Share

Enam

“Kamu mau dengar jawaban saya sekarang?”

“I--iya,” jawab Gala ragu. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ini adalah saat yang dinantikannya. Namun, di sisi lain dirinya cemas jika mendapat penolakan dari Tita.

“Begini, saya berusaha menghindari untuk mempermainkan perasaan orang. Saat tidak suka, saya akan bilang seperti itu, begitupun sebaliknya. Intinya, ketika tidak ingin disakiti, maka jangan pernah menyakiti.”

Gala mendengarkan penuturan Tita dengan saksama. Ia melihat kematangan akan sebuah pikiran  dari kata-kata yang terlontar.

“Tapi, rasanya egois jika saya memutuskan satu hal, terutama yang menyangkut masa depan tanpa melihat perjuangan.”

Gala manggut-manggut. Ia tidak akan bersuara sebelum Tita menyelesaikan penjelasannya.

“Saya akan memberikan waktu untuk kamu meluluhkan hati yang sudah tidak peduli akan cinta ini.”

Gala tersentak mendengarkan kalimat terakhir yang diucapkan Tita. Ada secercah harapan untuknya menggenggam hati pujaannya tersebut.

“Saya akan berjuang, tidak akan pernah menyerah.”

“Saya belum selesai ngomong, Ga,” tukas Tita sambil tersenyum jahil.

“Terus?”

“Wanita itu perlu bukti.”

“Lha, saya sudah ingin membuktikan dengan menikahi. Tapi kan, Ibu belum mengiyakan,” sela Gala menegaskan.

“Iya, paham. Tapi kita baru kenal. Kalau ingin menikahi itu sebagai bukti, mungkin sejak lama saya sudah berstatus istri dari mereka yang mengobral kata menikahi.”

Gala terdiam. Ia merasa tertampar dengan penjelasan gamblang dosennya tersebut. Ia belum bisa memperlihatkan perjuangannya menyentuh cinta Tita. Hanya kata serius yang selalu terucap.

“Jadi Ibu maunya gimana?”

Tita menarik napas, kemudian tersenyum dengan sangat manis.

“Saya ingin bukti perjuangan cinta Galaksi untuk Titania dengan menjadi Ketua BEM Fakultas Ekonomi periode mendatang.”

Gala tercengang mendengar permintaan Tita. Matanya membulat dengan mulut menganga. Ia menyandarkan punggungnya dengan kasar ke sandaran kursi. Pemuda itu berkali-kali menggelengkan kepalanya.

“Gak salah, Bu?” tanya Gala dengan tatapan syok. Permintaan yang sangat berat untuk diwujudkan.

“Enggak.”

“Saya harus jadi aktivis kampus?”

Tita manggut-manggut. Dalam hati, dirinya ingin tertawa. Ide itu terlintas karena ia ingin menolak Gala tetapi tanpa menyakiti hati pemuda tersebut. Tita sadar, sebagai mantan aktivis kampus, menjadi ketua BEM bukanlah semudah mendapatkan nilai A di kelas. Ada proses panjang yang harus dilewati.

“Kamu mahasiswa bukan?”

“Iya.”

“So, apa salahnya jadi aktivis kampus?”

Gala mengacak rambutnya kesal. Ingatan saat berdebat dengan Ghifari terlintas. Apa jadinya kalau ia harus menjilat ludah sendiri.

“Bisa diganti yang lain, gak?”

Tita menggelengkan kepala sambil menggerakkan jari telunjuknya.

“Tidak bisa ditawar. Seperti yang kamu bilang, sudah titik jangan diganti koma.”

Gala berdecak kesal. Nafsu makannya mendadak lenyap saat melihat menu yang datang. Tita mengulum senyum. Ia yakin perlahan Gala akan menyerah.

“Saya terima tantangannya,”  ucap Gala mantap.

Tita yang sedang mengunyah potongan daging ayam menjadi tersedak. Buru-buru diambilnya air untuk melegakan tenggorokannya yang sedikit sakit.

“Kamu yakin mau maju?”

“Kenapa harus mundur? Saya adalah lelaki yang pantang menyerah. Sekali jatuh cinta, kejar dia sampai dapat.”

Tita memijit pelipisnya. Ia hanya bisa pasrah mendapati penganggum yang keras kepala.

“Hanya ada waktu tiga bulan untuk berjuang. Kamu sanggup?”

“Sanggup!” tegas Gala walaupun hatinya sangsi akan mampu menyelesaikan tantangan tersebut. Ia harus melakukan sesuatu untuk hal yang sangat dibencinya. “Tapi Ibu harus sportif.”

“Maksudnya?”

“Jangan hanya memberikan tantangan, lalu menghilang. Itu namanya ... curang,” ucap Gala sambil mendekatkan tubuhnya ke meja. Matanya terus menatap Tita tanpa kedip.

Tita menautkan kedua alis mata. Ia merasa Gala mengetahui rencananya.

“Oh, tentu tidak. Saya tidak akan melakukan hal jahat seperti itu.”

“Bagus. Jadi, selama saya berjuang, kita harus tetap dekat. Maksudnya komunikasi tetap berjalan. Itung-itung pendekatan sebelum pernikahan.”

“Harus gitu?” tanya Tita terkejut.

“Iya. Kalau Ibu menolak, saya otomatis menang.”

“Gak bisa gitu, Ga.”

“Ibu mau curang, gitu?”

Tita menghela napas pendek. Ia tidak menyangka laki-laki di hadapannya cukup cerdas menganalisa tantangan yang diberikan.

“Terserah, deh. Dari pada ribut di sini,” ujar Tita menyerah.

Gala tersenyum puas. Ia akan berjuang menaklukkan permintaan Tita. Ia akan meminta bantuan sahabatnya.

Resta?

Gala menepuk keningnya. Kepalanya kembali berdenyut. Gadis itu masih marah padanya. Bukan hanya satu tantangan yang akan ia jalani tetapi dua. Menjadi ketua BEM dan memulihkan pertemanannya dengan Resta.

***

Tepat pukul sembilan malam, Mobil Gala berhenti di depan indekos Tita. Wanita itu memang dosen, tetapi dirinya lebih nyaman tinggal bersama mahasiswa, bukan menyewa rumah kontrakan.

“Kamu ikut jam malam juga di kos?”

“Kamu?”

Tita merasa aneh saat Gala menyebut dirinya kamu. Biasanya laki-laki itu memanggilnya Ibu.

“Iya, aku gak kemalaman, kan, nganter pulangnya?”

“Aku?” tanya Tita sekali lagi. Kata saya berubah menjadi aku.

Gala tertawa melihat muka kebingungan Tita. Ia paham apa yang berada di benak wanita kalem tersebut.

“Dengan diterimanya tantangan tersebut adalah tanda bahwa hubungan kita bukan dosen dan mahasiswa lagi. Tapi berubah menjadi aku dan kamu.”

Tita membeliak. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan akal mahasiswanya itu.

“Kenapa bisa begitu?”

“Biar kamu gak curang.”

“Astagfirullah, kamu gak percaya banget.”

“Percaya. Ya sudah, cepetan masuk. Besok pagi aku jemput lagi.”

“Ogah. Aku mau naik ojek online saja,” protes Tita. Ia lalu membekap mulutnya. Gala tergelak mendengar wanita di hadapannya ikut menggunkan kata aku. Tita pun segera keluar dari mobil.

“Tita!”

Tita menghentikan langkahnya. Pemuda itu semakin berani memanggil namanya tanpa kata ibu yang mendahului seperti biasanya.

“Apa lagi, Galaksi Mahendra?” tanya Tita menahan rasa jengkel.

“Aku berjuang, kita pendekatan. Besok pokoknya aku jemput.”

Tita berlalu membelakangi Gala yang berada di mobil. Ia tidak menanggapi ucapan tersebut.

“Titania Pangesti.”

“Terserah!” pekik Tita sambil menutup kedua telinganya.

Gala terkekeh melihat sikap Tita yang baginya begitu menggemaskan itu. Ia pun segera melajukan mobil, pulang ke rumahnya. Malam ini ia akan tidur dengan nyenyak. Satu langkah meraih cinta Tita mulai terbuka. Gala yakin, usahanya akan berhasil untuk membawa Tita menuju pelaminan.

***

Tita hanya bisa pasrah. Saat baru membuka pintu gerbang indekos, mobil Gala sudah menyambutnya. Laki-laki itu seketika terpesona dengan penampilan dosennya tersebut. Baju lengan panjang motif bunga berpadu dengan kulot berwarna coklat muda, ditambah ikat pinggang yang senada dengan sepatunya. Tita terlihat begitu anggun dan semakin cantik.

“Assalammualaikum, Tita,” sapa Gala ramah.

“Waalaikumsalam.”

Gala membukakan pintu mobil seperti biasanya. Saat akan melanjukan kendaraan, Tita mencegahnya.

“Bentar, jangan berangkat dulu.” Tita membuka jendela. Ia lalu melambaikan tangan ke arah pagar. “Rara! Berangkat sama siapa?”

“Sendiri, Mbak.”

“Sini bareng aja,” ajak Tita memanggil adik kosnya itu. Gala menautkan kedua alis. “Gak papa, kan?”

“I—iya, silakan saja.”

Di dalam mobil, Tita lebih banyak berbincang dengan Rara hingga mereka tiba di parkiran kampus. Wanita itu tersenyum puas melihat wajah cemberut Gala. Laki-laki itu tidak sempat berbincang sama sekali dengannya.

“Makasih banyak tumpangannya, Gala,” tutur Tita sebelum turun dari mobil. Ia sengaja memasang wajah dengan senyum termanis. Tidak lain adalah untuk mengejek Gala yang gagal melaksanakan rencananya.

“Terima kasih ya, Kak Gala,” ucap Rara menirukan Tita.

“Iya, sama-sama.”

Begitu semua penumpangnya turun, Gala  melampiaskan kekesalannya. Ia memukul kemudi, tetapi dirinya malah tersentak karena hantamannya tepat mengenai klakson.

Tita dan Rara sontak menoleh. Mereka saling beradu pandang kemudian tergelak bersama.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status