Share

Bab 7

Author: Arlina Khoman
Wajah Dona terlihat sangat muram dan suara bisikan di sekeliling semakin ramai.

"Anak ini pasti dapat pengaruh buruk dari neneknya, sampai nggak peduli sama ibunya sendiri, malah memikirkan wanita lain."

"Iya, nih. Kalau anakku memperlakukan aku seperti itu, aku juga bakal meninggalkan si anak durhaka dan bapaknya itu."

Dona terdiam, wajahnya memerah karena marah. Jovita pun berbalik dan melirik Santos yang hanya menonton dari samping sedari tadi. "Ayo kita pergi."

Begitu mereka keluar dari restoran, Dona yang merasa dipermalukan karena menjadi tontonan orang-orang, mengentakkan kaki dengan keras. "Apa yang lihat-lihat? Nggak ada yang menarik di sini!"

Orang-orang yang tadinya menonton akhirnya bubar. Dona menggertakkan giginya dan kehilangan selera makan.

"Jovita berengsek, benar-benar keterlaluan. Aku harus kasih tahu Farel siapa dia sebenarnya. Aku mau lihat dia bisa sombong sampai kapan!"

Sementara itu di luar restoran, Jovita terlihat linglung. Dia berjalan tanpa arah dan raut wajahnya juga tampak buruk. Santos maju selangkah untuk menghalangi jalannya. "Mobilku di sana. Kuantar kamu pulang."

Jovita baru sadar dan mengangguk, lalu mengikuti Santos masuk ke mobil.

"Kamu sekarang tinggal di rumah Siska, ya?"

Jovita mengangguk.

"Nggak berencana cari tempat tinggal sendiri?"

Jovita mengangguk lagi, tapi kemudian menggeleng. "Kalau ada tempat yang cocok, aku akan pindah."

Siska tersenyum tipis, tapi tidak menanggapi.

Setelah hening sejenak, dia kembali membuka suara, "Sejujurnya, aku dulu nggak percaya bahwa wanita yang terobsesi cinta seperti kamu ini dulunya murid berbakat di fakultas hukum. Murid kebanggaan Profesor Wardino selain aku."

Jovita tersenyum getir. "Maaf kalau aku mengecewakanmu."

Santos menggeleng. "Sebaliknya, sikapmu barusan lumayan bikin kagum." Dia bisa melihat, sikap Jovita yang tadi itulah merupakan sifat aslinya. Hanya saja, demi pria yang dicintainya, Jovita sudah lama melupakan siapa dirinya yang dulu.

Jadi, meskipun tadi hanya sekadar reaksi alami, Jovita tetap merasa dirinya yang seperti itu terasa asing.

"Aku sudah menangani banyak kasus perceraian. Tapi terus terang, yang benar-benar berhasil bercerai itu sangat sedikit."

Jovita menatapnya. "Kebanyakan orang nggak tega?"

"Salah. Kebanyakan orang cuma ingin menggunakan perceraian sebagai ancaman untuk menakut-nakuti pasangan, supaya pasangan merasa bersalah dan perhatian lagi, lalu mencoba menyelamatkan rumah tangga yang sudah hambar dan membosankan. Jadi, selama salah satu dari mereka mau mengalah, mereka nggak akan benar-benar bercerai."

Jovita mengatupkan bibir. Santos terdiam sejenak, senyum tipisnya semakin jelas. "Tapi aku rasa, kamu benar-benar mau bercerai."

Jovita tersenyum kikuk. "Kenapa? Kamu bisa melihat tekad di wajahku?"

"Salah. Yang kulihat bukan tekad, tapi ketenangan."

Ketenangan yang tidak lagi menyimpan cinta ataupun benci, itulah bentuk kekecewaan terdalam yang tidak terucapkan.

Mobil segera berhenti di depan rumah Siska. Rumah itu gelap, sepertinya penghuninya belum pulang.

Jovita turun dari mobil. Santos menurunkan kaca jendela.

"Maaf ya, hari ini pertemuan pertama kita malah bikin kamu melihat aku dalam kondisi seberantakan ini. Kalau ada kesempatan, aku akan traktir kamu makan."

Jovita yang sudah lelah hanya melambaikan tangan dan tidak banyak bicara, lalu berbalik menaiki tangga. Santos menatap punggungnya yang perlahan menghilang, sorot matanya semakin dalam dan senyum di bibirnya pun makin jelas.

"Jovita, siapa bilang ini pertemuan pertama kita ...."

Sementara itu di tempat lain, Farel yang baru selesai rapat membuka ponselnya dan melihat panggilan tak terjawab dari Dona dan Arfan.

Menduga mereka butuh sesuatu, Farel tidak pulang ke rumah, melainkan langsung menuju rumah lama Keluarga Wibisono.

Begitu masuk ke rumah, Farel langsung melihat Arfan sedang duduk di sofa sambil menangis tersedu-sedu, sementara Livia berada di samping mencoba menenangkannya. Dona duduk di sofa lain. Wajahnya merah padam karena marah dan suasana rumah terasa sangat tegang.

Begitu melihat Farel pulang, Arfan langsung turun dari sofa dan berlari memeluk kakinya. "Papa! Akhirnya Papa pulang!"

Farel membungkuk dan mengangkat anak itu ke dalam pelukannya. "Kenapa menangis seperti ini? Ada apa?"

"Ini semua gara-gara istrimu!" tuding Dona penuh amarah.

Arfan buru-buru mengusap air matanya dan berkata, "Papa, hari ini aku telepon Mama minta jemput, tapi dia nggak mau datang. Dia malah bilang, mau aku mati sekalipun dia nggak peduli dan dia nggak mau aku telepon dia lagi."

Wajah Farel langsung menjadi muram. "Dia bilang begitu padamu?"

"Iya, Papa. Dia juga bilang nanti dia akan punya anak baru dan dia nggak akan jadi mamaku lagi. Kalau bukan Bibi yang jemput aku tadi, aku pasti sudah kesakitan sekali."

Mendengar hal itu, Livia berdiri, lalu mengambil Arfan dari pelukan Farel. "Arfan, jangan bilang begitu sama papa kamu. Papamu sudah capek seharian kerja."

Arfan langsung memeluk Livia erat-erat. "Aku nggak peduli. Aku nggak mau Mama lagi. Bibi, aku mau Bibi jadi mamaku. Tolong jadi mamaku, ya?"

Livia berusaha menenangkan Arfan dan berpura-pura tampak serba salah. "Anak kecil suka asal ngomong, Kak Farel. Jangan dimasukkan ke hati."

Farel menatap mereka dengan wajah masam. Namun sebelum sempat bicara, Dona tiba-tiba memukul meja dengan keras.

"Asal ngomong apanya! Aku rasa Arfan benar! Kamu sebaiknya segera ceraikan dia. Perempuan jalang itu sudah berselingkuh di luar sana, bahkan mempermalukan aku di depan umum. Dia sama sekali nggak pantas jadi menantu keluarga kita!"

Farel langsung mengerutkan kening. "Ibu, apa maksud Ibu?"

Dona langsung mulai menangis tersedu-sedu dan bercerita dengan menambah-nambah bumbu agar lebih dramatis.

"Aku ketemu wanita jalang itu di restoran, dia lagi bermesraan sama seorang pria. Aku cuma mendekatinya buat nanya. Siapa sangka, dia sama pria itu malah main kasar padaku!"

Sambil berbicara, Dona menunjukkan pergelangan tangannya yang memerah akibat dicengkeram Santo kepada Farel. Matanya memerah menahan tangis.

"Nggak cuma itu, aku sudah setua ini, tapi mereka malah bilang mau menuntutku ke pengadilan, mau bikin aku dipenjara, bahkan ...."

"Apa lagi?" tanya Farel dengan nada dingin dan penuh amarah.

"Bahkan dia manggil aku tante. Dia bilang mau cerai sama kamu, mau ninggalin anak, dan hidup selamanya sama pria itu!"

Begitu mendengar kata-kata itu, Farel langsung meraih gelas di meja dan membantingnya ke lantai dengan keras. Dona langsung kaget dan terdiam, Arfan pun buru-buru menghapus air matanya dan tidak berani bicara.

Melihat suasana semakin memanas, Livia buru-buru bicara. "Kak Farel, mungkin ini cuma salah paham. Jangan bikin Arfan ketakutan. Gimana kalau kamu telepon Jovita dan tanyakan baik-baik?"

Melihat Arfan yang ketakutan, amarah Farel sedikit mereda. Wajahnya tetap suram saat berkata, "Jovita sudah memblokirku. Aku nggak bisa hubungi dia."

Mendengar ucapannya, Livia langsung mengeluarkan ponselnya. "Jovita nggak tahu nomor aku. Pakai nomorku saja telepon dia. Jangan sampai masalah ini berlarut-larut tanpa penjelasan."

Farel ragu sejenak, tapi akhirnya menerima ponsel itu dan menekan nomor Jovita.

Pada saat itu, Jovita baru saja selesai membereskan kamar dan hendak beristirahat. Begitu mengangkat telepon, terdengar penuh kemarahan dari Farel.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Membebaskan Diri Dari Perbudakan Suami dan Anak   Bab 100

    Sandra akhirnya lebih tenang.Jovita memanfaatkan waktu untuk keluar ke lorong dan menelepon Santos. "Hari ini aku mau minta izin cuti."Santos tidak langsung menolak. "Masa masih masa magang sudah minta izin cuti ...."Jovita sempat mengira dia kesal dan ingin menjelaskan alasannya, tetapi kemudian merasa urusan keluarga tak perlu terlalu dibuka.Akhirnya, dia hanya menggigit bibir dan berkata, "Aku benaran ada urusan mendesak. Kalau perlu, potong saja gajiku."Santos masih ingat, terakhir kali saat mabuk, Jovita tetap memikirkan gajinya. Sekarang Jovita malah bilang gajinya boleh dipotong. Itu berarti, dia bertemu masalah besar."Oke. Kalau butuh bantuan, langsung telepon aku.""Terima kasih."Setelah menutup telepon, Jovita kembali. Namun, sebelum sempat duduk, pintu ruang operasi telah dibuka.Dokter keluar dari dalam. Sandra dan Jovita buru-buru menghampiri."Dokter, gimana keadaannya?""Ayahku nggak apa-apa, 'kan?"Dokter mengangguk. "Untung dibawa cepat. Kami sudah lakukan opera

  • Membebaskan Diri Dari Perbudakan Suami dan Anak   Bab 99

    Selesai makan, Ario merasa kurang nyaman kalau terus berlama-lama. Jadi, dia bangkit dan bersiap untuk pulang.Sebelum pergi, dia berujar, "Siska, kasih aku nomormu deh. Nanti kamu hitung saja barang-barang yang rusak gara-gara aku, aku pasti ganti."Siska cukup kaget, tetapi tidak menolak. Dia mengeluarkan ponsel dan menambahkan kontak. Saat Ario pergi, Siska menoleh dengan ekspresi bangga ke arah Jovita dan Santos."Bilangin ke Jayden sama Winny, taruhan kemarin aku menang ya. Dia sendiri yang minta nomorku lho!"Santos langsung maju dan menjewernya. "Kamu makin berani ya? Baru beberapa hari sudah bawa cowok nginap, itu pun cowok mabuk. Kalau Ayah tahu, kamu bisa habis."Siska pun mencemberutkan bibirnya. "Kak, aku salah. Tolong jangan bilang ke Ayah. Nanti si pria tua itu patahin kakiku!"Jovita tahu betul, Siska memang sangat takut pada ayahnya. Santos melepaskan tangannya sambil memperingatkan, "Lain kali kalau kejadian begini lagi, aku bakal kasih kamu pelajaran."Siska buru-buru

  • Membebaskan Diri Dari Perbudakan Suami dan Anak   Bab 98

    Siska baru mengangkat telepon setelah cukup lama. Napasnya terengah-engah seperti benar-benar kelelahan.Jovita langsung panik. "Kenapa? Kamu nggak apa-apa, 'kan?"Jangan-jangan habis minum malah kebablasan dan dimanfaatkan orang?Siska menghela napas panjang. "Ada masalah, masalah besar. Kalian cepat ke sini ya."Usai berbicara, Siska langsung menutup telepon. Jovita buru-buru memanggil sopir pengganti bersama Santos, lalu mereka menuju rumah Siska.Jovita tahu kode akses rumahnya. Begitu pintu dibuka, aroma aneh langsung menyergap dari dalam.Detik berikutnya, mereka melihat Ario duduk bersila di lantai, memeluk tempat sampah dengan wajah penuh kesedihan.Sementara itu, Siska duduk di sofa sambil menatapnya dengan ekspresi jijik. Melihat keduanya datang, Siska langsung mencebik dan memeluk Jovita."Vita, aku apes banget! Tempat sampahku itu merek LV. Lihat, jadi kotor setelah dia muntahin!" Selesai berbicara, Siska menunjuk ke arah sofa. "Sofa itu juga diimpor dari luar negeri, kulit

  • Membebaskan Diri Dari Perbudakan Suami dan Anak   Bab 97

    "Dia itu nggak bisa dansa."Melihat Farel kembali mendekat, senyuman di mata Jovita perlahan memudar. Santos bahkan langsung memutar bola matanya."Pantas saja Jovita minta cerai darimu. Ternyata pemahamanmu soal dia bahkan nggak selevel temannya.""Kamu ...!" Farel marah, tetapi masih berusaha menjaga harga diri. Dia pun mendengus dingin dan meneruskan, "Jovita, nggak bisa dansa itu nggak memalukan. Tapi kalau sudah tahu nggak bisa dan masih maksa, itu baru memalukan."Mendengar itu, Jovita mendengus. Sebenarnya, dia bukan orang yang suka bersaing, tetapi omongan Farel itu membuatnya enggan mengalah.Jovita pun mengulurkan tangan, menggenggam tangan Santos, lalu berdiri. Mereka pun menuju ke bagian tengah lantai dansa.Farel hanya bisa melihat dari samping. Wajahnya langsung berubah suram. Jelas-jelas dia ingin Jovita tidak menari, tetapi mulutnya malah terus mengomel, "Sok banget! Nanti malu baru nyesal!"Livia menggigit bibir, menatap Jovita dengan tatapan penuh kebencian. Dia tahu

  • Membebaskan Diri Dari Perbudakan Suami dan Anak   Bab 96

    "Pak Luca mungkin harus kecewa hari ini, karena wanita cantik ini adalah pasangan dansaku malam ini."Jovita menggandeng lengan Santos dengan anggun, lalu memandang Luca dengan tenang. "Benar sekali. Lagian, aku dan Farel sedang dalam proses perceraian, jadi sebentar lagi kami bukan suami istri lagi. Karena Farel bawa pasangan, aku nggak bakal ganggu mereka."Ucapan Jovita seketika membongkar hubungan antara Farel dan Livia di depan umum. Mendengar bahwa mereka tengah mengurus perceraian, hadirin pun mulai ramai berbisik-bisik. Wajah Farel tampak sangat suram."Oh, begitu ya? Kalau bisa berpisah baik-baik, itu juga hal bagus. Kalau begitu, aku nggak akan ikut campur urusan anak muda. Kalian bersenang-senanglah."Luca memang pintar. Sekilas saja dia sudah tahu situasinya. Jika Jovita memang ingin memutuskan hubungan dengan Farel, dia pun tak perlu repot-repot membantu mereka.Di bawah arahan Luca, hadirin akhirnya bubar. Jovita tetap menggandeng lengan Santos, berjalan ke sisi lain ruan

  • Membebaskan Diri Dari Perbudakan Suami dan Anak   Bab 95

    Farel menatap tajam ke arah Santos, seolah-olah ingin mencabik pria itu hidup-hidup.Melihat situasi nyaris meledak menjadi perkelahian, Jovita maju selangkah dan menarik ujung jas Santos.Santos akhirnya melepaskan cengkeramannya. Farel pun terhuyung dan segera ditopang oleh Livia."Kak Farel, aku benaran nggak apa-apa. Kita balik saja yuk ...."Farel masih menatap Jovita dengan mata penuh amarah. "Jovita, kita bahkan belum resmi bercerai, tapi kamu sudah nggak sabar pacaran sama cowok barumu di depan umum. Terus, kamu masih berani tampar Livia? Kamu nggak merasa dirimu murahan?"Santos hendak maju lagi, tetapi Jovita langsung menariknya ke belakang dan berdiri di depannya. "Biar aku yang hadapi. Beberapa hal memang harus kuselesaikan sendiri."Santos terpaksa mundur selangkah, tetapi tetap berjaga di belakang. Jovita menatap Farel dengan dingin, lalu melirik Livia sekilas."Kalian nggak perlu menyalahkan orang lain. Aku dan Pak Santos nggak punya hubungan istimewa. Tapi, kalian? Apa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status