Bagian 6
Sudah hampir sepuluh menit aku menunggu di depan pintu kamarnya, berharap Nia keluar dengan membawa serta koper miliknya, dan segera angkat kaki dari rumahku. Namun, yang ditunggu-tunggu belum nongol juga. Nia tidak kunjung keluar dari kamarnya.
Menyebalkan sekali. Katanya mau pergi, tapi ternyata masih betah berada di dalam rumahku. Aku tahu, pasti Nia hanya berpura-pura.
Tiba-tiba saja, ponsel yang sedang berada di dalam genggamanku bergetar, ternyata Mas Ilyas yang menelpon. Aku pun segera menjawab telepon tersebut sambil menjauh dari kamar Nia, agar ia tidak mendengar pembicaraanku dengan Mas Ilyas.
"Halo, assalamualaikum, Mas," sapaku terlebih dahulu.
"Sandra, kamu ngusir Nia ya? Kamu kok' jahat sekali? Apa salah Nia sampai kamu tega mengusirnya?"
Mas Ilyas bahkan tidak sempat menjawab salamku, ia langsung mencecarku dengan berbagai pertanyaan.
"Mengusir Nia? Aku nggak ngusir Nia kok', Mas," jawabku. Tampaknya Nia sudah mengadu kepada Mas Ilyas.
"Barusan Nia nelpon Mas, dia bilang bahwa kamu mengusirnya dan menyuruhnya pergi dari rumah. Benar begitu, Sandra?"
Acting Nia hebat sekali. Tadi ia sendiri yang ingin keluar dari rumah ini. Sekarang ia malah mengadu kepada Mas Ilyas, mengatakan bahwa akulah yang mengusirnya. Bisa-bisanya Nia memutarbalikkan fakta.
Sepertinya Nia sengaja menjelek-jelekkanku kepada suami sendiri. Nia benar-benar ular berbisa. musuh dalam selimut.
"Nggak, Mas, aku nggak pernah mengusirnya. Tadi Nia sendiri yang ingin pergi. Nia marah karena aku melarang Mbok Yuli untuk mencuci pakaiannya. Aku memang sengaja, Mas, biar Nia ada kerjaan, biar Nia nggak suntuk." Aku sengaja beralasan seperti itu, karena menurutku alasanku tersebut masuk akal.
"Tapi kan, nggak harus nyuruh Nia mencuci pakaiannya segala, Sandra. Kan ada Mbok di rumah. Nia tersinggung loh, gimana kalau Nia marah?"
Mas Ilyas benar-benar mengkhawatirkan Nia. Bahkan ia tidak peduli sama sekali dengan perasaanku.
"Terus, kenapa kalau Nia marah, Mas? Sepertinya, Mas perhatian sekali pada Nia, melebihi perhatian Mas padaku." Aku mulai kesal padanya. Sepertinya memang Mas Ilyas lebih peduli pada wanita itu, dibanding aku, istrinya sendiri.
"Jangan ngomong gitu dong, Sandra. Nggak baik! Ya sudah, Mas mau lanjut kerja lagi." Mas Ilyas langsung mengakhiri panggilannya, terlihat sekali bahwa ia sedang menyembunyikan sesuatu dariku.
Baiklah, aku akan mencoba untuk mempertahankan rumah tangga ini. Berusaha untuk tetap bersikap biasa saja di hadapan mereka, biarpun aku sudah mengetahui semua tentang mereka.
***
Saat Mas Ilyas pulang dari kantor, aku menyambutnya seperti biasa. Menyiapkan baju ganti serta membuatkan kopi, tetap kulaksanakan tugasku seperti biasa. Tapi kali ini, aku hanya diam saja, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
"Kamu kok' diam saja?" tanya Mas Ilyas saat kami sedang bersantai di taman belakang.
Aku masih tetap diam, berharap Mas Ilyas akan merasa bersalah, kemudian meminta maaf padaku. Ya, aku ingin ia menyadari kesalahannya.
"Kamu kenapa, sih?" tanyanya lagi. Rupanya Mas Ilyas sama sekali tidak merasa bersalah, padahal ia sudah ketemuan diam-diam dengan Nia di belakangku. Ia tidak tahu, betapa sakitnya hatiku melihatnya berduaan dengan sahabatku sendiri di dalam cafe.
Pandanganku tiba-tiba buram, dipenuhi dengan kaca-kaca bening yang berlomba ingin keluar dari kelok mata.
"Kamu kok' nangis? Memangnya ada yang salah dengan Mas?" Pertanyaan demi pertanyaan terus saja ia lontarkan padaku. Sedikitpun, Mas Ilyas tidak peduli pada perasaanku.
"Sandra ... Sandra, suami baru pulang kerja kok malah dihibur dengan tangisan, sih! Aneh kamu ini. Mana mungkin suami betah di rumah kalau kelakuan istrinya kayak gini!" ledek Nia, entah sejak kapan Nia berada di sini. Aku sama sekali tidak menyadari keberadaannya.
Aku tahu, Nia pasti sengaja ingin memperkeruh suasana, agar ia bisa dengan mudah menghancurkan rumah tanggaku dengan Mas Ilyas. Tapi aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Sebisa mungkin, aku akan bertahan.
"Ini air mata bahagia, Nia," ucapku sambil menyeka air mata dengan punggung tanganku. Aku tidak mau terlihat lemah di hadapan Nia.
"Air mata bahagia? Emangnya ada apa?" Nia semakin mendekat, mungkin ia penasaran. Padahal, aku cuma asal ngomong saja.
"Ini urusanku dengan Mas Ilyas, Nia. Orang lain nggak boleh ikut campur."
"Orang lain? Aku kan bukan orang lain, aku sahabat kamu loh!"
"Iya, hanya sebatas sahabat. Sedangkan ini, hanya antara aku dengan suamiku-Mas Ilyas," tegasku, agar Nia tidak semakin ikut campur dalam urusan rumah tanggaku.
"Tetap saja, aku berhak tau. Aku bukan orang lain, dan aku sekarang tinggal di rumah ini. Tidak ada yang boleh disembunyikan dariku," ucapnya dengan pede-nya.
"Nia, kutegaskan sekali lagi padamu. Di dalam kartu keluarga kami hanya tertulis nama Mas Ilyas sebagai suami dan kepala keluarga dan namaku sebagai istri. Namamu tidak tertera di sana. Jadi nggak usah terlalu ikut campur urusan rumah tanggaku," tegasku lagi agar ia paham bahwa ia adalah orang lain yang hanya menumpang di rumah ini.
Bersambung
Bagian 63"Sandra, izinkan aku menyematkan cincin ini di jari manismu, ya. Pertanda bahwa aku telah mengikat hatimu," pinta Mas Romi.Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Terharu, senang, bahagia semuanya berpadu menjadi satu."Ma, kalau cuma pegang tangan doang boleh ya? Nggak dosa kan megang tangan calon istri sendiri?" "Boleh, tapi sebentar saja. Kalau lama-lama bisa menimbulkan dosa. Makanya, buruan nikah biar halal." "Iya, sebentar saja, kok!""Boleh, tapi sebentar saja. Kalau lama-lama bisa menimbulkan dosa. Makanya, buruan nikah biar halal." "Iya, sebentar saja, kok!"Mas Romi meraih tanganku, lalu menyematkan cincin di jari manisku. Ia kemudian mengecupnya. Membuatku tersipu malu."Udah ya pegangan tangannya. Sekarang mari kita tentukan tanggal pernikahan kalian. Mama sudah tidak sabar pengen punya mantu!" Mamanya Mas Romi tersenyum manis padaku. Membuatku teringat kepada almarhumah mama mertua. Sifatnya tidak jauh beda dengan mamanya Mas Romi. Ah, aku jadi rindu padanya."Leb
Bagian 62"Mas Romi datang bersama keluarganya, Mbok? Pagi-pagi begini? Serius?" Aku masih tidak percaya dengan apa yang disampaikan Mbok Yuli barusan."Iya, Non. Sekarang mereka sedang nungguin Non sambil menikmati teh dan juga pisang crispy buatan Mbok. Non kenapa? Kok wajahnya jadi tegang begitu? Deg-degan ya mau ketemu sama calon mertua?" Mbok Yuli masih sempat-sempatnya menggodaku."Tuh kan, pipinya bersemu merah," ledeknya."Mbok apa-apaan, sih? Biasa aja kok!" Aku memalingkan wajah agar Mbok Yuli tidak bisa lagi melihat raut wajahku. Jujur, aku deg-degan dan juga grogi."Kapan nemuin tamunya kalau kita ngobrol terus di sini? Yasudah, Non siap-siap ya. Mbok mau turun lagi ke bawah."Aku pun menganggukkan kepala dan buru-buru menutup pintu kamar.Apa Mas Romi serius dengan ucapannya semalam? Apa ia sungguh-sungguh mencintaiku? Ia bahkan membawa keluarganya untuk bertemu denganku.Ah, kenapa aku jadi salah tingkah begini sih? Nggak biasanya aku begini. Gegas aku berjalan ke kamar
Bagian 61"Sebaiknya kalian pulang saja, Mas. Beri aku waktu untuk berpikir karena aku belum bisa memutuskan sekarang."Setelah diam cukup lama, akhirnya aku angkat bicara."Nggak bisa gitu dong, Sandra. Kamu harus jawab sekarang juga. Mas sudah sangat lama menunggumu. Mas mohon, mau ya jadi istrinya Mas." Mas Rian tetap memaksa. Ia sama sekali tidak mau mendengarku."Rian, sebaiknya kita pulang. Kasih waktu untuk Sandra berpikir. Lagian, Ini sudah malam dan Sandra mau beristirahat." Mas Romi memberi saran."Kamu saja yang pulang. Aku tidak akan pulang sebelum Sandra menerima lamaranku." Mas Rian tetap bersikeras pada pendiriannya."Rian, jangan paksa Sandra. Beri waktu padanya untuk memikirkan jawabannya. Biarkan dia beristirahat malam ini sambil memikirkan siapa yang akan dipilihnya.""Tidak, aku maunya malam ini.""Memang benar-benar keras kepala ya! Kamu nggak bisa diajak bicara baik-baik. Jangan salahkan jika aku berbuat kasar padamu." Mas Romi terlihat kesal melihat sikap Mas Ri
Bagian 60"Hentikan, Mas. Tolong jangan membuat keributan di sini. Jika pelanggan butik ini melihat ada keributan di sini, pasti mereka enggak akan mau berbelanja di butik ini. Aku mohon, Mas!" Aku menangkupkan kedua tangan, berharap Mas Rian mendengar permintaanku."Maafin Mas, Sandra. Mas hanya terbawa emosi. Mas sudah mencarimu ke mana-mana. Tiap hari tiada lelah untuk mencari keberadaanmu. Mas juga sudah bertanya pada Romi, dia bilang tidak mengetahui keberadaanmu. Tapi nyatanya dia bohong, bahkan dia sedang menemuimu sekarang. Benar-benar licik!" Mas Rian terlihat kecewa pada Mas Romi. Padahal ini bukanlah salah Mas Romi. Ia melakukan itu atas permintaanku."Aku memang sengaja meminta Mas Romi agar tidak memberitahu siapapun tentang keberadaanku. Aku ingin hidup tenang, Mas. Sudah terlalu banyak masalah dan ujian hidup yang harus kuhadapi. Itu sebabnya aku memilih untuk pergi jauh, aku tidak ingin diganggu oleh siapapun. Jadi tolong mengertilah!"Aku sengaja menjauh dari Mas Rian
Bagian 59Enam bulan sudah aku menetap di tempat kediamanku yang sekarang. Sekarang, hari-hariku disibukkan dengan urusan butik. Seminggu sekali aku juga menyempatkan diri mengikuti pengajian untuk memperdalam ilmu agama. Kuakui ilmu agama yang kumiliki masih sangat dangkal. Aku harus sering-sering mengikuti pengajian untuk menambah kecintaanku kepada Allah SWT, sang pemilik kehidupan.Aku tahu, di balik ujian dan cobaan hidup yang diberikan oleh Allah padaku, pasti ada hikmah di balik semua itu."Sarapan yuk, Non. Nasi gorengnya sudah Mbok hidangkan di atas meja!" Ucapan Mbok Yuli tersebut seketika membuyarkan lamunanku."Iya, Mbok. Kita sarapan sama-sama ya," ajakku sambil menyunggingkan senyum manis kepada wanita yang sudah kuanggap seperti orang tuaku tersebut. "Baik, Non, mari!" Mbok Yuli tidak lagi memanggilkan dengan sebutan Bu Sandra, kini beliau memanggilku dengan sebutan Non. Padahal aku sudah memintanya untuk memanggilku dengan menyebut namaku saja, tapi beliau tidak mau
Bagian 58Akhirnya rumah ini pun terjual. Rumah yang sudah dihuni selama empat tahun lebih. Rumah yang dulu di dalamnya terdapat kehangatan dan kasih sayang. Tapi itu dulu, sekarang semuanya telah sirna. Saatnya membuka lembaran baru dan mengubur semua kenangan pahit. "Mbok, mohon maaf ya. Sandra tidak bisa lagi mempekerjakan Mbok. Rumah ini sudah dijual dan sebentar lagi akan ditempati oleh pemilik yang baru. Maaf jika Sandra ada salah selama Mbok tunggal di sini," ucapku saat memberikan gaji terakhir kepada Mbok Yuli beserta pesangonnya. Mata si Mbok terlihat berembun, mungkin ia sedih karena tidak bisa tinggal di rumah ini lagi. Sebenarnya aku jauh lebih sedih dibanding Mbok Yuli. Telah kehilangan suami, sekarang bahkan rumah ini juga terpaksa kujual.Jujur saja, aku tidak menginginkan harta yang berlimpah. Keinginanku cukup sederhana. Hanya ingin hidup bahagia bersama suami. Tapi ya sudahlah! Hati akan semakin sakit jika mengingatnya terus-menerus."Mbok nggak tahu harus tingg