Aku menelan ludah dengan susah payah, tatapan Mas Tara bagai elang yang siap menerkam mangsanya.
"Kenapa kamu menyentuh ponselku, Alin?"Apa yang harus kujawab? Pasti Mas Tara sudah mendengar ucapanku tadi. Percuma juga berbohong atau menutupinya lebih baik kutanyakan sekalian."Ini telepon dari siapa, Mas?" Kuberikan ponsel miliknya. Mas Tara menautkan dua alis mengangkat kedua bahunya siap pura-pura tak tahu. Dia pikir aku akan diam saja,tidak ... Tidak akan!"Siapa yang menghubungimu lalu memanggilmu mas bahkan berganti Om? Siapa perempuan itu,Mas? Apa jangan-jangan apa yang kulihat di mall waktu itu benar kamu, kan? kamu selingkuh dari aku"Lepas semua tanda tanya yang memenuhi pikiranku. Aku keluarkan beban yang membuat napasku terasa sesak. Entah bagaimana reaksi suamiku nanti.Mas Tara kembali menatap layar pada benda mati itu,sudut bibirnya tertarik ke atas. Apa yang lucu hingga ia menertawakan aku?Mas Tara beranjak di ranjang lalu menarik tubuhku ke dalam dekapannya. Aroma tubuh yang bercampur dengan keringat menyeruak memenuhi indra penciumanku. Dulu momen ini yang selalu kurindu. Namun kini terasa hambar. Aku kehilangan rasa percaya pada dia, lelaki yang kucinta."Ya Allah, Sayang. Kamu cemburu lada nomor baru?" Mas Tara menggeleng pelan.Dadaku naik turun, kutahan emosi yang hampir meledak ini. Kubiarkan Mas Tara memberikan penjelasan, semoga saja itu sebuah kejujuran bukan hanya kebohongan."Si penelepon saja nomor baru, mungkin salah memencet nomor lalu tersambung ke nomor aku."Alasan itu sudah biasa kudengar, Mas. Apa kamu pikir aku akan mempercayai perkataan itu? Tidak, tidak sama sekali."Aku hanya ingin kamu jujur, siapa wanita itu?" Aku masih kekeh dengan pendapat ini, tak masuk akal jika dia langsung memanggil mas bahkan berganti Om."Jujur yang seperti apa lagi, Alin? Mas sudah jujur. Hentikan sikap kekanak-kanakan kamu. Mas tak memiliki wanita lain. Hanya kamu yang yang singgah dan bertahta di hati Mas." Mas Tara menarik tangan kananku kemudian meletakkannya di dada, tepat di jantungnya.Kalimat yang keluar dari mulut Mas Tara memang indah. Namun tak sedikit pun mengurangi rasa curiga yang bersemayam di dada. Kenapa hatiku jadi sekeras baja seperti ini?"Kalau begitu kenapa ponsel kamu beri sandi tanpa cerita padaku?""Ini?" Mas Tara memberikan ponsel berwarna hitam itu padaku. "Sandinya tanggal lahir Aluna. Kenapa Mas beri sandi? Karena sering membuka bahkan menghubungi orang yang ada di dalam kontak."Penjelasannya cukup masuk akal. Namun kalimat itu jujur atau hanya sebuah sandiwara?"Bukalah, lihatlah isi pesan di dalamnya."Aku membuka ponsel, kutekan tanggal nomor sesuai tanggal lahir Aluna 140818,dan berhasil. Kenapa aku tak mencobanya dari tadi?Aplikasi berwarna hijau menjadi tujuanku kali ini. Dengan teliti kubaca pesan yang ada di sana. Namun tak satu pun yang mengarah ke perselingkuhan. Apa jangan-jangan sudah dihapus Mas Tara? Ya Tuhan... Kenapa susah mencari sebuah bukti?"Ada tidak yang kamu cari?" Aku menggeleng lalu memberikan benda pipih itu padanya."Sayang, aku mencintaimu setiap waktu. Jangan berpikiran yang tidak-tidak." Aku mengangguk tapi hanya di hadapan Mas Tara.Mas Tara kembali menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Kini aku hanya bisa pasrah.***Hari demi hari kami lalui seperti biasa. Sikap Mas Tara tak pernah berubah sedikit pun. Dia masih sama seperti awal menikah dulu. Setelah kejadian telepon misterius itu tak ada lagi sesuatu yang mencurigakan.Mungkin aku harus melupakan seseorang di mall itu. Mungkin benar perkataan Mas Tara. Namun kenapa hati selalu dilanda curiga? Entahlah, aku hanya bisa pasrah pada Sang Pembuat Kehidupan. Biarlah mengalir hingga Tuhan membuka jalan hingga aku menemukan sesuatu yang kucari selama ini."Sayang!" teriak Mas Tara dari dalam kamar."Iya, Mas sebentar." Kuletakkan piring di atas meja kemudian berlari ke lantai atas.Menggelengkan kepala kala aku melihat lemari yang sudah tak berbentuk itu. Sebagian pakaian sudah keluar dari tempatnya. Ingin marah tapi ini masih terlalu pagi, akhirnya aku memilih menahan amarah itu sendiri."Kenapa bisa berantakan, sih, Mas?" tanyaku kesal."Mas cari dasi, Sayang. Tapi gak ketemu. Kamu taruh di mana sih?" tanyanya sambil membalik-balikkan pakaian yang sudah tidak karuan itu."Kenapa tidak tanya dari tadi, Mas? Kenapa harus mengeluarkan semua isi lemari?" Mas Tara hanya diam lalu menggaruk kepala yang tak gatal.Kubuka laci dalam nakas yang paling bawah. Kukekuarkan isi di dalamnya."Ini pilih sendiri.""Cocok yang mana, Lin?" Dia menunjukkan dasi berwarna toska dan navy.Tanpa menjawab kuambil dasi berwarna navy lalu memasangkannya. Satu kecupan ia berikan padaku."Makasih, Sayang.""Ayo sarapan dulu. Mas harus mengantar Aluna ke sekolah, kan. Mas sudah janji lho semalam.""Iya, Mama." Mas Tara mentoel daguku.Kami berjalan menuju ruang makan yang ada di lantai bawah. Aluna sudah duduk manis di kursi kesayangannya kala kami datang."Baunya harum, kamu masak apa, Ma?""Sambal teri dan goreng ayam, Mas.""Kamu tahu saja apa kesukaanku."Mas Tara segera mengambil nasi dan lauk. Dia tahu aku sedang kerepotan menyuapi Aluna.Keharmonisan sebuah keluarga tergambar jelas di sini. Sesekali kami tertawa melihat siap lucu Aluna. Ah, dia memang selalu bisa menghangatkan suasana.Setelah selesai sarapan kuantarkan Aluna dan Mas Tara ke depan."Hati-hati, Sayang!" Kulambaikan tangan kala mobil itu berjalan meninggalkan halaman rumah.Rumah terasa sepi kala mereka berdua pergi. Aku melangkah menuju dapur untuk mencuci bekas sarapan kami tadi.Di rumah ini memang tak ada pembantu atau asisten rumah tangga. Semua pekerjaan rumah aku yang menyelesaikannya sendiri kecuali menyeterika baju. Pakaian yang sudah kucuci akan diambil pegawai laundry tak jauh dari rumahku. Setidaknya bisa mengurangi pekerjaanku.Setelah selesai urusan dapur aku segera ke lantai atas. Baju-baju yang sudah berserakan melambai meminta diperhatikan. Ah, Mas Tara menambah daftar pekerjaan rumahku.Menjadi ibu rumah tangga terkadang dipandang sebelah mata. Mereka pikir ibu dengan baju dinas daster tak melakukan pekerjaan apa pun. Lalu siapa yang mencuci, menyapu dan memasak? Hantu ataukah robot? Terkadang gemas jika ibu rumah tangga selalu dihina. Untung aku tak memiliki mertua julid seperti kebanyakan mertua di sinteron televisi"Ya Allah, Mas. Ini mencari barang atau mencari keributan? Semua isi lemari bisa tumpah ruah begini," ucapku kesal.Satu persatu pakaian kulipat kembali. Kupisahkan pakaian Mas Tara dan pakaianku. Baju rumah dan bepergian juga kupisahkan. Semua itu kulakukan agar mudah mencarinya. Sudah dipilah dan tata rapi saja Mas Tara masih membuat berantakan, apa lagi jika tidak? Tak terbayang bagaimana bentuk kamarku nanti.Semua sudah kumasukkan ke lemari sesuai tempatnya semula. Kini saatnya mengistirahatkan tubuh.Astaga, jas kemarin kenapa ada di sini? Mas Tara memang benar-benar!Aku ambil jas yang ada di atas ranjang. Kemudian meletakkannya di keranjang kotor dekat pintu kamar mandi.Suara benda jatuh saat jas itu masuk ke keranjang. Aku jongkok sambil melihat ke sana kemari, siapa tahu ada barang penting milik Mas Tara. Namun tak kutemukan apa pun."Mungkin hanya koin saja."Aku berdiri, langkah kaki terhenti saat tak sengaja kulihat benda kecil berwarna kuning berada di dekat pintu kamar mandi. Segera kuambil benda itu. Sebuah anting emas dengan bentuk hati. Ini bukan punyaku? Tapi kenapa ada di saku jas suamiku?"Alin, kenapa diam?""Aku kangen ibu, jadi pulang ke kampung.""Sejak kapan putri ibu belajar berbohong? Zaman sudah modern, tak perlu jauh-jauh untuk bisa bertatap muka? Ponsel ada, kan. Apa lagi kamu sedang masa pemulihan, tak bagus melakukan perjalanan jauh, Lin."Aku membisu, memang benar perkataan ibu. Tak mungkin beliau percaya dengan alasan yang terkesan dibuat-buat. Aku tak pandai membuat alasan yang tepat, selalu saja ketahuan. "Ceritakan, Lin.""Bukan di sini, Bu. Nanti malam saja."Ibu mengangguk, menyetujui perkataanku. Karena memang tak baik membicarakan masalah yang menyangkut Satriya tepat di hadapan putri kecilku. Dia memang diam, tapi otaknya merekam semua percakapan kami. Tak menutup kemungkinan kata-kata kami menyakiti hatinya. ***Di sini kami, duduk di teras seraya menatap malam. Tak ada Aluna, dia sudah terlelap setelah azan magrib. Perjalanan jauh membuat dia lelah hingga tidur lebih awal. "Kalian bertengkar?" Ibu menatap penuh selidik. Sebuah anggukan membe
Nada dering panggilan masuk menghentikan lamunanku. Sesaat Aluna menggeliat, suara ponsel itu sedikit mengusik tidurnya. Aluna baru saja terlelap setelah perjalanan panjang dan sesekali beristirahat karena nyeri terkadang terasa. Benda pipih itu terus saja bernyanyi meski kubiarkan hingga bungkam dengan sendirinya. Aku melirik jam yang melingkar di tangan, hampir tengah malam. Kurasa Satriya baru saja pulang, dia tak menemukan keberadaanku hingga terpaksa menelepon. Ponsel sengaja aku non aktifkan, biarlah Satriya kebingungan untuk sementara waktu. Aku hanya lelah dengan sikapnya akhir-akhir ini. Tak bisakah ia sadar, jika semua ini takdir yang sudah Allah gariskan pada kami. Sebagai seorang ibu, aku pun terpukul atas kepergian Finziya. Putri kecil yang kami nantikan justru kembali pada Sang Pemilik. Bayangan tangis dan tawa saat aku menimangnya harus hilang dalam sekejap mata. Sebenernya akulah yang paling terpukul dan nyaris depresi. Sebagai seorang ibu, aku merasa gagal melind
Pov Satriya[Apa kabar, Sat? Benar perkataanku, kan ... Aluna akan menjadi tembok pembatas antara kamu dan Alin. Harusnya kamu sadar, hanya aku papanya, bukan kamu.]Aku mengepalkan tangan di atas meja. Amarah yang belum mereka kini kembali meledak. Tuhan, kenapa kakakku sendiri yang berniat merusak rumah tanggaku? Ponsel kuletakkan kembali di atas meja. Menyalakan laptop Niko yang sempat kupijam. Tanganku menari di atas mouse, mengedit foto klien. Namun pikiran bercabang membuat hasil edit tak memuaskan, aku tak bisa fokus saat masalah memenuhi kepalaku. Aku mengusap wajah kasar, mengeluarkan emosi yang sempat memenuhi rongga dada. Lelah, satu kata yang kini aku rasakan. Ingin aku berteriak, namun nyatanya ini bukan tempat yang tepat. Nada dering panggilan masuk kembali menyita perhatianku. Kulirik layar benda pipih yang tergeletak di atas meja. Untunglah bukan nama Tara yang muncul di sana. Aku tak mampu mengontrol emosi jika lelaki itu kembali menghubungiku. Namun rasa lega hil
Pov Satriya"Aluna!"Aku berteriak kala es teh dalam gelas tumpah tepat di atas laptop. Cepat-cepat aku cabut kabel charger yang masih menempel di laptop. Membalikkan benda pintar itu, mengelap bekas air yang masih melekat. "Aluna, kenapa bisa tumpah? "Gadis kecil itu berdiri di tempat seraya menangis sesenggukan. Bulir demi bulir terus saja jatuh membasahi pipinya. Namun entah kenapa aku tak iba, rasa kesal justru semakin mengakar. "Mama!"Bukannya menjawab, Aluna justru berteriak memanggil Alin. Dia persis seperti Mas Tara ketika kecil, mengadu, dan mencari perlindungan di punggung mama. "Ya Allah, kenapa bisa begini?"Alin begitu terkejut melihat keadaan ruang keluarga. Apa lagi melihat laptop yang tengah kukeringkan dengan tisu. Belum lagi beberapa foto tersiram air. "Tanyakan saja pada anakmu!"Tangis Aluna kian menjadi seiring suaraku yang memekik. "Kenapa bisa tumpah, Nak?"Hanya tangisan yang keluar dari mulut mungil itu. Entah, lama-lama aku menjadi bosan. Bosan dengan
Dua hari setalah kalimat menyakitkan menghantam hatiku. Kini kembali kami saling diam, seolah ada tembok pembatas meski kami berada dalam satu ranjang. Bahkan kami saling beradu punggung. Sibuk dengan rasa sakit masing-masing. Titik demi titik jatuh membasahi pipi. Aku menangis dalam diam, keluar sudah sesak dalam rongga dada. Menyakitkan, tapi tak mampu kujawab perkataan Satriya. "Gara-gara Aluna, anakku meninggal!"Kalimat itu terus saja terngiang di telinga. Sesak, dadaku seakan terhimpit batu besar, hingga menghirup udara begitu susah. Kenapa Satriya tega mengatakan hal itu? Kenapa? Tarikan napas dan denting jam terdengar jelas di telinga. Keheningan menciptakan atmosfer yang berbeda di kamar ini. Rasa nyaman yang dulu melekat seolah hilang dalam satu kedipan mata. Kembali aku pejamkan mata saat merasakan gerakan di ranjang. Tak lama langkah kaki menjauh hingga gesekan pintu terdengar jelas di telingaku. Satriya pergi seperti kemarin malam. Setelah merasa aman, aku pun memba
"Hati-hati, jangan mengulangi hal yang sama. Ngerti!"Satriya berlalu pergi seraya membawa kamera. Tak lama terdengar suara mobil menjauh. Dia bekerja tanpa mengucapkan salam, apa lagi sarapan. Aku menghela napas, membuang rasa sesak dalam dada. Tak bisa aku pungkiri, ucapan Satriya menyakiti hati. Bukankah kematian adalah takdir, bukan salah Aluna. Dia masih terlalu kecil untuk menanggung kesalahan. "Ma ...."Aluna memeluk tubuhku sambil tersedu, dia menangis mendengar bentakan ayah sambungnya. "Aluna geser dulu, Nak."Perlahan Aluna berjalan hingga berhenti dan menempel tembok. Air matanya masih menetes, dia takut dengan bentakan Satriya. "Aluna di situ dulu, ya. Mama mau bersihin tumpahan airnya."Segera aku ambil pel, membersihkan genangan air yang ada di lantai. Harus segera dibersihkan agar tidak menjatuhkan orang lain, termasuk Aluna. Setelah selesai kami pun sarapan berdua. Ya, hanya berdua karena Satriya sudah berangkat terlebih dahulu. "Aluna libur dulu, ya," ucapku se