"Hasna!"
Aku yang sedang menjemur pakaian di halaman belakang rumah, menoleh. Rupanya Mbak Niken. Dia sahabat, teman kerja sekaligus tetangga.
"Ada apa, Mbak?" Aku menyeka keringat di dahi.
"Kamu jadi bahan gosip, katanya Amanda jadi simpanan om-om tajir, dan kamu mendukungnya," jawab Mbak Niken. "Nih, ada foto Amanda yang disebar di grup W******p arisan. Si Rusti yang menyebarkan."
Aku duduk di dekat pintu, menyandarkan punggung di tembok, aku tidak ikut arisan, jadi tidak tahu Bu Rusti menyebarkan foto Amanda dan Mandala. "Bu Rusti belum pernah ditabok pakai parutan kelapa," sahutku geram.
Mbak Niken ikut duduk di sebelahku. "Katanya Bu Rusti, kemarin malam dia melihat kamu dan Amanda diantar pulang pakai mobil mewah. Benar itu?"
Aku mengangguk pelan. "Yang mengantar kami Mandala."
"Mandala? Mandala si pengecut? Mandala mantan suamimu?" Ekspresi Mbak Niken berubah marah.
"Iya, Mbak."
Kuceritakan pada Mbak Niken tentang Amanda yang mengenal Mandala secara kebetulan. Juga mengenai barang-barang pemberian Mandala.
Mbak Niken diam sejenak, lalu berkata, "Lebih baik kamu memberitahu Mandala bahwa Amanda anak kandungnya. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan."
Kepalaku menengadah, melihat angkasa yang membiru indah.
"Aku tahu, kamu menyimpan rasa sakit dan luka yang mungkin belum sembuh," lanjut Mbak Niken. "Tapi, jujur adalah jalan yang terbaik, Hasna."
"Ya, aku tidak boleh menutupi kenyataan ...," sahutku lirih.
Mbak Niken menepuk pundakku. "Walaupun jujur kadang berbuah pahit."
Semoga saja tidak ada pahit maupun getir. Aku merogoh ponsel dari saku celana. Dengan ragu menelepon Mandala.
"Halo, Hasna," sapa Mandala.
"Bisa kita bertemu? Kalau bisa sekarang."
"Kalau sekarang aku tidak bisa, bagaimana kalau nanti jam makan siang?Kita bertemu di kedai kopi dekat kantorku."
"Baik," sahutku, kemudian mematikan sambungan telepon. Aku masuk shift dua, jadi bisa menemui Mandala.
"Aku pulang dulu, Hasna," pamit Mbak Niken. "Mau masak dulu."
Aku mengamati Mbak Niken sampai menghilang. Setelah Ibu meninggal dua tahun silam, Mbak Nikenlah tempat satu-satunya yang mau menampung keluh kesahku.
***Setelah memarkirkan sepeda motor, aku melangkah masuk ke dalam kedai kopi. Aku mengedarkan pandangan, mencari sosok Mandala. Dia kudapati melambaikan tangannya. Kutenteramkan hati yang bergejolak, telapak tanganku berkeringat dingin. Cemas, gugup.
"Hei," sapaku, gagu.
Mandala berdiri, menarik kursi untukku. "Aku sudah pesankan mochaccino, aku ingat dulu kamu suka mochaccino."
"Terima kasih."
"Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Mandala menatapku serius.
"A-ku ...." Kugenapi paru-paruku dengan oksigen sebelum melanjutkan bicara. "Kemarin kamu bertanya 'apakah Amanda anakku?' Dia--"
Aku kembali terdiam. Kaku sekali lidah ini untuk berbicara.
"Hasna?"
Dan, sekali lagi aku menarik nafas panjang. "Amanda adalah putrimu."
"Benarkah itu?" Pendar mata Mandala sangat bahagia.
"Dia putrimu, terlahir dari rahimku. Perempuan yang tidak diharapkan keluargamu, perempuan yang disingkirkan keluargamu. Dan kamu memilih tidak memperjuangkan hubungan kita," kataku, meluapkan emosi yang seharusnya tidak meledak.
Air muka Mandala terlihat kelu. "Hasna, aku--"
"Aku juga akan memberitahu Amanda," imbuhku, mengusap sudut mata yang basah. "Kamu boleh menemui Amanda, aku tidak akan menghalangi. Satu lagi, aku tidak suka mochaccino. Aku sudah berubah."
Gegas aku meninggalkan Mandala, keluar dari kedai kopi. Rasa kecewa pada Mandala muncul kembali--lelaki yang kunikahi di saat usiaku masih belia, 18 tahun. Seharusnya aku bisa menahan emosi. Namun, kenangan lama mendesak tanpa bisa kukendalikan.
***Amanda memasang foto lawas Mandala yang aku berikan. Satu-satunya foto yang tersisa. Dia sangat bahagia ketika aku memberitahu bahwa Mandala adalah Papanya.
"Teman-temanku tidak percaya kalau Papaku orang kaya, mereka pikir aku halu," keluh Amanda.
"Tidak perlu dihiraukan, Manda," sahutku, memindah-mindah channel telivisi. Semua acara di televisi tidak menarik.
"Istrinya Papa ternyata model terkenal, Ma. Kemarin waktu ketemu dia orangnya ramah sekali dan baik. Terus ketemu juga sama Oma Rosie, orangnya jutek banget," kata Amanda menceritakan pertemuan pertamanya dengan keluarga Mandala.
"Baguslah."
Entah mengapa aku tidak suka jika Amanda menghabiskan waktu bersama Mandala dan istrinya, tetapi aku sudah berjanji tidak akan menghalangi mereka bertemu. Aku tidak mungkin mencerabut hak Amanda karena egoku semata.
Suara ketukan di pintu membuatku bangkit dari duduk. Sudah malam, siapa yang bertandang?
"Selamat malam, Hasna." Bu Rosie tersenyum. Lebih tepatnya menyeringai seperti serigala.
"Bu Rosie tidak salah rumah?"
"Aku tidak salah rumah. Aku mau menjemput cucuku, aku tidak akan membiarkan Amanda tinggal di gubuk reyot ini," jawab Bu Rosie.
Aku tertawa. "Cucu? Dulu Bu Rosie tidak mengakui aku sebagai menantu, tapi mengakui anakku sebagai cucu. Lucu sekali."
"Amanda putrinya Mandala, ada darahku yang mengalir di dalam tubuh Amanda," papar Bu Rosie angkuh.
"Aku tidak mengizinkan Amanda tinggal di rumahmu. Tidak akan pernah!" teriakku marah.
"Tapi, aku mau tinggal dengan Papa, Ma," ujar Amanda yang sudah menyandang tas ranselnya. "Sebenarnya tadi aku ingin minta izin, tetapi Mama pasti tidak mengizinkan."
"Amanda ...?" Aku memandangi Amanda tidak percaya.
"Kamu tidak perlu bawa baju kumalmu, besok kita beli yang baru, yang lebih mahal dan berkelas," kata Bu Rosie mencemooh. "Ayo, Manda."
Aku mencekal lengan Amanda. "Mama tidak mengizinkan kamu pergi."
"Aku sudah gede, Ma. Aku berhak memutuskan ingin tinggal dengan siapa." Amanda mengibaskan tanganku dengan kasar.
"Kamu tega meninggalkan mama sendirian?"
"Aku tidak meninggalkan mama, aku hanya pindah ke rumah Papa," kilah Amanda. Dia berlari keluar rumah, masuk ke dalam mobil sedan yang menunggunya.
"Amanda!" panggilku, berlari menyusulnya. "Tunggu!" Aku mengetuk kaca jendela mobil.
"Mama jangan lebay, tidak perlu drama. Kita masih bisa bertemu," sahut Amanda enteng.
"Amanda ...." Nyaris suaraku tercekal di tenggorokan.
"Aku pergi dulu." Amanda menutup jendela mobil.
"Kami pergi, Hasna." Bu Rosie tersenyum penuh kemenangan, dia kemudian masuk ke dalam mobil.
Aku hanya terpaku melihat mobil yang membawa Amanda mulai bergerak. Amanda bukan bayi lagi yang bisa kugendong ke mana pun.
Inilah yang kutakutkan. Pengakuanku menyebabkan aku kehilangan hal terpenting dan terindah. Setetes air mata bergulir di pipi. Sedih dan hancur. Merangkap sempurna di hati.
Nampak Soraya keluar dari dalam vila, dia berjalan menghampiri kami. Di bawah temaram langit malam, wajah Soraya terlihat antara geram dan gugup. Namun, sepertinya dia berusaha tenang."Aku akan mengakui perbuatanku. Yeah, sebelum matahari terbit di timur," ujar Soraya. "Aku juga akan menyampaikan permintaan maafku pada kalian.""Mari kita hidup dengan tenang, Soraya," ucapku.Soraya tersenyum sinis. "Tenang untukmu bukan untukku.""Jika uang bisa membuat hidupmu tenang, aku akan memberimu sejumlah uang," tukas Aksara. "Tinggalkan keluargaku, carilah kebahagiaan untuk dirimu sendiri."Tawa meledak dari bibir Soraya, wajah cantik itu menyeringai. Mungkin dia memang butuh uang, tetapi tidak mau mengakui. Terlalu gengsi."Aku bisa menghasilkan uang sendiri, kalian pikir aku wanita gila harta," sungut Soraya."Lalu kenapa kamu jadi gundiknya Pak Danu? Demi uan
"Kita bicara di dalam." Aksara menarik lengan Soraya supaya berdiri, wanita itu malah memanfaatkan situasi dengan memeluk Aksara. Dengan pelan Aksara mendorong tubuh Soraya."Tanpa kamera!" tegas Aksara pada seorang kameramen yang ikut berjalan masuk.Aku menutup pintu, sang super model duduk di sofa. Dia menarik napas panjang, lalu berkata pelan, "Aku tahu di rumah ini ada CCTV.""Apa yang kau inginkan? uang?" Aksara menyilangkan kedua tangan di dadanya.Soraya pura-pura menangis lagi. "Aku hanya ingin bertemu dengan putriku ... Aku tidak ingin uangmu, Aksara.""Dasar sinting!" Aku yang bergerak maju ingin menampar Soraya, dicegah Aksara--dia menarik pinggangku."Hasna, tenang," ucap Aksara.Soraya berdiri, berhadapan denganku begitu dekat. "Aku hanya ingin merusak citra Aksara, seorang pengusaha yang memisahkan mantan istrinya dengan putrinya," bisik Sor
Aku termangu, mengamati surat dengan amplop putih, di pojok kanan atas tertulis untuk Hasna. Surat dari Mandala yang dititipkan pada Amanda, ketika dia mengunjungi Mandala sebelum ke rumah sakit--seminggu yang lalu.Surat itu belum aku buka apalagi dibaca. Ada perasaan takut."Kenapa tidak dibaca?" Aksara menarik selimut, dia bersiap untuk tidur. "Aku tidak cemburu.""Baiklah, aku akan membacanya." Dengan perasaan cemas aku merobek ujung amplop. Mengeluarkan secarik kertas.Apa kabar, Hasna? Aku berharap kamu selalu sehat dan bahagia.Hasna, jangan berpikiran untuk mencabut tuntutan demi Amanda. Aku pantas menerima hukuman. Aku pantas meringkuk di dalam bui. Jadi, biarkan aku menuai apa yang kutabur. Mandala.
Soraya menarik napas panjang, seolah pasokan oksigen untuk tubuhnya menipis. Sekarang ekspresi mukanya berubah marah."Kalian berbohong, tidak ada berita mengenai pernikahan seorang Aksara Winata!" teriak Soraya, tubuhnya berbalik ke arah keempat temannya. "Apa di antara kalian ada yang tahu?"Mereka berlomba mengeluarkan ponsel, sepertinya mereka mencari berita tentang Aksara di media online."Tidak ada berita pernikahan," sahut Dee, perempuan dengan kemeja hijau tua dan anting besar."Di Instagram ada." Seorang perempuan berambut bob memperlihatkan ponselnya pada Soraya.Aksara membuat status di IG, dua hari yang lalu--sebuah foto kami berempat, aku, Aksara, Edlyn dan Amanda--duduk di halaman berumput. Sisi kanan wajah Amanda yang rusak menempel di bahuku, jadi tidak terlihat. Aksara menuliskan caption Istriku tercinta dan dua bidadari tercan
Matahari sudah meninggi, sinarnya menyeruak masuk melalui kisi jendela, sedikit menyilaukan mata yang baru terbuka. Aksara tidak berada di tempat tidur. Mungkin dia sudah berangkat kerja, tapi sekarang hari Sabtu. Aku sempat bangun ketika hari masih subuh, karena kondisi yang belum sehat--aku terlelap kembali.Perlahan aku beranjak turun dari pembaringan, berjalan ke arah jendela lalu membuka semua tirai jendela. Ini hari kelima aku tinggal di rumah Aksara, setelah satu minggu dirawat di rumah sakit. Statusku sekarang adalah istri Aksara, namun terkadang aku belum memercayai hal indah yang telah terjadi.Aku melihat Amanda dan Edlyn sedang duduk di kursi ayunan. Mengobrol sambil menikmati sepiring biskuit gandum. Edlyn melambaikan tangannya begitu mengetahui keberadaanku--yang memandangi lewat jendela."Sudah bangun?"Aku menoleh, Aksara menutup pintu kamar kembali. Wajahnya p
Aku terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Tangan kiriku dipasang infus.Pada bagian leher terasa nyeri dan bengkak. Pipiku lebam, pelipis robek. Beruntungnya aku tidak mengalami cedera parah. Aku menoleh ke arah kiri. Amanda dan Edlyn tertidur di sofa.Aksara duduk di kursi--samping ranjang, dia juga terlelap. Kepalanya tersuruk di ranjang. Jemariku menyusuri rambutnya.Tadi siang ketika aku tersadar, wajah-wajah panik mengelilingi diriku--Amanda yang memelukku, Edlyn yang menangis dan Aksara yang terlihat emosi, antara sedih dan geram.Menurut cerita Amanda, setelah tubuhku dilempar keras ke dinding dan tidak sadarkan diri, Mandala panik. Dia membopong tubuhku lalu keluar rumah, tapi, Aksara muncul. Mereka terlibat perkelahian siapa yang berhak membawaku ke rumah sakit.Setelah menganiaya diriku, Mandala khawatir? Sepertinya dia tidak waras."Hasna," lirih Aksara, dia menegakkan bad