Masuk melalui gerbang Tol Jagorawi, sebuah Minivan hitam meluncur cepat menuju Bandung. Burhan dan Tyo duduk di kursi tengah, satu orang rekan Burhan di kursi depan dan seorang lagi mengemudi.
"Burhan, kenapa Bos kalian tidak melapor Polisi saja kalau memang mencurigai Widya pelakunya?" Tanya Tyo, kali ini kepalanya sudah dibebaskan dari kain penutup.
"Itu bukan urusanku. Juga bukan urusanmu, Tyo. Aku sendiri tidak tahu kepentingan Bos itu apa mengharuskan aku jangan sampai didahului Polisi menangkap Widya dan Sam? Yang aku tahu, tadi pagi aku turut menyaksikan berita di tv telah ditemukan seorang tamu hotel JWM telah meninggal dunia dalam posisi duduk di kursi di dalam kamarnya. Yang ditemukan meninggal itu tak lain adalah, Mr. Ben. Sedangkan Widya yang menemani Mr. Ben, sudah menghilang," sahut Burhan kini sikapnya pada Tyo lebih bersahabat setelah Tyo menyatakan sikap dirinya bersedia bekerjasama.
"Bos-mu mengenal Sam. Apakah kamu juga mengenalnya, Burhan?"
"Tentu saja. Aku pengawal pribadi Bos. Meski tidak pernah berinteraksi langsung dengan Sam dalam suatu urusan, setidaknya aku sering melihat Sam dari dekat sekali tiap kali Bos bertemu Sam."
"Sam itu kolega bisnis Bos-mu?"
"Setahuku, Sam itu pengawal pribadi sekaligus orang kepercayaan Mr. Ben dalam urusan bisnisnya di Indonesia. Sedangkan Bos-ku, mitra utama Mr. Ben dalam urusan eksport Batu Bara dan Kelapa Sawit. Jadi, selagi Mr. Ben sedang berada di negaranya, Sam itu yang mengurusi bisnisnya di Indonesia."
"Kalau begitu, Sam dan Bos-mu saling mengenal dengan baik?"
"Keduanya saling mengenal dengan baik. Mereka mitra sekaligus teman dekat. Sebelum menjadi orang kepercayaan Mr. Ben, Sam adalah orang kepercayaan Bos-ku sendiri dalam menjalankan bisnisnya."
"Mungkinkah setelah Sam bekerja pada Mr. Ben, Bos-mu tidak terima dan terjadi perselisihan di antara mereka?" Tyo terus bertanya dan ia sendiri merasa aneh, kali ini Burhan terus meladeni setiap pertanyaannya.
"Entahlah? Aku sendiri tidak habis pikir dengan persoalan ini? Aku hanya seorang Pengawal pribadi, Tyo. Apa bisa aku perbuat selain menunaikan tugas dari Bos?" Burhan seperti baru menyadari, apa gerangan yang terjadi sesungguhnya antara Bos dengan Sam? Dan kenapa Bos tidak cukup melaporkan Sam dan Widya ke Polisi kalau memang mereka berdua dianggap bertanggungjawab atas kematian Mr. Ben?
Minivan benar-benar dipaksa melaju cepat tanpa pertimbangan batas kemampuan lari kendaraan sesuai rancangan pabrik. Burhan tahu rekannya sang Pengemudi sedang menunaikan perintah dirinya agar segera dapat menyusul objek yang sedang diburunya.
"Bagaimana kalau kamu lapor Polisi saja, Burhan? Tanpa sepengatuhan Bos?" Alih Tyo pertanyaannya terkesan polos.
Burhan menoleh cepat menatap Tyo lekat-lekat. "Maksudmu, Tyo?"
"Agar kita tidak perlu repot menyusul Sam dan Widya. Kita lapor Polisi saja. Ke manapun mereka pergi, aku bisa menunjukkan keberadaan mereka kepada Polisi. Polisi di wilayah terdekat dengan keberadaan Sam dan Widya akan dengan mudah dapat menangkap mereka."
"Persoalannya bukan cukup menangkap mereka. Justru Bos tidak ingin mereka ditangkap Polisi. Alasan kenapa Bos menghendaki itu, tolong kamu berhenti bertanya, Tyo. Aku sendiri pusing tak mengerti apa yang ada di kepala Bos?" Burhan seperti mulai capek membincangkan Bos-nya sendiri.
"Sungguh aku sulit memahami apa yang tengah terjadi ini?" Gumam Tyo bertanya pada dirinya namun cukup jelas didengar Burhan.
"Karena itu berhentilah keinginanmu untuk tahu urusan yang bukan urusan kita, Tyo."
"Sudah dua tahun aku bekerja pada Widya, baru ini dia mendatangkan kesulitan untukku. Meskipun aku masih meyakini, Widya tak ada andil atas kematian Mr. Ben."
"Daripada kamu menduga-duga hal yang sulit kamu pahami, baiknya kamu coba cek keberadaan mereka. Sekarang posisi mereka di mana?" Burhan mengusulkan.
Tyo segera memantau keberadaan Widya terkini di ponselnya, "Mereka sedang melintasi jalan Limbangan. Wilayah Garut Utara."
"Menuju ke mana kira-kira, mereka?"
"Limbangan itu bagian dari jalur utama provinsi lintas Selatan Jawa. Kalau mereka terus mengikuti jalur Selatan Jawa, mereka akan melintasi kota Tasikmalaya, kota Ciamis, kota Banjar, setelah Banjar mereka akan melewati perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Selanjutnya aku tak tahu Sam dan Widya hendak pergi ke mana?"
"Andai mereka berhenti di titik keberadaannya sekarang, kita perlu berapa jam dapat menyusulnya?"
"Tanpa gangguan dalam perjalanan, sekitar tiga-empat jam kita dapat menyusulnya."
Burhan geleng-geleng kepala mengisyaratkan bukan hal mudah mengejar buruannya dengan selisih waktu tiga-empat jam.
"Aku memang bisa terus memantau keberadaan Widya. Tetapi kalau keberadaannya terus bergerak, aku tidak tahu berapa lama waktu yang kita perlukan untuk menyusul mereka, Burhan?"
"Tak apa lah, Tyo. Terpenting aku menunaikan perintah Bos. Dan kamu tetap aman selagi mau bekerjasama denganku."
Tyo tak bersahut. Dalam dadanya bergemuruh amarah pada Burhan namun ia jujur pada dirinya bahwa kemampuannya tak bisa meng-ungguli Burhan dan dua orang temannya. Andai Burhan seorang diri saja, sekalipun tubuhnya kalah besar oleh Burhan, Tyo akan mencoba berontak.
"Jika mobil ini dapat melaju lebih cepat lagi, lakukanlah!" Titah Burhan pada Pngemudi.
Tanpa bersuara, Pengemudi melaksanakan perintah Burhan. Minivan lebih cepat lagi melaju meski penumpangnya di dalam kabin merasakan ketidaknyamanan karena Minivan tidak dirancang untuk melaju cepat melampaui kapasitasnya.
"Sam...!!" Jerit Widya kaget bukan main ketika roda sebelah kiri Landcruser melenceng dari aspal jalan turun ke tanah. Sam turut kaget sekaligus terjaga dari kantuknya oleh jeritan Widya. Sam segera membanting kemudi ke kanan mengembalikan Landcruser ke permukaan aspal jalan. Landcruser kembali melaju sempurna di badan jalan seutuhnya. "Jangan paksakan, Sam! Kamu harus istirahat! Hampir saja mobilmu ini tersungkur ke parit yang cukup dalam." "Sama sekali tidak terasa? Mataku kehilangan fokus sepersekian detik saja, arah mobil ini melenceng jauh?" Sam mengucek sepasang matanya. Sepersekian detik dalam kecepatan tinggi, tentu saja bisa jauh melenceng, Sam. Sini aku gantikan. Atau kita istirahat dulu?" "Kita baru saja memasuki kota Ciamis. Seingatku di depan sana ada hotel. Kita istirahat di sana." "Berapa lama kita sampai hotel itu?" "Sepulu
Menjelang petang Widya terjaga mendahului Sam yang belum nampak tanda-tanda segera bangun dari tidurnya. Akibat tadi malam tidak tidur sama sekali dan harus melakukan perjalanan jauh, ditambah tiga jam lalu usai Bercinta, menjadikan Sam makin terkuras sisa-sisa tenaganya. Widya harus mengulang mandi setelah keringat di tubuhnya menyatu dengan keringat Sam. Ada kelelahan berpadu suka-cita berbaur merubungi perasaan Widya. Sejujurnya Widya masih ragu telah terjadi pertautan asmara yang teramat cepat antara dirinya dengan Sam. Namun begitu Widya berupaya memelihara harapan baik terhadap Sam. Selesai mandi Widya harus mengulang juga mengeringkan rambutnya. Ketika tangannya hendak memungut alat pengering rambut di atas meja, Widya melihat layar ponselnya yang tergeletak di meja yang sama, menyala oleh satu pesan yang masuk. Segera Widya menyambar ponselnya. Widya hampir membuka pesan tetapi pada layar ponsel terlihat adanya jejak panggilan tak te
Sedari dua jam lalu, dengan alasan hendak menemui kolega yang menginap di hotel TP, Tyo izin pada karyawan hotel yang bertugas dan dipersilahkan oleh satuan pengamanan hotel untuk menunggu di lobi hotel dikawal dua orang teman Burhan. Mereka bertiga duduk-duduk tenang menirukan gaya seorang yang sedang mengemban urusan penting dengan tamu hotel yang hendak ditemuinya. Tyo sudah satu jam menunggu Widya yang sudah berjanji hendak menemuinya. Karena menunggu sesuatu yang membosankan, ditambah tubuh kelelahan, baik Tyo dan dua pengawalnya tertidur sejak Tyo menyudahi percakapan terakhir kali dengan Widya per-telepon, antara satu jam lalu. Ketiganya terlelap di kursi masing-masing melingkungi meja, saling berhadapan. Sedang pulas dalam tidurnya, Tyo dipaksa bangun oleh getaran ponsel di saku celananya. Mengutuk dalam hati setelah tahu siapa yang menghubnginya, tak urung Tyo menerima panggilan telepon, "Ya, Burhan?" "Belum
Minivan dipacu melampaui batas kecepatan yang tak sesuai peruntukkannya hingga Tyo dan Burhan sebagai penumpang di kursi belakang yang semula enggan menggunakan sabuk pengaman, terpaksa mereka pasangkan pada tubuhnya guna menghindari berkali-kali guncangan, akibat manufer Pengemudi yang diperintah Burhan agar segera dapat menyusul buruannya. "Apakah kita semakin mendekati mereka, Tyo?" Tanya Burhan pada Tyo yang perhatiannya tak lepas dari layar ponselnya mencermati titik target yang sedang dikejarnya. "Jarak kita dengan mereka kian mendekat. Sekitar sepuluh kilometer lagi selisih mereka dengan kita," sahut Tyo, matanya beralih memantau sekitar jalan yang dilaluinya. "Sepuluh kilometer itu, bukan jarak yang dekat, Tyo!" Gerutu Burhan. "Dibanding awal tadi kita mengejar mereka, selisih jarak dengan mereka lebih dua puluh kilometer, Burhan. Ternyata Pengemudi kita cukup bisa diandalkan dalam peng
Dua jam sejak meninggalkan Ciamis, bersama Landcrusernya kini Sam tengah melintasi daerah Banjarsari. Dari Banjarsari menyisakan satu jam untuk tiba di Pangandaran. Sam mengemudi dalam kecepatan wajar, sesuai permintaan Widya yang ingin menikmati setiap pemandangan sepanjang jalan, bertepatan malam ini merupakan malam purnama. Cahaya Bulan menciptakan gemerlap cahaya pada hamparan pematang sawah, juga menerangi pedesaan serta perbukitan yang sedang dilaluinya. "Kira-kira ke mana Truk itu membawa sepatumu, Sam?" Tanya Widya letak duduknya agak miring setengah menghadap pada Sam. "Entahlah? Dari Ciamis, tadi kita melewati kota Banjar. Kalau dari Banjar, Truk itu terus mengikuti jalan antar provinsi, Truk itu akan memasuki wilayah Jawa Tengah." "Mungkinkah Truk itu terkejar oleh Tyo dan...siapa itu namanya? Pelayan kamar itu?" "Burhan?" "Ya, Itu, Burhan. Jadi kamu mengenalinya, Sam?
"Bodoh, kalian..!" Hardik Dance dari ujung telepon setelah mendengarkan laporan dari Burhan, "...aku tidak mau kalian gagal! Kalian berempat tidak mencari cara lain, Burhan? Menemukan dan membawa mereka ke hadapanku?" "Maaf, Bos. Semua akan selesai kalau Tyo mendengarkan saranku." "Saranmu yang mana yang tak digubris Tyo?" "Andai Tyo menuruti saranku mendatangi kamarnya waktu mereka masih di hotel, mungkin kami telah membawa mereka ke hadapan Bos?" Kilah Burhan mengerling pada Tyo yang duduk di sebelahnya di sebuah rumah makan. "Bukan waktunya saling menyalahkan, Burhan! Sekarang kalian di mana?" Burhan bertanya melalui mata pada Tyo. "Banjar!" sahut Tyo disela menikmati rokok seusai bersantap malam. "Posisi kami di Banjar, Bos," Burhan meneruskan ke Dance. "Banjar?" "Betul, Bos." &n
Widya merasa jauh lebih segar setelah mandi, sisa-sisa tenaganya akibat terkuras bersama Sam karena Bercinta sepanjang malam, kini berangsur pulih tersirat dari wajahnya yang ceria. Andai tidak karena keharusan untuk segera mendatangi suatu tempat bersama Sam, Widya masih betah berleha-leha di atas pembaringan, bergumul bersama Sam di bawah selimut yang sama. Widya memutuskan tetap mengenakan pakaian kemarin sore; celana denim mini, kaos ketat tanpa lengan, dan jaket denim yang akan ia kenakan ketika di luar ruangan. Sudah menjadi ritual khusus bagi perempuan berambut panjang seperti dirinya, Widya memerlukan waktu untuk mengeringkan rambutnya terlebih dahulu sebelum merias wajah alakadarnya. Duduk di tepian tempat tidur menghadap layar televisi, Widya terpancing ingin melihat acara televisi, sekedar mengundang suasana gaduh di dalam kamar agar tidak sepi selagi Sam di kamar mandi. Layar televisi menampilkan stasiun T
Widya menebar pandang ke semua sudut pekarangan Rossline sejauh jangkauan penglihatannya. Pagar setinggi pinggang orang dewasa melindungi bagian depan Rossline, sedang dinding pagar di kiri-kanan Rossline berdiri kokoh tak kurang setinggi dua meter. Meninjau luasnya pekarangan Rossline, Widya menaksir pelataran Rossline memiliki luas lebih dari setengah luasnya lapangan sepakbola. "Sam, kita benar-benar akan memasukinya?" Widya mengamati bangunan di hadapannya mulai dari bawah hingga atap yang meruncing di atas sana. Widya perlu menengadah melihat puncak atap Rossline itu. "Kamu takut?" Sam menoleh-menatap ke wajah Widya yang nampak terpesona sekaligus terprovokasi-seram oleh bentuk bangunan Rossline. "Aku lebih suka menunggumu di hotel andai boleh memilih, Sam." "Mr. Ben seorang pengagum Borobudur. Seluruh bahan bangunan di hadapanmu itu seluruhnya dari batu," alih Sam. Widya me