Gala begitu bersemangat menyantap baksonya. Berbeda dengan Resta yang terlihat enggan melahap mi ayam di hadapannya. Ia pun sesekali melirik ke arah laki-laki di sampingnya. Empat semester berteman, sepanjang itulah gadis ayu tersebut memendam rasa.
Resta memainkan ponselnya. Ia mulai mengunggah salah satu fotonya dan memberikan caption yang sesuai dengan kondisi hatinya saat ini.
Tidak lama kemudian, mereka sudah selesai menikmati makanan masing-masing. Gala segera beranjak dari duduknya menuju kasir.
“Ga, ini uangku.”
“Kebiasaan kamu, nih. Yang ngajak makan siapa tadi? Simpen aja.”
“Makasih Gala,” ujar Tita seraya tersenyum manis. Ia bersyukur, sebagai anak rantau, saldo ATM-nya di akhir bulan yang mulai menipis bisa diamankan. Namun, terkadang dirinya merasa tidak enak hati jika terus ditraktir oleh Gala.
Gala bingung, jadwal pulang Tita masih lama. Ia tidak mungkin menuju Kopipiko—coffee shop miliknya--sambil menanti malam tiba. Dirinya takut tidak bisa balik lagi ke kampus karena selalu lupa waktu jika berhadapan dengan mesin espresso dan penunjangnya.
“Kamu langsung pulang, Ta?”
“Enggak, balik ke kantor. Habis maghrib ada rapat. Kenapa?”
“Aku ikut, deh. Bingung mau nunggu di mana.”
“Emang mau nunggu siapa?” tanya Resta yang kembali penasaran.
“Nunggu orang.”
“Oh ....”
Mereka menuju kantor BEM Fakultas Ekonomi yang terletak di lantai dasar gedung kuliah bersama. Gala tidak punya pilihan lain, dari pada harus bengong sendiri. Sebenarnya ada sedikit rasa tidak senang dengan kumpulan mahasiswa yang aktif di organisasi intrakampus tersebut. Pandangannya terhadap mahasiswi aktivis hanyalah kumpulan orang yang membuang waktu saja.
“Masuk, Ga.”
Resta mepersilakan teman sekelasnya itu untuk duduk di kantor. Hanya ada mereka dan dua mahasiswa lagi di sana. Gala pun duduk di dekat pintu. Tidak lama kemudian, beberapa orang datang, termasuk Ghifari.
“Resta, gak lupa bawa proposal pegajuan dana, kan?” tanya Ghifari yang baru balik dari toilet.
“Enggak. Sudah siap, tinggal nunggu list untuk penyebarannya saja.”
“Oke. Eh, ada Gala. Tumben main ke kantor?” sapa Ghifari begitu melihat Gala yang bersandar di dinding.
“Iya, diajak Resta tadi.”
“Oh, begitu,” ujar Ghifari seraya melirik Resta yang sedang fokus di depan laptop.
Para aktivis kampus itu mulai sibuk dengan tugasnya masing-masing. Mereka akan mengadakan seminar nasional tentang ekonomi mikro. Gala terus memperhatikan mereka.
“Sibuk di organisasi gini, apa ada manfaatnya buat kalian?” tanya Gala tiba-tiba.
Resta menggigit bibir bawahnya begitu mendengar celetukan Gala. Ia takut jika sahabatnya itu akan melontarkan kalimat-kalimat yang biasa ditujukan kepadanya.
“Sangat banyak,” jawab Ghifari dengan penuh penekanan. “Bekal menghadapi dunia pekerjaan.”
“Seperti itu? Tapi kalian itu kuliah di Fakultas Ekonomi. Setidaknya aktivitas kalian lebih di praktik kerja seperti magang atau memulai bisnis.”
“Tentu saja kami nanti juga akan melewati masa itu,” tukas Ghifari. “Kenapa memangnya dengan mahasiswa dan organisasi?”
Ghifari mulai menebak arah pembicaraan Gala. Laki-laki dengan kaos oblong berwarna putih itu semakin tidak senang dengan sikap teman satu jurusannya tersebut. Apalagi saat melihatnya jalan berdua dengan Resta tadi.
“Mengabaikan kuliah demi organisasi. Kalian itu niat kuliah apa jadi aktivis, saat masuk kampus ini?”
Resta tersentak, kalimat yang diucapkan Gala sudah tidak menyenangkan untuk didengar. Wajah Ghifari dan teman-temannya pun terlihat kaget.
“Ga, sudah. Kamu diam aja.”
Gala tidak memedulikan ucapan Resta. Ia masih ingin menyuarakan pendapatnya.
“Aku maklum, karena kalian belum pernah terjun di dunia kerja. Habis SMA langsung kuliah. Begitu, kan?”
“Maksud kamu apa bicara seperti itu?”
Nada bicara Ghifari mulai meninggi. Tatapan mata mahasiswa yang juga aktif di organisasi ekstrakampus itu mulai tajam ke arah Gala.
“Aku cuma mau bilang, yang dibutuhkan saat kerja itu pengalaman, bukan kumpulan sertifikat organisasi.”
Kalimat yang terlontar dari bibir Gala barusan membuat hati Ghifari memanas. Dirinya tidak suka jika ada yang menjelekkan citra aktivis kampus. Ia pun berdiri, lalu mendekat ke arah Gala.
“Ghi, maksudnya Gala bukan seperti itu.”
Resta mulai panik. Ia paham siapa Ghifari. Amarahnya gampang sekali tersulut untuk hal yang tidak sejalan dengan pemikirannya. Gala pun ikut berdiri. Jarak dua laki-laki itu semakin dekat.
“Kuliah di Ekonomi harusnya cari pengalaman yang sesuai. Ikut organisasi bisnis. Bukan ngurusin politik kampus.”
Gala masih saja mengeluarkan pendapatnya. Resta sudah bingung. Ia menepuk lengan Gala, memintanya untuk berhenti bicara.
“Kamu siapa? Berani ngomong kaya gitu. Anak kuliahan yang kegiatannya hanya kuliah dan nongkrong di warung kopi. Lebih bermanfaat mana sama kegiatan kami?” tanya Gala dengan mata membesar.
“Ghifari, sudah gak perlu direspon ucapan Gala,” ucap Resta menenangkan teman satu organisasinya tersebut. “Ga, ayo keluar.”
Gala tertawa sinis. Ia memang tidak memberitahukan profesinya pada semua orang. Hanya orang tertentu saja yang paham dengan pekerjaannya.
Resta tidak mau sampai terjadi keributan di dalam kantor. Ia pun menyeret Gala untuk meninggalkan tempat itu.
“Apa, sih, Ta? Aku belum selesai ngomong sama anak belagu itu.”
“Sudah cukup, Ga!” pekik Resta tertahan. Gala terperanjat mendapati wajah temannya merah padam. “Cukup aku saja yang selalu kamu ejek karena jadi aktivis. Jangan sampai ucapanmu menyakiti hati teman-teman yang lain.”
Nada bicara Resta terdengar melemah di akhir. Mata gadis dengan kemeja lengan pendek berwarna marun itu mulai berkaca-kaca.
“Bu-bukan gitu, Ta. Aku hanya ingin menyampaikan pengalamanku di dunia kerja,” ucap Gala terkesiap. Ia paling tidak bisa melihat perempuan menangis di hadapannya, apalagi karena dirinya.
“Tapi cara bicaramu itu salah, Ga.”
Gala terdiam, ia mulai menyadari kesalahannya. Tidak sepatutnya dirinya ikut campur di urusan yang berbeda dengan dunianya. Namun, teman-temannya terlanjut sakit hati dengan semua yang keluar dari bibirnya tadi. Termasuk Resta yang meninggalkannya sendirian di luar. Gadis itu kecewa dengan sikap Gala.
“Resta!”
Resta terus melangkah menuju kantor tanpa memedulikan panggilan Gala. Suasana hatinya berubah buruk saat ini.
Gala menghela napas dalam. Ia lalu menuju lantai lima. Dirinya akan menunggu Tita di depan kantor jurusan. Baru saja akan duduk di bangku besi, Gala melihat sosok perempuan dengan kerudung yang tidak asing lagi baginya, keluar dari ruangan. Tita terlihat berjalan dengan cepat.
“Bu Tita!” seru Gala seraya menyusul dosen cantik itu.
“Eh, kamu ngapain di sini?”
“Nungguin Ibu. Jadi saya antar pulang, kan, Bu?”
“Saya masih ada rapat sampai malam,” jawab Tita sambil terus berjalan melewati koridor.
“Saya tungguin, Bu.”
Tita menghentikan langkahnya. Ia memutar tubuhnya menghadap Gala.
“Ya sudah, terserah. Saya mau salat Maghrib dulu.”
“Yes!” ucap Gala dengan semringah. Ia mulai melupakan permasalahan yang terjadi dengan para aktivis kampus tadi.
Tita pun mengambil wudhu. Ia tidak menyadari jika Gala sedang menunggunya di musala. Saat tiba di tempat salat, ia terkejut melihat mahasiswanya itu menghadangnya di pintu.
“Apalagi, Ga? Saya mau salat, nih.”
“Sama, Bu.”
“Ya, sudah. Sana salat saja,” ujar Tita seraya masuk ke musala.
“Tapi saya pinginnya jadi imam dan Ibu jadi makmum saya,” pinta Gala dengan senyuman yang sangat manis.
Tita menyimpan tulisannya di Google Drive. Ia lalu menghapus file yang ada di laptop. Kelegaan menyelimutinya setelah mampu mengungkapkan beban yang tersimpan selama tujuh tahun. Ia sudah bisa terlepas dari trauma masa lalu. Tepatnya sejak sepuluh bulan yang lalu saat Gala menjabat tangan bapaknya dan mengucap kabul.Menulis selama kurang lebih satu jam dengan kondisi duduk membuat punggungnya menjadi pegal, pun dengan perutnya yang terasa kencang sejak tadi. Ia lalu beranjak dari kursi menuju ranjang, merebahkan tubuhnya. Namun, posisi tidur membuatnya semakin tidak nyaman. Tita meringis sambil mengusap perut buncitnya.Pintu kamar terbuka, Gala datang dengan membawa susu coklat hangat khusus ibu hamil. Sejak istrinya dinyatakan mengandung buah hatinya, laki-laki itu menjadi suami siaga. Ia dengan sigap memenuhi nutrisi wanita yang masih aktif mengajar tersebut.“Udah selesai ngetiknya?”Tita mengangguk sambil pelan-pelan menyandarkan punggungnya di dashboard ranjang berukurang king
Dear diary,Ternyata sudah delapan tahun aku tidak menyapamu. Kamu tahu apa yang terjadi padaku? Ada banyak hal yang ingin kuceritakan sekarang.Kamu tahu rasanya dituntut untuk segera menikah sedangkan dalam hati seperti ada bayang-bayang yang menghambat niatan baik itu? Aku mengalaminya. Sungguh, bukan hal yang mudah memberi dan mencari alasan untuk setiap pertanyaan, kapan menikah? Kok, gak nikah juga?Perempuan mana yang dalam hidupnya tidak ingin memiliki cinta sejati, menikah, membangun rumah tangga, dan memiliki putra dan putri yang lucu? Jujur, sejak usiaku menginjak kepala dua, aku sempat memimpikan menikah muda bahkan saat masih kuliah. Namun, impian itu kandas karena satu kesalahan yang fatal. Hingga usia 30 tahun, aku masih belum juga berani menyempurnakan separuh agama. Aku bukannya tidak ingin. Aku hanya takut menjalin komitmen dengan laki-laki. Aku trauma.Semua itu berawal saat aku mengenal kata cinta. Untuk pertama kalinya aku menjatuhkan hatiku. Bayangkan, sejak sek
“Kondisi sepertiku?” tanya Tita tidak yakin. “Maksudnya kamu sudah pernah berbuat sesuatu itu?”Gala mengangguk pelan. Ia pun pernah melakukan hal yang sama dengan Silmi. Bukan satu kali tapi berulang kali. Semua terjadi saat dirinya berada di titik terendah karena gagal menggapai cita-citanya menjadi tentara. Kehadiran Silmi yang merupakan teman sekolahnya perlahan membuatnya bangkit. Cinta dan sikap manis gadis itu sungguh menjadi candu bagi Gala. Hingga akhirnya mereka terjerumus ke dalam pergaulan bebas. Namun, semua tidak berlangsung lama, saat dirinya sedang memacu langkah mendirikan usaha demi segera menghalalkan pacarnya, ia mendapati kejutan yang menyesakkan. Gala memergoki Silmi berselingkuh dengan laki-laki lain. Saat itu, ia segera memutuskan jalinan asmaranya. Baginya, mengkhiananti kepercayaan pasangan adalah kesalahan yang tidak akan bisa dimaafkannya.“Kamu saja bisa menerima masa laluku, kenapa aku tidak?”Senyum bahagia menghiasi wajah berlesung pipit tersebut. Gala
Dengan tubuh masih berbalut mukena, Tita merebahkan tubuhnya di atas kasur. Pikirannya mulai berkecamuk. Kehadiran Narendra yang tiba-tiba, membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Peristiwa demi peristiwa yang pernah mereka lalui mulai kembali memenuhi isi kepalanya. Terutama saat laki-laki itu memutuskan menjaga jarak dengannya. Sepanjang hidupnya, itulah rasa sakit paling perih yang pernah menghampirinya. Jatuh cinta dan sakit hati untuk pertama kalinya.Tita memejamkan matanya. Air mata kembali membasahi wajah mulusnya. Peristiwa tujuh tahun itu kembali hadir.“Mbak Tita! Ada yang nyari di depan.”Teriakan salah satu adik kosnya menyadarkan Tita dari lamunan.“Astagfirullahaladzim. Ampuni dosa-dosa hamba, Yaa Allah."Tita segera beranjak dari posisinya. Jaket dan kerudung instan segera ia pakai untuk menutup auratnya. Ia kemudian menuju teras.“Gala?”Tita tidak percaya jika laki-laki yang ia rindukan kehadirannya hadir menemui dirinya. Ia sudah pesimis bahwa Gala tidak akan datang
Narendra menarik tangan Tita. Dosen muda itu berusaha melepas cengekraman tangan mantan kekasihnya. Beruntung, koridor sepanjang lantai tiga itu sepi. Tita melepas semua sesak yang bersemayam di dada sejak tujuh tahun yang lalu.“Gak ada lagi yang perlu dibahas.”“Masih ada.”“Hubungan kita sudah berakhir.”“Aku ... aku minta maaf. Aku menyesali sikapku.”Tita menyeringai.“Menyesal karena enggan menikahi pacar yang sudah disentuhnya? Terlambat!”Narendra terperanjat, firasatnya benar. Ia merutuki sikapnya yang menolak ajakan Tita untuk menikah sambil menyelesaikan co-assistant.“Yaya, aku minta maaf. Bukan maksudku menolak. Tapi, kamu tahu, kan—““Aku tahu, pendidikanmu lebih penting dari pada aku dan ....”Tita menggantung kalimatnya. Ia menutup mulutnya kemudian berlari sekuat tenaga. Narendra hanya menatap sosok wanita yang menjadi cinta pertamanya itu menjauh.“Aku dan? Dan, apa?”Narendra mengacak rambutnya kesal. Kalimat Tita yang tidak selesai semakin menguatkan praduga tentan
Semalam, Gala tidak bisa memejamkan mata. Ia gelisah menanti pagi ini. Saat untuk bertemu dengan Tita, memberitahukan tentang hasil pemilihan ketua BEM. Dengan mengendarai mobil kesayangannya, ia meluncur menuju indekos dosennya tersebut.Gala menarik napas panjang sebelum turun dari mobil. Ia harus siap dengan konsekuensi atas kekalahan yang didapatnya. Kehilangan Tita yang belum jadi miliknya.Hanya butuh satu kali saja untuk menekan bel, pintu pagar pun terbuka. Biasanya, Gala memanggil penghuni indekos tersebut dengan tiga kali membunyikan bel.“Tita?”Gala terperangah mendapati Tita yang membuka pintu pagar. Penampilan wanita muda itu tampak rapi.“Masuk, Ga.”“Kamu mau ke mana?” tanya Gala heran.“Di kos saja. Ayo masuk.”Gala masih diam di tempatnya. Ia tidak mungkin membicarakan hal terpenting dalam hidupnya di teras.“Tita, ngorol di luar saja, ya. Sekalian sarapan.”Tita mengangguk sambil tersenyum. Ia pun masuk ke rumah untuk mengambil tasnya. Wanita dengan tinggi 160 senti