Share

Bab 4 Pengakuan dan Kehilangan

"Hasna!" 

Aku yang sedang menjemur pakaian di halaman belakang rumah, menoleh. Rupanya Mbak Niken. Dia sahabat, teman kerja sekaligus tetangga.

"Ada apa, Mbak?" Aku menyeka keringat di dahi.

"Kamu jadi bahan gosip, katanya Amanda jadi simpanan om-om tajir, dan kamu mendukungnya," jawab Mbak Niken. "Nih, ada foto Amanda yang disebar di grup W******p arisan. Si Rusti yang menyebarkan."

Aku duduk di dekat pintu, menyandarkan punggung di tembok, aku tidak ikut arisan, jadi tidak tahu Bu Rusti menyebarkan foto Amanda dan Mandala. "Bu Rusti belum pernah ditabok pakai parutan kelapa," sahutku geram.

Mbak Niken ikut duduk di sebelahku. "Katanya Bu Rusti, kemarin malam dia melihat kamu dan Amanda diantar pulang pakai mobil mewah. Benar itu?"

Aku mengangguk pelan. "Yang mengantar kami Mandala."

"Mandala? Mandala si pengecut? Mandala mantan suamimu?" Ekspresi Mbak Niken berubah marah. 

"Iya, Mbak." 

Kuceritakan pada Mbak Niken tentang Amanda yang mengenal Mandala secara kebetulan. Juga mengenai barang-barang pemberian Mandala.

Mbak Niken diam sejenak, lalu berkata, "Lebih baik kamu memberitahu Mandala bahwa Amanda anak kandungnya. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan."

Kepalaku menengadah, melihat angkasa yang membiru indah. 

"Aku tahu, kamu menyimpan rasa sakit dan luka yang mungkin belum sembuh," lanjut Mbak Niken. "Tapi, jujur adalah jalan yang terbaik, Hasna."

"Ya, aku tidak boleh menutupi kenyataan ...," sahutku lirih.

Mbak Niken menepuk pundakku. "Walaupun jujur kadang berbuah pahit."

Semoga saja tidak ada pahit maupun getir. Aku merogoh ponsel dari saku celana. Dengan ragu menelepon Mandala.

"Halo, Hasna," sapa Mandala.

"Bisa kita bertemu? Kalau bisa sekarang."

"Kalau sekarang aku tidak bisa, bagaimana kalau nanti jam makan siang?Kita bertemu di kedai kopi dekat kantorku."

"Baik," sahutku, kemudian mematikan sambungan telepon. Aku masuk shift dua, jadi bisa menemui Mandala.

"Aku pulang dulu, Hasna," pamit Mbak Niken. "Mau masak dulu."

Aku mengamati Mbak Niken sampai menghilang. Setelah Ibu meninggal dua tahun silam, Mbak Nikenlah tempat satu-satunya yang mau menampung keluh kesahku.

***

Setelah memarkirkan sepeda motor, aku melangkah masuk ke dalam kedai kopi. Aku mengedarkan pandangan, mencari sosok Mandala. Dia kudapati melambaikan tangannya. Kutenteramkan hati yang bergejolak, telapak tanganku berkeringat dingin. Cemas, gugup.

"Hei," sapaku, gagu.

Mandala berdiri, menarik kursi untukku. "Aku sudah pesankan mochaccino, aku ingat dulu kamu suka mochaccino."

"Terima kasih."

"Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Mandala menatapku serius.

"A-ku ...." Kugenapi paru-paruku dengan oksigen sebelum melanjutkan bicara. "Kemarin kamu bertanya 'apakah Amanda anakku?' Dia--"

Aku kembali terdiam. Kaku sekali lidah ini untuk berbicara.

"Hasna?"

Dan, sekali lagi aku menarik nafas panjang. "Amanda adalah putrimu."

"Benarkah itu?" Pendar mata Mandala sangat bahagia.

"Dia putrimu, terlahir dari rahimku. Perempuan yang tidak diharapkan keluargamu, perempuan yang disingkirkan keluargamu. Dan kamu memilih tidak memperjuangkan hubungan kita," kataku, meluapkan emosi yang seharusnya tidak meledak.

Air muka Mandala terlihat kelu. "Hasna, aku--"

"Aku juga akan memberitahu Amanda," imbuhku, mengusap sudut mata yang basah. "Kamu boleh menemui Amanda, aku tidak akan menghalangi. Satu lagi, aku tidak suka mochaccino. Aku sudah berubah."

Gegas aku meninggalkan Mandala, keluar dari kedai kopi. Rasa kecewa pada Mandala muncul kembali--lelaki yang kunikahi di saat usiaku masih belia, 18 tahun. Seharusnya aku bisa menahan emosi. Namun, kenangan lama mendesak tanpa bisa kukendalikan.

***

Amanda memasang foto lawas Mandala yang aku berikan. Satu-satunya foto yang tersisa. Dia sangat bahagia ketika aku memberitahu bahwa Mandala adalah Papanya. 

"Teman-temanku tidak percaya kalau Papaku orang kaya, mereka pikir aku halu," keluh Amanda.

"Tidak perlu dihiraukan, Manda," sahutku, memindah-mindah channel telivisi. Semua acara di televisi tidak menarik.

"Istrinya Papa ternyata model terkenal, Ma. Kemarin waktu ketemu dia orangnya ramah sekali dan baik. Terus ketemu juga sama Oma Rosie, orangnya jutek banget," kata Amanda menceritakan pertemuan pertamanya dengan keluarga Mandala.

 "Baguslah." 

Entah mengapa aku tidak suka jika Amanda menghabiskan waktu bersama Mandala dan istrinya, tetapi aku sudah berjanji tidak akan menghalangi mereka bertemu. Aku tidak mungkin mencerabut hak Amanda karena egoku semata.

Suara ketukan di pintu membuatku bangkit dari duduk. Sudah malam, siapa yang bertandang?

"Selamat malam, Hasna." Bu Rosie tersenyum. Lebih tepatnya menyeringai seperti serigala.

"Bu Rosie tidak salah rumah?"

"Aku tidak salah rumah. Aku mau menjemput cucuku, aku tidak akan membiarkan Amanda tinggal di gubuk reyot ini," jawab Bu Rosie.

Aku tertawa. "Cucu? Dulu Bu Rosie tidak mengakui aku sebagai menantu, tapi mengakui anakku sebagai cucu. Lucu sekali."

"Amanda putrinya Mandala, ada darahku yang mengalir di dalam tubuh Amanda," papar Bu Rosie angkuh.

"Aku tidak mengizinkan Amanda tinggal di rumahmu. Tidak akan pernah!" teriakku marah.

"Tapi, aku mau tinggal dengan Papa, Ma," ujar Amanda yang sudah menyandang tas ranselnya. "Sebenarnya tadi aku ingin minta izin, tetapi Mama pasti tidak mengizinkan."

"Amanda ...?" Aku memandangi Amanda tidak percaya.

"Kamu tidak perlu bawa baju kumalmu, besok kita beli yang baru, yang lebih mahal dan berkelas," kata Bu Rosie mencemooh. "Ayo, Manda."

Aku mencekal lengan Amanda. "Mama tidak mengizinkan kamu pergi."

"Aku sudah gede, Ma. Aku berhak memutuskan ingin tinggal dengan siapa." Amanda mengibaskan tanganku dengan kasar.

"Kamu tega meninggalkan mama sendirian?" 

"Aku tidak meninggalkan mama, aku hanya pindah ke rumah Papa," kilah Amanda. Dia berlari keluar rumah, masuk ke dalam mobil sedan yang menunggunya.

"Amanda!" panggilku, berlari menyusulnya. "Tunggu!" Aku mengetuk kaca jendela mobil.

"Mama jangan lebay, tidak perlu drama. Kita masih bisa bertemu," sahut Amanda enteng.

"Amanda ...." Nyaris suaraku tercekal di tenggorokan.

"Aku pergi dulu." Amanda menutup jendela mobil.

"Kami pergi, Hasna." Bu Rosie tersenyum penuh kemenangan, dia kemudian masuk ke dalam mobil.

Aku hanya terpaku melihat mobil yang membawa Amanda mulai bergerak. Amanda bukan bayi lagi yang bisa kugendong ke mana pun. 

Inilah yang kutakutkan. Pengakuanku menyebabkan aku kehilangan hal terpenting dan terindah. Setetes air mata bergulir di pipi. Sedih dan hancur. Merangkap sempurna di hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status