Gala dan Tita akhirnya salat Maghrib berjamaah. Sesuai keinginannya sendiri, pemuda itu yang menjadi imam. Suara Gala cukup merdu dan fasih saat melantunkan ayat suci Alquran. Di bangku sekolah menengah atas, dirinya pernah bergabung dengan ekstrakurikuler rohis walaupun hanya sesaat.
Setelah selesai, Gala memutar tubuhnya menghadap Tita yang masih fokus berdoa. Hatinya berdesir melihat wajah dalam balutan mukena berwana jingga tersebut. Tidak ada lagi lipstik dan pensil mata yang menghiasi. Namun, aura Tita dirasakan Gala semakin memancarkan kecantikannya.
“Astaghfirullahaladzim,” ucap Gala sambil mengusap wajahnya.
Tita tahu jika dirinya sedang diperhatikan oleh mahasiswanya tersebut. Ia pun bergegas merapikan mukena. Tanpa memandang Gala, Tita segera beranjak dari duduknya. Ia lalu melangkah menuju pintu keluar musala.
“Loh, pergi?” Gala kaget saat melihat Tita meninggalkannya. “Saya tungguin pulangnya, Bu. Jangan lupa.”
“Terserah kamu, deh,” ucap Tita tanpa menoleh ke arah Gala. Ia pun berlari kecil menuju kantor. Dirinya sudah terlambat mengikuti rapat rutin jurusan.
Gala berjalan santai menuju kursi yang terletak di samping kantor Jurusan Manajemen tersebut. Ia pun sibuk dengan ponselnya dan mulai berselancar di I*******m. Ia lalu membuka akun Tita. Tidak ada yang baru di sana. Dosennya itu tidak berbagi foto terbaru.
Jemari Gala mulai kembali berselancar. Ia berhenti pada unggahan Claresta Anjani. Gadis itu tengah berpose dengan rambut tergerai yang tertiup oleh angin. Gala tertawa kecil saat membaca tulisan di bawahnya.
[Kusuka dirinya, mungkin aku sayang]
“Anak kecil ini lagi jatuh cinta kayanya,” cetus Gala. Sahabatnya itu memang kerap mencurahkan isi hatinya lewat aplikasi berbagi foto tersebut. Ia pun mengomentari unggahan Resta.
[Ada yang berbunga-bunga cieee]
Tidak lama kemudian notifikasi balasan dari Claresta Anjani muncul. Hanya informasi akun tersebut menyukai komentar Gala. Tidak ada kata-kata yang tertulis. Pemuda dengan rambut rapi tanpa belahan itu sadar, Resta sedang marah kepadanya.
Azan Isya berkumandang dari menara masjid kampus. Saat itu pula beberapa dosen keluar dari kantor jurusan. Gala yang sedang duduk bersandar segera menegakkan tubuhnya.
“Nunggu siapa Galaksi?” tanya Bu Fida, Ketua Jurusan Manajemen.
“Eh, nunggu teman, Bu,” jawab Gala malu-malu. Dirinya tidak mungkin menyebutkan bahwa tengah menunggu salah satu dosen. Bu Fida pun berlalu dengan beberapa dosen senior yang lain.
Gala mengamati kantor jurusan. Ia mengembuskan napas lega melihat Tita keluar sambil berbincang dengan Rindu.
“Ga, kamu nungguin Bu Tita?” tanya Rindu yang dijawab senyuman oleh Gala dengan memperlihatkan deretan gigi putihnya. “Jangan mau diantar Gala, Bu.”
Tita hanya tersenyum simpul menanggapi ucapan Rindu yang tengah menggoda Gala. Ia terus berjalan tanpa menoleh ke arah mahasiswa yang kekeuh ingin mengantarnya pulang tersebut.
Gala berjalan di belakang Rindu dan Tita. Ia bisa bernapas lega saat Rindu berbelok ke arah parkiran motor.
Tita menghentikan langkahnya. Wanita yang terlihat cantik alami tanpa polesan make up berlebihan itu memutar tubuhnya ke belakang.
“Kamu jadi nganterin saya pulang?”
Gala mengangguk cepat.
“Oke, terima kasih sebelumnya.”
“Sama-sama, Bu. Gak perlu terima kasih juga sebenarnya. Itu sudah jadi kewajiban saya.”
Tita menoleh dengan alis mata saling bertaut. Ia masih heran atas rasa percaya diri Gala yang begitu besar.
“Serius, Bu. Jangan dipikir saya bercanda terus.”
Tita tergelak mendengar ucapan mahasiswanya itu. Hati Gala seketika menghangat melihat wajah wanita yang dicintainya begitu semringah di depannya. Mereka pun berjalan bersisian menuju tempat parkir mobil.
Gala membukakan pintu untuk Tita. Wanita bertubuh langsing itu tersenyum. Sikap yang diterimanya dari pemuda itu begitu manis. Hati Tita tersentuh. Sebagai perempuan, siapa yang tidak akan meleleh mendapati perlakuan seperti itu? Apalagi hatinya sudah lama membeku sejak peristiwa tujuh tahun yang lalu.
Mobil mulai melaju keluar dari area kampus. Gala membelokkan kemudi ke kiri, arah tengah kota.
“Kok, lewat sini?” tanya Tita heran.
“Saya lapar, Bu. Kita makan dulu, ya.”
Tita mengangguk pelan. Mau dijawab tidak, pasti Gala akan tetap kekeuh sama keinginannya.
“Ibu udah makan malam?”
“Belum.”
“Mau makan apa?”
“Terserah kamu saja, Ga. Yang penting halal.”
“Siap!” ucap Gala dengan penuh semangat. Ia begitu bahagia hari ini. Untuk pertama kalinya dirinya akan makan malam dengan dosen kesayangannya tersebut walaupun perutnya belum terlalu lapar. Namun, Gala berpikir bahwa kesempatan ini tidak boleh dilewatkan begitu saja.
Gala membelokkan mobilnya ke halaman parkir restoran steak yang cukup terkenal di kota Malang.
“Ibu jangan keluar dulu,” sergah Gala saat melihat Tita akan membuka pintu. Wanita yang pernah mengenyam pendidikan sarjana di kota Jogja itu mengurungkan niatnya.
“Kenapa?”
“Tunggu di sini, saya keluar dulu.”
Tidak lama kemudian pintu sebelah kiri terbuka. Gala dengan sikap manisnya mempersilakan Tita untuk keluar.
“Kamu kenapa baik gini?”
“Karena saya ada maunya,” jawab Gala sambil tersenyum malu-malu. Tita hanya bisa menggelengkan kepalanya.
Gala dan Tita segera masuk ke restoran. Mereka duduk di meja yang terletak di pojok dengan latar taman yang berhiaskan kerlip lampu menggantung di atas. Sorot lampu di ruangan tersebut sedikit temaram. Bisa dibilang, tempat ini terkenal juga sebagai rumah makan yang menyajikan nuansa romantis.
“Ibu mau pesan apa?”
“Terserah kamu saja.”
“Jangan gitu, dong. Saya, kan, belum paham kesukaan Ibu apa.”
“Ya sudah, yang chicken saja.”
Gala segera mencatat pesanan Tita.
“Minumnya?”
“Air mineral.”
Gala mengernyitkan keningnya. Pilihan menu Tita begitu sederhana.
“Cuma air putih?”
Tita mengangguk mantap. Gala pun menyelesaikan pemesanan untuk menu makan malam. Ia lalu melambaikan tangan memanggil pelayan.
Gala menatap Tita yang tengah sibuk dengan ponselnya. Pemuda itu tersenyum dengan sorot mata penuh cinta.
“Bu Tita,” panggil Gala. Dosen muda itu mendongakkan wajahnya. “Terima kasih untuk hari ini.”
“Saya yang harusnya berterima kasih. Sudah dianterin ke kampus dan diajak makan. Kamu baik juga, ya.”
Gala tersipu, hatinya kembali menghangat. Baru kali ini dirinya melihat wajah Tita berhiaskan senyuman yang dirasakannya cukup tulus.
“Sama-sama, Bu. Kalau butuh saya, jangan sungkan-sungkan. Gala akan selalu ada buat Tita.”
Tita tertawa sambil manggut-manggut.
“Saya bisa luluh kalau terus kamu gombali seperti itu,” ungkap Tita. Gala terperanjat, sedetik kemudian wanita dihadapannya itu menyadari ucapannya sendiri. “Eh, maksudnya bukan gitu.”
“Jangan diralat. Saya bahagia dengarnya,” ujar Gala sambil menatap lekat Tita yang mulai terlihat salah tingkah. “Saya akan berjuang meluluhkan hati Titania Pangesti.”
Tita menundukkan wajahnya. Ia takut terjerat pesona Gala yang dari fisik tentu tidak mengecewakan. Laki-laki itu mempunyai tubuh yang mampu mengundang decak kagum para perempuan yang melihatnya. Belum lagi wajah bersih dan terawat. Tita memejamkan matanya kuat. Ia takut Gala mampu menyentuh hatinya. Dirinya tidak mau terluka lagi oleh cinta.
“Gala.”
“Iya.”
“Serius dengan semua yang kamu ucapkan pada saya?”
Gala mengangguk mantap.
“Lebih dari serius. Saya sungguh-sungguh.”
Tita mengehela napas dalam. Ia tidak ingin memberi harapan palsu untuk Gala. Dirinya harus segera mengambil keputusan secepatnya.
“Kamu mau dengar jawaban saya sekarang?”“I--iya,” jawab Gala ragu. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ini adalah saat yang dinantikannya. Namun, di sisi lain dirinya cemas jika mendapat penolakan dari Tita.“Begini, saya berusaha menghindari untuk mempermainkan perasaan orang. Saat tidak suka, saya akan bilang seperti itu, begitupun sebaliknya. Intinya, ketika tidak ingin disakiti, maka jangan pernah menyakiti.”Gala mendengarkan penuturan Tita dengan saksama. Ia melihat kematangan akan sebuah pikiran dari kata-kata yang terlontar.“Tapi, rasanya egois jika saya memutuskan satu hal, terutama yang menyangkut masa depan tanpa melihat perjuangan.”Gala manggut-manggut. Ia tidak akan bersuara sebelum Tita menyelesaikan penjelasannya.“Saya akan memberikan waktu untuk kamu meluluhkan hati yang sudah tidak peduli akan cinta ini.”Gala tersentak mendengarkan kalimat terakhir yang diucapkan Tita. Ada secercah harapan untuknya menggenggam hati pujaannya tersebut.“Saya akan berjuang, tidak aka
Resta melangkah santai ke kelas. Ia lalu memilih kursi yang berada di deretan depan. Tidak lama kemudian, Gala datang dan langsung menghampiri sahabatnya itu.“Hai,” sapa Gala yang duduk di kursi sebelah Resta.Gadis dengan rambut dikepang dua itu membisu. Pandangannya tidak beranjak dari layar ponsel yang ada dalam genggamannya.“Aku minta maaf, kemarin ucapanku memang kelewatan. Maafin aku ya, Ta?”Resta masih terdiam tanpa senyuman. Wajah gadis itu terlihat dingin. Ia benar-benar kecewa dengan sahabatnya itu. Tidak bisa mengontrol ucapan.Gala menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia paham, gadis di sampingnya jika diam seperti itu tandanya sedang marah dan kecewa.“Aku dicuekin, nih,” ucap Gala seraya mencondongkan kepalanya untuk menatap wajah Resta yang masih menunduk. Pemuda pemilik mata kecil itu memberikan senyuman khas yang menampakkan lesung pipit pada wajahnya. Namun, Resta masih juga bersikap acuh.Gala menghela napas kasar. Ia beranjak dari duduknya. Lalu berjalan keluar
Gala menggelengkan kepalanya pelan. “Aku mau belajar mengaktualisasikan diri di kampus. Rasa tidak suka itu muncul karena aku memang belum mengenal dunia aktivis yang seutuhnya. Aku hanya melihat dari luar. Seperti kegiatanmu yang sangat padat dan kadang mengesampingkan kuliah, meskipun cuma sekali dua kali kalau kamu. Mungkin ada satu hal di sana yang aku harus tahu agar tidak gampang menyepelekannya.”Resta manggut-manggut. Ia memahami penjelasan panjang Gala.“Niatan yang bagus juga.”“Kamu mau, kan, bantu aku mengenal BEM?” pinta Gala dengan penuh harap. Resta menganggukkan kepalanya seraya tersenyum. “Kapan mulai dibantunya?”“Sore ini setelah kuliah.”“Yes!” pekik Gala begitu bersemangat. Langkah untuk menjadi ketua BEM akan segera terbuka. “Makasih adik cantik.”“Sama-sama.”Resta tersenyum tipis. Ia selalu sedih ketika mendengar kata adik keluar dari bibir Gala. Dirinya ingin bisa dianggap lebih dari itu. Sahabatnya itu tidak pernah menyadari perasaan khusus yang tersimpan dal
Gala terlihat tidak bersemangat. Persyaratan untuk terjun menjadi aktivis tidak semudah yang dibayangkannya. Belum lagi hari ini dirinya tidak bisa bercengkerama dengan Tita.“Muka ditekuk melulu dari tadi. Kenapa Bu Dosen?” tanya Dodi heran.Gala menggelengkan kepalanya. Ia lalu meraih ponselnya. Jemarinya mulai membuka Instagram. Matanya berbinar mendapati story Tita berada di pojok paling kiri. Ia segera menyentuh layar. Tampak gambar Kopipiko dengan tulisan di sampingnya.[Baru sampai kos lupa mau beli ini. Butuh penyegaran]Gala segera membuka Whatsapp, kemudian mulai mengirim pesan pada nomor Tita.[Habis maghrib aku jemput, ya][Gak mau][Jangan curang atau aku yang menang][Gak bisa gitu][Bisa, itu kesepakatan kita][Ya sudah]Gala tertawa senang. Ia akhirnya bisa mengalihkan rasa suntuknya menghadapi diklat minggu depan. Berkumpul dengan mahasiswa yang baru melewati masa remaja akhir. Itu sungguh tidak pernah terlintas dalam benaknya.Selepas salat Maghrib di samping musala
“Kenapa?” tanya Gala tergopoh.“Jahilnya selalu kelewatan. Ini apa?”Telunjuk Tita mengarah pada tulisan di gelas plastik yang ia pegang. Tertulis Ny. Galaksi untuk nama pemesan. Gala terbahak melihat wajah masam Tita.“Itu doa. Semoga segera terkabul, ya Allah.”Ucapan yang terlontar dari bibir Gala terdengar tulus di telinga Tita. Hal tersebut membuat hatinya bergetar. Ia menundukkan pandangannya sambil menyeruput minuman. Laki-laki dengan hoodie berwarna merah tua itu tersenyum menatap wajah ayu yang sedang tersipu. Suasana menjadi hening. Gala menikmati rasa canggung ini.“Kok, aku lapar, ya?” tanya Tita tiba-tiba. Ia tidak nyaman jika terus dipandangi oleh Gala.“Ya Allah, lupa pesan makan,. Bentar aku order dulu. Mau makan apa?”“Ayam geprek level pedas gila, deh.”“Oke, aku pesan dulu.” ucap Gala kemudian berlalu menuju kedai ayam geprek di sebelah Kopipiko.Tita mengedarkan pandang ke seluruh penjuru ruangan. Tatapannya terhenti pada gambar Gala sedang memegang trofi. Namun,
“Bagi peserta yang masih berada ditenda, harap segera berkumpul untuk salat Maghrib berjamaah.”Ghifari memberi instruksi kepada peserta dengan menggunakan megaphone. Mereka pun berhamburan menuju tempat utama yang berada di tengah lingkaran tenda-tenda.Di dalam salah satu tenda, Gala menutupi tubuhnya dengan sarung yang ia bawa dari rumah.“Ga, kamu gak ikutan salat?” tanya teman satu tenda Gala.“Eng—gak. Kayanya aku la--gi meriang, sa--lat di tenda saja.”“Oh, ya sudah. Aku keluar dulu.”Gala mengangguk dengan tubuh yang gemetar. Setelah memastikan temannya itu berada di luar, ia segera membuka sarungnya. Ia pun bergegas untuk salat Maghrib. Saat baru selesai berdzikir, Gala mendengar ada yang berbicara di depan tenda.“Gala sakit? Masa, sih? Kayanya tadi bugar, kok.”“Tadi pas aku mau salat, dia gemetar gitu ngomongnya. Meriang katanya.”“Serius?”Gala dengan saksama mendengarkan perbincangan tersebut. Ia hapal suara perempuan yang berbicara dengan teman satu tendanya itu. Suara
“Ketika ijazah sudah di tangan, saya bukannya sibuk mencari lowongan. Kenapa bisa begitu? Karen orang-orang yang saya kenal saat jadi aktivis yang memberikan informasi tentang itu semua. Jadi, salah satu manfaat ikut organisasi saat kuliah itu adalah memudahkan kalian mendapatkan pekerjaan. Oh, iya, satu lagi. Simpan baik-baik sertifikat kalian. Banyak yang bilang kertas-kertas itu gak ada fungsinya. Salah besar!”Sekali lagi, Gala merasa dikuliti. Semua yang ada di pikirannya selama ini dibahas oleh pemateri.“Ketika kalian melamar pekerjaan, sertakan sertifikat-sertifikat itu. Baik IMG, HMJ, BEM, bahkan kalau kalian ikut organisasi minat bakat seperti fotografi atau olah raga di kampus. Masukkan semua bareng ijazah. Insya Allah, pihak yang kalian tuju akan mempertimbangkan. Asal IPK kalian bukan nasakom loh, ya.”Semua tergelak mendengar kata nasakom atau nasib satu koma. Indeks prestasi kumulatif yang dipastikan susah untuk segera lulus. Pemateri pun melanjutkan ceritanya.“Kenapa
“Kamu mau mundur? Berarti Tita gak salah kalau bilang Gala itu seperti anak kecil.”Gala terkesiap mendengar ucapan Dodi. Ia lalu mengusap wajahnya. Dirinya merasa seketika berubah menjadi tidak bijaksana saat kasmaran kali ini.“Aku harus tetap nuruti persyaratan Tita, gitu?”“Ya, kalau kamu udah gak cinta, ngapain dituruti. Logikanya tolong dimainkan.”Gala menghela napas panjang. Di hatinya masih terlukis jelas sebentuk cinta yang utuh untuk Tita.“Masalahnya kamu terlalu cinta sama dia, itu!” ungkap Dodi dengan jari telunjuk mengarah pada wajah Gala.“Terus gimana? Aku chat gak dibaca. Ke kosnya, dibilang gak ada terus. Ke kantor jurusan, menghindar. Di kelas pun, dingin. Serba salah rasanya.”“Bro ... Bro, kamu itu ganteng. Tapi pengalaman sama cewek kalah level sama aku,” ejek Dodi sambil terbahak. “Nih, aku kasih tahu. Beberapa cewek itu ada yang gak suka terlalu dikejar. Yang ada mereka suka ilang feeling kalau cowoknya agresif. Ngerti gak?”“Kaya gimana itu?”“Kaya kamu,” ja