendadak hilang, aku permisi mau ke kamar dulu," ucapnya, Ia langsung mendorong piringnya, lalu mengelap mulutnya dengan tisu. Kemudian membuang tisu tersebut ke atas piring yang masih berisi nasi tersebut.
Nia Benar-benar wanita yang tidak mempunyai akhlak dan juga rasa syukur. Sudah diijinkan numpang gratis, malah seenaknya bersikap seperti itu. Ia sengaja menyisakan makanan seenaknya. Ia tidak peduli, ada banyak orang di luar sana yang tidak mempunyai makanan dan tidak sanggup untuk membeli makan.
Padahal dulu saat masih menjadi pemulung, Nia sudah merasakan bagaimana sakitnya tidak bisa membeli makanan. Sekarang, ia bahkan sudah lupa semua itu.
Astagfirullah … aku hanya bisa mengucap istighfar sambil mengelus dada.
"Sandra, seharusnya kamu tidak menanyakan hal itu saat kita sedang berada di ruang makan seperti ini. Jelas saja, Nia jadi tersinggung," protes Mas Ilyas padaku. Aku sudah menduga bahwa Mas Ilyas akan protes.
"Mau sampai kapan Nia tinggal di rumah ini, Mas? Dia masih memiliki suami. Sebaiknya, Nia selesaikan dulu urusannya dengan suaminya. Setelah itu, terserah dia mau ngapain," tegasku agar Mas Ilyas bisa paham.
Setelah itu, kami makan dalam diam. Mas Ilyas tidak lagi berbicara, ia fokus menyantap makanannya.
***
Tengah malam, Mas Ilyas beranjak dari atas ranjang dengan pelan. Kemudian, ia bergegas menuju pintu dan memutar kenop pintu dengan pelan agar aku tidak mendengarnya.
Mas Ilyas tidak tahu bahwa aku memang sengaja menahan kantuk demi untuk menjaganya. Aku tahu, pasti ia akan menemui Nia, dan aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
Aku takut jika mereka sering berduaan, maka akan terjadi hal yang tidak diinginkan. Untuk itu, aku akan selalu mengawasi Mas Ilyas dan tidak akan memberikan kesempatan padanya untuk berduaan dengan wanita itu.
"Mau kemana, Mas?" tanyaku saat Mas Ilyas hendak beranjak ke luar kamar.
"I-ini loh, Mas ma-mau ngambil minum. Mas harus," jawabnya terbata.
Mas … Mas … sampai segitunya dirimu, membohongi istri sendiri demi wanita lain.
"Kenapa nggak bangunin aku, Mas? Biar aku aja yang mengambilnya!" Aku menarik tangan Mas Ilyas agar ia kembali ke atas ranjang.
Mas Ilyas pun mengangguk, dengan terpaksa ia menurut juga.
Aku pun segera menuju dapur untuk mengambil air mineral.
Sesampainya di dapur, aku segera mengambil gelas, kemudian mulai menuang air mineral ke dalam gelas tersebut. Namun, tiba-tiba seseorang memelukku dari belakang.
"Mas, aku kangen, Mas!" Tangan itu, melingkar di pinggangku.
Bersambung
Bagian 63"Sandra, izinkan aku menyematkan cincin ini di jari manismu, ya. Pertanda bahwa aku telah mengikat hatimu," pinta Mas Romi.Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Terharu, senang, bahagia semuanya berpadu menjadi satu."Ma, kalau cuma pegang tangan doang boleh ya? Nggak dosa kan megang tangan calon istri sendiri?" "Boleh, tapi sebentar saja. Kalau lama-lama bisa menimbulkan dosa. Makanya, buruan nikah biar halal." "Iya, sebentar saja, kok!""Boleh, tapi sebentar saja. Kalau lama-lama bisa menimbulkan dosa. Makanya, buruan nikah biar halal." "Iya, sebentar saja, kok!"Mas Romi meraih tanganku, lalu menyematkan cincin di jari manisku. Ia kemudian mengecupnya. Membuatku tersipu malu."Udah ya pegangan tangannya. Sekarang mari kita tentukan tanggal pernikahan kalian. Mama sudah tidak sabar pengen punya mantu!" Mamanya Mas Romi tersenyum manis padaku. Membuatku teringat kepada almarhumah mama mertua. Sifatnya tidak jauh beda dengan mamanya Mas Romi. Ah, aku jadi rindu padanya."Leb
Bagian 62"Mas Romi datang bersama keluarganya, Mbok? Pagi-pagi begini? Serius?" Aku masih tidak percaya dengan apa yang disampaikan Mbok Yuli barusan."Iya, Non. Sekarang mereka sedang nungguin Non sambil menikmati teh dan juga pisang crispy buatan Mbok. Non kenapa? Kok wajahnya jadi tegang begitu? Deg-degan ya mau ketemu sama calon mertua?" Mbok Yuli masih sempat-sempatnya menggodaku."Tuh kan, pipinya bersemu merah," ledeknya."Mbok apa-apaan, sih? Biasa aja kok!" Aku memalingkan wajah agar Mbok Yuli tidak bisa lagi melihat raut wajahku. Jujur, aku deg-degan dan juga grogi."Kapan nemuin tamunya kalau kita ngobrol terus di sini? Yasudah, Non siap-siap ya. Mbok mau turun lagi ke bawah."Aku pun menganggukkan kepala dan buru-buru menutup pintu kamar.Apa Mas Romi serius dengan ucapannya semalam? Apa ia sungguh-sungguh mencintaiku? Ia bahkan membawa keluarganya untuk bertemu denganku.Ah, kenapa aku jadi salah tingkah begini sih? Nggak biasanya aku begini. Gegas aku berjalan ke kamar
Bagian 61"Sebaiknya kalian pulang saja, Mas. Beri aku waktu untuk berpikir karena aku belum bisa memutuskan sekarang."Setelah diam cukup lama, akhirnya aku angkat bicara."Nggak bisa gitu dong, Sandra. Kamu harus jawab sekarang juga. Mas sudah sangat lama menunggumu. Mas mohon, mau ya jadi istrinya Mas." Mas Rian tetap memaksa. Ia sama sekali tidak mau mendengarku."Rian, sebaiknya kita pulang. Kasih waktu untuk Sandra berpikir. Lagian, Ini sudah malam dan Sandra mau beristirahat." Mas Romi memberi saran."Kamu saja yang pulang. Aku tidak akan pulang sebelum Sandra menerima lamaranku." Mas Rian tetap bersikeras pada pendiriannya."Rian, jangan paksa Sandra. Beri waktu padanya untuk memikirkan jawabannya. Biarkan dia beristirahat malam ini sambil memikirkan siapa yang akan dipilihnya.""Tidak, aku maunya malam ini.""Memang benar-benar keras kepala ya! Kamu nggak bisa diajak bicara baik-baik. Jangan salahkan jika aku berbuat kasar padamu." Mas Romi terlihat kesal melihat sikap Mas Ri
Bagian 60"Hentikan, Mas. Tolong jangan membuat keributan di sini. Jika pelanggan butik ini melihat ada keributan di sini, pasti mereka enggak akan mau berbelanja di butik ini. Aku mohon, Mas!" Aku menangkupkan kedua tangan, berharap Mas Rian mendengar permintaanku."Maafin Mas, Sandra. Mas hanya terbawa emosi. Mas sudah mencarimu ke mana-mana. Tiap hari tiada lelah untuk mencari keberadaanmu. Mas juga sudah bertanya pada Romi, dia bilang tidak mengetahui keberadaanmu. Tapi nyatanya dia bohong, bahkan dia sedang menemuimu sekarang. Benar-benar licik!" Mas Rian terlihat kecewa pada Mas Romi. Padahal ini bukanlah salah Mas Romi. Ia melakukan itu atas permintaanku."Aku memang sengaja meminta Mas Romi agar tidak memberitahu siapapun tentang keberadaanku. Aku ingin hidup tenang, Mas. Sudah terlalu banyak masalah dan ujian hidup yang harus kuhadapi. Itu sebabnya aku memilih untuk pergi jauh, aku tidak ingin diganggu oleh siapapun. Jadi tolong mengertilah!"Aku sengaja menjauh dari Mas Rian
Bagian 59Enam bulan sudah aku menetap di tempat kediamanku yang sekarang. Sekarang, hari-hariku disibukkan dengan urusan butik. Seminggu sekali aku juga menyempatkan diri mengikuti pengajian untuk memperdalam ilmu agama. Kuakui ilmu agama yang kumiliki masih sangat dangkal. Aku harus sering-sering mengikuti pengajian untuk menambah kecintaanku kepada Allah SWT, sang pemilik kehidupan.Aku tahu, di balik ujian dan cobaan hidup yang diberikan oleh Allah padaku, pasti ada hikmah di balik semua itu."Sarapan yuk, Non. Nasi gorengnya sudah Mbok hidangkan di atas meja!" Ucapan Mbok Yuli tersebut seketika membuyarkan lamunanku."Iya, Mbok. Kita sarapan sama-sama ya," ajakku sambil menyunggingkan senyum manis kepada wanita yang sudah kuanggap seperti orang tuaku tersebut. "Baik, Non, mari!" Mbok Yuli tidak lagi memanggilkan dengan sebutan Bu Sandra, kini beliau memanggilku dengan sebutan Non. Padahal aku sudah memintanya untuk memanggilku dengan menyebut namaku saja, tapi beliau tidak mau
Bagian 58Akhirnya rumah ini pun terjual. Rumah yang sudah dihuni selama empat tahun lebih. Rumah yang dulu di dalamnya terdapat kehangatan dan kasih sayang. Tapi itu dulu, sekarang semuanya telah sirna. Saatnya membuka lembaran baru dan mengubur semua kenangan pahit. "Mbok, mohon maaf ya. Sandra tidak bisa lagi mempekerjakan Mbok. Rumah ini sudah dijual dan sebentar lagi akan ditempati oleh pemilik yang baru. Maaf jika Sandra ada salah selama Mbok tunggal di sini," ucapku saat memberikan gaji terakhir kepada Mbok Yuli beserta pesangonnya. Mata si Mbok terlihat berembun, mungkin ia sedih karena tidak bisa tinggal di rumah ini lagi. Sebenarnya aku jauh lebih sedih dibanding Mbok Yuli. Telah kehilangan suami, sekarang bahkan rumah ini juga terpaksa kujual.Jujur saja, aku tidak menginginkan harta yang berlimpah. Keinginanku cukup sederhana. Hanya ingin hidup bahagia bersama suami. Tapi ya sudahlah! Hati akan semakin sakit jika mengingatnya terus-menerus."Mbok nggak tahu harus tingg