“Kamu mau dengar jawaban saya sekarang?”
“I--iya,” jawab Gala ragu. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ini adalah saat yang dinantikannya. Namun, di sisi lain dirinya cemas jika mendapat penolakan dari Tita.
“Begini, saya berusaha menghindari untuk mempermainkan perasaan orang. Saat tidak suka, saya akan bilang seperti itu, begitupun sebaliknya. Intinya, ketika tidak ingin disakiti, maka jangan pernah menyakiti.”
Gala mendengarkan penuturan Tita dengan saksama. Ia melihat kematangan akan sebuah pikiran dari kata-kata yang terlontar.
“Tapi, rasanya egois jika saya memutuskan satu hal, terutama yang menyangkut masa depan tanpa melihat perjuangan.”
Gala manggut-manggut. Ia tidak akan bersuara sebelum Tita menyelesaikan penjelasannya.
“Saya akan memberikan waktu untuk kamu meluluhkan hati yang sudah tidak peduli akan cinta ini.”
Gala tersentak mendengarkan kalimat terakhir yang diucapkan Tita. Ada secercah harapan untuknya menggenggam hati pujaannya tersebut.
“Saya akan berjuang, tidak akan pernah menyerah.”
“Saya belum selesai ngomong, Ga,” tukas Tita sambil tersenyum jahil.
“Terus?”
“Wanita itu perlu bukti.”
“Lha, saya sudah ingin membuktikan dengan menikahi. Tapi kan, Ibu belum mengiyakan,” sela Gala menegaskan.
“Iya, paham. Tapi kita baru kenal. Kalau ingin menikahi itu sebagai bukti, mungkin sejak lama saya sudah berstatus istri dari mereka yang mengobral kata menikahi.”
Gala terdiam. Ia merasa tertampar dengan penjelasan gamblang dosennya tersebut. Ia belum bisa memperlihatkan perjuangannya menyentuh cinta Tita. Hanya kata serius yang selalu terucap.
“Jadi Ibu maunya gimana?”
Tita menarik napas, kemudian tersenyum dengan sangat manis.
“Saya ingin bukti perjuangan cinta Galaksi untuk Titania dengan menjadi Ketua BEM Fakultas Ekonomi periode mendatang.”
Gala tercengang mendengar permintaan Tita. Matanya membulat dengan mulut menganga. Ia menyandarkan punggungnya dengan kasar ke sandaran kursi. Pemuda itu berkali-kali menggelengkan kepalanya.
“Gak salah, Bu?” tanya Gala dengan tatapan syok. Permintaan yang sangat berat untuk diwujudkan.
“Enggak.”
“Saya harus jadi aktivis kampus?”
Tita manggut-manggut. Dalam hati, dirinya ingin tertawa. Ide itu terlintas karena ia ingin menolak Gala tetapi tanpa menyakiti hati pemuda tersebut. Tita sadar, sebagai mantan aktivis kampus, menjadi ketua BEM bukanlah semudah mendapatkan nilai A di kelas. Ada proses panjang yang harus dilewati.
“Kamu mahasiswa bukan?”
“Iya.”
“So, apa salahnya jadi aktivis kampus?”
Gala mengacak rambutnya kesal. Ingatan saat berdebat dengan Ghifari terlintas. Apa jadinya kalau ia harus menjilat ludah sendiri.
“Bisa diganti yang lain, gak?”
Tita menggelengkan kepala sambil menggerakkan jari telunjuknya.
“Tidak bisa ditawar. Seperti yang kamu bilang, sudah titik jangan diganti koma.”
Gala berdecak kesal. Nafsu makannya mendadak lenyap saat melihat menu yang datang. Tita mengulum senyum. Ia yakin perlahan Gala akan menyerah.
“Saya terima tantangannya,” ucap Gala mantap.
Tita yang sedang mengunyah potongan daging ayam menjadi tersedak. Buru-buru diambilnya air untuk melegakan tenggorokannya yang sedikit sakit.
“Kamu yakin mau maju?”
“Kenapa harus mundur? Saya adalah lelaki yang pantang menyerah. Sekali jatuh cinta, kejar dia sampai dapat.”
Tita memijit pelipisnya. Ia hanya bisa pasrah mendapati penganggum yang keras kepala.
“Hanya ada waktu tiga bulan untuk berjuang. Kamu sanggup?”
“Sanggup!” tegas Gala walaupun hatinya sangsi akan mampu menyelesaikan tantangan tersebut. Ia harus melakukan sesuatu untuk hal yang sangat dibencinya. “Tapi Ibu harus sportif.”
“Maksudnya?”
“Jangan hanya memberikan tantangan, lalu menghilang. Itu namanya ... curang,” ucap Gala sambil mendekatkan tubuhnya ke meja. Matanya terus menatap Tita tanpa kedip.
Tita menautkan kedua alis mata. Ia merasa Gala mengetahui rencananya.
“Oh, tentu tidak. Saya tidak akan melakukan hal jahat seperti itu.”
“Bagus. Jadi, selama saya berjuang, kita harus tetap dekat. Maksudnya komunikasi tetap berjalan. Itung-itung pendekatan sebelum pernikahan.”
“Harus gitu?” tanya Tita terkejut.
“Iya. Kalau Ibu menolak, saya otomatis menang.”
“Gak bisa gitu, Ga.”
“Ibu mau curang, gitu?”
Tita menghela napas pendek. Ia tidak menyangka laki-laki di hadapannya cukup cerdas menganalisa tantangan yang diberikan.
“Terserah, deh. Dari pada ribut di sini,” ujar Tita menyerah.
Gala tersenyum puas. Ia akan berjuang menaklukkan permintaan Tita. Ia akan meminta bantuan sahabatnya.
Resta?
Gala menepuk keningnya. Kepalanya kembali berdenyut. Gadis itu masih marah padanya. Bukan hanya satu tantangan yang akan ia jalani tetapi dua. Menjadi ketua BEM dan memulihkan pertemanannya dengan Resta.
***
Tepat pukul sembilan malam, Mobil Gala berhenti di depan indekos Tita. Wanita itu memang dosen, tetapi dirinya lebih nyaman tinggal bersama mahasiswa, bukan menyewa rumah kontrakan.
“Kamu ikut jam malam juga di kos?”
“Kamu?”
Tita merasa aneh saat Gala menyebut dirinya kamu. Biasanya laki-laki itu memanggilnya Ibu.
“Iya, aku gak kemalaman, kan, nganter pulangnya?”
“Aku?” tanya Tita sekali lagi. Kata saya berubah menjadi aku.
Gala tertawa melihat muka kebingungan Tita. Ia paham apa yang berada di benak wanita kalem tersebut.
“Dengan diterimanya tantangan tersebut adalah tanda bahwa hubungan kita bukan dosen dan mahasiswa lagi. Tapi berubah menjadi aku dan kamu.”
Tita membeliak. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan akal mahasiswanya itu.
“Kenapa bisa begitu?”
“Biar kamu gak curang.”
“Astagfirullah, kamu gak percaya banget.”
“Percaya. Ya sudah, cepetan masuk. Besok pagi aku jemput lagi.”
“Ogah. Aku mau naik ojek online saja,” protes Tita. Ia lalu membekap mulutnya. Gala tergelak mendengar wanita di hadapannya ikut menggunkan kata aku. Tita pun segera keluar dari mobil.
“Tita!”
Tita menghentikan langkahnya. Pemuda itu semakin berani memanggil namanya tanpa kata ibu yang mendahului seperti biasanya.
“Apa lagi, Galaksi Mahendra?” tanya Tita menahan rasa jengkel.
“Aku berjuang, kita pendekatan. Besok pokoknya aku jemput.”
Tita berlalu membelakangi Gala yang berada di mobil. Ia tidak menanggapi ucapan tersebut.
“Titania Pangesti.”
“Terserah!” pekik Tita sambil menutup kedua telinganya.
Gala terkekeh melihat sikap Tita yang baginya begitu menggemaskan itu. Ia pun segera melajukan mobil, pulang ke rumahnya. Malam ini ia akan tidur dengan nyenyak. Satu langkah meraih cinta Tita mulai terbuka. Gala yakin, usahanya akan berhasil untuk membawa Tita menuju pelaminan.
***
Tita hanya bisa pasrah. Saat baru membuka pintu gerbang indekos, mobil Gala sudah menyambutnya. Laki-laki itu seketika terpesona dengan penampilan dosennya tersebut. Baju lengan panjang motif bunga berpadu dengan kulot berwarna coklat muda, ditambah ikat pinggang yang senada dengan sepatunya. Tita terlihat begitu anggun dan semakin cantik.
“Assalammualaikum, Tita,” sapa Gala ramah.
“Waalaikumsalam.”
Gala membukakan pintu mobil seperti biasanya. Saat akan melanjukan kendaraan, Tita mencegahnya.
“Bentar, jangan berangkat dulu.” Tita membuka jendela. Ia lalu melambaikan tangan ke arah pagar. “Rara! Berangkat sama siapa?”
“Sendiri, Mbak.”
“Sini bareng aja,” ajak Tita memanggil adik kosnya itu. Gala menautkan kedua alis. “Gak papa, kan?”
“I—iya, silakan saja.”
Di dalam mobil, Tita lebih banyak berbincang dengan Rara hingga mereka tiba di parkiran kampus. Wanita itu tersenyum puas melihat wajah cemberut Gala. Laki-laki itu tidak sempat berbincang sama sekali dengannya.
“Makasih banyak tumpangannya, Gala,” tutur Tita sebelum turun dari mobil. Ia sengaja memasang wajah dengan senyum termanis. Tidak lain adalah untuk mengejek Gala yang gagal melaksanakan rencananya.
“Terima kasih ya, Kak Gala,” ucap Rara menirukan Tita.
“Iya, sama-sama.”
Begitu semua penumpangnya turun, Gala melampiaskan kekesalannya. Ia memukul kemudi, tetapi dirinya malah tersentak karena hantamannya tepat mengenai klakson.
Tita dan Rara sontak menoleh. Mereka saling beradu pandang kemudian tergelak bersama.
Resta melangkah santai ke kelas. Ia lalu memilih kursi yang berada di deretan depan. Tidak lama kemudian, Gala datang dan langsung menghampiri sahabatnya itu.“Hai,” sapa Gala yang duduk di kursi sebelah Resta.Gadis dengan rambut dikepang dua itu membisu. Pandangannya tidak beranjak dari layar ponsel yang ada dalam genggamannya.“Aku minta maaf, kemarin ucapanku memang kelewatan. Maafin aku ya, Ta?”Resta masih terdiam tanpa senyuman. Wajah gadis itu terlihat dingin. Ia benar-benar kecewa dengan sahabatnya itu. Tidak bisa mengontrol ucapan.Gala menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia paham, gadis di sampingnya jika diam seperti itu tandanya sedang marah dan kecewa.“Aku dicuekin, nih,” ucap Gala seraya mencondongkan kepalanya untuk menatap wajah Resta yang masih menunduk. Pemuda pemilik mata kecil itu memberikan senyuman khas yang menampakkan lesung pipit pada wajahnya. Namun, Resta masih juga bersikap acuh.Gala menghela napas kasar. Ia beranjak dari duduknya. Lalu berjalan keluar
Gala menggelengkan kepalanya pelan. “Aku mau belajar mengaktualisasikan diri di kampus. Rasa tidak suka itu muncul karena aku memang belum mengenal dunia aktivis yang seutuhnya. Aku hanya melihat dari luar. Seperti kegiatanmu yang sangat padat dan kadang mengesampingkan kuliah, meskipun cuma sekali dua kali kalau kamu. Mungkin ada satu hal di sana yang aku harus tahu agar tidak gampang menyepelekannya.”Resta manggut-manggut. Ia memahami penjelasan panjang Gala.“Niatan yang bagus juga.”“Kamu mau, kan, bantu aku mengenal BEM?” pinta Gala dengan penuh harap. Resta menganggukkan kepalanya seraya tersenyum. “Kapan mulai dibantunya?”“Sore ini setelah kuliah.”“Yes!” pekik Gala begitu bersemangat. Langkah untuk menjadi ketua BEM akan segera terbuka. “Makasih adik cantik.”“Sama-sama.”Resta tersenyum tipis. Ia selalu sedih ketika mendengar kata adik keluar dari bibir Gala. Dirinya ingin bisa dianggap lebih dari itu. Sahabatnya itu tidak pernah menyadari perasaan khusus yang tersimpan dal
Gala terlihat tidak bersemangat. Persyaratan untuk terjun menjadi aktivis tidak semudah yang dibayangkannya. Belum lagi hari ini dirinya tidak bisa bercengkerama dengan Tita.“Muka ditekuk melulu dari tadi. Kenapa Bu Dosen?” tanya Dodi heran.Gala menggelengkan kepalanya. Ia lalu meraih ponselnya. Jemarinya mulai membuka Instagram. Matanya berbinar mendapati story Tita berada di pojok paling kiri. Ia segera menyentuh layar. Tampak gambar Kopipiko dengan tulisan di sampingnya.[Baru sampai kos lupa mau beli ini. Butuh penyegaran]Gala segera membuka Whatsapp, kemudian mulai mengirim pesan pada nomor Tita.[Habis maghrib aku jemput, ya][Gak mau][Jangan curang atau aku yang menang][Gak bisa gitu][Bisa, itu kesepakatan kita][Ya sudah]Gala tertawa senang. Ia akhirnya bisa mengalihkan rasa suntuknya menghadapi diklat minggu depan. Berkumpul dengan mahasiswa yang baru melewati masa remaja akhir. Itu sungguh tidak pernah terlintas dalam benaknya.Selepas salat Maghrib di samping musala
“Kenapa?” tanya Gala tergopoh.“Jahilnya selalu kelewatan. Ini apa?”Telunjuk Tita mengarah pada tulisan di gelas plastik yang ia pegang. Tertulis Ny. Galaksi untuk nama pemesan. Gala terbahak melihat wajah masam Tita.“Itu doa. Semoga segera terkabul, ya Allah.”Ucapan yang terlontar dari bibir Gala terdengar tulus di telinga Tita. Hal tersebut membuat hatinya bergetar. Ia menundukkan pandangannya sambil menyeruput minuman. Laki-laki dengan hoodie berwarna merah tua itu tersenyum menatap wajah ayu yang sedang tersipu. Suasana menjadi hening. Gala menikmati rasa canggung ini.“Kok, aku lapar, ya?” tanya Tita tiba-tiba. Ia tidak nyaman jika terus dipandangi oleh Gala.“Ya Allah, lupa pesan makan,. Bentar aku order dulu. Mau makan apa?”“Ayam geprek level pedas gila, deh.”“Oke, aku pesan dulu.” ucap Gala kemudian berlalu menuju kedai ayam geprek di sebelah Kopipiko.Tita mengedarkan pandang ke seluruh penjuru ruangan. Tatapannya terhenti pada gambar Gala sedang memegang trofi. Namun,
“Bagi peserta yang masih berada ditenda, harap segera berkumpul untuk salat Maghrib berjamaah.”Ghifari memberi instruksi kepada peserta dengan menggunakan megaphone. Mereka pun berhamburan menuju tempat utama yang berada di tengah lingkaran tenda-tenda.Di dalam salah satu tenda, Gala menutupi tubuhnya dengan sarung yang ia bawa dari rumah.“Ga, kamu gak ikutan salat?” tanya teman satu tenda Gala.“Eng—gak. Kayanya aku la--gi meriang, sa--lat di tenda saja.”“Oh, ya sudah. Aku keluar dulu.”Gala mengangguk dengan tubuh yang gemetar. Setelah memastikan temannya itu berada di luar, ia segera membuka sarungnya. Ia pun bergegas untuk salat Maghrib. Saat baru selesai berdzikir, Gala mendengar ada yang berbicara di depan tenda.“Gala sakit? Masa, sih? Kayanya tadi bugar, kok.”“Tadi pas aku mau salat, dia gemetar gitu ngomongnya. Meriang katanya.”“Serius?”Gala dengan saksama mendengarkan perbincangan tersebut. Ia hapal suara perempuan yang berbicara dengan teman satu tendanya itu. Suara
“Ketika ijazah sudah di tangan, saya bukannya sibuk mencari lowongan. Kenapa bisa begitu? Karen orang-orang yang saya kenal saat jadi aktivis yang memberikan informasi tentang itu semua. Jadi, salah satu manfaat ikut organisasi saat kuliah itu adalah memudahkan kalian mendapatkan pekerjaan. Oh, iya, satu lagi. Simpan baik-baik sertifikat kalian. Banyak yang bilang kertas-kertas itu gak ada fungsinya. Salah besar!”Sekali lagi, Gala merasa dikuliti. Semua yang ada di pikirannya selama ini dibahas oleh pemateri.“Ketika kalian melamar pekerjaan, sertakan sertifikat-sertifikat itu. Baik IMG, HMJ, BEM, bahkan kalau kalian ikut organisasi minat bakat seperti fotografi atau olah raga di kampus. Masukkan semua bareng ijazah. Insya Allah, pihak yang kalian tuju akan mempertimbangkan. Asal IPK kalian bukan nasakom loh, ya.”Semua tergelak mendengar kata nasakom atau nasib satu koma. Indeks prestasi kumulatif yang dipastikan susah untuk segera lulus. Pemateri pun melanjutkan ceritanya.“Kenapa
“Kamu mau mundur? Berarti Tita gak salah kalau bilang Gala itu seperti anak kecil.”Gala terkesiap mendengar ucapan Dodi. Ia lalu mengusap wajahnya. Dirinya merasa seketika berubah menjadi tidak bijaksana saat kasmaran kali ini.“Aku harus tetap nuruti persyaratan Tita, gitu?”“Ya, kalau kamu udah gak cinta, ngapain dituruti. Logikanya tolong dimainkan.”Gala menghela napas panjang. Di hatinya masih terlukis jelas sebentuk cinta yang utuh untuk Tita.“Masalahnya kamu terlalu cinta sama dia, itu!” ungkap Dodi dengan jari telunjuk mengarah pada wajah Gala.“Terus gimana? Aku chat gak dibaca. Ke kosnya, dibilang gak ada terus. Ke kantor jurusan, menghindar. Di kelas pun, dingin. Serba salah rasanya.”“Bro ... Bro, kamu itu ganteng. Tapi pengalaman sama cewek kalah level sama aku,” ejek Dodi sambil terbahak. “Nih, aku kasih tahu. Beberapa cewek itu ada yang gak suka terlalu dikejar. Yang ada mereka suka ilang feeling kalau cowoknya agresif. Ngerti gak?”“Kaya gimana itu?”“Kaya kamu,” ja
Tita tersentak mendengar kalimat ancaman yang keluar dari bibir Gala. Kenekatan laki-laki itu masih saja belum berkurang. Namun, sedetik kemudian ia tersenyum puas karena lift berhenti di lantai tujuannya.Gala mendengkus kesal mendapati strateginya gagal. Akan tetapi, dirinya tidak kehilangan akal.“Titania Pangesti!” panggil Gala yang juga keluar dari lift dengan nada sedikit keras. Lorong gedung kuliah bersama itu sudah sepi karena aktivitas terpusat di kelas. Tita masih terus berjalan, tidak memedulikan ulah konyol Gala.“Maukah kamu—“Ucapan Gala terhenti saat Tita berbalik arah. Tatapan wanita dengan ransel berwarna hitam di punggungnya itu tajam, tanpa seutas senyuman. Ia berjalan mendekat ke arah pemanggil.Tita berdiri di hadapan Gala yang seketika mematung. Ia menarik napas dalam.“Sebagai seorang muslimah yang baik, aku memaafkanmu. Sudah paham? Terima kasih.”Tita meninggalkan Gala tanpa menunggu respon atas ucapannya. Pemuda di belakangnya itu tersenyum bahagia.“Terima k