Share

Chapter 2

“Tidak boleh berpacaran! Apalagi masih sekolah. Lagipula, tujuan pacaran itu apa? Nantinya, malah….” dan dia akan menjabarkan secara panjang lebar akibat akibatnya, yang menurutku masuk akal. Aku tidak terlalu membenci ceramahnya itu, karena aku sendiri memang tidak berniat pacaran.

               Tapi, terkadang aku agak bingung saat masuk jam pelajaran IPA. Apalagi bagian biologinya. Karena Miss. Sania bilang, mulai menyukai lawan jenis itu normal untuk remaja. Jadi aku membuat kesimpulanku sendiri. ‘Suka’, mungkin boleh, tapi tidak untuk pacaran. Dengan simpulan itu, aku tetap akan jadi remaja normal tanpa  kena semprot ayah. Haha..

               Dan Bill mungkin punya prinsip lain. Aku tidak tau prinsipnya, tapi aku tau kisahnya. Bill tergolong cowok yang mudah mendapatkan perhatian para gadis si sekolahnya. Seperti sifatnya yang agak kikuk dan punya humor yang bagus, tapi bisa sangat diandalkan di beberapa kesempatan. Kau tau, bahkan di tahun pertamanya di SMA itu dia sudah digandrungi gadis gadis kakak kelas untuk meminta kontaknya. Terkadang aku heran bagaimana laki-laki bisa lebih mudah menjadi terkenal dibanding perempuan. Fenomena serupa juga terjadi di sekolahku, jadi aku tidak terlalu terkejut dengan cerita Bill.

                Oh ya, dan Hermist, kucingku. Ya, aku yang memeliharanya. Terkadang Hermist ikut ke balkon tempat kami biasa mengobrol dan mendengarkan cerita kami. Lalu dia pergi sendiri ketika cerita berakhir. Dan kami tidak perlu takut jika dia mengatakan apa yang dia dengar pada ibu. Karena dia kucing. Hermist sendiri sepertinya juga cukup laris dikalangan kucing betina. Aku sering melihat beberapa kucing betina berbeda yang mucul disekitar rumah dalam seminggu.

               Aku kembali kebawah untuk mengambil limun dan novel yang kutinggalkan di meja makan. Lalu aku kembali ke lantai atas dan ke kamarku. Aku letakkan limun dan novel itu di meja samping kasurku, dan melakukan hal yang sering kulakukan, menjatuhkan diri ke tempat tidurku. Kupandang halaman belakang dari balik jendela yang berjarak 150 sentimmeter dari kasurku, sambil merenung. “Aaah..Besok sudah hari Senin. Lagi.” Aku berkata pada diriku sendiri, lalu mengembuskan nafas berat. Suasana begitu hening. Hanya gemercik air hujan. Walau diluar dingin, aku merasa hangat disini. Begitu tenang, sampai akhirnya muncul sebuah suara memunculkan gelombang.

               Seseorang membuka pintu kamarku tanpa mengetuk. “Sofia... Bill, ayah dan ibu akan pergi memancing. Apa kau mau ikut?” Dari suaranya, sudah pasti itu ibu. “Tidak bu. Aku dirumah saja”  jawabku singkat, lalu dibalas dengan kata “Baiklah” yang juga tidak kalah pendek dan menutup pintu kembali. Apa aku bersikap terlalu kasar? Semoga aku tidak menjadi anak kurang ajar.

               Masalahnya, pertanyaan itu sudah pernah dilontarkan padaku, dan jawabanku tetap sama, tidak. Aku pernah ikut tiga kali, dan sama sekali tidak enak. Menunggu berjam-jam dengan menggelar diskusi dan beberapa kali diperhatikan orang-orang yang lewat, hingga umpan dimakan ikan. Diskusinya bahakn lebih seperti konferensi atau seminar. Bukan seperti pembicaraan keluarga normal bahagia. Kami membahas politik, konspirasi, filsafat, bahkan teori evolusi, matematika dan fisika sampai kimia. Maksudku, ini di sungai ―atau lebih bisa disebut kali kecil― di kota, oke? Apa yang mereka harapkan?

               Dan sesekali ketika mereka bosan memancing —fenomena yang cukup wajar karena mereka melakukannya setiap minggu sepanjang bulan maret― mereka lalu mengajakku menonton di bioskop. Dan jawabanku tetap sama, tidak.  Sebenarnya bukan karena tidak suka nonton film, tapi jika kau jadi aku, mungkin menonton di bioskop adalah hal yang paling menyedihkan yang pernah kau lakukan. Dengan ayahmu yang  menyembunyikan stik kentang dalam saku celananya, ibumu yang selalu terharu, serta kakak yang tidur ketika film bahkan belum menyentuh tahap komplikasinya. Itu akan jadi malam senin paling menyebalkan yang pernah kau lalui, dan tentunya kau tidak akan mau mengulanginya.

               Sekarang, hujan sudah berhenti. Dan aku masih larut di kehangatan selimutku. Jam dinding menunjukan angka 4 lebih 35 menit. Ini pertama kalinya, setidaknya dalam seminggu ini, aku tidak punya rencana.

               Aku berjalan ke jendela dan membukanya. Masih tidak punya tujuan, tapi melihat keluar lebih baik dari pada ikut memancing di sungai kota.

               Tiba-tiba aku jadi teringat taman kota. Aku belum kesana sejak pesta tahun baru. Aku bisa menghabisakan waktuku disana. Taman kota berbeda dengan daerah rumahku, dimana anggota ibu-ibu arisan komplek perumahan kami selalu mengoceh dan membicarakan orang lain hingga mereka lupa memasak sarapan untuk anak-anak mereka, dan berbeda pula dengan bagian-bagian lain dari perumahan ini. Disana sangat rindang. Bisa dibilang, sangat mewah untuk taman di komplek dengan fasilitasnya yang lengkap, dan akan membuatmu berpikir sekian kali untuk mencari tempat lain. Ada jalur lari untuk anjing beserta pemilik mereka, lapangan tenis, dan lapangan basket.

               Disini jarang yang menyukai kriket. Dan yang sering berkunjung kesini kebanyakan orang-orang yang sudah berumur.  Kau tau ‘kan, mereka banyak mendengar soal kematian orang tua saat bermain kriket belakangan ini, jadi, mungkin karena itu mereka mengubahnya menjadi lapangan basket. Yang sekarang justru banyak dipakai orang yang lebih muda.

             

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status