Share

Memories
Memories
Penulis: Sherra Misaki

Chapter 1

Hari kedua libur akhir pekan sudah dimulai, dan sekarang akan segera berakhir. Sore ini akan sia sia jika dilewatkan dengan nonton acara kuis, seperti yang orangtuaku lakukan sejak berjam-jam yang lalu di ruang TV atau memberi laba-laba kudapan persis seperti apa yang Bill lakukan setiap harinya. Novel kesayangan sudah ditangan, begitu juga dengan limun dingin di jam 4 lebih 9 menit ini, lalu akan kubuka pintu kaca belakang rumah. Aku tidak akan mau melewatkan saat ini dengan sia sia. Tidak ada yang akan menghentikanku sekarang. Aku akan…

               Saat itulah kilat menyala dan guntur bergemuruh.

               Tetesan air mulai berjatuhan dari langit gelap itu.

               “Ah, tidak..” keluhku sambil menatap kursi santai di bawah pohon di halaman belakang yang mulai basah. “Sedih karena hujan, Sofia?” kata ibuku dari dapur yang tak jauh dari tempatku berdiri. Aku mengangguk untuk menjawab pertanyaannya sambil berjalan ke meja makan dan duduk disana. “Mungkin, kau memang tidak seharusnya kesana.” Katanya, lalu pergi membawa dua gelas jus jeruk yang dituangnya dari kemasan.

               Orangtuaku memang suka berbagai jus, sayangnya mereka terlalu malas untuk seorang yang suka jus. Mereka lebih suka membelinya, menurut mereka, itu lebih tidak sehat, tentu saja. Entah berapa banyak pemanis dan pengawet yang dikandung minuman itu. Tapi , orangtuaku lebih suka menyebutnya...

                Praktis.

               Menurutku, lebih baik membeli juicer atau blender. Atau, kau tau, alat untuk mengambil sari dari buah dan sayur secara otomatis jika mereka malas membuat jus. Tetap saja akan sia-sia jika mengatakan ini pada pasangan bertuliskan SE di belakang nama mereka, karena mereka tipe pemikir panjang, dalam kasus ini mungkin, terlalu ‘irit’  jika berkaitan dengan uang.

               “Sofia!” teriak kakakku dari anak tangga paling atas. “Kau pasti tidak ingin melewatkan ini.” Bill memang selalu heboh, itu hanya pendapatku. Tapi setidaknya dia selalu membuatku tertawa setiap dia bicara. Aku dan dia seperti… Teman. Sesuatu yang bahkan mungkin jauh dari kata saudara.

               “Aku datang!”

               Dia memang suka melakukan hal-hal gila. Seperti tahun lalu, dia mencoba untuk mengembala laba-labanya, tapi satu dari tiga laba-laba itu hilang di kamar Bill, jadi aku harus membantunya mencari Si Kaki Delapan, yang paling besar dari dua teman se-kandangnya. Beruntung, kami menemukannya. Tepat di atas pendingin ruangan di kamar Bill. Dan sekarang,  hal apa lagi yang dia lakukan? Semoga bukan tentang peliharaannya itu.

               ”Ada ap― wow…” Aku benar-benar tidak percaya. “A—apa yang terjadi?” Yang benar saja, kamarnya jadi… Rapi. Sangat rapi. Sangat berbeda dengan saat terakhir kali aku berkunjung ke kamarnya minggu lalu. Sekarang, aku sudah tidak lagi melihat akuarium laba-laba diatas meja. Hanya ada pajangan miniatur motor dan beberapa tokoh di Naruto, yang sudah tak kulihat lagi sejak dia merawat laba-laba. Aku jadi bertanya-tanya. Bagaimana, dia bisa jadi begitu… Normal?

               “Bagaimana menurutmu? Keren bukan?” katanya melirikku dibalik kacamatanya. “Dimana laba-labamu?” tanyaku sambil menyentuh salah satu miniaturnya. “Aku menjualnya di bazar kemarin, aku sudah tidak menyukainya lagi” jelasnya sambil membuka halaman buku yang diambilnya dari rak dibawah meja miniatur.

               Apa kau percaya itu!?

               Maksudku, aku sudah hidup selama 13 tahun! Dan selama itu juga aku hidup bersama kakakku. Tentu saja aku sangat mengenalinya. Dan perubahan 180 derajat dalam satu minggu? Ini sangat mencurigakan. Khususnya untukku, dan juga membuatku merasa terganggu. Dia bukan orang yang cepat bosan, dan sekarang dia bilang sudah tidak menyukai..

               Tunggu, menyukai. Suka.

               Hoouu, tidak. Jangan bilang ini karena…

               “Apa ini semua, karena, Mia?” Mataku sengaja menyiratkan ‘Kena kau, Bill!’ dalam sorotnya. Dan aku sudah melihat apa yang sejak tadi ingin kulihat. Ekspresi tertangkap basah Bill, cenderung mendelik lalu berkata

               “Apa!??” dengan volume cukup keras. Aku tau situasi ini akan jadi makin aneh jika aku menunggunya menjawab pertanyaanku tadi. Jadi, mari kita buat ini jadi mudah.

               “Yah, maksudku, mungkin saja, kau berubah hanya demi wanita itu.” Dia benar-benar berusaha keras. Raut wajah dan sipu malu itu tidak bisa berbohong.

               “Ti..tidak, aku hanya..” dia terbata dan berusaha mengelak. Pasti denyut jantungnya saat ini sangat sulit untuk di kendalikan.

               ”Sudah ya, aku masih sibuk. Sampai jumpa.” Lebih baik aku keluar. Kurasa dia butuh waktu untuk mengatur kembali nafasnya. Yah, Bill bukanlah orang yang pandai berakting. Mungkin itu juga, yang membuat Mia mulai suka pada kakakku sejak beberapa minggu lalu.

               Bagaimana aku tau?

               Sebenarnya, tidak sulit membongkar informasi dari Bill, karena kami berdua selalu saling curhat kalau ada masalah. Umur kami hanya berbeda 2 tahun, jadi terkadang masalah kami sama, dan sangat mudah untuk saling mengerti. Kalau boleh jujur sih, aku lebih suka bicara pada Bill, daripada dengan ayah atau ibuku, jika tentang kejadian lucu, atau sekedar lelucon gila. Karena orangtuaku terlalu serius. Maksudku, terlalu serius untuk diajak bercanda ala anak remaja, apalagi tentang, kau tau, kisah cinta monyet para remaja dengan segala permasalahan yang selalu dilebih-lebihkan.

               Karena, bahkan sebelum aku punya cerita cinta monyet untuk ku ceritakan, sejak awal, orangtuaku , khususnya ayah, sudah mengatakan padaku berulang kali. Penuh dengan ketegasan.

             “Tidak boleh berpacaran!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status