Share

Bab 3. Si Penggoda

"Ibu ini bicaranya kok, seperti mau buat fitnah saja?” tanya Wida, ia heran dengan ucapan Warsi yang menyudutkan dirinya.

“Iya, kan? Kamu tadi ngobrol lama sama laki-laki itu?” kata Warsi.

“Ibu tidak usah begitu, deh. Saya tidak lama! Cuma tanya nama saja,” tandas Widati.

“Halah! Dia juga bikin rengginang Ibu gosong, tambah bodoh aja istri kamu ini, Was! Kamu tahu, kan? Rengginang itu makanan kesukaan Ibu?” tanya Warsi.

Wasis tidak berkomentar, tapi pandangan matanya menyiratkan kecurigaan yang dalam pada istrinya. Ia meneguk air mineral yang diberikan oleh Wida dengan sikap acuh tak acuh.

“Dia bilang lagi pusing, padahal itu cuma alasan saja karena malas kerja,” kata Warsi.

“Astagfirullah!” kata Wida dalam hati.

“Sudah, Bu, mengadunya? Mas Wasis biar makan dulu, ya Bu. Nanti dilanjut lagi ngomelnya, kalau sudah makan, kasihan ... anak ibu ini baru datang,” kata Wida lagi, sambil memegang tangan suaminya.

“Kamu ini, Wid, tidak sopan sama orang tua, hakku sebagai ibu itu jauh lebih besar dari hakmu! Tahu?” kata Warsi lagi, sambil melirik pada menantunya dengan sengit.

Tanpa mengindahkan Warsi, Wida mengiringi langkah suaminya ke meja makan, sambil menggendong Wahyu. Lalu, mengambil beberapa makanan yang berhasil dia masak hari ini, ke dalam piring yang sudah ia siapkan untuk suami dan anaknya.

Saat mereka sedang menikmati makanan, Wardan—adik laki-laki dari Wasis, datang dan langsung menuju ke meja makan tanpa mencuci tangannya terlebih dahulu. Bahkan, laki-laki itu melewati ibunya begitu saja.

Wardan seorang pengangguran, setelah tamat kuliah ia langsung bekerja tapi, hanya bertahan selama tiga tahun. Baru beberapa bulan yang lalu ia keluar dari pekerjaannya dengan alasan bosan. Meskipun begitu, ia selalu pergi setiap hari seperti orang sibuk yang jarang ada di rumah.

“Kamu ini, War! Kebiasaan, langsung makan tanpa cuci tangan, kalau dari mana-mana itu jangan langsung makan, cuci tangan dulu sana!” Wida berkata sambil menyuapi nasi pada Wahyu dan ke mulutnya sendiri.

“Mbak yang cuci tangan aku dong! Aku pasti mau dengan senang hati,” kelakar Wardan membuat Wida merasa kesal, sudah sangat sering laki-laki itu menggodanya, tanpa malu-malu di depan ibu dan juga kakaknya.

Sebenarnya Wida sangat risi, tetapi baik Wasis maupun Warsi menganggapnya hal yang biasa.

“Kamu, kan bisa cuci tangan sendiri kenapa harus aku, sih?” Wida berkata dengan nada ketus sedangkan Wasis tetap sibuk makan sendiri.

“Kan, sudah aku bilang tadi, kalau Mbak Wida yang nyuci, aku baru mau ... tapi, kalau tidak mau ya, sudah! Aku makan saja!” seru Wardan tanpa basa-basi.

“Terserah!” Hanya itu yang bisa diucapkan Wida, ia terus menyuapi Wahyu yang makan dengan lahap. Anak itu mengunyah sambil mengoceh tapi, kata-kata yang dikeluarkannya tidak jelas.

“Eeh Jagoan! Om mau disuapin juga nih, masa kamu terus?” kata Wardan sambil melirik Wida dan tersenyum genit.

Warsi yang mendengar kelakar anak keduanya itu, melangkah ke meja makan, ia duduk di samping Wardan lalu menepuk pundak anak keduanya dengan keras.

“Hus! Kamu ini, War! Jangan ganggu Mbakmu terus! Bisa-bisa gede kepala dia karena banyak laki-laki yang goda, kayak sudah paling cantik saja!” Warsi berkata sambil melirik Wida sekilas.

“Memang siapa lagi yang suka goda Mbak Wida selain aku?” tanya Wardan terkesan cemburu.

“Ada ... tetangga baru!” kata Warsi ketus.

“Memang kita punya tetangga baru, siapa gitu, Bu?” tanya Wardan, sambil menoleh pada ibunya.

“Ya. Sana, tanya sama Mbakmu itu, dia yang sudah ngobrol banyak sama orang itu!” kata Warsi, membuat Wida semakin kesal, karena ia tidak mengetahui banyak hal tentang tetangganya itu.

“Astagfirullah, Bu! Saya tidak tahu apa-apa soal tetangga kita, saya cuman tahu namanya saja!” sahut Wida.

“Siapa namanya?” tanya Wardan.

“Mana saya tahu, saya lupa!” jawab Wida.

“Eeh! Tadi bilangnya tahu namanya? Gimana sih, Mbak?” kata Wardan sambil berdiri dari duduknya, ia hendak menyambangi tetangga mereka, karena mendengar ucapan ibunya jika orang itu sudah menggoda Wida.

“Kamu mau ke mana, War? Kan, belum habis makannya?” tanya Warsi setelah melihat anak lelaki keduanya itu pergi.

“Ke tempat tetangga!” jawab Wardan datar.

Wasis menyelesaikan makan, tanpa banyak bicara, lalu pergi ke kamar mandi dengan mengabaikan semua yang terjadi di hadapannya tanpa komentar apa-apa. Wida membersihkan mulut Wahyu, karena anak itu pun sudah selesai makan dan membiarkannya bermain di depan televisi yang menyala.

Wida membereskan bekas makan dan membersihkan meja, setelah itu, ia bicara pada ibu mertuanya yang masih duduk sambil makan rengginang kesukaannya.

“Ibu, bisa tidak, sih? Kalau bicara itu dipikir dahulu baik dan buruknya, benar atau tidaknya? Kita ini diberi modal dasar berupa tubuh, pikiran dan hati nurani, untuk digunakan saat bertindak dan bicara, karena semua bakal ada hisabnya, apalagi Ibu sudah tua, jangan asal bicara, Bu." Wida berkata penuh kelembutan, sambil mengusap punggung Warsi yang duduk di sampingnya.

“Apa maksud kamu, Wid? Memangnya kenapa kalau Ibu sudah tua, terus masalahnya apa? Semua yang Ibu bicarakan itu benar! Aku ini tidak pernah salah kalau ngomong!” Ujar Warsi membantah semua nasihat Wida pada dirinya.

“Bu, yang Ibu bilang kalau saya digoda itu salah, kalau saya ngobrol lama sama tetangga itu juga salah ... Ibu ini sadar tidak? Kalau ucapan itu bisa bikin orang salah paham!”

“Halahh! Kamu ini sok suci dari dulu, padahal kamu ini siapa? Kalau bukan karena anakku, tidak ada laki-laki yang mau sama kamu!” Warsi pergi setelah mengucapkan kata-kata yang paling tidak disukai Wida.

Wanita itu ingat bagaimana pertemuan pertamanya dengan Wasis—suaminya dahulu, ia adalah seorang penari tradisional yang sering diminta untuk tampil dalam berbagai acara baik resmi maupun tidak resmi di daerahnya.

Pada suatu hari, ia berkesempatan membawakan sebuah tarian tradisional khas salah satu suku, sebagai penyambutan kepala daerah yang datang berkunjung. Saat itulah ia berkenalan dengan Wasis, sebagai salah satu pegawai sipil pemerintah yang terlibat dalam acara itu.

Hubungan mereka pun berjalan dengan baik dan langgeng, apalagi mereka kemudian terlibat dalam beberapa acara yang sama, membuat mereka semakin akrab.

Wida sebagai pemilik Pesanggrahan tari tradisional yang cukup terkenal, sering diminta Wasis, untuk mengisi atau mengutus murid dan binaannya, mempersembahkan tarian di berbagai acara. Bahkan, mereka sering pergi berdua untuk menjalankan agenda bersama.

Dari seringnya bertemu itulah, akhirnya timbul cinta di antara mereka. Tidak lama setelah mantap dengan perasaan yang ada, mereka sepakat untuk menjalin hubungan ke arah yang lebih serius. Apalagi sudah menemukan kecocokan dan kenyamanan di hati masing-masing, hingga wajar bila kemudian mereka menikah.

Wasis bekerja menjadi pegawai negeri di kantor kepegawaian pemerintahan yang, sering terlibat dalam agenda kunjungan ke luar kota yang dilakukan oleh pemimpin daerahnya.

Oleh karena itu, setiap kali pergi ke luar kota, ia bisa menginap sampai dua atau tiga hari lamanya. Semua dilakukan untuk kelancaran acara sang pimpinan ke berbagai tempat yang sudah direncanakan sebelumnya.

“Wasis ..., kamu serius mau memperistri seorang penari seperti dia?” kata Warsi saat bertemu pertama kali dengan calon menantunya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status