Selamat membaca dan semoga suka, MyRe. Terus dukung novel kita dengan cara vote gems, hadiah, dan Ulasan manis di kolom review. Sehat selalu untuk kalian semua dan sangat!
Setelah selesai memperbaiki ukiran tersebut dengan clay putih, Zana menunggu kering lalu lanjut memberi warna, mengikuti warna yang sama dengan warna pada figura. Di saat Zana sedang sibuk memperbaiki figura tersebut, Nindi tanpa sadar asyik bermain dengan sisa clay. Dia membuat kepala seseorang yang memiliki tanduk runcing. 'Mirip banget sama si bon cabe. Hihihi … tinggal dikasih warna merah pada bagian mata sama tanduknya.' batin Nindi, senyum geli sambil mewarnai karakter buatannya yang hanya terdiri dari kepala tersebut. "Nin, sudah selesai. Tinggal bagian kaca nih," ucap Zana. Nindi langsung meletakkan miniatur karakter yang ia beri nama Cacan tersebut di atas meja. Dia menatap figura yang sudah diperbaiki dengan ekspresi terkejut serta kagum secara bersamaan. "Kak?" Nindi mendekat, menatap figura dengan mata melebar dan pupil mata membesar–pertanda dia sangat takjub, "kerusakannya jadi hilang. I-ini seperti baru lagi," ucapnya, mengamati figura yang kembali terlihat sempu
"Kau mengusirku?" ucap Zeeshan pelan, tanpa melepas tangan istrinya yang masih berjabat dengannya. Cengkeramannya pada tangan Nindi cukup kuat, akan tetapi itu sama sekali tak menyakiti, melainkan memberi rasa hangat dan nyaman. Nindi akui tangan Zeeshan sangat hangat dan nyaman, dia suka. Akan tetapi, Nindi tak akan menunjukkan rasa suka tersebut pada Zeeshan. "Mas harus pergi kerja kan?" Nindi mencoba menarik tangannya akan tetapi Zeeshan semakin mengeratkan cengkeramannya, "tolong lepaskan tanganku, katanya aku harus sarapan," ucapnya dengan nada sedikit kesal dan ketus. Zeeshan melepas tangan perempuan itu, di mana Nindi langsung mendekatkan piring padanya lalu mulai memakan sarapan yang Zeeshan bawakan untuknya. Setelah menghabiskan sarapannya, Nindi segera meraih gelas susu lalu meneguknya hingga habis. Kemudian dia hanya diam, duduk bengong sambil menatap taman yang terlihat segar. Sejujurnya Nindi menunggu pria di sebelahnya berangkat kerja, akan tetapi pria ini tak kun
"Tuan." Alice langsung berdiri ketika melihat Zeeshan datang kemudian membungkuk hormat pada Zeeshan–mengabaikan rambutnya yang kotor akibat tumpahan oatmeal. Zeeshan menatap ke arah Alice, memperhatikan rambut perempuan itu yang dipenuhi tumpahan oatmeal. Kemudian dia menoleh pada Nindi yang sedang memegang mangkuk oatmeal. "Ada apa ini?" tanya Zeeshan dengan nada datar, meletakkan piring dan gelas susu tersebut di tempat Nindi. "Nin, kemarilah." Nindi meletakkan mangkuk mangkuk di atas meja secara kasar. Setelah itu dia berjalan mendekat ke arah Zeeshan. Akan tetapi alih-alih kembali duduk ke tempat semula–di sebelah suaminya, Nindi lewat begitu saja. Dia pergi tanpa mengatakan apapun dan hanya menampilkan raut muka kesal luar biasa. "Nindi, kembali ke sini," panggil Zeeshan, akan tetapi perempuan itu mengabaikan. Nindi sama sekali tak menoleh bahkan mempercepat langkah. Brak' Zeeshan memukul meja dengan sangat kuat, marah karena Nindi meninggalkan meja makan. Setelah itu
'Jadi cintailah aku agar seumur hidupmu bahagia, Nin.' Perkataan Zeeshan tersebut terus mengiang dalam kepala Nindi, terus menghantuinya dan membuatnya kepikiran. "Kenapa aku harus belajar mencintainya? Kenapa bukan dia saja yang belajar?" gumam Nindi, sedang berbaring di tengah ranjang sambil menatap ke arah langit-langit kamar. Senyuman getir muncul di bibirnya, "daripada mencintainya kembali, lebih baik aku memupuk rasa benciku padanya. Karena percuma …- percuma mencintainya, aku hanya dapat sikap dinginnya. Perhatiannya semu, sekalipun intens, itu ia tunjukkan untuk bayi di perutku," monolog Nindi, mencoba tak tergoda oleh ucapan Zeeshan tadi. Setelah Zeeshan mengatakan kalimat itu, di mana pria itu meminta Nindi belajar mencintainya, Nindi tak menjawab apa-apa. Dia hanya diam. Lalu kantuk menyerangnya dan entah apa yang dia pikirkan sehingga dia berakhir tertidur dalam pelukan pria itu. Saat dia bangun, pria itu tak mengungkit apapun lagi. Dia mengajak Nindi makan malam, da
Jantung Nindi seketika terasa akan pecah karena melihat sosok mistis, mengerikan, dan horor di ambang pintu apartemen sahabatnya. "Suamimu," bisik Clara. "Iya, aku tahu!" jawab Nindi cepat, masih menatap Zeeshan yang terlihat melayangkan tatapan tajam ke arahnya. Tatapan pria itu seperti elang yang sedang berburu mangsa, tajam dan membunuh. Nindi meraih ponselnya kemudian segera pergi. "Aku pamit, Ra." "Iya, Sayang. Eh, Nindi maksudnya," gugup Clara, sempat memanggil sayang pada Nindi akan tetapi cepat-cepat ia ganti karena tatapan tajam yang melayang padanya. *** "Aku akan memperbaiki Figura Mas," cicit Nindi, di mana saat ini dia dan Zeeshan masih dalam perjalanan pulang–mobil. Meski Zeeshan tak menyinggung masalah figura, tetapi Nindi inisiatif membahasnya. Dia tahu pria ini sedang marah, dan dia yakin penyebab Zeeshan marah adalah karena figura yang Nindi rusak. "Bagaimana caramu memperbaikinya?" dingin Zeeshan, sama sekali tak menolah pada Nindi, dia memil
"Ini, minum teh-nya dulu," ucap Clara, meletakkan secangkir teh di depan Nindi. Sedangkan Clara, dia masih punya secangkir kopi di atas meja–sudah ada sebelum Nindi datang. "Gimana ini, Ra? Aku panik banget!" ucap Nindi, meraih cangkir teh lalu menyeruput teh buatan Clara. Saat ini Nindi ada di apartemen Clara, setelah sebelumnya kabur dari rumah suaminya karena memecahkan kaca figura legend di ruangan Zeeshan. "Enak banget," ucap Nindi pelan, mengomentari teh yang sudah ia teguk. Nindi kurang suka teh, akan tetapi jika itu teh buatan Clara, Nindi dengan kencang mengatakan kalau dia suka teh. Yah, dia hanya suka teh buatan Clara. Menurutnya teh buatan Clara–jenis teh apapun, itu sangat enak. "Enakan nggak sekarang?" tanya Clara sambil menyeruput kopi hitam miliknya. Clara pecandu kopi, dan favoritnya adalah kopi robusta lokal. "Enakan habis minum teh buatan kamu, tapi deg deg kannya masih ada," jawab Nindi pelan, meletakkan cangkir teh yang tinggal setengah lalu menatap lemas