Share

Enam

Author: Reni Hujan
last update Last Updated: 2023-10-06 09:23:49

“Kamu mau dengar jawaban saya sekarang?”

“I--iya,” jawab Gala ragu. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ini adalah saat yang dinantikannya. Namun, di sisi lain dirinya cemas jika mendapat penolakan dari Tita.

“Begini, saya berusaha menghindari untuk mempermainkan perasaan orang. Saat tidak suka, saya akan bilang seperti itu, begitupun sebaliknya. Intinya, ketika tidak ingin disakiti, maka jangan pernah menyakiti.”

Gala mendengarkan penuturan Tita dengan saksama. Ia melihat kematangan akan sebuah pikiran  dari kata-kata yang terlontar.

“Tapi, rasanya egois jika saya memutuskan satu hal, terutama yang menyangkut masa depan tanpa melihat perjuangan.”

Gala manggut-manggut. Ia tidak akan bersuara sebelum Tita menyelesaikan penjelasannya.

“Saya akan memberikan waktu untuk kamu meluluhkan hati yang sudah tidak peduli akan cinta ini.”

Gala tersentak mendengarkan kalimat terakhir yang diucapkan Tita. Ada secercah harapan untuknya menggenggam hati pujaannya tersebut.

“Saya akan berjuang, tidak akan pernah menyerah.”

“Saya belum selesai ngomong, Ga,” tukas Tita sambil tersenyum jahil.

“Terus?”

“Wanita itu perlu bukti.”

“Lha, saya sudah ingin membuktikan dengan menikahi. Tapi kan, Ibu belum mengiyakan,” sela Gala menegaskan.

“Iya, paham. Tapi kita baru kenal. Kalau ingin menikahi itu sebagai bukti, mungkin sejak lama saya sudah berstatus istri dari mereka yang mengobral kata menikahi.”

Gala terdiam. Ia merasa tertampar dengan penjelasan gamblang dosennya tersebut. Ia belum bisa memperlihatkan perjuangannya menyentuh cinta Tita. Hanya kata serius yang selalu terucap.

“Jadi Ibu maunya gimana?”

Tita menarik napas, kemudian tersenyum dengan sangat manis.

“Saya ingin bukti perjuangan cinta Galaksi untuk Titania dengan menjadi Ketua BEM Fakultas Ekonomi periode mendatang.”

Gala tercengang mendengar permintaan Tita. Matanya membulat dengan mulut menganga. Ia menyandarkan punggungnya dengan kasar ke sandaran kursi. Pemuda itu berkali-kali menggelengkan kepalanya.

“Gak salah, Bu?” tanya Gala dengan tatapan syok. Permintaan yang sangat berat untuk diwujudkan.

“Enggak.”

“Saya harus jadi aktivis kampus?”

Tita manggut-manggut. Dalam hati, dirinya ingin tertawa. Ide itu terlintas karena ia ingin menolak Gala tetapi tanpa menyakiti hati pemuda tersebut. Tita sadar, sebagai mantan aktivis kampus, menjadi ketua BEM bukanlah semudah mendapatkan nilai A di kelas. Ada proses panjang yang harus dilewati.

“Kamu mahasiswa bukan?”

“Iya.”

“So, apa salahnya jadi aktivis kampus?”

Gala mengacak rambutnya kesal. Ingatan saat berdebat dengan Ghifari terlintas. Apa jadinya kalau ia harus menjilat ludah sendiri.

“Bisa diganti yang lain, gak?”

Tita menggelengkan kepala sambil menggerakkan jari telunjuknya.

“Tidak bisa ditawar. Seperti yang kamu bilang, sudah titik jangan diganti koma.”

Gala berdecak kesal. Nafsu makannya mendadak lenyap saat melihat menu yang datang. Tita mengulum senyum. Ia yakin perlahan Gala akan menyerah.

“Saya terima tantangannya,”  ucap Gala mantap.

Tita yang sedang mengunyah potongan daging ayam menjadi tersedak. Buru-buru diambilnya air untuk melegakan tenggorokannya yang sedikit sakit.

“Kamu yakin mau maju?”

“Kenapa harus mundur? Saya adalah lelaki yang pantang menyerah. Sekali jatuh cinta, kejar dia sampai dapat.”

Tita memijit pelipisnya. Ia hanya bisa pasrah mendapati penganggum yang keras kepala.

“Hanya ada waktu tiga bulan untuk berjuang. Kamu sanggup?”

“Sanggup!” tegas Gala walaupun hatinya sangsi akan mampu menyelesaikan tantangan tersebut. Ia harus melakukan sesuatu untuk hal yang sangat dibencinya. “Tapi Ibu harus sportif.”

“Maksudnya?”

“Jangan hanya memberikan tantangan, lalu menghilang. Itu namanya ... curang,” ucap Gala sambil mendekatkan tubuhnya ke meja. Matanya terus menatap Tita tanpa kedip.

Tita menautkan kedua alis mata. Ia merasa Gala mengetahui rencananya.

“Oh, tentu tidak. Saya tidak akan melakukan hal jahat seperti itu.”

“Bagus. Jadi, selama saya berjuang, kita harus tetap dekat. Maksudnya komunikasi tetap berjalan. Itung-itung pendekatan sebelum pernikahan.”

“Harus gitu?” tanya Tita terkejut.

“Iya. Kalau Ibu menolak, saya otomatis menang.”

“Gak bisa gitu, Ga.”

“Ibu mau curang, gitu?”

Tita menghela napas pendek. Ia tidak menyangka laki-laki di hadapannya cukup cerdas menganalisa tantangan yang diberikan.

“Terserah, deh. Dari pada ribut di sini,” ujar Tita menyerah.

Gala tersenyum puas. Ia akan berjuang menaklukkan permintaan Tita. Ia akan meminta bantuan sahabatnya.

Resta?

Gala menepuk keningnya. Kepalanya kembali berdenyut. Gadis itu masih marah padanya. Bukan hanya satu tantangan yang akan ia jalani tetapi dua. Menjadi ketua BEM dan memulihkan pertemanannya dengan Resta.

***

Tepat pukul sembilan malam, Mobil Gala berhenti di depan indekos Tita. Wanita itu memang dosen, tetapi dirinya lebih nyaman tinggal bersama mahasiswa, bukan menyewa rumah kontrakan.

“Kamu ikut jam malam juga di kos?”

“Kamu?”

Tita merasa aneh saat Gala menyebut dirinya kamu. Biasanya laki-laki itu memanggilnya Ibu.

“Iya, aku gak kemalaman, kan, nganter pulangnya?”

“Aku?” tanya Tita sekali lagi. Kata saya berubah menjadi aku.

Gala tertawa melihat muka kebingungan Tita. Ia paham apa yang berada di benak wanita kalem tersebut.

“Dengan diterimanya tantangan tersebut adalah tanda bahwa hubungan kita bukan dosen dan mahasiswa lagi. Tapi berubah menjadi aku dan kamu.”

Tita membeliak. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan akal mahasiswanya itu.

“Kenapa bisa begitu?”

“Biar kamu gak curang.”

“Astagfirullah, kamu gak percaya banget.”

“Percaya. Ya sudah, cepetan masuk. Besok pagi aku jemput lagi.”

“Ogah. Aku mau naik ojek online saja,” protes Tita. Ia lalu membekap mulutnya. Gala tergelak mendengar wanita di hadapannya ikut menggunkan kata aku. Tita pun segera keluar dari mobil.

“Tita!”

Tita menghentikan langkahnya. Pemuda itu semakin berani memanggil namanya tanpa kata ibu yang mendahului seperti biasanya.

“Apa lagi, Galaksi Mahendra?” tanya Tita menahan rasa jengkel.

“Aku berjuang, kita pendekatan. Besok pokoknya aku jemput.”

Tita berlalu membelakangi Gala yang berada di mobil. Ia tidak menanggapi ucapan tersebut.

“Titania Pangesti.”

“Terserah!” pekik Tita sambil menutup kedua telinganya.

Gala terkekeh melihat sikap Tita yang baginya begitu menggemaskan itu. Ia pun segera melajukan mobil, pulang ke rumahnya. Malam ini ia akan tidur dengan nyenyak. Satu langkah meraih cinta Tita mulai terbuka. Gala yakin, usahanya akan berhasil untuk membawa Tita menuju pelaminan.

***

Tita hanya bisa pasrah. Saat baru membuka pintu gerbang indekos, mobil Gala sudah menyambutnya. Laki-laki itu seketika terpesona dengan penampilan dosennya tersebut. Baju lengan panjang motif bunga berpadu dengan kulot berwarna coklat muda, ditambah ikat pinggang yang senada dengan sepatunya. Tita terlihat begitu anggun dan semakin cantik.

“Assalammualaikum, Tita,” sapa Gala ramah.

“Waalaikumsalam.”

Gala membukakan pintu mobil seperti biasanya. Saat akan melanjukan kendaraan, Tita mencegahnya.

“Bentar, jangan berangkat dulu.” Tita membuka jendela. Ia lalu melambaikan tangan ke arah pagar. “Rara! Berangkat sama siapa?”

“Sendiri, Mbak.”

“Sini bareng aja,” ajak Tita memanggil adik kosnya itu. Gala menautkan kedua alis. “Gak papa, kan?”

“I—iya, silakan saja.”

Di dalam mobil, Tita lebih banyak berbincang dengan Rara hingga mereka tiba di parkiran kampus. Wanita itu tersenyum puas melihat wajah cemberut Gala. Laki-laki itu tidak sempat berbincang sama sekali dengannya.

“Makasih banyak tumpangannya, Gala,” tutur Tita sebelum turun dari mobil. Ia sengaja memasang wajah dengan senyum termanis. Tidak lain adalah untuk mengejek Gala yang gagal melaksanakan rencananya.

“Terima kasih ya, Kak Gala,” ucap Rara menirukan Tita.

“Iya, sama-sama.”

Begitu semua penumpangnya turun, Gala  melampiaskan kekesalannya. Ia memukul kemudi, tetapi dirinya malah tersentak karena hantamannya tepat mengenai klakson.

Tita dan Rara sontak menoleh. Mereka saling beradu pandang kemudian tergelak bersama.

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Meminang Bu Dosen   Dua Puluh Tujuh

    Tita menyimpan tulisannya di Google Drive. Ia lalu menghapus file yang ada di laptop. Kelegaan menyelimutinya setelah mampu mengungkapkan beban yang tersimpan selama tujuh tahun. Ia sudah bisa terlepas dari trauma masa lalu. Tepatnya sejak sepuluh bulan yang lalu saat Gala menjabat tangan bapaknya dan mengucap kabul.Menulis selama kurang lebih satu jam dengan kondisi duduk membuat punggungnya menjadi pegal, pun dengan perutnya yang terasa kencang sejak tadi. Ia lalu beranjak dari kursi menuju ranjang, merebahkan tubuhnya. Namun, posisi tidur membuatnya semakin tidak nyaman. Tita meringis sambil mengusap perut buncitnya.Pintu kamar terbuka, Gala datang dengan membawa susu coklat hangat khusus ibu hamil. Sejak istrinya dinyatakan mengandung buah hatinya, laki-laki itu menjadi suami siaga. Ia dengan sigap memenuhi nutrisi wanita yang masih aktif mengajar tersebut.“Udah selesai ngetiknya?”Tita mengangguk sambil pelan-pelan menyandarkan punggungnya di dashboard ranjang berukurang king

  • Meminang Bu Dosen   Dua Puluh Enam

    Dear diary,Ternyata sudah delapan tahun aku tidak menyapamu. Kamu tahu apa yang terjadi padaku? Ada banyak hal yang ingin kuceritakan sekarang.Kamu tahu rasanya dituntut untuk segera menikah sedangkan dalam hati seperti ada bayang-bayang yang menghambat niatan baik itu? Aku mengalaminya. Sungguh, bukan hal yang mudah memberi dan mencari alasan untuk setiap pertanyaan, kapan menikah? Kok, gak nikah juga?Perempuan mana yang dalam hidupnya tidak ingin memiliki cinta sejati, menikah, membangun rumah tangga, dan memiliki putra dan putri yang lucu? Jujur, sejak usiaku menginjak kepala dua, aku sempat memimpikan menikah muda bahkan saat masih kuliah. Namun, impian itu kandas karena satu kesalahan yang fatal. Hingga usia 30 tahun, aku masih belum juga berani menyempurnakan separuh agama. Aku bukannya tidak ingin. Aku hanya takut menjalin komitmen dengan laki-laki. Aku trauma.Semua itu berawal saat aku mengenal kata cinta. Untuk pertama kalinya aku menjatuhkan hatiku. Bayangkan, sejak sek

  • Meminang Bu Dosen   Dua Puluh Lima

    “Kondisi sepertiku?” tanya Tita tidak yakin. “Maksudnya kamu sudah pernah berbuat sesuatu itu?”Gala mengangguk pelan. Ia pun pernah melakukan hal yang sama dengan Silmi. Bukan satu kali tapi berulang kali. Semua terjadi saat dirinya berada di titik terendah karena gagal menggapai cita-citanya menjadi tentara. Kehadiran Silmi yang merupakan teman sekolahnya perlahan membuatnya bangkit. Cinta dan sikap manis gadis itu sungguh menjadi candu bagi Gala. Hingga akhirnya mereka terjerumus ke dalam pergaulan bebas. Namun, semua tidak berlangsung lama, saat dirinya sedang memacu langkah mendirikan usaha demi segera menghalalkan pacarnya, ia mendapati kejutan yang menyesakkan. Gala memergoki Silmi berselingkuh dengan laki-laki lain. Saat itu, ia segera memutuskan jalinan asmaranya. Baginya, mengkhiananti kepercayaan pasangan adalah kesalahan yang tidak akan bisa dimaafkannya.“Kamu saja bisa menerima masa laluku, kenapa aku tidak?”Senyum bahagia menghiasi wajah berlesung pipit tersebut. Gala

  • Meminang Bu Dosen   Dua Puluh Empat

    Dengan tubuh masih berbalut mukena, Tita merebahkan tubuhnya di atas kasur. Pikirannya mulai berkecamuk. Kehadiran Narendra yang tiba-tiba, membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Peristiwa demi peristiwa yang pernah mereka lalui mulai kembali memenuhi isi kepalanya. Terutama saat laki-laki itu memutuskan menjaga jarak dengannya. Sepanjang hidupnya, itulah rasa sakit paling perih yang pernah menghampirinya. Jatuh cinta dan sakit hati untuk pertama kalinya.Tita memejamkan matanya. Air mata kembali membasahi wajah mulusnya. Peristiwa tujuh tahun itu kembali hadir.“Mbak Tita! Ada yang nyari di depan.”Teriakan salah satu adik kosnya menyadarkan Tita dari lamunan.“Astagfirullahaladzim. Ampuni dosa-dosa hamba, Yaa Allah."Tita segera beranjak dari posisinya. Jaket dan kerudung instan segera ia pakai untuk menutup auratnya. Ia kemudian menuju teras.“Gala?”Tita tidak percaya jika laki-laki yang ia rindukan kehadirannya hadir menemui dirinya. Ia sudah pesimis bahwa Gala tidak akan datang

  • Meminang Bu Dosen   Dua Puluh Tiga

    Narendra menarik tangan Tita. Dosen muda itu berusaha melepas cengekraman tangan mantan kekasihnya. Beruntung, koridor sepanjang lantai tiga itu sepi. Tita melepas semua sesak yang bersemayam di dada sejak tujuh tahun yang lalu.“Gak ada lagi yang perlu dibahas.”“Masih ada.”“Hubungan kita sudah berakhir.”“Aku ... aku minta maaf. Aku menyesali sikapku.”Tita menyeringai.“Menyesal karena enggan menikahi pacar yang sudah disentuhnya? Terlambat!”Narendra terperanjat, firasatnya benar. Ia merutuki sikapnya yang menolak ajakan Tita untuk menikah sambil menyelesaikan co-assistant.“Yaya, aku minta maaf. Bukan maksudku menolak. Tapi, kamu tahu, kan—““Aku tahu, pendidikanmu lebih penting dari pada aku dan ....”Tita menggantung kalimatnya. Ia menutup mulutnya kemudian berlari sekuat tenaga. Narendra hanya menatap sosok wanita yang menjadi cinta pertamanya itu menjauh.“Aku dan? Dan, apa?”Narendra mengacak rambutnya kesal. Kalimat Tita yang tidak selesai semakin menguatkan praduga tentan

  • Meminang Bu Dosen   Dua Puluh Dua

    Semalam, Gala tidak bisa memejamkan mata. Ia gelisah menanti pagi ini. Saat untuk bertemu dengan Tita, memberitahukan tentang hasil pemilihan ketua BEM. Dengan mengendarai mobil kesayangannya, ia meluncur menuju indekos dosennya tersebut.Gala menarik napas panjang sebelum turun dari mobil. Ia harus siap dengan konsekuensi atas kekalahan yang didapatnya. Kehilangan Tita yang belum jadi miliknya.Hanya butuh satu kali saja untuk menekan bel, pintu pagar pun terbuka. Biasanya, Gala memanggil penghuni indekos tersebut dengan tiga kali membunyikan bel.“Tita?”Gala terperangah mendapati Tita yang membuka pintu pagar. Penampilan wanita muda itu tampak rapi.“Masuk, Ga.”“Kamu mau ke mana?” tanya Gala heran.“Di kos saja. Ayo masuk.”Gala masih diam di tempatnya. Ia tidak mungkin membicarakan hal terpenting dalam hidupnya di teras.“Tita, ngorol di luar saja, ya. Sekalian sarapan.”Tita mengangguk sambil tersenyum. Ia pun masuk ke rumah untuk mengambil tasnya. Wanita dengan tinggi 160 senti

  • Meminang Bu Dosen   Dua Puluh Satu

    “Enggak, kok. Aku lagi bad mood aja denger cerita Inara tadi,” ucap Resta berbohong, “masa kata dia di jurusannya itu, ada salah satu calon ketua HMJ yang niat nyalon cuma demi mendapatkan hati gebetannya. Munafik banget, kan, Ga?”Gala terperanjat. Ia merasa tersindir dengan kisah yang dituturkan Resta. Belum lagi tatapan tajam gadis itu.“I-iya, munafik itu. Tapi namanya cinta, apa pun akan dilakukan.”Resta kembali melirik ke arah pemuda di sampingnya. Ia pun tersenyum sinis mendapati wajah bingung Gala.“Makan itu cinta!”Gala terperanjat mendapati nada bicara Resta yang meninggi. Ia semakin bingung dengan sikap sahabatnya itu.“Kok, kamu ngegas gitu, Ta? Sama aku pula.”Resta menghela napas pendek. Ia sedikit lega bisa mengutarakan isi hatinya pada Gala secara tidak langsung.“Sampai nemu kejadian kaya gitu di Ekonomi, hih! Siap-siap disidang di depan publik! Claresta yang akan mimpin.”Gala terkesiap hingga reflek merubah posisi duduknya sedikit miring menghadap Resta.“Emang b

  • Meminang Bu Dosen   Dua Puluh

    Hari ini sudah memasuki akhir masa tenang. Semua alat peraga kampanye dari seluruh peserta pemilu harus sudah bersih di lingkungan kampus. Sejak pagi, Gala bersama timnya mulai melepas semua pamflet milik mereka. Hanya Resta yang tidak tampak batang hidungnya. Padahal, sejak awal rencana mencalonkan lewat partai independen, gadis itu selalu berada di barisan terdepan memberi semangat untuk timnya.Setelah semua beres, Gala segera menuju ke indekos Resta. Ia merasa aneh dengan sikap sahabatanya yang tiba-tiba menghilang itu. Ponsel terkadang tidak aktif, juga pesan-pesan yang tidak terbalas.“Resta ada, Na?” tanya Gala begitu Inara membuka pintu gerbang.“Em ... dia lagi gak enak badan, Ga,” jawab Inara berbohong.Wajah Gala berubah. Ia terlihat panik.“Udah dibawa ke dokter?”“Gak mau, katanya cuma kecapean.”Gala membenarkan ucapan Inara. Resta memang acap kali tidak peduli dengan waktu istirahat jika tugas-tugasnya belum selesai.“Kalau gitu aku belikan makanan dulu.”Gala segera be

  • Meminang Bu Dosen   Sembilan Belas

    Hari pertama kampanye sudah dimulai. Semua kandidat dari zona pemilihan jurusan hingga universitas di semua fakultas berjuang mengambil simpati dari target pemilih. Keseluruhan calon tanpa terkecuali mulai menebar pamflet berisi gambar dengan nomor urut dan visi misi. Namun, ada hal berbeda yang dilakukan oleh Gala dan Resta. Mereka selain memasang alat peraga kampanye juga memilih berbagi.“Pagi-pagi munum kopi biar kuliahnya makin semangat. Mari, silakan diambil kopinya, gratis, loh.”Resta mulai beraksi. Ia bertugas menggiring massa yang akan masuk ke gedung kuliah bersama. Gala berada di belakang meja untuk menyiapkan kopi yang akan dibagikan kepada semua mahasiswa. Mereka tidak membatasi untuk berbagi hanya dengan keluarga besar Fakultas Ekonomi saja tetapi dengan semua yang lewat di depan posko kampanye mereka.“Bu Tita!”Resta mendekat ke arah Tita yang baru memasuki koridor gedung. Ia lalu menggamit lengan dosennya tersebut menuju meja tempat timnya berbagi. Di sana, Gala suda

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status