Share

Bab 4. Oleh-oleh Untukku

Oleh-oleh Untukku

“Iya, Bu. Aku yakin, memilih dia, aku belum pernah merasakan jatuh cinta seperti aku mencintai Wida!”

“Kenapa perasaan Ibu tidak yakin kalau wanita seperti dia masih suci, bukannya dia sering dipanggil ke sana ke sini untuk menari, kamu sendiri tahu, wanita penari itu seperti apa, kan? Kebanyakan mereka orang yang suka mengumbar auratnya!”

“Tidak, Bu ... aku sudah lama mengenal Widati dan tahu bagaimana dirinya, aku yakin dia wanita baik-baik yang pantas menjadi istriku!” Begitulah jawaban Wasis waktu itu, hingga mau tidak mau Warsi pun setuju dan akhirnya mereka resmi menjadi suami istri tak lama setelah lamaran terjadi.

Wida menghela nafas dalam sambil menyelesaikan pekerjaannya membereskan meja makan. Ia membiarkan Warsi pergi begitu saja tanpa memedulikan sang menantu, yang tersinggung dengan ucapannya. Jelas-jelas ia masih perawan ting-ting, ketika menikah dengan suaminya dan Wasis pun bisa membuktikan hal itu.

Perempuan itu hendak pergi ke kamar untuk menghampiri suaminya, saat terdengar suara sepeda motor matic memasuki halaman.

“Mas Wasis udah pulang, ya? Mana oleh-olehnya!” teriak seorang wanita berpakaian kasual yang nyentrik dan modis, ia berjalan sambil melepaskan tas dan melemparnya di sofa begitu saja. Ia tahu kepulangan sang kakak, karena melihat kendaraan bermotornya terparkir di halaman depan rumah mereka.

Ia adalah Wuri Naisima, adik bungsu Wasis yang sekarang sedang menimba ilmu kedokteran semester kedua, di salah satu universitas terkenal di kota. Gadis itu langsung mengetuk pintu kamar kakaknya dengan keras.

Setiap kali Wasis pulang dari luar kota, oleh-oleh adalah hal yang paling dinantikannya, selain dari bonus uang tentunya.

Sementara Wida, lebih memilih untuk mengalah dari pada harus bertengkar, dengan saudara ipar yang pasti akan menguras energi. Ia membuka pintu kamar setelah memakai kerudung dan, melihat Wuri yang tersenyum sambil mengedarkan pandangan di kamar pribadi Kakaknya.

Wuri melihat Wasis sedang rebahan sambil melihat layar ponsel dan bertelanjang dada.

“Hai! Kak? Apa kalian mau melakukan anu, anu? Ini masih sore, lagi?” katanya tanpa sopan santun, sifat yang sudah dihafal oleh Wida, sebagai ciri khas keluarga suaminya.

“Memangnya kenapa kalau sore? Mau pagi, siang, malam juga boleh, kok!” Sahut Wida yang masih berdiri di dekat pintu.

Wuri mengabaikan Wida dan duduk di sisi tempat tidur sang kakak seraya bertanya, “Mas Wasis tidak lupa barang pesananku, kan?”

“Ada, aku simpan di tas,” kata Wasis tanpa mengalihkan tatapan matanya dari layar ponsel.

“Wuri pesan apa, Mas?” tanya Wida.

Wasis menoleh pada Wida, seraya bertanya, “Kamu tadi beresin isi tasku, kan? Pasti kamu lihat dompet dari enceng gondok warna putih, itu punya Wuri, kasihin sana!”

Wuri dan Wida seketika saling melempar pandangan, memperlihatkan rasa tidak sukanya masing-masing. Sejak mulai kuliah, Wuri mulai bertingkah sok berkuasa pada wanita yang menjadi saudara karena pernikahan kakaknya itu. Jadi, hubungan mereka yang memang kurang akrab, semakin buruk saja.

“Jadi, itu punya Wuri, Mas?” tanya Wida heran, ia memang menyimpan benda itu dan baru saja hendak mengucapkan terima kasih sebelum Wuri datang menggedor pintu kamar.

“Ya. Dia pesan sebelum berangkat, itu cinderamata khas daerah sana!” jawab Wasis tanpa rasa bersalah. Sementara Wuri terlihat mencibir padanya.

“Terus, oleh-oleh buat aku mana? Aku kira memang kamu beli buat aku, Mas!” kata Wida sambil berjalan ke lemari pakaian dan mengambil sebuah tas berwarna putih.

“Kamu nanti beli yang biasa saja, lagian buat apa tas seperti itu, kamu tidak mau pergi ke mana-mana, kan?” ujar Wasis.

Wida hanya mencebikkan bibirnya yang mungil saat mendengar ucapan suaminya, lalu memberikan tas kecil itu pada Wuri yang tersenyum puas. Ia merasa menang.

“Terima kasih ya, Mas!” kata Wuri, sambil menepuk pundak Wasis, lalu pergi setelah melirik sekilas pada, kakak iparnya.

Namun, tiba-tiba Wida merasa mual dan ingin muntah saat Wuri baru saja melintas di depannya, karena mencium aroma parfum adik iparnya yang, sudah bercampur dengan keringat. Ia segera berlari ke kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya, padahal ia baru saja makan.

“Kamu kenapa, Mbak? Jijik sama aku sampai muntah? Keterlaluan kamu Mbak!” kata Wuri ketus. Ia sudah berdiri di pintu kamar mandi.

Wida menggelengkan kepalanya sambil terus muntah, Wasis ikut melihat istrinya yang masih menunduk di wastafel untuk mengeluarkan isi perutnya.

“Kamu masuk angin, Wid?” tanya Wasis yang berdiri di samping Wuri.

Wida diam saja sampai rasa mualnya hilang, setelah berkumur dan membersihkan mulutnya, barulah ia berkata sambil melihat dua orang yang, berdiri di depan pintu itu.

“Aku memang sering mual akhir-akhir ini, tapi bukan karena Wuri, aku hamil, Mas!” Wida terpaksa mengatakan tentang kehamilannya agar tidak terjadi salah paham di antara mereka. Ia mengambil alat tes yang baru saja dia gunakan tadi pagi yang disimpan dalam laci dan menunjukkannya pada Wasis.

“Jadi, kamu positif hamil? Wahyu masih kecil, masa sudah mau punya adik, sih?” kata Wasis sambil berjalan ke sana kemari dan mengacak rambutnya sendiri mirip orang bingung.

“Mbak Wida selama ini tidak minum pil KB atau pakai apa, gitu, biar tidak cepat hamil?” Wuri menimpali ucapan kakaknya.

Wida menggeleng lemah, ia tidak menyangka jika reaksi dua orang di depannya begitu aneh dengan kehamilannya. Memiliki anak adalah anugerah baginya demi mengingat saat ia harus mengorbankan kegiatan dan pekerjaannya agar bisa punya anak, dan tidak disangka mandul setelah empat tahun belum juga hamil.

Oleh karena itu, ia memilih tidak memakai alat kontrasepsi apa pun setelah melahirkan dan, terbukti ia tidak segera hamil. Sekarang Wahyu sudah berumur dua tahun, sebenarnya tidak masalah kalau ia punya anak lagi.

Wuri segera berjalan keluar dari kamar kakaknya lalu berteriak memanggil ibunya.

“Apa sih, kok, teriak-teriak?” kata Warsi saat ia sudah berhadapan dengan Wuri di ruang tengah.

“Masa, Mbak Wida hamil, Bu!” katanya sambil melirik Wahyu yang sedang bermain di depan televisi.

“Apa? Kan Wahyu masih kecil, mana dia?” sahut Warsi sambil berjalan ke dalam kamar anak dan menantunya, seraya berkata, “bener kamu hamil, Wid? Kamu tidak kasihan apa sama Wahyu, masih kecil gitu sudah dikasih adik lagi?”

“Bu, bukan salah saya, kita harus bersyukur, kan? Mas, Allah sudah mempercayai kita lagi untuk punya anak!” seru Wida sambil memegang tangan suaminya.

“Bener kata Ibu, Wahyu masih kecil kenapa kamu tidak pakai alat KB saja?”

“Mas, aku tidak pakai alat kontrasepsi saja, lama baru bisa hamil lagi, apalagi aku pakai alat seperti itu bisa lebih lama, kalau orang lain mungkin sudah punya anak banyak dalam waktu enam tahun kalau tidak pakai alat itu!” Wida menjelaskan alasannya pada suami dan ibu mertuanya, berharap mereka bisa mengerti dan menerima kehamilannya.

“Terserah kamu saja kalau begitu, kamu yang hamil kamu yang melahirkan dan kamu juga yang repot sendiri, harus ngurus ini dan itu juga sendiri padahal Wahyu masih kecil!” kata Wasis, terkesan tidak peduli.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status