Share

Bab 7

"Sam...!!" Jerit Widya kaget bukan main ketika roda sebelah kiri Landcruser melenceng dari aspal jalan turun ke tanah.

   Sam turut kaget sekaligus terjaga dari kantuknya oleh jeritan Widya. Sam segera membanting kemudi ke kanan mengembalikan Landcruser ke permukaan aspal jalan. Landcruser kembali melaju sempurna di badan jalan seutuhnya.

   "Jangan paksakan, Sam! Kamu harus istirahat! Hampir saja mobilmu ini  tersungkur ke parit yang cukup dalam."

   "Sama sekali tidak terasa? Mataku kehilangan fokus sepersekian detik saja, arah mobil ini melenceng jauh?" Sam mengucek sepasang matanya.

   Sepersekian detik dalam kecepatan tinggi, tentu saja bisa jauh melenceng, Sam. Sini aku gantikan. Atau kita istirahat dulu?"

   "Kita baru saja memasuki kota Ciamis. Seingatku di depan sana ada hotel. Kita istirahat di sana."

   "Berapa lama kita sampai hotel itu?"

   "Sepuluh menit, kira-kira."

   "Masih sanggup kamu terjaga sepuluh menit lagi, Sam?" Widya mendadak tak percaya diri jadi penumpang Sam. Ingin sekali ia mengambil alih kemudi dari Sam.

   Sam menoleh sebentar pada Widya, "Jangan khawatir. Aku tak akan mengulanginya."

   Sepuluh menit kemudian Landcruser memasuki area parkir hotel TP di pusat kota Ciamis. Hotel TP setara bintang tiga, hotel termewah yang ada di kota Ciamis. Sam menurunkan Widya persis di depan lobi hotel, lalu ia mengarahkan Landcruser ke area parkir.

   Widya langsung menuju meja receptionis menjinjing tas pakaiannya. Setelah mendengarkan sambutan dan keterangan ketersediaan kamar dari salah seorang receptionis, Widya tidak langsung memesan kamar melainkan menunggu Sam. Widya berdiri di muka meja receptionis menunggu kedatangan Sam.

   "Sudah pesan?" Tanya Sam setelah di hadapan Widya.

   "Yang tersisa kamar Super Dulux saja," sahut Widya mimik wajahnya serupa melihat sesuatu yang lucu.

   "Memang itu kan, kamar terbaik dari hotel bintang tiga?"

   "Masalahnya, yang tersisa hanya satu kamar saja dengan tempat tidur tunggal."

   "Penuh?"

   Widya mengangguk.

   "Area parkir saja kosong begitu? Kamar hotel ini terisi penuh?"

   "Sedang ada gelaran olahraga tingkat provinsi, katanya. Hotel ini di booking kontingen dari Bandung. Kecuali kamar Super Dulux yang satu itu," Widya mengabarkan apa yang diberitahukan oleh receptionis.

   Sam tercenung sejenak, "Kalau kamu keberatan sekamar denganku, kita cari hotel lain," usul Sam.

   Widya menggeleng, "Itu pertanyaanku untukmu, Sam. Kamu keberatan, tidak?"

   "Aku hanya perlu tidur satu-dua jam saja, sudah cukup."

   "Ya, sudah," Widya memutuskan memesan kamar yang tersisa.

   Kamar yang dihuni Sam dan Widya berada di lantai dua, letaknya persis di atas lobi. Dari balkon kamar, area parkir di muka hotel nampak terhampar jelas. Lalu-lintas kendaraan di depan hotel pun nampak riuh namun kebisingan deru mesin kendaraan yang melintas tidaklah mengganggu sampai ke dalam kamar.

   Setelah memasuki kamar, Sam langsung membanting tubuhnya ke atas kasur tanpa melepas sepatu terlebih dahulu. Sam benar-benar tak kuasa melawan lelah dan kantuknya.

   Widya pun merasakan lelah meski sempat tertidur sesaat dalam perjalanan, tetapi ia masih merasakan tubuhnya lengket tidaklah nyaman. Sempat mandi alakadarnya di Race Area, tapi itu dirasai Widya serupa mandi asal-asalan saja. Widya memilih mandi dulu sebelum tidur.

   Seusai mandi, Widya musti bersabar untuk tidak langsung istirahat menyusul Sam. Widya perlu mengeringkan rambutnya terlebih dahulu. Menggunakan alat pengering rambut miliknya, Widya duduk membelakangi meja-cermin, menghadap ke tubuh Sam yang tidur telentang.

   Sembari memainkan helaian rambut panjangnya ditiupi uap panas dari alat pengering rambut, Widya leluasa membelai sekujur tubuh Sam dengan tatapannya yang entah mengapa ia menyukai Sam dalam waktu sesingkat itu? Secara fisik Sam tentu tak akan kesulitan untuk mendekati wanita seperti apa pun karena Sam seorang gagah-rupawan, juga Sam seorang kepercayaan Pengusaha besar sekalibet Mr. Ben. Tentu itu adalah sesuatu yang wajar bila Sam didamkan para gadis. Tetapi diluar kelebihan yang ada pada Sam, Widya lebih terkesan oleh sikap Sam yang sangat menghargai kaum perempuan.

   Widya tak memungkiri mengidamkan pasangan yang rupawan, mapan secara ekonomi, dan bertanggungjawab. Tiga sarat itu mungkin tidak sulit ditemukan dari seorang lelaki masa kini, tetapi jika pun tiga sarat itu dapat dipenuhi oleh banyak lelaki, belum tentu mereka memiliki pemahaman rasa hormat kepada kaum ibunya, seperti Sam.

   Widya sudah seringkali menemukan lelaki yang memiliki tiga sarat itu, tetapi Widya belum pernah dipertemukan dengan lelaki yang menghargai wanita tidak dari strata sosial belaka. Sudah tak terhitung Widya menemani tamunya dari kalangan eksekutiv yang dikenal beradab, tapi sudut pandangnya terhadap wanita penghibur seperti dirinya, sama saja dengan lelaki kebanyakan yang beranggapan; wanita penghibur adalah wujud perempuan yang diperjual-belikan tubuhnya tanpa hak dihormati, dihargai.

   Hampir setengah jam Widya memandangi Sam, kini rambutnya cukup mengering dan matanya pun mulai dirasa berat didera kantuk. Widya menyudahi kegiatannya mengeringkan rambut lalu mengganti handuk yang membalut tubuhnya berganti dengan pakaian tidurnya. Hanya mengenakan pakaian tidur tanpa pakaian dalam, Widya bersiap merebahkan diri di sebelah Sam namun mata Widya tertuju pada sepatu Sam. Berpikir sepatu akan mengurangi kenyaman tidur Sam, hati-hati sekali Widya melepas sepatu di kaki Sam yang sudah pulas dari satu jam lalu.

   Entah karena dorongan apa, Widya merasa nyaman tidur miring menghadap ke tubuh Sam yang telentang. Widya begitu dekat dan leluasa memandangi wajah Sam yang nampak kusut karena kurang istirahat namun pesona wajah rupawan Sam tak mengurangi daya pikatnya di mata Widya. Meski dirinya tahu sedang dalam pelarian, berada di samping Sam, Widya tidak lagi merasa takut luar biasa seperti waktu awal bertemu dengan Sam. Widya kian percaya Sam benar-benar sedang berupaya melindunginya.

   Antara satu jam Widya tertidur, dalam keadaan setengah sadar Widya merasakan beban berat di bagian pinggulnya, juga ada yang menindih pada lengangnya. Widya berupaya membuka matanya yang dirasa lengket oleh tekanan kantuknya. Perlahan Widya membuka mata dan Widya hampir terjingkat-kaget oleh wajah Sam yang menghadap ke wajahnya dekat sekali. Mengertilah Widya beban berat yang menindih pinggulnya adalah sebelah kaki Sam, dan sebelah tangan Sam menyampir pada lengan Widya.

   Widya sempat berpikir Sam telah melakukan sesuatu pada dirinya, hati-hati Widya menurunkan kaki dan tangan Sam dari tubuhnya lalu memeriksa bagian tubuhnya yang kira-kira sudah dijamah oleh Sam. Luput, Widya tak merasakan sesuatu yang aneh pada dirinya. Kaki dan tangan Sam itu mungkin hanya karena refleks saja terdorong alam bawah sadar Sam menganggap tubuh Widya berupa bantal guling belaka? Praduga Widya.

   Posisi tidur Sam yang miring berhadapan dengan dirinya, lambat-laun menjadikan Widya sendiri yang terpantik gairahnya. Wajah rupawan Sam yang polos saat tertidur, sulit ditepis naluri kewanitaan Widya bahwa dirinya kesulitan mengabaikan godaan pesona Sam. Penuh kesadaran akan menanggungkan malu jika Sam terjaga, perlahan Widya nekad menyentuhkan bibirnya ke bibir Sam.

   Mula-mula sentuhan kecil saja bibir Widya menikmati bibir Sam, kemudian perlahan gairah Widya kian terbangkitkan. Bibir Widya pun tak lagi menyentuh lembut, melainkan melumat penuh bibir Sam serta lidah Widya mulai bermain menerobos barisan gigi Sam menggapai lidah Sam di dalam rongga mulutnya.

   Akibat permainan lidah Widya di mulut Sam, Sam tersedak kemudian terjaga. Sam terjingkat mengetahui Widya sedang mencumbunya tanpa tatapan merendahkan Widya.

   "Tadi kaki dan tanganmu mungkin mengira tubuhku ini bantal guling, Sam? Kamu merangkulku. Dan..." Widya tersipu.

   Dalam posisi tubuh tetap miring menghadap Widya, Sam menatap lekat ke manik mata Widya seolah mencari sesuatu yang bermakna dari kedalaman jiwa Widya.

   "Aku harap kamu tidak menilai aku binal, kalau aku jujur terpikat olehmu, Sam," Widya berterusterang menjawab pertanyaan mata Sam.

   "Kamu menginginkannya?" Sam belum yakin dengan keterusterangan Widya.

   Widya mengangguk cepat dengan wajah berseri.

   "Kita akan melakukannya seperti kamu melayani...?" Sam tak berani meneruskan.

   Widya menggeleng, "Aku ingin melakukannya seperti sepasang kekasih, Sam."

   Sam tersenyum mengerti dan ia tak menunda waktu berlekas mencumbu-membalas gairah Widya yang menggelora.

   "Pakaianmu, Sam?" Setelah bermenit lamanya berebut kenikmatan berciuman, Widya mengingatkan Sam agar melepas pakaiannya.

   "Aku tidak membawa kondom, bagaimana ini?" Sam ragu melanjutkan setelah tak ada sehelai benang pun pada tubuhnya.

   Widya menarik tubuh Sam ke atas tubuhnya yang juga telah terbebas dari pakaian tidurnya, "Ada kondom di tas-ku. Tapi tak perlu-lah kamu gunakan. Khusus untukmu, asal kamu bertanggungjawab, lakukan sesuka hatimu, Sam. Mau di dalam atau di luar, terserah kamu. Terpenting kita sama-sama menikmatinya."

   "Sungguh?" Tanya Sam seraya menyerbu buah dada Widya yang ranum dengan mulutnya.

    "Izinkan aku mencumbu milikmu yang perkasa itu terlebih dahulu, Sam," tanpa ragu Widya utarakan keinginannya.

   Sam tersenyum mengerti, "Biar adil, aku pun ingin berkenalan dengan milikmu."

   "Enam sembilan?"

   Sam mengangguk dan ia segera telentang disusul Widya menaiki tubuh Sam dengab posisi berlawanan.

   Seolah keduanya sama-sama berpengalaman Bercinta, Sam dan Widya memerlukan waktu setengah jam sebelum menuntaskan hasrat masing-masing hingga mencapai puncak kenikmatan setelah berganti bermacam gaya. Tiba dipuncak nikmat-syahwat, mereka pun terkulai layu saling berpelukan.

   "Terima kasih, Sam. Tak disangka, setelah sekian lama mengidamkannya, akhirnya aku dapat menikmatinya sepenuh hati. Aku belum percaya, mimpiku tadi, kini jadi kenyataan?" Widya berkata lirih serta menghadiahi Sam senyum kepuasan.

   "Apakah kita benar-benar Bercinta atas dasar saling suka? Bukan sekedar nafsu belaka, Widya?"

   "Aku sangat menikmatinya. Entah denganmu? Jijik-kah aku di mata-mu, Sam?"

   Telunjuk Sam gesit menempel pada bibir Widya, " Jangan ungkit masa yang terlewati, Widya. Kalau benar aku bisa memenuhi harapanmu, berjanjilah mulai detik ini, kamu akan meninggalkanya. Bangunlah kehidupan baru bersamaku!"

   "Sungguh, Sam? Kamu menerima aku begini adanya?"

   "Akan aku coba memulihkan kepercayaanku terhadap perempuan, yaitu kepadamu, Widya."

   "Asal dikemudian hari kamu tak akan ungkit masa lalu-ku, sumpah demi keselamatan ibu-ku, aku tak akan mengkhianatimu, Sam. Juga aku penuhi permintaanmu, mulai detik ini, aku berhenti dari dunia hina itu, Sam," ikrar Widya matanya berkaca-kaca, antara senang dan sulit percaya dirinya begitu mudah jatuh hati pada Sam, dan Sam begitu menghargai dirinya.

   "Demi keselamatan ibu-ku juga, aku berjanji tak akan pernah mengungkit masa lalu-mu," Sam mengecup kening Widya, "Aku masih perlu menghimpun tenaga untuk melanjutkan perjalanan."

   "Tidurlah kembali, Sam," Widya menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, juga Sam, keduanya masih telanjang bulat berangkulan di bawah selimut.

   Meski hanya untuk sementara waktu saja, kekacauan pikiran Widya sebagai pelarian tergantikan oleh suka-cita. Widya tak menyangka ketertarikannya pada Sam, bersambut baik berbuah kebahagiaan bersama. Bagi Widya mimpinya dalam perjalanan tadi pagi sungguh ajaib berubah jadi kenyataan di hari yang sama. Misteri hati memang sulit dipahami, tetapi Semesta tahu cara mentautkan dua hati yang saling tulus mencintai.

   

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status