Share

8. Pura-pura Tidak Tahu

Bagian 8

"Mas, aku kangen, Mas!" Tangan itu, melingkar di pinggangku.

Nia … ternyata Nia yang memelukku. Ia tidak sadar bahwa aku ini bukanlah Mas Ilyas. 

Suasana di dapur yang gelap, membuat Nia tidak bisa melihat dengan jelas. Mungkin ia mengira bahwa aku adalah Mas Ilyas. Bodoh, ia tidak mengetahui siapa yang sedang dipeluknya.

Aku segera melepaskan rangkulannya di pinggangku dan langsung membalikkan badan. Mata Nia langsung terbelalak saat melihatku.

Ia menggeleng pelan sambil menutup mulutnya.

"Kangen? Sama siapa, Nia? Sama suamiku?" tanyaku dengan emosi yang bergejolak. Dadaku naik turun menahan luapan amarah yang siap untuk diledakkan.

"Sandra, ka-kamu nga-ngapain di sini?" tanyanya terbata. Ia tidak menjawab pertanyaanku, ia justru balik bertanya padaku.

"Justru kamu yang ngapain di sini? Ini rumahku, jadi wajar jika aku berada di dapurku sendiri. Sedangkan kamu, ngapain meluk aku dari belakang? Kamu mengira bahwa aku ini adalah Mas Ilyas? Iya? Jawab, Nia!" Nada bicaraku semakin meninggi. Aku sudah tidak kuat lagi.

"Bu-bukan begitu, Sandra. A-aku tadi nggak sengaja," jawabnya, masih terbata. Ia menyangkal, tapi aku sudah tahu semuanya. Aku bukan anak kecil yang bisa dibohongi begitu saja.

Ternyata hubungan Nia dan Mas Ilyas sudah sampai sejauh ini. Bahkan Nia tidak segan-segan lagi untuk memeluk Mas Ilyas. Benar-benar keterlaluan!

"Aku tidak percaya, Nia. Kamu tidak bisa membohongiku."

"Sandra, maafkan aku. Aku tadi nggak sengaja, benar deh! Lagian, aku ini kan sahabatmu, aku nggak mungkin tega lah merebut suamimu, seperti nggak ada lelaki lain saja," sangkalnya. Nia meraih tanganku dan mengucapkan permohonan maaf. Tapi aku menepisnya.

"Baiklah, Nia. Jika terbukti bahwa kamu menginginkan Mas Ilyas dan berniat menghancurkan rumah tanggaku, maka aku tidak akan mengampunimu," ancamku, membuat Nia mundur beberapa langkah ke belakang, sepertinya ia takut melihat kemarahanku.

Ya, selama bersahabat dengan Nia, baru kali ini aku bersikap seperti ini terhadapnya.

Kuambil gelas yang berisi air mineral tadi, kemudian meninggalkan Nia yang masih berada di dapur.

"Kok' lama sekali?" tanya Mas Ilyas saat aku tiba di kamar.

"Iya, Mas, maaf!" Aku langsung menyerahkan gelas yang berisi air mineral tersebut padanya. 

Mas Ilyas hanya meminumnya sedikit saja, berarti ia berbohong. Ia tidak harus. Benat dugaanku, itu cuma alasannya saja.

Entah kenapa, sejak kejadian di dapur tadi, aku merasa jijik melihat wajah Mas Ilyas. 

Pasti Mas Ilyas telah janjian untuk bertemu dengan Nia di dapur. Untung saja aku yang pergi ke sana, jika tidak, pasti sudah terjadi adegan peluk memelukk di sana.

"Sandra, kamu kenapa? Kok' keringatan begitu? AC kan hidup!"

"Nggak apa-apa, Mas. Aku ngantuk nih, kita tidur lagi, ya!" Aku langsung mematikan lampu lalu berbaring di atas ranjang.

Mas Ilyas masih duduk di tepi ranjang, lima menit kemudian ponselnya pun bergetar. 

Sekilas kulihat, Mas Ilyas sedang sibuk berbalas pesan, entah dengan siapa. Apa mungkin ia sedang chatting dengan Nia? 

"Mas, kok belum tidur? Ini sudah larut loh! Besok kan masih mau kerja. Nggak baik main ponsel malam-malam. Tidur lagi yuk," ajakku, kemudian membaringkan tubuhku.

Mas Ilyas meletakkan ponselnya di atas meja, setelah itu ia pun membaringkan tubuhnya di sisiku.

Aku sengaja menjadikan lengannya sebagai bantal, agar Mas Ilyas tidak bisa kabur lagi.

Untuk malam ini, aku masih bisa menjaga suamiku dari godaan wanita lain. Untuk selanjutnya, aku sendiri tidak tahu. Tidak mungkin aku bisa terus menerus mengawasinya selama dua puluh empat jam. 

Jika saja aku menuruti emosi, mungkin aku sudah menampar wajah Nia dan memaki-maki Mas Ilyas, karena sudah mengkhianatiku. Tapi, aku harus bisa menahan diri. Selama mereka tidak berbuat di luar batas, maka aku masih bisa memaafkan Mas Ilyas dan membawanya kembali ke jalan yang benar.

Tetapi, jika mereka telah berbuat di luar batas, maka aku tidak akan sudi untuk memberikan maafku. Sebaliknya, bukan maaf yang akan kuberikan, tapi justru pembalasan dariku lah yang akan mereka terima.

***

Pagi-pagi sekali, aku sudah bangun dan kini tengah membantu Mbok Yuli memasak nasi goreng untuk sarapan kami, setelah sebelumnya menunaikan ibadah sholat subuh terlebih dahulu.

Mas Ilyas masih di kamar, sedangkan Nia, sama sekali belum kelihatan batang hidungnya.

Setelah menata sarapan di atas meja, aku bergegas ke kamar untuk memanggil Mas Ilyas. 

Ternyata, Mas Ilyas masih berada di kamar mandi. Padahal sudah dari setengah jam lalu Mas Ilyas masuk ke kamar mandi, entah apa yang ia lakukan di dalam sana.

Sambil menunggu Mas Ilyas keluar dari kamar mandi, aku mengambil ponsel miliknya yang ia taruh di atas meja. Dari kemarin aku ingin mengecek ponselnya, tapi tidak ada kesempatan.

Ponsel Mas Ilyas tidak menggunakan kata sandi layar sehingga aku lebih mudah untuk melakukan cek dan ricek. Aku penasaran, dengan siapa Mas Ilyas berkirim pesan semalam. Ia rela menahan kantuk demi untuk membalas chat dari orang tersebut.

Aku langsung membuka aplikasi berwarna hijau bergambar telepon di ponselnya. Nama Nia ada di urutan paling atas. Aku mengernyitkan kening saat mengetahui bahwa Mas Ilyas habis berkirim pesan dengan Nia. 

Pantas saja dari tadi Mas Ilyas tidak keluar dari kamar, ternyata ini yang dilakukannya.

Langsung saja kutelusuri chat tersebut dari atas sampai bawah. Sepahit apapun kenyataan yang ada di dalam ponsel Mas Ilyas, aku harus siap menerimanya.

Ternyata, Nia memanggil suamiku dengan panggilan sayang', begitu juga sebaliknya, Mas Ilyas memanggil Nia dengan sebutan sayang juga.

Mas Ilyas dan Nia berkirim pesan enam menit yang lalu. Mereka sedang membicarakan soal semalam saat Nia memelukku dari belakang dan mengira bahwa aku adalah Mas Ilyas.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status