Bagian 9
Mereka berdua takut ketahuan olehku, mereka tidak tahu kalau aku sudah mengetahui kebusukan mereka.
Aku mengembuskan napas kasar, lalu kuscroll lagi pesan tersebut, hingga sampailah pada sebuah foto. Ya, foto Mas Ilyas dan Nia yang sedang berpelukan. Mereka tidur di sebuah kamar yang bernuansa putih, dalam balutan selimut yang sama. Nia bersandar di dada bidang Mas Ilyas yang ditumbuhi oleh bulu-bulu halus tersebut. Hanya tampak bagian atasnya saja karena tubuh mereka berdua ditutupi oleh selimut warna ungu bergambar bunga.
Foto itu dikirim oleh Nia dari ponselnya. Dibawah foto tersebut ditulis caption, "Aku bahagia bersamamu, Mas. Aku telah mendapatkan kepuasan yang belum pernah kudapatkan dari suamiku sebelumnya. Tetaplah setia di sisiku, hingga waktunya tiba, kita akan menjadi pasangan suami-istri, Nia love Ilyas."
Apa-apaan ini? Kepuasan? Apa maksudnya?
Apa-apaan ini? Apa mereka telah melakukan hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan? Ternyata, bukan hanya sekadar menjalin hubungan saja, mereka juga telah berzina di belakangku.
Nauzubillahi min Zalik.
Tubuh ini langsung merosot ke lantai, tanganku mencengkeram luka yang mendera di dalam dada. Aku menangis tanpa suara. Meratapi penghianatan yang dilakukan oleh suami dan sahabatku.
Ternyata mereka telah bermain api di belakangku. Entah sejak kapan hubungan itu terjalin. Aku begitu percaya kepada Mas Ilyas, hingga tidak pernah terbesit di pikiranku untuk menaruh curiga padanya.
Kukira Mas Ilyas adalah suami yang setia, ternyata aku salah. Justru ia tega berselingkuh dengan wanita lain, sahabat dari istrinya sendiri.
Nia, sahabatku dari jaman SMA, yang sudah kuanggap seperti saudara sendiri, ternyata menginginkan suamiku, ia tega menusukku dari belakang.
Sebelumnya, aku mengira bahwa aku adalah wanita yang kuat. Namun nyatanya saat mendapati kenyataan pahit ini, aku justru rapuh dan lemah.
Aku tidak sekuat karang di lautan, yang meski diterjang ombak akan tetap berdiri kokoh. Aku hanya manusia biasa, yang hanya bisa menangis jika disakiti.
Aku menyeka air mata di pipi dengan punggung tangan. Inilah kenyataan pahit yang harus aku terima.
Seketika, aku menyadari bahwa aku tidak boleh seperti ini. Aku harus bangkit dan tidak boleh lemah.
Jika mereka hanya menjalin hubungan, aku masih bersedia memaafkannya. Tapi karena mereka sudah melewati batas dan melakukan apa yang harusnya tidak dilakukan, maka aku tidak akan memaafkan mereka.
Ya, aku harus membalas kedua pengkhianat itu. Aku akan memberi pelajaran kepada mereka berdua.
Aku mengambil ponsel, kemudian mengirimkan seluruh chat Mas Ilyas bersama Nia ke ponselku. Dengan menekan salin dan mengklik nomorku, semua pesan tersebut sudah langsung berpindah ke ponselku.
Kini, bukti perselingkuhan suami dan sahabatku itu telah berada di genggamanku.
Saat mendengar bunyi pintu kamar mandi terbuka, aku langsung meletakkan ponsel tersebut di tempat semula, agar Mas Ilyas tidak tahu jika aku mengecek ponselnya.
"Sandra Sayang, kamu di sini?" tanya Mas Ilyas saat melihatku sedang duduk di pinggir ranjang. Aku pura-pura merapikan sprei agar Mas Ilyas tidak curiga bahwa aku habis mengecek ponselnya.
Aku hanya melempar senyum palsu padanya, berusaha menyembunyikan gejolak amarah dan kekecewaan yang kurasakan.
Tidak kusangka jika lelaki yang sangat kucintai ternyata tega mengkhianatiku.
"Mas, aku tunggu di ruang makan ya," ucapku tanpa mau menoleh ke arahnya.
Saat hendak beranjak, Mas Ilyas tiba-tiba merangkulku dari belakang. "Mau kemana sih, Sayang, Mas kangen padamu," ucapnya sambil mendekatkan bibirnya ke telingaku.
Sayang? Bahkan aku sama sekali tidak bahagia mendengarnya memanggilku dengan sebutan itu. Aku sudah tahu kenyataan, bukan aku satu-satunya wanita yang dipanggilnya dengan panggilan sayang, tapi ada wanita lain yang juga dipanggilnya dengan sebutan itu.
Dulu, aku sangat senang saat Mas Ilyas memperlakukan seromantis ini, tapi sekarang tidak. Aku justru tidak ingin bersentuhan dengannya. Aku merasa jijik pada tubuhnya yang sudah berzina dengan wanita lain.
Aku segera melepaskan pelukan Mas Ilyas, tidak ingin terlena dengan perlakuan manisnya yang hanya manis di depanku dan ternyata menusukku dari belakang.
"Mas nggak ngantor ya? Ayo cepat dipakai bajunya, nanti telat loh! Aku nunggu di ruang makan ya, Mas. Buruan, nggak paket lama," ucapku sambil melangkah perlahan keluar kamar.
"Iya," jawabnya, lalu meraih pakaian yang sudah kusiapkan di atas tempat tidur.
Aku masih bersikap seperti biasa, tetap mengerjakan semua tugasku seperti biasanya.
Saat tiba di ruang makan, aku melihat Nia sudah duduk manis di atas salah satu kursi. Aku melewatinya begitu saja tanpa berniat untuk menyapanya. Ternyata Nia menyusulku ke dapur.
"Sandra, kamu marah padaku, ya? Maafin aku atas kejadian semalam ya, benar deh aku nggak sengaja, suwer," ucapnya sambil mengacungkan dua jari tangannya hingga membentuk huruf v.
Aku masih tetap diam, tanpa mau menghiraukannya. Kutinggalkan Nia yang masih berada di dapur, aku memilih untuk menunggu Mas Ilyas di ruang makan saja.
Tidak berapa lama, Mas Ilyas telah tiba di ruang makan. Ia menarik salah satu kursi dan duduk di sampingku.
"Selamat pagi, Mas." Tiba-tiba, Nia muncul dari arah dapur dan menyapa Mas Ilyas dengan sok akrab.
"Mas, aku ambilkan sarapannya ya." Nia langsung mengambil piring, kemudian menyendok nasi goreng serta telur mata sapi ke atas piring tersebut. "Ini, Mas," ucapnya sambil menyodorkannya pada Mas Ilyas.
Aku hanya diam, tanpa berniat untuk protes. Jikalau pun aku protes, pasti Mas Ilyas akan membela Nia, jadi kubiarkan saja!
"Nggak usah, Nia. Makasih. Biar Sandra saja yang melayani Mas." Mas Ilyas terang-terangan menolaknya.
Tumben, ada apa dengan Mas Ilyas? Biasanya ia mau dilayani oleh Nia, kenapa kali ini tidak?
"Sandra, ambilkan sarapan untuk Mas dong," ucap Mas Ilyas sambil menyunggingkan senyum manisnya padaku.
Aku pun melaksanakan perintahnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Setelah mengambilkan nasi goreng untuk Mas Ilyas, kini giliranku. Aku juga menyendok sedikit nasi goreng ke piringku.
"Kok' dikit bangat, San, kamu lagi diet ya?" tanya Nia sambil memasukkan suapan pertama ke mulutnya.
"Iya, aku harus senantiasa menjaga penampilanku. Aku harus tampil cantik setiap hari. Tubuhku harus tetap langsing, jangan sampai ada lemak yang bergelambir agar suamiku tidak diambil pelakor," jawabku sinis sambil menatap Nia dan juga Mas Ilyas dengan tatapan tajam.
Bersambung
Bagian 63"Sandra, izinkan aku menyematkan cincin ini di jari manismu, ya. Pertanda bahwa aku telah mengikat hatimu," pinta Mas Romi.Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Terharu, senang, bahagia semuanya berpadu menjadi satu."Ma, kalau cuma pegang tangan doang boleh ya? Nggak dosa kan megang tangan calon istri sendiri?" "Boleh, tapi sebentar saja. Kalau lama-lama bisa menimbulkan dosa. Makanya, buruan nikah biar halal." "Iya, sebentar saja, kok!""Boleh, tapi sebentar saja. Kalau lama-lama bisa menimbulkan dosa. Makanya, buruan nikah biar halal." "Iya, sebentar saja, kok!"Mas Romi meraih tanganku, lalu menyematkan cincin di jari manisku. Ia kemudian mengecupnya. Membuatku tersipu malu."Udah ya pegangan tangannya. Sekarang mari kita tentukan tanggal pernikahan kalian. Mama sudah tidak sabar pengen punya mantu!" Mamanya Mas Romi tersenyum manis padaku. Membuatku teringat kepada almarhumah mama mertua. Sifatnya tidak jauh beda dengan mamanya Mas Romi. Ah, aku jadi rindu padanya."Leb
Bagian 62"Mas Romi datang bersama keluarganya, Mbok? Pagi-pagi begini? Serius?" Aku masih tidak percaya dengan apa yang disampaikan Mbok Yuli barusan."Iya, Non. Sekarang mereka sedang nungguin Non sambil menikmati teh dan juga pisang crispy buatan Mbok. Non kenapa? Kok wajahnya jadi tegang begitu? Deg-degan ya mau ketemu sama calon mertua?" Mbok Yuli masih sempat-sempatnya menggodaku."Tuh kan, pipinya bersemu merah," ledeknya."Mbok apa-apaan, sih? Biasa aja kok!" Aku memalingkan wajah agar Mbok Yuli tidak bisa lagi melihat raut wajahku. Jujur, aku deg-degan dan juga grogi."Kapan nemuin tamunya kalau kita ngobrol terus di sini? Yasudah, Non siap-siap ya. Mbok mau turun lagi ke bawah."Aku pun menganggukkan kepala dan buru-buru menutup pintu kamar.Apa Mas Romi serius dengan ucapannya semalam? Apa ia sungguh-sungguh mencintaiku? Ia bahkan membawa keluarganya untuk bertemu denganku.Ah, kenapa aku jadi salah tingkah begini sih? Nggak biasanya aku begini. Gegas aku berjalan ke kamar
Bagian 61"Sebaiknya kalian pulang saja, Mas. Beri aku waktu untuk berpikir karena aku belum bisa memutuskan sekarang."Setelah diam cukup lama, akhirnya aku angkat bicara."Nggak bisa gitu dong, Sandra. Kamu harus jawab sekarang juga. Mas sudah sangat lama menunggumu. Mas mohon, mau ya jadi istrinya Mas." Mas Rian tetap memaksa. Ia sama sekali tidak mau mendengarku."Rian, sebaiknya kita pulang. Kasih waktu untuk Sandra berpikir. Lagian, Ini sudah malam dan Sandra mau beristirahat." Mas Romi memberi saran."Kamu saja yang pulang. Aku tidak akan pulang sebelum Sandra menerima lamaranku." Mas Rian tetap bersikeras pada pendiriannya."Rian, jangan paksa Sandra. Beri waktu padanya untuk memikirkan jawabannya. Biarkan dia beristirahat malam ini sambil memikirkan siapa yang akan dipilihnya.""Tidak, aku maunya malam ini.""Memang benar-benar keras kepala ya! Kamu nggak bisa diajak bicara baik-baik. Jangan salahkan jika aku berbuat kasar padamu." Mas Romi terlihat kesal melihat sikap Mas Ri
Bagian 60"Hentikan, Mas. Tolong jangan membuat keributan di sini. Jika pelanggan butik ini melihat ada keributan di sini, pasti mereka enggak akan mau berbelanja di butik ini. Aku mohon, Mas!" Aku menangkupkan kedua tangan, berharap Mas Rian mendengar permintaanku."Maafin Mas, Sandra. Mas hanya terbawa emosi. Mas sudah mencarimu ke mana-mana. Tiap hari tiada lelah untuk mencari keberadaanmu. Mas juga sudah bertanya pada Romi, dia bilang tidak mengetahui keberadaanmu. Tapi nyatanya dia bohong, bahkan dia sedang menemuimu sekarang. Benar-benar licik!" Mas Rian terlihat kecewa pada Mas Romi. Padahal ini bukanlah salah Mas Romi. Ia melakukan itu atas permintaanku."Aku memang sengaja meminta Mas Romi agar tidak memberitahu siapapun tentang keberadaanku. Aku ingin hidup tenang, Mas. Sudah terlalu banyak masalah dan ujian hidup yang harus kuhadapi. Itu sebabnya aku memilih untuk pergi jauh, aku tidak ingin diganggu oleh siapapun. Jadi tolong mengertilah!"Aku sengaja menjauh dari Mas Rian
Bagian 59Enam bulan sudah aku menetap di tempat kediamanku yang sekarang. Sekarang, hari-hariku disibukkan dengan urusan butik. Seminggu sekali aku juga menyempatkan diri mengikuti pengajian untuk memperdalam ilmu agama. Kuakui ilmu agama yang kumiliki masih sangat dangkal. Aku harus sering-sering mengikuti pengajian untuk menambah kecintaanku kepada Allah SWT, sang pemilik kehidupan.Aku tahu, di balik ujian dan cobaan hidup yang diberikan oleh Allah padaku, pasti ada hikmah di balik semua itu."Sarapan yuk, Non. Nasi gorengnya sudah Mbok hidangkan di atas meja!" Ucapan Mbok Yuli tersebut seketika membuyarkan lamunanku."Iya, Mbok. Kita sarapan sama-sama ya," ajakku sambil menyunggingkan senyum manis kepada wanita yang sudah kuanggap seperti orang tuaku tersebut. "Baik, Non, mari!" Mbok Yuli tidak lagi memanggilkan dengan sebutan Bu Sandra, kini beliau memanggilku dengan sebutan Non. Padahal aku sudah memintanya untuk memanggilku dengan menyebut namaku saja, tapi beliau tidak mau
Bagian 58Akhirnya rumah ini pun terjual. Rumah yang sudah dihuni selama empat tahun lebih. Rumah yang dulu di dalamnya terdapat kehangatan dan kasih sayang. Tapi itu dulu, sekarang semuanya telah sirna. Saatnya membuka lembaran baru dan mengubur semua kenangan pahit. "Mbok, mohon maaf ya. Sandra tidak bisa lagi mempekerjakan Mbok. Rumah ini sudah dijual dan sebentar lagi akan ditempati oleh pemilik yang baru. Maaf jika Sandra ada salah selama Mbok tunggal di sini," ucapku saat memberikan gaji terakhir kepada Mbok Yuli beserta pesangonnya. Mata si Mbok terlihat berembun, mungkin ia sedih karena tidak bisa tinggal di rumah ini lagi. Sebenarnya aku jauh lebih sedih dibanding Mbok Yuli. Telah kehilangan suami, sekarang bahkan rumah ini juga terpaksa kujual.Jujur saja, aku tidak menginginkan harta yang berlimpah. Keinginanku cukup sederhana. Hanya ingin hidup bahagia bersama suami. Tapi ya sudahlah! Hati akan semakin sakit jika mengingatnya terus-menerus."Mbok nggak tahu harus tingg