Akhirnya meski dengan sedikit usaha lebih mobil mereka bisa melewati para wartawan. Raya dan Kai bisa bernapas lega, begitupun dengan sopir yang ada di depan. Sementara itu pengawal yang dibawa Raya tadi berada di mobil berbeda di belakang mereka.
“Reaksimu kenapa begitu? Ngetawain apa?” tanya Kai ketika menangkap cibiran sinis dari Raya. “Nggak, lucu aja sama aktingmu yang terakhir. Harus gitu kamu bilang kalau kamu mau disegerakan punya anak? Dih, jangan sampai ya perkataan menjadi doa. Amit-amit,” kata Raya merinding. “Aku bilang ada niat, bukan berarti itu anak dari kamu kamu,” jawab Kai sinis. “Oh, syukurlah,” balas Raya sambil membuang napas lega. Kai melirik Raya tak suka ketika melihat mobil yang mereka tumpangi berbelok ke arah rumah dinas ayahnya. “Ngapain kita ke rumah papa? Apa nggak bisa kamu berhenti caper sama papa? Mau ngadu? Cari muka?” tuding Kai bertubi-tubi pada Raya. Apalagi kalau bukan? Salah satu hal yang membuat Kai paling muak kepada Raya dibandingkan hal lainnya adalah Raya selalu pintar mencari muka pada ayahnya, perempuan itu selalu menjadi kesayangan ayahnya, bahkan Raya diperlakukan seperti putri kandung kesayangan, bahkan melebihi dirinya. Pastilah setelah kejadian ini Raya tidak akan melewatkan kesempatan untuk mengadu pada ayahnya untuk menarik simpati pria itu kepadanya sebagai menantu yang terdzolimi. Ckck, licik sekali! “Ya, memang mau cari muka. Habis gimana donk? Stok mukaku udah habis tercoreng karena kelakuan suami sendiri,” jawabnya dengan nada tak peduli. Raya merapikan dandanannya sebelum bertemu dengan mertuanya. Ya, begitulah selama ini mama mertuanya mengajarkannya. Selalu well dress, berpenampilan menarik meski itu untuk bertemu dengan siapa saja, keluarga, teman, orang terdekat, bahkan pengemis sekalipun. “Putar balik!” perintah Kai pada supir yang terlihat serius memperhatikan jalanan di depannya. Sedikitpun pria itu tidak merasa terganggu dengan pertengkaran anak dari bosnya itu. “Maaf, Kai. Pak Hartono yang suruh Bapak antar kamu sama Raya ke rumah dinas setelah urusan di apartemen Vero selesai,” kata Pak Budi, sopir lama Pak Hartono. Kai kembali melirik Raya yang sudah selesai touch-up riasannya. Perempuan itu mengangkat pundaknya. “See? Papa yang suruh aku datang jemput kamu di apartemen Vero karena Papa tau ada paparazi yang ngikutin kalian. Dan pas aku kesana ternyata benar, wartawan sudah pada ngumpul di sana. Jadi berhentilah bersikap seolah aku yang menguntitmu ke sana. Asal kamu tau, hubungan cintamu dengan Vero tidak menarik untukku,” jawab Raya. “Lalu, yang menarik bagimu apa? Uang? Apa uang yang kau inginkan agar kau mau berpisah denganku?” Raya bergeming. Kini mobil yang mereka tumpangi telah sampai di depan sebuah rumah dinas kementerian. Sejenak mobil itu berhenti untuk menunggu gerbang dibukakan oleh satpam. “Kenapa tidak menjawab? Kau melakukan ini semata-mata karena menginginkan uang dan masa depan yang cerah kan? Berapa? Berapa uang yang kau inginkan? Aku sanggup memberi berapa pun yang kau inginkan,” kata Kai geram. Raya menghela napas. Bahkan Pak Budi yang berada di depan, mendengar segala tudingan Kai kepada istrinya hanya turut menghela napas melihat betapa kerasnya hati Kai memperlakukan istrinya. Andai itu perempuan lain, Pak Budi yakin, perempuan itu akan menangis tersedu-sedu mendengar setiap ucapan kejam yang dilontarkan Kai padanya. Namun Raya berbeda, seperti biasa, Raya hanya menanggapi kata-kata Kai dengan wajah cuek dan tidak peduli, seakan omongan pria itu tak berpengaruh apa pun padanya. Setangguh itu mental Raya. “Jika kamu kira aku bertahan karena ingin memiliki masa depan cerah, sedari awal aku tidak akan menikah denganmu. Kamu itu nggak ada cerah-cerahnya. Buram!” jawab Raya sambil tersenyum sinis. “Lalu apa? Kalau bukan karena masa depan cerah, lantas kamu anggap aku apa? Neraka? Hahaha? Terus kenapa masih denganku? Sana! Urus perceraian sana!!” Mesin mobil itu kini berhenti. Raya membuka pintu mobil. “Jawab aku, Raya! Apa kamu tidak dengar aku bertanya!” Kai mengejar langkah kaki Raya dan mensejajarinya. “Berhentilah bersikap kekanak-kanakan, Kai! Aku tidak ingin Papa melihat kita ribut terus seperti ini! Setidaknya kalau kamu mau ribut, lakukan di rumah!” “Aku tidak peduli! Biarkan saja Papa lihat, biar dia tahu kamu tidak selembut menantu yang dia pikir selama ini!” “Kau tidak peduli, terserah! Tapi aku peduli! Papa sudah seperti ayahku sendiri. Seperti ayahku yang menjaga papa dari sejak lama, aku juga ingin menjaga papa sebisa yang aku mampu!” kata Raya seraya berjalan lebih dulu. Kai mengusap rambutnya ke belakang sambil tertawa mengejek. Dia terlihat tampan saat melakukan itu, seperti villain dalam drama-drama korea. “Ooh, jadi alasannya itu. Kau ingin menjaga ayahku seperti ayahmu dulu menjaga ayahku. Ckck, ternyata alasannya karena jiwa babu itu! Baik, tetaplah di sisiku sampai ayahku pergi suatu hari nanti!" "Tapi jangan pernah berharap lebih. Jangan berharap aku akan mencintai kamu! Sampai matipun itu tidak akan terjadi! Dan jangan menyalahkan aku kalau waktumu terbuang sia-sia. Saat kau sadar pernikahan ini sia-sia, mungkin saja umurmu sudah menua!” seru Kai pada Raya yang sudah berjalan di depannya. *** “Kalian sudah datang?” sambut Bu Irma saat melihat anak dan menantunya itu masuk ke dalam rumah beriringan. Raya mengulas senyum pada ibu mertuanya itu. “Papa mana, Ma?” “Ada. Papa sudah nungguin kalian sedari tadi,” kata Bu Irma. “Oh, nungguin buat marah-marahin aku pasti!” tebak Kai dengan raut wajah kesal. “Kai!! Mama pengen bicara dulu sama kamu sebelum kamu ketemu Papa. Ray, kamu temuin Papa kamu duluan! Papa lagi di ruang keluarga sedang menonton televisi,” pinta Bu Irma pada menantunya itu. “Baik, Ma,” sahut Raya sembari ia langsung melongos pergi. Tentu perempuan itu punya maksud mengatakan itu karena ada tujuannya. Dia ingin agar menantu kesayangan mereka itu, membujuk suaminya untuk tidak memarahi Kai secara berlebihan. Raya seperti diminta, langsung menemui ayah mertuanya di ruang keluarga dan memberi salim seperti kebiasaannya jika bertemu keluarga yang lebih tua. Pria itu mengusap kepala menantunya seperti memperlakukan putri kecilnya. “Dimana Kai?” tanyanya. “Masih di depan sama Mama, Pa,” jawab Raya. “Pasti Mama kamu lagi briefing anaknya agar tidak melawan Papa kalau dikasih tau. Padahal biarkan sekali saja dia melakukannya biar Papa punya alasan nonjok dia sekalian,” kata Pak Hartawan dengan geram. “E eh, kok Papa malah marah-marah? Nanti darah tingginya kumat loh. Pasti sekarang leher dan pundak Papa lagi kaku ya? Mau Raya pijitin?” tanya Raya menawarkan diri. Pak Hartawan menggeleng sambil melepaskan kaca matanya. “Tidak usah. Kamu pasti capek habis jemput Kai ke apartemen perempuan itu. Papa itu kadang nggak habis pikir, sebenarnya maunya anak itu apa sih? Dikasih istri yang baik malah mau perempuan murahan seperti Veronica itu!” umpat Pak Hartawan. “Nggak capek. Jemput Kai doang mah gampang-gampang aja, Pak. Mereka juga nggak ngapa-ngapain di apartemennya Vero. Wartawan juga sudah diatasi dengan baik, jadi Papa jangan khawatir lagi. Sekarang sini Raya pijitin pundaknya!” Raya memijat pundak mertuanya itu sambil ia mencari-cari chanel televisi yang sekiranya bisa dia tonton sambil memijat pundak mertuanya. Sebisa mungkin Raya menghindari siaran berita maupun gosip selebriti, takut ada hal yang bisa memicu darah tinggi mertuanya kumat lagi. “Stop, stop! Coba kamu mundurin lagi siaran TV-nya ke saluran nomor enam! Ya itu! Benar!” *** Bersambung...“Apa-apaan orang ini? Menyebalkan sekali!” gerutu Raya.Ia memilih mengabaikan chat Kaisar dan berniat untuk merobek tiket yang baru saja diberikan oleh ARTnya itu. Namun niatnya itu urung ia lakukan karena tiba-tiba mertuanya meneleponnya.“Ya, Ma?” sapanya setelah panggilan telepon itu tersambung dengannya.“Raya, kamu nggak lupa kan kalau minggu ini kamu dan Kai mau menghadiri undangan pernikahan putra Pak Wapres?” tanya Bu Irma to the point.Astaga! Raya menepuk jidatnya sendiri. Kenapa untuk hal sepenting itu dia lupa? Beberapa minggu ini sepertinya dia terlalu terlena oleh masalah hubungannya tidak jelas itu dengan Kai. “Ada telepon dari butik loh. Katanya baju yang kita pesan untuk kamu dan Kai itu sudah jadi, tapi kamu belum jemput-jemput. Lupa atau gimana, Ray?” Raya menghembuskan napas kesal terhadap dirinya sendiri.“Ah, iya Ma. Maaf, aku sampai lupa. Nanti sore aku ke butik deh buat ambil bajunya,” janji Raya. “Nah gitu. Coba Mama nggak kasih tau kamu, bisa-bisa sudah d
“Aku nggak setuju kamu pergi. Kalaupun memang kamu harus pergi, aku harus ikut!” tuntut Vero lagi.Kai geleng-geleng kepala sambil menatap Vero tak habis pikir. Semakin lama Veronica semakin keras kepala berbeda dengan sifat yang dia tunjukkan di awal-awal mereka pacaran dulu.“Ver, semakin lama semakin nggak ngerti sama kamu. Kamu tahu sendiri kita itu terlibat dalam skandal. Dan Pak Abhi sudah menyuruh kita untuk saling menjauh dulu selama beberapa waktu ke depan. Dan lagi bagaimana ceritanya kamu mau ikut sementara ada mama sama papaku di situ. Kamu mikir donk!” tandas Kai.“Pokoknya aku nggak mau tahu, Kai. Kamu nggak boleh pergi! Kalau memang kamu capek karena syuting ya liburan aja di rumah nggak perlu ada acara ke luar kota segala kan?” Kai menghela nafas panjang. “Dengar, Ver. Kami ke Bali sekalian menghadiri undangan nikahan anak pak wakil presiden. Gimana ceritanya nggak datang? Dan kamu nggak usah mikir yang aneh-aneh ya! Aku dan Raya nggak bakal melakukan sesuatu sepert
Raya sengaja baru keluar dari kamarnya agak siangan, walaupun dia telah bangun dari sejak subuh tadi. Wanita itu enggan keluar kamar karena malas jika harus bertemu dengan Kai. Raya baru keluar setelah ia memastikan Kai sudah keluar dari rumah. Entah itu untuk syuting atau bertemu dengan Vero Raya sama sekali tidak peduli. Dia jenuh selalu terlibat konflik dengan Kai. Saat hendak turun ke bawah untuk sarapan, ponselnya berdering. Raya memutuskan untuk membawa ponsel itu turun sekalian mengangkat panggilan telepon yang rupanya berasal dari Daniel itu.“[Baru bangun?]” tanya Daniel yang bisa mendengar dengan jelas suara parau Raya. “Umm, iya,” jawab Raya berdusta.Raya tidak ingin Daniel tahu suara parau yang didengar oleh sahabatnya itu berasal dari sisa ia menangis tadi malam. Ya, dia memang sempat menangis dan meratapi nasibnya yang selalu diperlakukan oleh Kai semena-mena. Namun rupanya Daniel tidak begitu saja percaya. Dia curiga sepeninggalannya pergi tadi malam, pasangan su
“Kai!!” protes Raya tak terima kan sikap Kai yang dia pikir tidak sopan itu.“Kenapa, Sayang? Apa yang aku bilang benar kan? Ini sudah jam 10.00 malam dan kamu baru pulang? Kamu bahkan nggak pamit ke aku mau pergi ke mana. Tau nggak, dari tadi aku nungguin kamu pulang?!” balas Kai tak kalah sengit. “Yang nyuruh kamu nungguin aku siapa? Terus apa katamu? Pamit? Nggak sal …”“Ray, sudah!” sela Daniel menengahi pertengkaran pasutri yang ada di depan nya itu. Raya mendengus kesal. Hampir saja dia menunjukkan di depan Daniel bagaimana hubungannya yang sebenarnya dengan Kai. “Aku nggak apa-apa, kok. Benar Apa kata Kai, harusnya kita sudah sedari tadi pulang. Kai, maaf. Aku harusnya minta izin ke kamu dulu sebelum membawa Raya pergi ke acara pernikahan guru SMA kami,” ucap Daniel memohon maaf pada Kai.“Bagus kalau kamu ngerti,” jawab Kai sinis.Daniel mengangguk. Ia merasa masih perlu memberikan sedikit penjelasan lagi alasan keterlambatan mereka pulang hingga malam seperti ini.“Sebena
“Udah ya, Ver. Aku sebenarnya lagi buru-buru nih. Tadi Mama suruh aku Jangan lama-lama karena harus mampir di apotik ini juga untuk beli obatnya Papa,” kata Kai beralasan.“Ah, itu mah alasan kamu aja itu. Kok aku merasa akhir-akhir ini kamu suka menghindar dari aku ya? Kamu nggak sedang ada perempuan lain di hati kamu kan?” tuduh Vero.“Duh, Ver. Kamu jangan suka mengada-ngada. Perempuan lain apa sih? Siapa?”“Raya misalnya?” Vero semakin memicingkan matanya. Kai geleng-geleng kepala. Sebenarnya sudah sejak lama Kai merasa kurang nyaman dengan sikap posesif Vero yang satu ini. Dan dia selalu kewalahan untuk memberi pengertian kepada kekasihnya itu.“Satu-satunya perempuan di hati aku cuma aku. Sudahlah, jangan drama! Kalau kamu merasa akhir-akhir ini aku agak sedikit menjauh, ya karena memang aku agak menjaga jarak saja dengan kamu. Itu untuk kebaikan kita berdua, kebaikan semua pihak. Aku rindu situasi kondusif tanpa banyak konflik, Ver. Tolong kamu bersabar. Ini nggak akan lama,”
Selama hampir setengah jam Kai berada di ruangan Abhi Seta, untuk membicarakan rencana perjalanan bulan madu Kai Raya yang akan disponsori sutradara itu.“Jadi gitu ya, Kai. Nanti di Bali, akan ada tim yang akan memotret kemesraan antara kamu dan Raya. Pokoknya kita ambil foto seromantis mungkin. Jika memungkinkan kita setting tempat di tempat-tempat yang intim seperti ranjang atau kolam renang dengan kamu dan Raya beradegan yang sedikit hotlah … paham-paham aja ya kan? Selain itu ya terserah kamu sama Raya akan menghabiskan waktu di Bali seperti apa,” kata Abhi.“Siip …siip! Pahamlah, masa nggak? Jadi gitu aja ya, Pak? Soalnya saya masih harus pulang ke rumah ini. Ada bini yang nungguin di rumah ini,” kata Kai sekalian berpamitan.“Wah, buru-buru amat. Tumbeen … Jadi curiga saya ini soalnya kamu hari ini tampak beda Kai, berenergi. Apa ada kabar baik?” tanya Abhi kepo.“Ah, perasaan bapak saja. Sudah ah, saya pergi Pak. Yuuuk …”Kai setelah berjabat tangan dan bertos-ria dengan Abhi