“Tidak boleh berpacaran! Apalagi masih sekolah. Lagipula, tujuan pacaran itu apa? Nantinya, malah….” dan dia akan menjabarkan secara panjang lebar akibat akibatnya, yang menurutku masuk akal. Aku tidak terlalu membenci ceramahnya itu, karena aku sendiri memang tidak berniat pacaran.
Tapi, terkadang aku agak bingung saat masuk jam pelajaran IPA. Apalagi bagian biologinya. Karena Miss. Sania bilang, mulai menyukai lawan jenis itu normal untuk remaja. Jadi aku membuat kesimpulanku sendiri. ‘Suka’, mungkin boleh, tapi tidak untuk pacaran. Dengan simpulan itu, aku tetap akan jadi remaja normal tanpa kena semprot ayah. Haha..
Dan Bill mungkin punya prinsip lain. Aku tidak tau prinsipnya, tapi aku tau kisahnya. Bill tergolong cowok yang mudah mendapatkan perhatian para gadis si sekolahnya. Seperti sifatnya yang agak kikuk dan punya humor yang bagus, tapi bisa sangat diandalkan di beberapa kesempatan. Kau tau, bahkan di tahun pertamanya di SMA itu dia sudah digandrungi gadis gadis kakak kelas untuk meminta kontaknya. Terkadang aku heran bagaimana laki-laki bisa lebih mudah menjadi terkenal dibanding perempuan. Fenomena serupa juga terjadi di sekolahku, jadi aku tidak terlalu terkejut dengan cerita Bill.
Oh ya, dan Hermist, kucingku. Ya, aku yang memeliharanya. Terkadang Hermist ikut ke balkon tempat kami biasa mengobrol dan mendengarkan cerita kami. Lalu dia pergi sendiri ketika cerita berakhir. Dan kami tidak perlu takut jika dia mengatakan apa yang dia dengar pada ibu. Karena dia kucing. Hermist sendiri sepertinya juga cukup laris dikalangan kucing betina. Aku sering melihat beberapa kucing betina berbeda yang mucul disekitar rumah dalam seminggu.
Aku kembali kebawah untuk mengambil limun dan novel yang kutinggalkan di meja makan. Lalu aku kembali ke lantai atas dan ke kamarku. Aku letakkan limun dan novel itu di meja samping kasurku, dan melakukan hal yang sering kulakukan, menjatuhkan diri ke tempat tidurku. Kupandang halaman belakang dari balik jendela yang berjarak 150 sentimmeter dari kasurku, sambil merenung. “Aaah..Besok sudah hari Senin. Lagi.” Aku berkata pada diriku sendiri, lalu mengembuskan nafas berat. Suasana begitu hening. Hanya gemercik air hujan. Walau diluar dingin, aku merasa hangat disini. Begitu tenang, sampai akhirnya muncul sebuah suara memunculkan gelombang.
Seseorang membuka pintu kamarku tanpa mengetuk. “Sofia... Bill, ayah dan ibu akan pergi memancing. Apa kau mau ikut?” Dari suaranya, sudah pasti itu ibu. “Tidak bu. Aku dirumah saja” jawabku singkat, lalu dibalas dengan kata “Baiklah” yang juga tidak kalah pendek dan menutup pintu kembali. Apa aku bersikap terlalu kasar? Semoga aku tidak menjadi anak kurang ajar.
Masalahnya, pertanyaan itu sudah pernah dilontarkan padaku, dan jawabanku tetap sama, tidak. Aku pernah ikut tiga kali, dan sama sekali tidak enak. Menunggu berjam-jam dengan menggelar diskusi dan beberapa kali diperhatikan orang-orang yang lewat, hingga umpan dimakan ikan. Diskusinya bahakn lebih seperti konferensi atau seminar. Bukan seperti pembicaraan keluarga normal bahagia. Kami membahas politik, konspirasi, filsafat, bahkan teori evolusi, matematika dan fisika sampai kimia. Maksudku, ini di sungai ―atau lebih bisa disebut kali kecil― di kota, oke? Apa yang mereka harapkan?
Dan sesekali ketika mereka bosan memancing —fenomena yang cukup wajar karena mereka melakukannya setiap minggu sepanjang bulan maret― mereka lalu mengajakku menonton di bioskop. Dan jawabanku tetap sama, tidak. Sebenarnya bukan karena tidak suka nonton film, tapi jika kau jadi aku, mungkin menonton di bioskop adalah hal yang paling menyedihkan yang pernah kau lakukan. Dengan ayahmu yang menyembunyikan stik kentang dalam saku celananya, ibumu yang selalu terharu, serta kakak yang tidur ketika film bahkan belum menyentuh tahap komplikasinya. Itu akan jadi malam senin paling menyebalkan yang pernah kau lalui, dan tentunya kau tidak akan mau mengulanginya.
Sekarang, hujan sudah berhenti. Dan aku masih larut di kehangatan selimutku. Jam dinding menunjukan angka 4 lebih 35 menit. Ini pertama kalinya, setidaknya dalam seminggu ini, aku tidak punya rencana.
Aku berjalan ke jendela dan membukanya. Masih tidak punya tujuan, tapi melihat keluar lebih baik dari pada ikut memancing di sungai kota.
Tiba-tiba aku jadi teringat taman kota. Aku belum kesana sejak pesta tahun baru. Aku bisa menghabisakan waktuku disana. Taman kota berbeda dengan daerah rumahku, dimana anggota ibu-ibu arisan komplek perumahan kami selalu mengoceh dan membicarakan orang lain hingga mereka lupa memasak sarapan untuk anak-anak mereka, dan berbeda pula dengan bagian-bagian lain dari perumahan ini. Disana sangat rindang. Bisa dibilang, sangat mewah untuk taman di komplek dengan fasilitasnya yang lengkap, dan akan membuatmu berpikir sekian kali untuk mencari tempat lain. Ada jalur lari untuk anjing beserta pemilik mereka, lapangan tenis, dan lapangan basket.
Disini jarang yang menyukai kriket. Dan yang sering berkunjung kesini kebanyakan orang-orang yang sudah berumur. Kau tau ‘kan, mereka banyak mendengar soal kematian orang tua saat bermain kriket belakangan ini, jadi, mungkin karena itu mereka mengubahnya menjadi lapangan basket. Yang sekarang justru banyak dipakai orang yang lebih muda.
Oh ya, yang jadi favoritku adalah jalur lari untuk manusia. Karena lintasannya yang melewati jalan yang paling teduh dari jalur lari yang lain. Meski lintasannya paling jauh, karena berada paling pinggir, jadi kalau di hitung, kelilingnya pasti lebih besar, yang berarti jarak tempuhnya lebih panjang dari jalur lain. Di sebelah kanan langsung berbatasan dengan pepohonan, dan itu sangat rindang. Aku pernah memberitahu ayah ada taman yang ada lintasan larinya. Maksudku supaya dia bisa keluar dari ruang kerjanya, dan mencoba untuk menurunkan berat badannya. Tapi pria itu malah kembali melempar pertanyaan padaku. “Lalu aku harus melakukan apa?” dia berkata dari balik kacamata bacanya. “Apa ayah tidak mau berlari? Maksudku, sekedar…jalan jalan?” kataku agak ragu. Ayahku menghembuskan nafas berat. “Aku sudah mencoba beribu-ribu kali untuk lari dari kenyataan, Sofia. Tolong biarkan aku bekerja
Baiklah, sekarang bukan saatnya memikirkan orang asing. Aku harus memanfaatkan sisa sisa waktu liburku dengan baik hari ini. Aku terduduk di sofa depan televisi dan mencari remote-nya. Dan berharap ada acara bagus di TV. “Hai, Sofia. Kau pasti tidak percaya ini kan?” kata Bill tiba-tiba saat aku baru saja menekan tombol ‘ON’ remote TV. “Hai, sayang.” kata ibu. “Lihat apa yang kita dapatkan.” Sebenarnya saat dia bilang “lihat”, saat itu juga aku berniat untuk tidak melihat dan pergi. Tapi akhirnya aku melihatnya. Seekor ikan kakap merah dalam jaring —seperti jaring untuk menangkap ubur-ubur di Spongebob― yang dimasukkan kedalam plastik hitam besar. Sudah jelas, malam ini akan ada pesta ikan bakar ala resep buatan ibuku. “Kalian mendapatkannya di kali itu? Emm.. maksudku di tempat kalian biasa memancing?” tanyaku heran. Karena tidak mungkin mereka mendapatkan kakap merah disana. “Tidak. Kami menemukan tempat lain untuk memancing. Dan banyak yang memancing disana.” kata Bill a
Aku melihat keseluruh penjuru. Terlihat orang orang kelas sebelah sedang asik mengobrol dengan kelompok pertemanan mereka. Sepotong percakapan mereka tak sengaja terdengar olehku, dan aku jadi mengerti mengapa mereka begitu serius dengan bahasan mereka. Si Anak Populer. Dan lebih spesifiknya, mereka bicara tentang… Jennifer Amity. Siapa yang tak kenal dengan seorang Jennifer Amity. Bahkan seluruh angkatan, baik yang tahun ini, tahun lalu sampai alumni sekalipun. Sebenarnya tak heran sih kalau dia bisa jadi begitu terkenal. Karena itu sesuatu yang sudah sangat jelas
“Hai semuanya! Nampaknya aku benar-benar tertinggal.” Sebuah suara yang terdengar dari jauh. Suara yang persis sama seperti yang kudengar kemarin. Suara yang lembut dan menyenangkan, terdapat aura semangat dan keceriaan tersirat didalamnya. Meski begitu wibawanya tetap tidak hilang. Dan sampai waktunya si misterius itu bersuara, aku baru menyadari. Dia yang kemarin. Hei" panggilku sambil menyenggol lengan Jessy. "Dia itu siapa?" dia menatapku agak heran. "Kau bercanda?" "tidak, aku serius, dia itu siapa?" tiba-tiba Ellen ikut angkat suara. "Ya ampun, Sofia. Dia itu Derald. Cowok populer yang pernah jadi pacar Jennifer Amity. Putus dua bulan lalu, katanya karena beda komitmen. Dan Derald yang memutuskannya. Itu berita yang bahkan masih hangat sampai sekarang!" Terlihat wajah serius dari dua oran
“Kau mau pergi kemana?” Tanya Derald padaku yang tertangkap basah hari itu, membawa tas keluar kelas pada jam pulang sekolah normal, pukul 2 siang. Aku menoleh kebelakang perlahan dan mendapati tatapan malas Derald dengan jari yang mengisyaratkan untuk kembali. Aku kembali melihat kedepan dan menghela napas. Aku benar benar lelah. Setidaknya biarkan aku kembali ke kursi santai dirumah dan membaca novelku untuk sehari saja. “Baiklah, kau menang.” Responku pasrah. Mau tak mau, akupun kembali ke kelas. “Baguslah jika kau mengerti, karena hingga kita siap untuk medan tempur nanti, kita tidak akan mendapat waktu luang. Persiapkan dirimu, Sofia” Kalimat kemudian diakhiri dengan senyuman manis khas miliknya itu. Sedikit memberiku semangat, tapi aku menganggapnya sebagai ejekan pada anak baru yang buta mater
Aku selalu merasa takut untuk merasa bahagia, apalagi untuk cerita roman remaja. Bukan hanya karena orangtuaku yang sangat kaku. Entahlah, setiapkali aku merasa bahagia, disaat yang bersamaan aku merasa akan ada suatu bahaya atau kecelakaan besar. Dengan ‘fobia’ anehku itu aku jadi orang yang sangat waspada. Posisi, keadaan, ataupun orang lain, aku seakan tidak bisa mempercayai mereka jauh dari lubuk instingku yang paling dalam. Tapi aku harus tetap memakai topeng ini untuk bisa menjalani kehidupan normal. Dan parahnya terkadang hormone hormone remaja ini terlalu sulit untuk dikendalikan. Aku bahkan sering merasa tidak mengerti diriku sendiri. Mungkin itulah artinya menjadi remaja? Dan seperti biasa di jam pulang sekolah, tim kami selalu belajar bersama di bawah pohon itu, markas kami. Bahkan seingatku kami tidak pernah pulang tepat waktu sejak saat itu. Sampai penjaga sekolah berteriak untuk mengakhiri seluru
Kami semua berlatih bersama selam 2 minggu itu. Bukan hanya hubungan dan kerja sama kami yang mengalami perkembangan, namun juga ranah social disekitar kami. Tak luput juga gossip gossip baru yang beredar. Sekian banyak hoax-hoax yang beredar dan cukup banyak penghuni sekolah yang meyakini hal itu. Seperti Jennifer yang naksir keeper tim futsal sekolah yang sudah jelas mustahil ditaksir cewek popular, apalagi mengingat mantannya yang sekelas Derald. Yang membuatku paling tidak percaya adalah ada aku dalam pergosipan kali ini. Aku. Iya, Aku?? Mungkin karena selama enam hari aku terus bersamanya, cowok yang pernah jadi pacar Jennifer itu, dan menghabiskan sore hariku dibawah pohon dengan Derald, bersama yang lainnya juga sebenarnya. Juga tentang seberapa dekat rumah kami, dan soal kesamaan pelih
“Hmm, Rhena kan?” Kami semua tercengang. “AHH! Derald!!” Bob membentak Derald dan melempar tatapan kesal. Tiba tiba suasana menjadi riuh dan mulai menggoda Bob. Ahaha.. ternyata seperti ini rasanya menggoda seseorang? Aku cukup menikmatinya. “Jelas aku mengetahuinya, dia sering hadir di rapat kegiatan sekolah. Rhena Taylor, perwakilan dari klub permainan papan” Terang Derald. Ah iya, aku baru ingat dia salah satu anggota OSIS. Kalau tidak salah aku mengingat, dia membacakan pidato pembukaan tahun lalu. “Oh.. Jadi itu sebabnya kau mendapatkan permainan ini? Dasar modus.” Celetuk Jimmy yang kemudian mengundang tawa kami semua. Permainan berlanjut. Dan lagi lagi aku mendapat angka 2. Tetapi aku tidak meli