Share

Tiga

“Kamu gak malu ngelamar tante-tante?” tanya Tita yang akhirnya bersuara. Ia menoleh sekilas ke arah laki-laki yang duduk di balik kemudi.

Gala tertawa kecil menanggapi pertanyaan yang dilontarkan perempuan di sebelahnya. Ia sudah menebak akan ada pertanyaan seperti itu untuknya karena masalah perbedaan usia dan juga status pendidikan.

“Saya juga sudah om-om. Berarti gak masalah, kan?”

Tita menghela napas dalam. Mahasiswanya itu selalu punya jawaban yang mematahkan ucapannya.

“Kamu itu masih muda, Ga. Temen-temen di kelasmu itu cantik-cantik, loh. Kenapa gak milih mereka saja?”

Gala berdecak, kesal. Tita ternyata sulit untuk diluluhkan hatinya. Selalu saja memberi alasan agar dirinya menyerah.

“Saya udah tua, Bu.”

“Masa? Seberapa tua?” tanya Tita pura-pura tidak mengetahui usia Gala.

“Tahun ini usia saya sudah 25 tahun. Sudah tua, kan?”

“Masih muda, Ga. Tetap lebih tua saya.”

“Cinta tidak mengenal angka dalam usia. Umur saya ini sudah waktunya nikah, Bu.”

Tita tertawa mendengar kalimat terakhir Gala. Ia merasa mahasiswanya itu memang sudah sangat ingin menikah.

“Apalagi umur saya, Ga. Terlambat nikah kali, ya, lebih tepatnya,” ujar Tita sambil menertawakan dirinya sendiri.

Gala tersenyum jahil. Ia mempunyai celah untuk bisa meyakinkan Tita.

“Makanya, Bu. Sebelum semakin terlambat, lebih baik kita cepat saja menikah. Menyempurnakan separuh agama.”

Tita tersentak, ia seketika menoleh ke arah mahasiswanya tersebut. Rasa percaya diri Gala bukannya berkurang setelah membahas usia, malah semakin bertambah. Tita hanya mampu menggelengkan kepalanya.

“Ya, ajak saja salah satu temanmu untuk nikah. Resta mungkin?”

Gala mendengkus pelan. Menurutnya, Tita perlu dikasih ketegasan agar cepat paham dengan keseriusannya.

“Saya maunya sama Titania Pangesti. Titik gak pakai ditawar jadi koma.”

“Tapi saya lebih tua dari kamu, Ga,” ungkap Tita dengan raut wajah serius.

“Lima tahun bukan jarak yang jauh.”

Tita menoleh ke arah Gala. Keningnya terlihat berkerut.

“Kamu tahu dari mana usia saya?” tanya Tita kaget. Gala hanya terkekeh. “Benar-benar ini anak.”

“Benar-benar serius ingin menikahi ibu dosen di sebelah.”

Tita menyandarkan kepala di bantalan kursi. Ia mengakui usaha Gala mendekatinya tidak main-main. Mahasiswanya itu berbeda dengan beberapa laki-laki yang mendekatinya. Terutama dari sisi keseriusan saat memintanya menjadi istri. Bukan bersikap penuh kepalsuan alias menjaga image. Gala terlihat lebih apa adanya bahkan terkesan jahil.

“Ibu gak akan paham, rasa ini hadir sudah sejak lama. Sebelum ibu berangkat ke Spanyol, loh,” ucap Gala mulai membuka isi hatinya. 

Tita terperanjat dalam diamnya. Ia tiba-tiba ingin mengetahui awal mula rasa cinta itu hadir di hati mahasiswanya tersebut.

“Ngarang, kan?”

“Demi Allah, Bu. Waktu itu ospek hari terakhir, Jumat. Saya masih ingat tanggalnya, empat September,” ungkap Gala dengan mata fokus menatap jalanan. “Jajaran dosen waktu itu memperkenalkan diri di hadapan mahasiswa baru. Itu adalah pertama kalinya saya melihat Ibu. Saat itu Ibu memakai kerudung berwarna abu-abu polos. Seragam kantor yang senada dengan kerudung. Pakai ransel warna hitam. Jam tangan model kotak talinya putih, serasi sama sepatu yang tidak terlalu tinggi.”

Tita melongo mendengar penjelasan Gala yang begitu lengkap tentang outfit-nya. Ia lalu manggut-manggut. Laki-laki di sebelahnya itu tidak salah menyebutkan semuanya. Ia memang kerap berpenampilan seperti itu saat ke kampus.

“Ibu dapat giliran terakhir untuk ngomong. Dan, ketika Ibu mengucapkan salam, saat itulah hati ini meyakini bahwa jodoh saya adalah Titania Pangesti.”

Hati Tita mulai tersentuh dengan ingatan Gala atas pertemuan pertama dengan dirinya. Namun, kalimat terakhir laki-laki di sebelahnya itu sontak membuatnya terbahak.

“Gombalanmu kebangetan anak muda. Parah, parah.”

“Demi Allah, Bu. Gak bohong.”

“Masa dari suara langsung yakin itu jodoh?”

Gala kembali berdecak.

“Ibu gak bakalan paham, kayanya. Pernah gak, saat melihat seseorang, hati kecil Ibu berkata bahwa dia jodohku?” tanya Gala seraya menoleh sekilas ke arah Tita.

“Enggak pernah,” jawab Tita dengan lirih. Wanita itu segera membuang muka ke samping kiri, menatap jalanan dengan pandangan sayu. Ada sesak di dada yang kembali terasa.

Gala mengembuskan napas panjang. Ia pasti akan dianggap mengada-ada oleh Tita.

“Kapan ibu bisa percaya dengan ucapan saya?” Nada bicara Gala terdengar putus asa. “Atau saya langsung ke Ngawi saja menemui keluarga Ibu? Biar kesungguhan saya ini lebih meyakinkan.” 

Tita tersentak dengan rencana Gala yang terbilang nekat. Ia tidak boleh membiarkan mahasiswanya itu menemui keluarganya, terutama sang ayah.

“Saat ini fokus saya adalah karir, belum ada rencana menikah dalam waktu dekat.”

Gala manggut-manggut. Ucapan yang terlontar barusan dirasakannya bukanlah sebuah penolakan. Dirinya akan tetap berjuang meluluhkan hati wanita di sebelahnya itu. Ia juga memaklumi pandangan Tita yang memang terkenal sebagai dosen muda berprestasi di kampusnya, untuk fokus pada karir. Apalagi kabar terakhir yang beredar, wanita berbulu mata lentik itu tengah mengajukan beasiswa untuk program doktoral.

Gala tidak bersuara lagi setelah kalimat terakhir yang diucapkan Tita. Suasana di dalam mobil kembali hening. Tidak terasa mereka sudah sampai di parkiran kampus.

“Bu, nanti saya antar pulang, ya?”

“Gak perlu, nanti saya pesan ojek online saja,” jawab Tita seraya membuka pintu mobil. Namun, baru akan melangkah, ia merasakan tangannya dipegang.

“Saya mohon, Bu. Kali ini saja.”

“Lihat nanti dulu,” ucap Tita singkat, ia tidak ingin berlama-lama berdua dengan Gala di dalam mobil. Ia bergegas keluar, sebelum kedatangannya disadari Fahmi yang berada di mobil sebelah.

“Loh, Bu Tita?” panggil Fahmi saat rekan kerjanya itu baru berjalan beberapa langkah dari mobil.

Tita terpaksa berhenti. Dengan berat hati, ia pun menjawab sapaan Fahmi.

“Eh, iya, Pak Fahmi. Saya duluan, ya.” Tita kembali berjalan.

“Tunggu dulu, Bu.” Fahmi berlari kecil mendekati Tita. Perempuan itu mendengkus, kesal. “Sekarang bawa mobil, ya?”

“Bukan, Pak. Tadi saya nebeng saja.”

Fahmi manggut-manggut. Rasa ingin tahu mulai menguasainya.

“Nebeng siapa kalau boleh tahu?”

“Bu Tita berangkat bareng saya, Pak Fahmi.”

Fahmi menoleh ke belakang. Ia terperanjat begitu melihat Gala yang berbicara.

“Kamu lagi, kamu lagi, Galaksi Bima Sakti.”

“Galaksi Mahendra, Pak.”

“Suka-suka saya mau manggil apa.”

“Gak bisa gitu, Pak. Orang tua saya penuh perjuangan mendapat nama itu.”

Gala dan Fahmi kembali berdebat. Tanpa mereka sadari Tita sudah berjalan jauh meninggalkan dua laki-laki berbeda profesi tersebut.

“Tuh, kan, Bu Tita udah pergi lagi. Kamu ini gak bisa lihat bapak senang,” tukas Fahmi dengan wajah kecewa.

Gala hanya terkekeh mendapati dosen di depannya sedang memarahinya. Ia tidak peduli akan itu. Hanya satu yang ia rasakan saat ini. Kebahagiaan yang membuncah karena bisa berbincang lebih lama dengan Tita untuk pertama kalinya.

***

“Ndu, Bu Tita selesai ngajarnya jam berapa?” tanya Gala pada Rindu yang sedang duduk di depan meja kerjanya.

“Kenapa emangnya?”

“Penting pokoknya. Cepetan jawab.”

Mata Gala terus mengamati pintu dan jendela di kantor jurusan. Ia was-was jika sampai ketahuan Tita karena tengah bertanya tentang jadwalnya pada Rindu.

“Jam lima sore.” 

Gala manggut-manggut, ia lalu melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Kurang dua jam lagi. Itu bukanlah waktu yang lama untuk menanti pembawa hatinya itu selesai mengajar.

“Tapi habis maghrib ada rapat jurusan. Biasanya sampai isya,” tambah Rindu yang di balas dengan anggukan lemah dari Gala.

Gala pun keluar dari ruangan menuju kursi besi yang berjajar di depan. Ia menyandarkan punggungnya di sana. Pengusaha muda dengan lima gerai kedai kopi kekinian yang tersebar di dekat kampus besar di kota Malang itu mengeluarkan ponsel dari saku celana. Jemarinya mulai mengetik pesan W******p untuk Resta.

Lagi di mana?

Kantor BEM.

Rapat?

Gak, ngrumpi saja.

Tunggu di sana.

Ngapain?

Temani makan bakso di belakang kampus.

Oke.

Gala menuju kantor BEM untuk menjemput Resta. Gadis itu adalah satu-satunya teman kuliah yang dekat dengannya. Ia menghentikan langkah saat mengetahui di dalam basecamp organisasi intrakampus tertinggi di fakultasnya itu cukup ramai mahasiswa.

Aku udah di depan.

Oke, balas Resta sambil beranjak dari duduknya. Ia pun bersiap memakai sepatu.

“Resta mau ke mana?” tanya Ghifari yang menjabat sebagai sekretaris BEM. Ia tadi tengah berbincang dengan Resta dan yang lainnya.

“Aku mau ke belakang dulu. Nanti balik lagi.”

Ghifari manggut-manggut. Matanya terus mengikuti langkah Resta yang keluar dari ruangan. Laki-laki berkulit bersih itu menatap tajam dua mahasiswa yang tengah terbahak bersama di depan kantor.

***

Gala dan Resta tiba di kedai bakso. Mereka segera memesan menu pilihan masing-masing, kemudian mengambil tempat di meja paling depan.

“Kamu gak pulang?” tanya Resta yang penasaran dengan keberadaan Gala di kampus padahal sudah tidak ada jam kuliah lagi. Biasanya laki-laki yang gemar berolah raga itu segera menuju lokasi usahanya setelah kuliah berakhir. Gadis dengan gigi kelinci itu sangat paham bahwa seorang Galaksi Mahendra tidak suka berada di kampus kecuali kuliah.

“Belum.”

“Mau ngapain?”

“Ada saja pokoknya.”

Resta mengernyitkan kening seraya merapikan rambut bagian depan ke arah belakang telinga. Ia heran dengan beberapa sikap aneh dari salah satu teman sekelasnya tersebut akhir-akhir ini.

“Eh, kamu ditanyain Dodi. Suruh main ke kedai.”

“Iya, aku udah lama gak ngopi ke sana.”

“Katanya dia kangen sama kamu,” ucap Gala sambil terkekeh.

Resta terdiam sambil menoleh sekilas ke arah laki-laki muda yang sedang menyantap bakso dengan lahap. Gadis dengan rambut lurus sepunggung itu menghela napas pelan. Gala tidak juga menyadari perasaannya.

Aku maunya kamu, bukan Dodi, Ga.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status