共有

Bab 4

作者: Arlina Khoman
"Selama beberapa tahun pernikahan ini, kamu bikin sarapan sebanyak ini setiap hari?"

Jovita tersenyum canggung. Karena lambung Farel yang sensitif dan selera makannya yang pemilih, Jovita berusaha belajar masak selama bertahun-tahun dan membuat hidangan berbeda setiap hari untuk Farel.

Siska hanya mendengus kesal. "Pria berengsek itu benar-benar nggak tahu diuntung."

Jovita duduk di depannya dan mereka mulai sarapan bersama.

"Oh iya, soal pengacara, aku sudah bantu kamu hubungi orangnya," kata Siska sambil mengirimkan kartu nama melalui ponsel. Nama di WhatsApp itu adalah ... Santos.

"Santos? Namanya nggak asing."

Siska memasukkan telur dadar ke mulutnya. "Dia kakak sepupuku, beda dua angkatan sama kita. Dulu dia juga senior kamu di kampus. Kalian berdua murid Profesor Wardino. Kamu masih ingat nggak?"

Mendengar ucapannya, Jovita memang mulai teringat sesuatu. Dia juga kuliah di bidang hukum dan Santos dulu terkenal sebagai bintang kampus, murid kebanggaan profesor, dan pria idola di kampus.

Santos adalah lulusan terbaik fakultas hukum, juga dikenal sebagai pria paling tampan di kampus. Konon kabarnya, setelah lulus dia langsung mendapat tawaran kerja dari pengadilan, tapi dia menolak dan malah mendirikan firma hukumnya sendiri.

"Kemarin aku sudah ceritakan kasus kamu ke dia. Awalnya aku minta dia carikan pengacara di kantornya, nggak kusangka dia yang super sibuk itu malah tertarik dan mau turun tangan sendiri."

Siska memakan sebuah pangsit, lalu melihat jam. "Pokoknya, kamu hubungi dia ya. Kalian atur waktu untuk ketemu, aku harus ke kantor sekarang."

"Ya, hati-hati di jalan," jawab Jovita.

Setelah Siska pergi, Jovita menambahkan WhatsApp Santos. Kemudian, dia langsung mengirim pesan.

[ Halo Pak Santos, saya Jovita, teman Siska. Kapan Bapak punya waktu hari ini? Saya ingin mengatur waktu bertemu untuk membicarakan masalah saya. ]

Tak lama kemudian, Santos membalas.

[ Jam 12 siang di Restoran Flora. ]

Jovita baru mengetahui kartu ATM-nya diblokir ketika sedang keluar rumah membeli buah.

Reaksi pertama Jovita saat itu hanyalah merasa lucu. Dia tahu, Farel ingin menggunakan cara ini agar dia menelepon balik atau bahkan menyerah dan memohon padanya. Akan tetapi, tanpa sepengetahuan Farel, Jovita sudah menyiapkan jalan keluar untuk dirinya sendiri sejak dia mengajukan perceraian.

Setelah membayar dengan kartu lain, Jovita membawa buah-buahan dan berjalan pulang.

Baru saja sampai di bawah apartemen, dia mendapat telepon dari guru TK Arfan. Nada bicara guru itu terdengar cemas.

"Ibu Arfan, tolong segera ke gedung baru sekolah untuk jemput Arfan. Tadi waktu bermain sama teman-temannya, luka di tubuhnya nggak sengaja ketarik. Sekarang dia kesakitan dan terus menangis."

Seburuk apa pun keadaan, naluri seorang ibu tetap ada. Mendengar bahwa Arfan kesakitan, hati Jovita sempat mencelos. Dengan refleks, dia ingin segera memanggil taksi dan bergegas ke sekolah.

Namun, bayangan Arfan yang kemarin memeluk Livia sambil memanggilnya "Mama", tiba-tiba muncul di benaknya. Langkahnya seketika terhenti.

"Ibu Arfan, apa Ibu masih mendengarkan?" Suara gurunya yang cemas itu membangunkannya dari lamunan.

Jovita menggigit bibirnya, lalu berbicara dengan nada datar, "Bu Guru, saya dan ayah Arfan sudah bercerai. Mulai sekarang, urusan Arfan bukan lagi tanggung jawab saya. Jangan telepon saya lagi."

Guru itu terkejut mendengarnya, lalu menatap Arfan yang duduk di bangku dengan wajah pucat karena kesakitan. "Arfan, gimana kalau kamu bicara langsung sama ibumu?"

Arfan mengambil telepon dan berkata, "Cepat jemput aku ke rumah sakit, lukaku terbuka lagi." Nada bicaranya bahkan terdengar seperti perintah. Akan tetapi, Jovita sudah terbiasa dengan ini.

Dulu, setiap kali Arfan sakit sedikit saja, dia akan langsung cemas dan bahkan bergegas ke sekolah hanya karena batuk kecil. Kebiasaan ini membuat Arfan menganggap bahwa memerintah ibunya adalah hal yang wajar.

Namun, sejak Jovita memutuskan untuk berhenti menjadi ibu Arfan, dia tidak perlu lagi menuruti kemauan anaknya. "Arfan, kamu lupa apa yang kubilang kemarin? Mulai kemarin, aku sudah bukan ibumu lagi. Jangan hubungi aku lagi."

Setelah berkata demikian, Jovita buru-buru memutuskan sambungan telepon. Sebab, dia takut jika mendengar suara Arfan lagi akan membuatnya luluh dan kembali mengkhawatirkan anak itu.

Di sisi lain, Arfan tertegun di tempat hingga tidak bisa bereaksi cukup lama.

Dalam ingatannya, bahkan jika hanya terluka sedikit saja, Jovita akan selalu memanjakan dan menanyakan keadaannya dengan penuh perhatian. Namun hari ini, kenapa dia bersikap tidak peduli dan bahkan mengatakan hal seperti itu?

Bagaimanapun, Arfan masih anak-anak. Ditambah lagi luka di tubuhnya yang terasa sakit, Arfan tidak sempat berpikir panjang dan segera menelepon Farel.

Saat itu Farel sedang rapat. Mendengar telepon dari Arfan, dia segera menghentikan rapat dan masuk ke ruang kerjanya, lalu menelepon Jovita melalui telepon kantor.

"Arfan kesakitan karena lukanya terbuka. Segera ke gedung baru sekolah untuk jemput dia dan bawa ke rumah sakit. Jangan sampai aku ngomong dua kali."

Jovita meletakkan buah yang sudah dicuci di atas meja dan menyeringai sinis. "Kalian berdua memang cuma tahu memanfaatkan aku waktu lagi butuh, lalu menyingkirkan aku kalau nggak butuh. Aku sudah bilang dengan jelas kemarin, mulai sekarang urusan kalian berdua bukan lagi tanggung jawabku. Aku juga bukan lagi ibu Arfan."

Mendengar hal itu, Farel marah besar dan menggebrak meja dengan keras. "Jovita! Kamu sudah keterlaluan. Arfan itu anakmu. Mau marah pun jangan libatkan anak!"

Jovita hanya merasa kata-kata itu benar-benar lucu. Saat ibunya Farel membawa Arfan pergi, kenapa dia tidak bilang itu anak Jovita? Sekarang saat anaknya butuh dirawat, baru teringat padanya.

"Farel, Arfan sendiri yang bilang dia nggak mau aku jadi ibunya. Aku cuma memenuhi keinginannya. Sebelum surat cerai kukirimkan ke kamu, tolong semua keluarga kalian jangan pernah hubungi aku lagi."

Setelah berkata demikian, Jovita langsung memutuskan sambungan telepon. Farel tidak pernah menyangka, suatu hari Jovita akan berbicara padanya dengan nada seperti itu. Dia terpaku beberapa saat, wajahnya memucat karena marah. Hatinya langsung terasa gelisah dan cemas.

Dulu dia memang pernah bertengkar dengan Jovita. Akan tetapi, dia tidak pernah melihat sikap Jovita setegas ini, apalagi terhadap Arfan yang selama ini begitu dimanjakannya. Sepertinya kali ini, Jovita benar-benar serius.

Karena kondisi Arfan mendesak dan dia tidak bisa meninggalkan rapat, Farel terpaksa menelepon Livia yang sedang dalam pemulihan.

Saat menerima telepon, Livia sedang menyiram bunga di taman rumah Keluarga Wibisono dengan santai. Begitu mendengar bahwa Jovita sedang mengambek dan tidak mau menjemput Arfan, ditambah lagi mendengar suara Farel yang tampak kesal, wajahnya langsung menyunggingkan senyuman puas.

Lalu, dia segera menelepon Dona.

"Ibu, luka Arfan nggak sengaja terbuka lagi waktu main di sekolah. Pihak sekolah menelepon, jadi Farel menyuruhku menjemputnya."

Saat itu, Dona sedang asyik berbelanja. Mendengar kabar itu, dia langsung panik. "Apa? Keadaan Arfan parah nggak?"

"Sepertinya nggak terlalu parah. Kalau serius, pasti sudah dibawa ke rumah sakit," jawab Livia.

Dona baru merasa agak lega. "Kamu sendiri juga masih dalam masa pemulihan. Farel ini benar-benar keterlaluan. Masa kamu yang harus jemput anak itu? Memangnya ibu Farel yang berengsek itu cuma pajangan?"

Mendengar ucapannya, sudut bibir Livia melengkung membentuk senyum sini. Namun, nada bicaranya tetap terdengar penuh perhatian, "Ibu, perasaanku gelisah sekali, makanya aku telepon dulu tanya ke Ibu. Mungkin Jovita marah gara-gara kejadian kemarin, makanya dia nggak mau jemput Arfan?"
この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Membebaskan Diri Dari Perbudakan Suami dan Anak   Bab 100

    Sandra akhirnya lebih tenang.Jovita memanfaatkan waktu untuk keluar ke lorong dan menelepon Santos. "Hari ini aku mau minta izin cuti."Santos tidak langsung menolak. "Masa masih masa magang sudah minta izin cuti ...."Jovita sempat mengira dia kesal dan ingin menjelaskan alasannya, tetapi kemudian merasa urusan keluarga tak perlu terlalu dibuka.Akhirnya, dia hanya menggigit bibir dan berkata, "Aku benaran ada urusan mendesak. Kalau perlu, potong saja gajiku."Santos masih ingat, terakhir kali saat mabuk, Jovita tetap memikirkan gajinya. Sekarang Jovita malah bilang gajinya boleh dipotong. Itu berarti, dia bertemu masalah besar."Oke. Kalau butuh bantuan, langsung telepon aku.""Terima kasih."Setelah menutup telepon, Jovita kembali. Namun, sebelum sempat duduk, pintu ruang operasi telah dibuka.Dokter keluar dari dalam. Sandra dan Jovita buru-buru menghampiri."Dokter, gimana keadaannya?""Ayahku nggak apa-apa, 'kan?"Dokter mengangguk. "Untung dibawa cepat. Kami sudah lakukan opera

  • Membebaskan Diri Dari Perbudakan Suami dan Anak   Bab 99

    Selesai makan, Ario merasa kurang nyaman kalau terus berlama-lama. Jadi, dia bangkit dan bersiap untuk pulang.Sebelum pergi, dia berujar, "Siska, kasih aku nomormu deh. Nanti kamu hitung saja barang-barang yang rusak gara-gara aku, aku pasti ganti."Siska cukup kaget, tetapi tidak menolak. Dia mengeluarkan ponsel dan menambahkan kontak. Saat Ario pergi, Siska menoleh dengan ekspresi bangga ke arah Jovita dan Santos."Bilangin ke Jayden sama Winny, taruhan kemarin aku menang ya. Dia sendiri yang minta nomorku lho!"Santos langsung maju dan menjewernya. "Kamu makin berani ya? Baru beberapa hari sudah bawa cowok nginap, itu pun cowok mabuk. Kalau Ayah tahu, kamu bisa habis."Siska pun mencemberutkan bibirnya. "Kak, aku salah. Tolong jangan bilang ke Ayah. Nanti si pria tua itu patahin kakiku!"Jovita tahu betul, Siska memang sangat takut pada ayahnya. Santos melepaskan tangannya sambil memperingatkan, "Lain kali kalau kejadian begini lagi, aku bakal kasih kamu pelajaran."Siska buru-buru

  • Membebaskan Diri Dari Perbudakan Suami dan Anak   Bab 98

    Siska baru mengangkat telepon setelah cukup lama. Napasnya terengah-engah seperti benar-benar kelelahan.Jovita langsung panik. "Kenapa? Kamu nggak apa-apa, 'kan?"Jangan-jangan habis minum malah kebablasan dan dimanfaatkan orang?Siska menghela napas panjang. "Ada masalah, masalah besar. Kalian cepat ke sini ya."Usai berbicara, Siska langsung menutup telepon. Jovita buru-buru memanggil sopir pengganti bersama Santos, lalu mereka menuju rumah Siska.Jovita tahu kode akses rumahnya. Begitu pintu dibuka, aroma aneh langsung menyergap dari dalam.Detik berikutnya, mereka melihat Ario duduk bersila di lantai, memeluk tempat sampah dengan wajah penuh kesedihan.Sementara itu, Siska duduk di sofa sambil menatapnya dengan ekspresi jijik. Melihat keduanya datang, Siska langsung mencebik dan memeluk Jovita."Vita, aku apes banget! Tempat sampahku itu merek LV. Lihat, jadi kotor setelah dia muntahin!" Selesai berbicara, Siska menunjuk ke arah sofa. "Sofa itu juga diimpor dari luar negeri, kulit

  • Membebaskan Diri Dari Perbudakan Suami dan Anak   Bab 97

    "Dia itu nggak bisa dansa."Melihat Farel kembali mendekat, senyuman di mata Jovita perlahan memudar. Santos bahkan langsung memutar bola matanya."Pantas saja Jovita minta cerai darimu. Ternyata pemahamanmu soal dia bahkan nggak selevel temannya.""Kamu ...!" Farel marah, tetapi masih berusaha menjaga harga diri. Dia pun mendengus dingin dan meneruskan, "Jovita, nggak bisa dansa itu nggak memalukan. Tapi kalau sudah tahu nggak bisa dan masih maksa, itu baru memalukan."Mendengar itu, Jovita mendengus. Sebenarnya, dia bukan orang yang suka bersaing, tetapi omongan Farel itu membuatnya enggan mengalah.Jovita pun mengulurkan tangan, menggenggam tangan Santos, lalu berdiri. Mereka pun menuju ke bagian tengah lantai dansa.Farel hanya bisa melihat dari samping. Wajahnya langsung berubah suram. Jelas-jelas dia ingin Jovita tidak menari, tetapi mulutnya malah terus mengomel, "Sok banget! Nanti malu baru nyesal!"Livia menggigit bibir, menatap Jovita dengan tatapan penuh kebencian. Dia tahu

  • Membebaskan Diri Dari Perbudakan Suami dan Anak   Bab 96

    "Pak Luca mungkin harus kecewa hari ini, karena wanita cantik ini adalah pasangan dansaku malam ini."Jovita menggandeng lengan Santos dengan anggun, lalu memandang Luca dengan tenang. "Benar sekali. Lagian, aku dan Farel sedang dalam proses perceraian, jadi sebentar lagi kami bukan suami istri lagi. Karena Farel bawa pasangan, aku nggak bakal ganggu mereka."Ucapan Jovita seketika membongkar hubungan antara Farel dan Livia di depan umum. Mendengar bahwa mereka tengah mengurus perceraian, hadirin pun mulai ramai berbisik-bisik. Wajah Farel tampak sangat suram."Oh, begitu ya? Kalau bisa berpisah baik-baik, itu juga hal bagus. Kalau begitu, aku nggak akan ikut campur urusan anak muda. Kalian bersenang-senanglah."Luca memang pintar. Sekilas saja dia sudah tahu situasinya. Jika Jovita memang ingin memutuskan hubungan dengan Farel, dia pun tak perlu repot-repot membantu mereka.Di bawah arahan Luca, hadirin akhirnya bubar. Jovita tetap menggandeng lengan Santos, berjalan ke sisi lain ruan

  • Membebaskan Diri Dari Perbudakan Suami dan Anak   Bab 95

    Farel menatap tajam ke arah Santos, seolah-olah ingin mencabik pria itu hidup-hidup.Melihat situasi nyaris meledak menjadi perkelahian, Jovita maju selangkah dan menarik ujung jas Santos.Santos akhirnya melepaskan cengkeramannya. Farel pun terhuyung dan segera ditopang oleh Livia."Kak Farel, aku benaran nggak apa-apa. Kita balik saja yuk ...."Farel masih menatap Jovita dengan mata penuh amarah. "Jovita, kita bahkan belum resmi bercerai, tapi kamu sudah nggak sabar pacaran sama cowok barumu di depan umum. Terus, kamu masih berani tampar Livia? Kamu nggak merasa dirimu murahan?"Santos hendak maju lagi, tetapi Jovita langsung menariknya ke belakang dan berdiri di depannya. "Biar aku yang hadapi. Beberapa hal memang harus kuselesaikan sendiri."Santos terpaksa mundur selangkah, tetapi tetap berjaga di belakang. Jovita menatap Farel dengan dingin, lalu melirik Livia sekilas."Kalian nggak perlu menyalahkan orang lain. Aku dan Pak Santos nggak punya hubungan istimewa. Tapi, kalian? Apa

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status