Share

Tujuh

Resta melangkah santai ke kelas. Ia lalu memilih kursi yang berada di deretan depan. Tidak lama kemudian, Gala datang dan langsung menghampiri sahabatnya itu.

“Hai,” sapa Gala yang duduk di kursi sebelah Resta.

Gadis dengan rambut dikepang dua itu membisu. Pandangannya tidak beranjak dari layar ponsel yang ada dalam genggamannya.

“Aku minta maaf, kemarin ucapanku memang kelewatan. Maafin aku ya, Ta?”

Resta masih terdiam tanpa senyuman. Wajah gadis itu terlihat dingin. Ia benar-benar kecewa dengan sahabatnya itu. Tidak bisa mengontrol ucapan.

Gala menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia paham, gadis di sampingnya jika diam seperti itu tandanya sedang marah dan kecewa.

“Aku dicuekin, nih,” ucap Gala seraya mencondongkan kepalanya untuk menatap wajah Resta yang masih menunduk. Pemuda pemilik mata kecil itu memberikan senyuman khas yang menampakkan lesung pipit pada wajahnya. Namun, Resta masih juga bersikap acuh.

Gala menghela napas kasar. Ia beranjak dari duduknya. Lalu berjalan keluar. Ia segera menuju kantin. Gala baru ingat, dulu pernah membuat marah Resta karena menghilangkan file tugas pada laptop gadis tersebut. Namun, ia berhasil berbaikan kembali dengan mahasiswa yang juga ia anggap sebagai adik sendiri.

Tidak lama kemudian, Gala kembali ke kelas. Ia menenteng satu kantong plastik hitam berukuran kecil.

“Claresta Anjani, maafin Galaksi, ya,” ucap Gala sambil berjongkok di depan kursi yang diduduki Resta. Ia mengambil coklat berukuran besar dengan isian almond untuk gadis manis tersebut. “Terima dong, permintaan maafku.”

Resta mengangkat wajahnya. Matanya beradu pandang dengan Gala. Hati gadis itu seketika menghangat. Ia selalu lemah dengan tatapan laki-laki yang usianya terpaut cukup jauh darinya.

“Jangan diulangi lagi,” ucap Resta sambil tersenyum.

Gala mengangguk mantap. Ia kembali duduk di kursinya.

“Eits, ini punyaku.”

Dengan cekatan, Resta mengambil coklat dalam genggaman Gala. Pemuda itu tergelak. Ia lalu mengusap pucuk kepala gadis peraih index prestasi kumulatif tertinggi di kelas. Tanpa mereka sadari ada sepasang mata menatap dari arah luar. Sosok itu berjalan menuju kelas, lalu meletakkan tas selempang berwarna hijau di meja paling depan.

Tita mengucapkan salam pertanda mulai membuka kelas. Ia kemudian menyapa para mahasiswanya. Dalam proses belajar mengajar, sebagai dosen dirinya tidak pernah langsung ke materi perkuliahan tetapi sejenak berbincang santai untuk permulaan. Ini dilakukannya agar lebih dekat dengan peserta didiknya.

“Oke, sekarang kita bahas tugas minggu kemarin. Presentasi saja, ya? Biar yang lain juga ikut menyimak.”

Beberapa mahasiswa yang berada di ruangan berukuran sembilan meter persegi itu mulai gelisah. Kata presentasi menjadi penyebab hal tersebut. Berbicara di depan banyak orang bukanlah hal yang mudah. Namun, berbeda dengan Resta, mahasiswi itu begitu tenang. Ia sudah biasa bermain public speaking.

“Claresta, silakan maju. Sama satu lagi,” kata Tita sambil mengedarkan pandangan. Matanya berhenti pada mahasiswa yang duduk di pojok belakang. “Galaksi, silakan.”

Dengan rasa percaya diri yang besar, Gala berjalan ke depan. Ia dan Resta melaksanakan tugas dengan baik. Mereka memberikan penjelasan secara rinci dan tidak berbelit. Tepukan tangan terdengar usai dua mahasiswa itu menyelesaikan presentasinya.

“Okay, Class. Dari penjelasan Claresta dan Galaksi sudah bisa dipahami, ya. Cukup gamblang dan seru. By the why, kalian kompak sekali,” tutur Tita ke arah Gala dan Resta yang masih duduk di depan. Ia memberi apresiasi dengan mengacungkan kedua ibu jari.

“Serasi ya, Bu,” celetuk salah satu mahasiswa.

“Setuju. Apa jangan-jangan mereka pacaran, ya?” tanya Tita seraya melirik Gala sambil tersenyum jahil.

Kelas pun menjadi gaduh. Resta menundukkan wajahnya. Ia merasa pipinya memanas. Berbeda dengan Gala, pemuda itu menatap tajam ke arah Tita yang sedang terkekeh.

Gala dan Resta dipersilakan kembali ke tempat duduknya. Kelas dilanjutkan lagi dengan penjelasan materi baru oleh Tita. Dua SKS pun terlewati.

Tita membereskan perlengkapannya. Saat akan beranjak dari kursi dosen, dirinya dihadang Gala. Beruntung kelas sudah sepi.

“Jangan usil, gitu. Apa maksudnya jodoh-jodohin tadi?”

Gala memasang wajah serius. Hal itu membuat Tita tidak bisa menahan tawanya.

“Enggak ada. Cuma bilang kalian serasi saja. Ada yang salah?”

Gala merapatkan giginya dengan raut muka terlihat sedang gemas. Tangannya tampak mengepal.

“Mau bikin aku nyerah?”

Tita terdiam, ia tidak menanggapi ucapan Gala. Ia pun kembali duduk.

“Gala! Ayo pulang,” ajak Resta sambil berteriak dari arah koridor.

“Tuh, dipanggil pacarnya. Diajak pulang, romantis, ya,” ucap Tita sambil terkekeh.

Gala semakin gemas mendapati ucapan wanita dihadapannya itu. Air mukanya yang tampak serius berubah. Senyum jahil terlihat di wajahnya.

“Cemburu, ya? Ngaku saja, gratis, kok.”

Tita tersentak. Ia segera mengalihkan pandangannya ke ponsel.

“Gak mau ngaku, motor gak balik.”

“Jangan, dong,” ucap Tita dengan wajah memelas.

“Ngaku, gak?”

Tita beranjak dari kursi tanpa mengucapkan satu kata pun. Gala pun tergelak. Ia merasa puas bisa balik menjahili dosennya itu. Laki-laki dengan kemeja motif kotak-kotak itu pun ikut melangkah ke luar.

***

Gala dan Resta sudah berada di Kopipiko cabang dekat kampus Surya Gemilang. Begitu turun dari mobil mereka sudah disambut dengan sapaan yang hangat oleh Dodi.

“Resta ... lama sekali gak main ke sini?”

“Kenapa? Kangen?” goda Resta yang langsung duduk di kursi berkaki panjang.

“Kok, tahu?” tanya Dodi sambil tergelak. Laki-laki dengan tubuh sedikit tambun itu mulai berbincang akrab dengan gadis ramah tersebut. Ia membuatkan es kopi karamel andalan Kopipiko untuk Resta.

“Enak banget, Kak,” puji Resta yang ditanggapi dengan tingkah jumawa Dodi. “Lama banget aku gak minum yang karamel.”

“Banget. Ada masalah sama Gala? Kalian bertengkar?”

Resta menggeleng. Ia hanya dua kali bertengkar dengan sahabatnya tersebut. Awal menjadi mahasiswa baru dan kemarin.

“Gak pernah diajak lagi sama Gala.”

Dodi berdecak dengan mimik yang konyol. Resta sampai terkekeh.

“Ga, kenapa kamu gak pernah ngajak Resta ke sini lagi?”

Gala yang sedang mengecek stok bahan produksi menghentikan aktivitasnya. Ia teringat akan tujuannya mengajak Resta ke Kopipiko. Ia pun melangkah menuju dua temannya tersebut.

“Dia yang sibuk banget. Maklum, aktivis kampus.”

Resta melirik pemuda di sampingnya itu dengan wajah tanpa senyuman. Dirinya masih sebal dengan ucapan-ucapan Gala saat berada di kantor BEM.

“Mau aku mogok bicara lagi?” tanya Resta dengan wajah sinis.

“Ampun, Neng,” ucap Gala sambil menangkupkan kedua tangannya. “Aku udah tobat.”

“Yakin?”

Gala mengangguk mantap.

“Aku sadar ucapanku salah. Makanya, aku pingin ....”

Gala menggantung kalimatnya. Ia kembali memikirkan kata-kata yang akan dikeluarkannya. Laki-laki itu yakin jika Resta akan menertwakannya.

“Pingin apa?”

“Aku pingin jadi anggota BEM”

“Apa?!”

Resta dan Dodi tersentak. Mereka serempak menatap tidak percaya pada Gala.

“Bercanda ini pasti,” ujar Dodi yang juga paham atas rasa tidak suka Gala akan dunia organisasi kampus.

“Jangan nge-prank kita,” ucap Resta tidak percaya.

“Beneran itu, sumpah!”

Gala mengangkat tangannya. Jari telunjuk dan tengah terlihat terbuka membentuk huruf V.

“Kamu serius?” tanya Resta yang tidak menyangka Gala akan mengutarakan maksudnya untuk jadi aktivis kampus.

“Seribu rius.”

Resta masih tidak percaya dengan niatan Gala.

“Niat kamu apa mau masuk BEM?”

Gala terkesiap mendapati pertanyaan yang sangat menohok. Tidak mungkin ia menjelaskan maksud yang sebenarnya. Ia masih terdiam, mencari alasan yang masuk logika.

“Cuma iseng, kan?” tanya Resta sekali lagi dengan tatapan curiga.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status