"Iya, Mbak. Memangnya sebenernya seperti apa sih, Mbak, kronologinya?" tanya Lusi lagi. Sepertinya, Lusi benar-benar penasaran, dengan kejadian yang sebenarnya dari versiku. Aku pun segera menceritakan semua kejadian di siang itu, setelah kedatangan mertuaku kemudian datang Marni. Aku menceritakan sedetail mungkin, tanpa ditambahkan atau dikurangi, kecuali saat Bu Ratmi mengambil minyak. Aku sengaja tidak menceritakannya kepada Lusi karena aku masih menjaga nama baik keluarga suamiku. "Nah, begitu Lusi kejadian yang sebenarnya. Aku tidak berkata kasar kepada Marni seperti apa yang diucapkan orang-orang. Aku juga bukannya kikir ataupun pelit, saat Marni mau meminjam uang. Karena aku malas saja sama dia, bukankah dia juga sekalu bilang banyak uang? Sehingga dia selalu merendahkan aku setiap saat, di hadapan semua orang. Tapi kenapa, setelah ia merendahkan aku, dia malah ingin berhutang padaku, aneh bukan? Terus setelah aku tidak memberinya pinjaman, dia koar-koar ke semua orang, kalau
"Ya jelaslah aku berani, Marni. Aku dari dulu juga berani melawanmu, aku tidak pernah merasa takut dengan siapa pun selama aku benar. Aku diam bukan berarti aku takut, ya Marni. Tetapi karena aku masih menghargai kamu. Namun, kamu malah semakin melunjak dan aku terus dipojokan. Daripada aku terus teraniaya, lebih baik aku akan memilih untuk melawanmu, Marni." Aku panjang lebar menyahut ucapan Marni, aku kini melawan apapun ucapan Marni. Aku sudah bosan menjadi orang yang tertindas, makanya aku kini akan bangkit untuk melawan semua orang yang akan membuat hidupku serta keluargaku hancur. Aku tidak mau lagi dikata-katai oleh orang-orang yang tidak memiliki hari nurani seperti Marni."Baik kalau begitu kita lihat saja nanti," ujar Marni sambil berlalu pergi, tanpa mengucapkan salam seperti saat dia datang tadi."Mbak Mira, kok ada ya orang seperti itu. Datang tidak dijemput pulang tidak diantar, seperti di film jelangkung saja." Lusi, mengomentari sikapnya Marni yang memang keterlaluan
Bab 20[Oh, alhamdulillah kalau begitu, Ran. Terima kasih juga buat kamu karena telah mengajakku bergabung, buat menjadi reseller di toko online milikmu. Aku jadi mendapat rezeki sebanyak ini, terima kasih ya!] Aku berterima kasih kepada Rani karena merasa bahagia, mendapatkan rezeki yang lumayan besar untuk menambah pundi-pundi rupiah ditabunganku.[Iya, Mira sama-sama,] sahut Rani, ia kembali membalas chat dariku.Setelah itu, aku tidak lagi mengirim chat kepada Rani. Namun, aku membuka sms yang ternyata dari mbanking. Aku membuka sms tersebut, ternyata ada dua transferan ke nomer rekeningku, tetapi dari dua nomer yang berbeda. Pertama transfer atas nama Rani dan yang kedua, dari platform menulis yang aku ikut bernaung di dalamnya."Alhamdulillah ya Allah," lirihku, merasa sangat bahagia setelah melihat angka yang tertera di dalamnya.Bulan ini, aku mendapat transferan dari platform sebanyak lima juta rupiah. Ditambah, transferan dari Rani dua juta jadi total semua pemasukanku untuk
"Sudah, Mbak diam dulu! Nanti juga Mbak bakal tau kok, apa yang aku kasih sama mereka." Lusi berbisik kepadaku."Oh, baiklah," sahutku.Aku pun menuruti perkataan Lusi, aku hanya diam dan melihat reaksi emak-emak, yang sedang melihat sesuatu di handphonenya Lusi. Sebenarnya aku juga benar-benar penasaran, dengan apa yang dimaksud Lusi ini. Tapi aku berusaha memendam dulu, mungkin nanti Lusi akan menjelaskannya."Marni, jadi kamu itu membohongi kami ya?" tanya Bu Asmi, sambil melipat tangan di dadanya."Apa maksud, Bu Asmi?" Marni bertanya balik."Tuh, kamu lihat sendiri! Kemudian kamu jelaskan sama kami, ini maksudnya apa?"tanya Bu Asmi."Bu Nuri berikan handphonenya kepada Marni, biar dia melihatnya kemudian dia harus menjelaskannya!" Bu Asmi menyuruh Bu Nuri untuk menyerahkan handphone Lusi kepada Marni.Marni pun menerima handphone tersebut, yang disodorkan oleh Bu Nuri. Kemudian dia pun melihat ke arah handphone Lusi, ia menonton apa yang dilihat Bu Asmi, serta Ibu-ibu yang lain.
Setelah itu, semua Ibu-ibu yang berjumlah lima orang tersebut langsung pergi dari hadapan kami. Mereka semua pasti segan, dengan ancaman Bu Asri yang akan membawa suaminya, jika mereka tidak segera pergi dari kontrakan miliknya itu.Setelah kepergian Ibu- Ibu gemuk Marni tersebut, aku dan Lusi pun masuk ke rumah kami masing-masing. Begitu juga dengan Bu Asri, ia pun pulang karena kebetulan sudah waktunya shalat dzuhur.***"Mas, kamu tahu nggak, kalau tadi aku di labrak sama Ibu-ibu, yang suka nongkrong di warungnya Bu Ami?" Aku bertanya kepada Mas Romi, tentang kejadian yang memintaku tadi siang. "Memangnya kenapa, Dek? Mereka melabrak kamu?" tanya balik Mas Romi.Mas Romi jiga sepertinya heran, kenapa aku bisa sampai di landak oleh Ibu-ibu. Kebetulan saat ini kami sudah berada di kamar, sebab seperti biasanya setiap malam dan sebelum kami tidur. Kami selalu membahas tentang kejadian seharian yang kamu alami. "Biasa, Mas, gara-gara mulutnya si Marni." Aku memberitahu Mas Romi, ke
Rupanya Mas Rendi, tadi siang pulang dulu ke rumah Ibunya, hanya untuk meminta bantuan kepada Ibu dan Kakaknya. Tetapi kenyataannya, Mas Romi sama sekali tidak mengatakan niatnya kepada mereka. Karena ia mendapatiku, sedang diperlakukan sewenang-wenang oleh keluarganya."Mas, apa boleh Mira meminta alamat rumahnya?" tanyaku."Untuk apa, Dek?" Mas Romi bertanya balik kepadaku."Mas, tadi Rani bicara padaku, kalau dia sedang mencari rumah buat investasi. Bagaimana, kalau kita memberitau Rani saja, supaya ia yang membeli rumahnya? Sayang 'kan Mas, kalau rumahnya sampai diambil orang lain?" Aku memberitahu Mas Romi, tentang alasanku meminta alamat rumah, yang akan di jual tersebut.Aku sengaja membawa nama Rani untuk meminta alamat tersebut, sebab kalau aku meminta secara langsung, Mas Romi pasti akan banyak tanya kepadaku. Sedangkan aku belum mau memberitahu Mas Romi, kalau akulah yang ingin melihat rumah tersebut. Jika rumahnya sesuai dengan keinginanku, aku akan segera membelinya. Aku
Mereka berdua menyeberangi jalan, kemudian masuk ke sebuah mini market. Setelah kepergian mertua serta iparku, ada angkot datang dan aku pun segera menyetopkan angkot tersebut. Aku lalu masuk ke dalam angkot tersebut, kemudian mobil angkotnya kembali melaju.Aku pun kini telah menduduki bangku, yang ada di mobil angkot tersebut. Menetukan myatannyactidak terlalu penuh, jadi masih leluasa buatku. Setelah sampai persimpangan jalan yang menuju rumahku, aku menghentikan laju angkot tersebut. Aku turun dari mobil angkot tersebut, kemudian aku berjalan kaki menuju rumah kontrakanku. Sesampainya di depan rumah kontrakanku, aku segera membuka kunci pintu dan segera masuk ke dalamnya. Aku beristirahat sejenak, sebelum melakukan aktivitas seperti memasak dan lain sebagainya. Sebab aku belum menyiapkan makan siang buat keluargaku.*****"Dek, bagaimana dengan Rani? Jadi nggak dia membeli rumahnya?" tanya Mas Romi, saat dia beristirahat seusai pulang kerja."Jadi, Mas. Bahkan minggu depan transa
"Terserah aku dong, Mbak, kalau aku mau ngapain juga! Bibir-bibir aku, yang bercerita juga aku," sahut MarniIa seenak udelnya saja menjawab, sepertinya Marni sama sekali tidak merasa bersalah atas apa yang telah dilakukannya sama aku. Mungkin juga hati si Marni ini telah tertutup, oleh sifat iri dan dengkinya terhadapku. "Iya, Marni, memang yang bicara itu mulut kamu. Tapi yang dibicarakan sama kamu itu tentang aku, mending kalau kamu bicara semua itu, tentang aku itu hal yang nyata. Kebanyakan yang kamu omongin itu, hanya fitnahan untukku. Makanya aku minta sama kamu, kamu nggak perlu lagi kepo sama kehidupanku." Aku kembali menegaskan kepada Marni, kalau setiap kali dia bicara tentangku, ia selalu saja menyakiti hatiku."Alah, Mbak Mira. Bicaramu seperti orang yang tidak pernah ngomongin orang saja, sampai berani menasehatiku seperti itu." Marni tidak terima, saat aku minta supaya dia jangan mengganggu kehidupanku.Marni rupanya tersinggung, dengan ucapanku kalau dirinya suka seka