Share

Empat

Gala begitu bersemangat menyantap baksonya. Berbeda dengan Resta yang terlihat enggan melahap mi ayam di hadapannya. Ia pun sesekali melirik ke arah laki-laki di sampingnya. Empat semester berteman, sepanjang itulah gadis ayu tersebut memendam rasa.

Resta memainkan ponselnya. Ia mulai mengunggah salah satu fotonya dan memberikan caption yang sesuai dengan kondisi hatinya saat ini.

Tidak lama kemudian, mereka sudah selesai menikmati makanan masing-masing. Gala segera beranjak dari duduknya menuju kasir.

“Ga, ini uangku.”

“Kebiasaan kamu, nih. Yang ngajak makan siapa tadi? Simpen aja.”

“Makasih Gala,” ujar Tita seraya tersenyum manis. Ia bersyukur, sebagai anak rantau, saldo ATM-nya di akhir bulan yang mulai menipis bisa diamankan. Namun, terkadang dirinya merasa tidak enak hati jika terus ditraktir oleh Gala. 

Gala bingung, jadwal pulang Tita masih lama. Ia tidak mungkin menuju Kopipiko—coffee shop miliknya--sambil menanti malam tiba. Dirinya takut tidak bisa balik lagi ke kampus karena selalu lupa waktu jika berhadapan dengan mesin espresso dan penunjangnya.

“Kamu langsung pulang, Ta?”

“Enggak, balik ke kantor. Habis maghrib ada rapat. Kenapa?”

“Aku ikut, deh. Bingung mau nunggu di mana.”

“Emang mau nunggu siapa?” tanya Resta yang kembali penasaran.

“Nunggu orang.”

“Oh ....”

Mereka menuju kantor BEM Fakultas Ekonomi yang terletak di lantai dasar gedung kuliah bersama. Gala tidak punya pilihan lain, dari pada harus bengong sendiri. Sebenarnya ada sedikit rasa tidak senang dengan kumpulan mahasiswa yang aktif di organisasi intrakampus tersebut. Pandangannya terhadap mahasiswi aktivis hanyalah kumpulan orang yang membuang waktu saja.

“Masuk, Ga.”

Resta mepersilakan teman sekelasnya itu untuk duduk di kantor. Hanya ada mereka dan dua mahasiswa lagi di sana. Gala pun duduk di dekat pintu. Tidak lama kemudian, beberapa orang datang, termasuk Ghifari.

“Resta, gak lupa bawa proposal pegajuan dana, kan?” tanya Ghifari yang baru balik dari toilet.

“Enggak. Sudah siap, tinggal nunggu list untuk penyebarannya saja.”

“Oke. Eh, ada Gala. Tumben main ke kantor?” sapa Ghifari begitu melihat Gala yang bersandar di dinding.

“Iya, diajak Resta tadi.”

“Oh, begitu,” ujar Ghifari seraya melirik Resta yang sedang fokus di depan laptop.

Para aktivis kampus itu mulai sibuk dengan tugasnya masing-masing. Mereka akan mengadakan seminar nasional tentang ekonomi mikro. Gala terus memperhatikan mereka. 

“Sibuk di organisasi gini, apa ada manfaatnya buat kalian?” tanya Gala tiba-tiba.

Resta menggigit bibir bawahnya begitu mendengar celetukan Gala. Ia takut jika sahabatnya itu akan melontarkan kalimat-kalimat yang biasa ditujukan kepadanya.

“Sangat banyak,” jawab Ghifari dengan penuh penekanan. “Bekal menghadapi dunia pekerjaan.”

“Seperti itu? Tapi kalian itu kuliah di Fakultas Ekonomi. Setidaknya aktivitas kalian lebih di praktik kerja seperti magang atau memulai bisnis.”

“Tentu saja kami nanti juga akan melewati masa itu,” tukas Ghifari. “Kenapa memangnya dengan mahasiswa dan organisasi?”

Ghifari mulai menebak arah pembicaraan Gala. Laki-laki dengan kaos oblong berwarna putih itu semakin tidak senang dengan sikap teman satu jurusannya tersebut. Apalagi saat melihatnya jalan berdua dengan Resta tadi. 

“Mengabaikan kuliah demi organisasi. Kalian itu niat kuliah apa jadi aktivis, saat masuk kampus ini?”

Resta tersentak, kalimat yang diucapkan Gala sudah tidak menyenangkan untuk didengar. Wajah Ghifari dan teman-temannya pun terlihat kaget.

“Ga, sudah. Kamu diam aja.”

Gala tidak memedulikan ucapan Resta. Ia masih ingin menyuarakan pendapatnya.

“Aku maklum, karena kalian belum pernah terjun di dunia kerja. Habis SMA langsung kuliah. Begitu, kan?”

“Maksud kamu apa bicara seperti itu?”

Nada bicara Ghifari mulai meninggi. Tatapan mata mahasiswa yang juga aktif di organisasi ekstrakampus itu mulai tajam ke arah Gala.

“Aku cuma mau bilang, yang dibutuhkan saat kerja itu pengalaman, bukan kumpulan sertifikat organisasi.”

Kalimat yang terlontar dari bibir Gala barusan membuat hati Ghifari memanas. Dirinya tidak suka jika ada yang menjelekkan citra aktivis kampus. Ia pun berdiri, lalu mendekat ke arah Gala.

“Ghi, maksudnya Gala bukan seperti itu.”

Resta mulai panik. Ia paham siapa Ghifari. Amarahnya gampang sekali tersulut untuk hal yang tidak sejalan dengan pemikirannya. Gala pun ikut berdiri. Jarak dua laki-laki itu semakin dekat.

“Kuliah di Ekonomi harusnya cari pengalaman yang sesuai. Ikut organisasi bisnis. Bukan ngurusin politik kampus.”

Gala masih saja mengeluarkan pendapatnya. Resta sudah bingung. Ia menepuk lengan Gala, memintanya untuk berhenti bicara.

“Kamu siapa? Berani ngomong kaya gitu. Anak kuliahan yang kegiatannya hanya kuliah dan nongkrong di warung kopi. Lebih bermanfaat mana sama kegiatan kami?” tanya Gala dengan mata membesar.

“Ghifari, sudah gak perlu direspon ucapan Gala,” ucap Resta menenangkan teman satu organisasinya tersebut. “Ga, ayo keluar.”

Gala tertawa sinis. Ia memang tidak memberitahukan profesinya pada semua orang. Hanya orang tertentu saja yang paham dengan pekerjaannya.

Resta tidak mau sampai terjadi keributan di dalam kantor. Ia pun menyeret Gala untuk meninggalkan tempat itu.

“Apa, sih, Ta? Aku belum selesai ngomong sama anak belagu itu.”

“Sudah cukup, Ga!” pekik Resta tertahan. Gala terperanjat mendapati wajah temannya merah padam. “Cukup aku saja yang selalu kamu ejek karena jadi aktivis. Jangan sampai ucapanmu menyakiti hati teman-teman yang lain.”

Nada bicara Resta terdengar melemah di akhir. Mata gadis dengan kemeja lengan pendek berwarna marun itu mulai berkaca-kaca.

“Bu-bukan gitu, Ta. Aku hanya ingin menyampaikan pengalamanku di dunia kerja,” ucap Gala terkesiap. Ia paling tidak bisa melihat perempuan menangis di hadapannya, apalagi karena dirinya.

“Tapi cara bicaramu itu salah, Ga.”

Gala terdiam, ia mulai menyadari kesalahannya. Tidak sepatutnya dirinya ikut campur di urusan yang berbeda dengan dunianya. Namun, teman-temannya terlanjut sakit hati dengan semua yang keluar dari bibirnya tadi. Termasuk Resta yang meninggalkannya sendirian di luar. Gadis itu kecewa dengan sikap Gala.

“Resta!”

Resta terus melangkah menuju kantor tanpa memedulikan panggilan Gala. Suasana hatinya berubah buruk saat ini.

Gala menghela napas dalam. Ia lalu menuju lantai lima. Dirinya akan menunggu Tita di depan kantor jurusan. Baru saja akan duduk di bangku besi, Gala melihat sosok perempuan dengan kerudung yang tidak asing lagi baginya, keluar dari ruangan. Tita terlihat berjalan dengan cepat.

“Bu Tita!” seru Gala seraya menyusul dosen cantik itu.

“Eh, kamu ngapain di sini?”

“Nungguin Ibu. Jadi saya antar pulang, kan, Bu?”

“Saya masih ada rapat sampai malam,” jawab Tita sambil terus berjalan melewati koridor.

“Saya tungguin, Bu.”

Tita menghentikan langkahnya. Ia memutar tubuhnya menghadap Gala. 

“Ya sudah, terserah. Saya mau salat Maghrib dulu.”

“Yes!” ucap Gala dengan semringah. Ia mulai melupakan permasalahan yang terjadi dengan para aktivis kampus tadi.

Tita pun mengambil wudhu. Ia tidak menyadari jika Gala sedang menunggunya di musala. Saat tiba di tempat salat, ia terkejut melihat mahasiswanya itu menghadangnya di pintu.

“Apalagi, Ga? Saya mau salat, nih.”

“Sama, Bu.”

“Ya, sudah. Sana salat saja,” ujar Tita seraya masuk ke musala.

“Tapi saya pinginnya jadi imam dan Ibu jadi makmum saya,” pinta Gala dengan senyuman yang sangat manis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status