Share

Bab 2. Jangan Hamil

Jangan Hamil

Ada gurat kekecewaan yang dalam, terpercik secara jelas di wajahnya, setelah tahu bahwa wanita itu ternyata sudah memiliki pasangan. Hatinya yang semula berbunga-bunga kini menjadi layu seketika.

Setelah berada di dalam rumahnya kembali, Wastra berdiri di dekat jendela, melihat ke arah Wida dari balik kaca, ia semakin terkejut ketika tiba-tiba ada seorang anak lelaki kecil yang, berusia sekitar dua tahun berlari memeluk wanita itu dan memanggilnya ibu.

“Jadi, dia sudah punya anak juga?” tanyanya dalam hati, Wastra terlihat semakin kecewa. Meskipun begitu, ia tidak lantas beranjak dari tempatnya dan tetap melihat apa yang terjadi antara anak dan ibunya itu.

“Mama!” panggil Wahyu sambil menangis, ia anak pertama Wida yang baru saja bangun dari tidurnya.

Warsi yang semula berada di kamar segera melihat cucunya yang menangis, lalu wanita tua itu dengan terpaksa membuka kembali pintu yang semula dibanting, untuk mengantar sang cucu pada ibunya.

“Urus anakmu yang benar jangan malas kalau jadi Ibu, baru punya anak satu sudah repot begitu, sampai masak kerupuk saja gosong! Apalagi kalau punya anak banyak! Awas, jangan sampai kamu hamil lagi, kalau belum bisa mengurus kerjaan rumahmu sendiri!”

“Tapi, Bu ...!”

“Tidak ada tapi-tapian! Pokonya jangan hamil lagi kalau Wahyu belum sekolah dan mandiri! Bisa repot aku nanti!”

“Kalau harus menunggu sampai anakku dewasa dan mandiri, mau sampai kapan aku bisa hamil lagi?” batin Wida dalam hati karena ia ingin punya anak perempuan.

“Ya. Saya tidak akan merepotkan Ibu soal mengurus anak-anak, Ibu tidak usaha kuatir, lagian ada Wuri, nanti dia bisa bantuin kerjaan rumah?” Wida berkata demi membela diri dan menyebut nama adik ipar perempuannya yang, bisa membantu dalam pekerjaan sehari-hari di rumah.

“Eh! Kamu ini selalu saja bilang minta bantuan Wuri—adikmu itu masih kuliah! Dia itu calon dokter! Jadi, dia tidak bisa bantu kamu kerja di rumah, dia itu sibuk! Kalau dia harus masak juga, terus buat apa kamu di sini cuma numpang makan sama tidur? Enak saja!”

Mendengar ucapan ibu mertuanya, hati Wida terluka, karena saat ini ia sedang mengandung anak kedua. Ia pun bimbang untuk mengatakan tentang kehamilannua pada Wasis, karena khawatir kalau tahu dirinya hamil, maka, Warsi justru akan semakin membencinya.

Wida termasuk wanita yang sulit untuk hamil, bahkan sebelum kehadiran Wahyu, ia sempat keguguran sebanyak tiga kali, karena terlalu lelah dan sibuk dalam berbagai kegiatan. Ia baru bisa hamil dan mempunyai anak, setelah memutuskan untuk berhenti bekerja. Saat itu pernikahannya dengan Wasis menginjak empat tahun.

Ketika mengetahui dirinya hamil untuk kedua kalinya, Wida begitu senang karena tidak menyangka Tuhan akan memberikan momongan dalam waktu singkat, tepat setelah ia selesai menyapih Wahyu sebulan yang lalu.

Wahyu merengek dan ia menjadi lebih manja, karena tidak lagi menyusu pada ibunya. Anak itu masih menangis walau sudah digendong.

Tidak sama dengan saat masih memberi ASI, Wida akan lebih mudah menenangkan sebab hanya perlu memberikan salah satu sumber kehidupan di dadanya. Namun, sekarang anak itu suka minta jajan, baru bisa tenang.

“Sayang ... masih ngantuk? Bubuk lagi, yuk!” kata Wida saat membujuk anaknya yang masih menangis sedangkan Warsi sudah kembali ke kamarnya. Namun, Wahyu tidak berhenti bahkan tangisannya semakin keras.

“Hai!” suara seorang lelaki yang rupanya kembali keluar rumah karena terusik oleh suara tangisan anak tetangga, “mau ini? Enak, loh,” katanya lagi.

Seketika Wida dan Wahyu menoleh, melihat ke arah Wastra yang mengacungkan sebungkus besar camilan keripik kentang kesukaan anak-anak pada umumnya. Anak itu menoleh pada ibunya sebentar lalu, mengangguk dan mengulurkan tangannya.

“Nih! Ambil buat anakmu biar tidak menangis, berisik!” Wastra berkata sambil mendekat ke tembok pembatas, ia tersenyum lucu pada Wahyu.

Wida mau tidak mau berjalan menghampirinya, dan anak itu menerima pemberian Wastra dengan malu-malu.

“Bilang apa sama Om-nya, terima kasih, Om!” kata Wida, ia mengajari sopan santun sekaligus mengucapkan terima kasih secara tidak langsung pada Wastra.

Anak kecil itu belum bisa banyak bicara dan baru mengucapkan beberapa patah kata saja, hingga ia hanya mengangguk sambil mengucapkan ocehan yang tidak jelas. Lalu, turun dari gendongan ibunya.

“Terima kasih, Pak!” kata Wida, sebelum berlalu dari tempat itu.

“Wastra Adipura!” kata Wastra memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya dari atas tembok pembatas rumahnya. Wida mengangguk dan mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada, sambil tersenyum ramah.

“Widati Ainun! Panggil saja Wida!” sahut wanita itu dan bertanya, “Bapak tinggal sendiri?”

Pertanyaan Wida membuat kening Wastra berkerut karena tiba-tiba teringat akan istrinya.

“Ya. Sa—“ belum sempat Wastra melanjutkan bicara, ia melihat sebuah sepeda motor bergerak memasuki halaman, setelah pengendaranya mendorong pintu gerbang yang tidak terkunci dengan perlahan.

Wida pun melihat ke arah di mana seorang pria sedang memarkirkan motor di teras depan rumah. Ia segera meninggalkan Wastra.

“Permisi ya, Pak! Saya tinggal dulu, suami saya pulang,” kata wanita itu.

Lalu, Wida menghampiri Wasis, suaminya yang baru datang dari luar kota. Ia mencium punggung tangan pria itu takzim, lalu menutup kembali pintu pagar rumah mereka.

Wida tidak melakukan kesalahan, tetapi ia tidak enak pada Wasis yang melihatnya sedang bincang dengan laki-laki lain, seperti orang yang ketahuan tengah mencuri barang.

“Papa!” teriak Wahyu melihat Wasis yang sudah turun dari motor besarnya. Anak itu bersorak riang menyambut kedatangan ayahnya.

“Alhamdulillah, Papa sudah pulang!” kata Wida sambil menggandeng tangan anaknya, mereka berjalan beriringan masuk ke rumah.

Wasis membuka helm, mengusap kepala Wahyu tanpa berkata-kata. Maksud hati ingin menyapa laki-laki yang tadi berbincang dengan Wida. Namun, saat ia mematikan mesin motor, pria itu sudah tidak berdiri di tempatnya.

“Siapa itu tadi?” tanya Wasis, seraya menatap Wida dengan tatapan menyelidik, sambil melepaskan tas, jaket dan sepatunya. Lalu, ia duduk bersandar di ruang tengah, tempat di mana televisi besar berada. Wajahnya menunjukkan kelelahan.

“Tetangga baru, Mas, baru juga lihat hari ini,” kata Wida sambil membereskan jaket dan tas yang berisi pakaian kotor sang suami di atas sofa.

“Kamu ngobrol apa tadi sama dia?” tanya Wasis, ada rasa tidak suka dari nada bicaranya.

“Tidak ngobrol apa-apa, cuma bilang terima kasih, terus kenalan, dia sudah ngasih Wahyu makanan. Itu saja.” Wida bicara sambil melirik anaknya yang tengah asyik menikmati makanan sambil duduk di lantai.

“Mas, makan dulu, pasti bel—“ ucapan Wida terputus saat ibu mertuanya tiba-tiba muncul dan duduk di samping Wasis.

“Kamu jangan percaya sama istrimu itu, Was, aku lihat dia tadi ngobrol lama kok, sama tetangga baru itu! Tidak mungkin kalau cuma kenalan sama bilang terima kasih saja,” kata Warsi dengan antusias.

Wida tidak mengerti maksud dari pembicaraan Ibu mertuanya itu. Ia yang hendak menyiapkan makan siang pun menghentikan kegiatannya dan kembali ke ruang tengah, ia berdiri di hadapan ibu mertua dan suaminya.

“Benar kok, Bu. Saya tidak ngobrol apa-apa sama dia!”

“Apa benar itu, Wid?” Wasis bertanya dengan suara keras sambil menegakkan punggungnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status