"Maaf kalau kedatangan saya ke rumah ini telah menghancurkan segalanya. Tapi, saya harus mempertahankan hak saya, bukan? Seperti yang sudah saya katakan tadi, saya dan Seno sebenarnya telah menikah dua hari yang lalu. Sah secara hukum dan agama. Ini adalah buku nikah kami berdua. Silakan kamu mengecek keasliannya, Arimbi."
Dua buah buku nikah disodorkan ke hadapan Arimbi Maulida dan orang tuanya oleh sang sepupu.
"I--ini?" Terbata-bata Arimbi memperhatikan buku tersebut, hingga tanpa bisa ditahan, air mata pun menganak sungai di mata Arimbi.
Di sisi lain, Nina tampak menyembunyikan senyumnya setelah memberi "kabar buruk itu". Keinginannya untuk membalas dendam pada Arimbi tunai sudah. Sedari kecil, ia memang sudah membenci Arimbi. Sepupunya yang cemerlang ini, membuat kehadiran Nina redup.Arimbi yang cantik, pintar dan baik hati memborong seluruh perhatian keluarga besarnya. Bahkan, setiap ada acara kumpul keluarga, Arimbi akan menjadi primadona. Dimulai dari selalu menjadi juara kelas, pandai mengaji, berakhlak baik, sopan kepada orang tua, dan rentetan pujian positif lainnya. Telinga Nina kerap sakit kala mendengar segala puja dan puji yang ditujukan pada Arimbi di waktu itu.Bukan itu saja, setiap kali dirinya membuat kesalahan, maka kedua orang tuanya akan membandingkannya dengan Arimbi. Arimbi itu begini, Arimbi itu begitu. Kepala Nina seakan berasap mendengar nama Arimbi yang terus dijejalkan dalam benaknya! Sejak saat itu, Nina memendam dendam kesumat kepada Arimbi. Cita-citanya hanya satu. Yaitu suatu hari kelak, ia akan membuat Arimbi menangis darah karena kalah padanya.
Ketika Arimbi kemudian berpacaran dengan Seno Caturranga, seorang pengusaha otomotif yang sukses tiga tahun lalu, Nina sudah mengincar pria itu. Meski Seno tidak pernah mengindahkan perhatiannya, Nina tidak pernah patah semangat. Ia terus berusaha, hingga dua bulan lalu ia berhasil menjebak Seno. Alhasil, ia hamil dan meminta Seno untuk bertanggung jawab. Ia pun telah menikah secara sah dengan Seno dua hari yang lalu. Padahal, Nina tahu bahwa seminggu lagi pernikahan Arimbi dan Seno akan dilangsungkan.Dan memang itulah rencananya: mempermalukan Arimbi dan keluarganya!
Sebenarnya, Seno melarangnya untuk memberitahukan masalah ini kepada keluarga Arimbi. Rencananya, nanti malam keluarga besar Seno akan menjelaskannya sendiri kepada mereka semua. Namun, Nina tidak mau kalah set. Ia sengaja terlebih dahulu memberitahukannya kepada Arimbi karena ia punya perjanjian hitam di atas putih dengan Seno.
Nina ingin lebih dulu meracuni pikiran Arimbi. Dengan begitu, apapun alasan yang akan diberikan oleh Seno nantinya, tidak akan lagi masuk ke dalam benak Arimbi. Nina yakin setelah ia membeberkan tentang kehamilannya ini, maka semua orang pasti akan menghina Arimbi jika tetap melanjutkan pernikahan mereka.
"Mbak minta maaf ya, Rimbi? Tapi, nasi telah menjadi bubur. Mbak dan Seno sebenarnya sudah lama saling mencintai. Hanya saja, Seno tidak tega untuk mengatakannya pada kamu. Mengenai pernikahan kalian, sebenarnya Seno tidak menginginkannya. Kedua orang tuanya lah yang mendesak."
Belum sempat dia memproses segalanya, Arimbi kembali tertegun mendengar penjelasan sepupunya.
Melihat keterdiaman Arimbi, Nina semakin bahagia. Wanita kejam itu pun lanjut berkata, "Seno ingin menolak, tetapi ia tidak mempunyai alasan untuk itu. Sayangnya, Seno juga bilang bahwa ia tidak bisa meninggalkan saya. Makanya Seno, maaf, menghamili Mbak. Kata Seno, dengan begitu, dia mempunyai alasan untuk membatalkan pernikahan ini."
Nina kini mengakhiri ceritanya dengan derai air mata. Hanya saja, kedua bola matanya memancarkan kepuasan.
"Katakan sesuatu, Rimbi. Jangan diam saja. Om dan Tante juga. Kalian semua boleh memaki bahkan memukul Mbak. Mbak memang bukan orang baik. Mbak hanya seorang perempuan yang sedang jatuh cinta."Akting Nina dikeluarkan semaksimal mungkin. Ia tidak ingin terlihat terlalu jahat. Ia masih ingin menjaga martabatnya. Bagaimanapun mereka berdua adalah saudara sepupu. Ibu Arimbi adalah adik kandung ayahnya.
"Sudah berapa lama Mbak Nina dan Mas Seno bermain di belakang, Rimbi?" tanya Arimbi akhirnya meski pelan.
Ia mati-matian menahan diri untuk tidak mencakar dan meneriaki Nina. Arimbi tidak buta. Ia bisa melihat betapa Nina sangat bahagia mengabarkan tentang pernikahannya dan Seno. Air matanya tidak sesuai dengan air mukanya.
Namun, Arimbi harus berpikir bijak. Nina tidak akan hamil kalau Seno tidak menggaulinya. Artinya ... bukan hanya Nina yang salah. Namun, Seno juga. Seno tega menghianatinya.
"Setahun belakangan ini, Rim." Nina kembali berbohong. Kalau berakting itu harus all out dan dramatis bukan? Setengah-setengah itu feelnya kurang.
"Baik. Sekarang Rimbi tanya, maksud Mbak ke sini untuk apa?" imbuh Arimbi datar. Walau hatinya hancur, ia tetap harus menjaga harga dirinya. Ia tidak ingin Nina semakin besar kepala menyaksikan kehancurannya.
"Untuk mencegah kamu menikah dengan Seno tentu saja. Karena bagaimanapun hubungan Mbak dengan Seno, saat ini Mbak adalah istri sah Seno. Sedang hamil pula. Mbak tahu kalau Mbak salah. Tapi, semuanya sudah terjadi bukan? Mbak harap kamu mengerti. Selain itu Mbak ingin kamu mengetahui masalah ini terlebih dahulu dari Mbak sendiri, daripada kamu mendengarnya dari orang lain."
"Baik. Mbak Nina tidak usah khawatir. Rimbi pastikan bahwa Rimbi tidak akan melanjutkan pernikahan ini. Rimbi tidak sudi menikahi seorang penghianat. Karena sejatinya seorang penghianat itu mendapatkan seorang penghianat juga."
Mata Nina seketika membara. Dia merasa Arimbi ini sungguh kurang ajar. Sudah kalah, namun masih saja menyindirnya.
"Rimbi berpatokan pada ayat yang mengatakan bahwa wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji. Dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji pula. Serta wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik pula," tambah Arimbi dengan tenang.
"Keji-keji begitu, tapi masih bisa membuatmu menangis, bukan?" dengus Nina sinis. Ia tidak tahan terlalu lama menjadi orang yang tertindas. Bukan kepribadiannya sama sekali.
"Bagaimana rasanya dicampakkan? Darah serasa turun semua atau hati seperti diremas-remas? Yang mana paling mendekati, Rimbi?" ejek Nina lagi.
"Cukup, Nina! Sekarang sebaiknya kamu pulang. Tante sama sekali tidak mengira kalau kamu sedemikian kejinya."
Bu Ambar sama sekali tidak menyangka kalau keponakannya sekeji ini. Menilik ucapan-ucapannya yang penuh provokasi kepada Arimbi, sepertinya masalah ini sudah diniatkan oleh Nina. Nina memang sengaja ingin menghancurkan Arimbi!
"Tenang, Tante. Saya memang sudah mau pulang, kok. Apa yang ingin saya katakan, sudah saya sampaikan. Harapan saya, semoga Rimbi tetap memegang teguh ucapannya. Ingat, jangan memimpikan menikahi suami orang ya, Rimbi?" Nina meraih tas tangannya dengan gaya mengejek. Arimbi menahan rasa geramnya dengan mengepalkannya erat-erat. Nina sungguh keterlaluan.
"Satu patah lagi kalimat ejekan kamu lontarkan pada Rimbi, saya akan mengusir keluargamu dari rumah saya yang kalian tempati."
Pak Handoyo yang sedari pertama Nina datang, mencoba menahan diri--tidak tahan lagi. Entah terbuat dari apa hati Nina ini. Tiada sedikit pun penyesalan atau rasa malu pada air mukanya.
"Baik. Saya pulang sekarang. Saya harap Om bisa bersikap bijak. Masalah kita, adalah masalah kita. Jangan membawa-bawa keluarga saya."
Nina buru-buru meralat kalimatnya. Ia tidak mau kalau keluarganya kesulitan gara-gara dirinya. Sejurus kemudian Nina pun berlalu. Meninggalkan Arimbi serta om dan tantenya yang terpekur bingung. Rasakan kalian semua!
***
Suasana ruang tamu sangat hening. Hanya detak jam di dinding yang terdengar. Seno berulangkali mengucapkan kata maaf. Sementara Bu Santi dan Pak Hasto terus meremas-remas jari jemari mereka gugup. Rasa malu berbalut kesal membuat keduanya kehilangan alasan untuk berbicara. Seno memang keterlaluan.
Sementara Ganesha Caturrangga, kakak Seno mengamati air muka Arimbi yang datar. Tidak terlihat emosi apapun di sana. Dalam hati, Ganesha memuji Arimbi. Untuk ukuran perempuan yang ditinggal menikah tepat seminggu menjelang pernikahannya sendiri, kontrol diri Arimbi juara. Perempuan lain mungkin akan mengamuk, menangis histeris atau minimal menampar Seno, seperti yang tadi ditawarkan Seno pada Arimbi. Dan hebatnya Arimbi hanya diam.
"Seperti yang saya katakan tadi, Nina menjebak saya. Ia membubuhi obat perangsang dalam minuman saya, saat saya bertemu dengannya ke club. Nina bilang ia berulang tahun dan meminta saya datang."
Seno kembali mengulangi ceritanya. Apa yang ia katakan memang kenyataan yang sebenarnya. Nina memintanya datang ke acara ulang tahunnya di salah satu club. Nina juga mengatakan kalau Arimbi ada di sana. Makanya, ia pun datang tanpa mencurigai apapun. Ketika sampai di club dan ternyata hanya ada Nina seorang, ia bermaksud balik ke rumah. Namun, Nina memohon untuk menemaninya sebentar. Nina beralasan minumannya juga sudah dipesan.
Seno terpaksa menuruti karena Nina adalah sepupu Arimbi. Ia pikir setelah minum ia akan pulang. Tak disangka tak dinyana, ia malah pusing setelah minum minuman yang dipesan oleh Nina. Selanjutnya ia tidak ingat apa-apa lagi. Bangun-bangun ia sudah ada di hotel dalam keadaan polos di samping Nina yang juga polos. Nasi telah menjadi bubur.
Nina pun mengabarkan kalau ia hamil dan meminta pertanggungjawaban. Seno tentu saja tidak bersedia menikahi Nina, karena kurang dari sepuluh hari lagi ia akan menikah dengan Arimbi. Kekasihnya yang amat sangat dicintainya. Tapi, Nina mengamuk dan mengancam akan melaporkannya kepada pihak yang berwajib. Dalam kepanikan, Seno pun tidak bisa berpikir panjang dan menikahi sepupu Arimbi itu di rumah keluarga Sujatmiko, keluarga Nina. Ayah Nina sendiri yang menikahkan Nina. Sementara saksi-saksinya adalah kerabat Nina juga.
Namun, sebelum mereka menikah, Seno telah membuat perjanjian hitam di atas putih dengan pihak keluarga Nina. Bahwa setelah melahirkan, akan dilakukan test DNA pada bayi Nina. Karena ia tidak mengingat bahwa ia pernah menggauli Nina. Dan apabila bayi tersebut bukan berasal dari benihnya, maka ia akan menceraikan Nina. Setelah Nina sendiri dan pihak keluarga Nina menyetujui, barulah Seno bersedia melaksanakan pernikahan.
"Mas mohon, kamu bersabar sampai Nina melahirkan, ya? Seperti yang Mas katakan tadi, kalau anak tersebut terbukti bukan anak Mas, Mas akan menceraikan Nina. Dan kita bisa kembali menikah," ucap Seno lirih.
"Apa Mas tidak malu berbicara seperti ini pada Rimbi?" Arimbi tidak habis pikir dengan dangkalnya pemikiran Seno.
"Mas anggap apa lembaga perkawinan, sampai bisa Mas atur-atur seperti itu?" Arimbi membentak Seno.
"Mari Rimbi jelaskan satu persatu rencana hebat Mas ini. Saya Mas minta menunggu sampai anak itu lahir, demi test DNA. Mas pernah berpikir tidak, Bagaimana jika anak tersebut memang benar-benar darah daging Mas? Bagaimana nasib saya yang sudah menunggu selama berbulan-bulan untuk kemudian kembali kecewa? Mas membuat saya ini seperti lotere? Benar tidak, Mas?" tandas Arimbi pedas.
Seno tidak bisa berbicara. Begitu juga Pak Hasto dan Bu Santi. Mereka semua kehilangan kata-kata. Mereka semua sadar, pada ujung-ujungnya Arimbi lah yang akan dikorbankan. Baik sekarang atau pun ke depannya.
"Satu hal lagi ya, Mas. Rimbi tidak sudi memegang janji suami orang. Apalagi mengharap pernikahan perempuan lain gagal, hanya karena Rimbi mengidamkan suaminya. Maaf, Rimbi tidak sepicik itu. Pulanglah Mas Seno. Kita batalkan saja pernikahan kita."
Arimbi memberikan keputusannya. Walau dadanya sesak oleh kemarahan yang ingin sekali ia teriakkan, namun Arimbi sekuat tenaga mempertahankan martabatnya. Memukuli Seno sampai mati, ataupun menangis hingga mengeluarkan air mata darah, tidak akan bisa mengubah keadaan. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Ia sudah dihancurkan. Untuk itu ia tidak akan menghancurkan dirinya sendiri kembali, dengan bersikap seperti seorang seorang pecundang kalah perang.
"Tidak bisa! Enak sekali kamu membiarkan mereka melepas tanggung jawab begitu saja!" Pak Handoyo mengamuk. Sedari tadi ia diam saja, karena ingin membiarkan putrinya berbicara. Ia biarkan putrinya memuntahkan perasaannya dulu. Dan kini adalah gilirannya.
"Ayah memang tidak menginginkan suami orang tidak punya iman ini menjadi menantu Ayah. Apalagi menjadikan kamu lotere bagi laki-laki kardus ini. Tapi Ayah juga tidak mau malu. Undangan sudah kita sebar. Semua orang sudah tahu kalau kamu akan menikah. Mereka harus bertanggung jawab!" Handoyo berdiri dari sofa dan menunjuk-nunjuk Seno dan keluarga penuh amarah.
"Tentu saja kami akan bertanggung jawab Pak Handoyo." Pak Hasto Caturranga pun bersuara.
"Sebelum ke sini kami sudah mempersiapkan satu rencana. Putra tertua kami, Ganesha Caturranga lah yang akan menggantikan Seno untuk menikahi Arimbi. Bagaimana Pak Handoyo? Apakah Bapak setuju?"
"Tunggu dulu! Mengapa Mas Esha yang jadi menggantikanku? Sebelum berangkat tadi, Ayah dan Ibu tidak bilang apa-apa bukan?" Seno panik. Ia tidak rela kalau Arimbi akan dimiliki oleh laki-laki lain. Apalagi oleh kakaknya sendiri. Karena dengan begitu di masa yang akan datang, ia akan kerap berintraksi dengan Arimbi. Namun bukan sebagai pasangan kekasih. Tetapi kakak iparnya. Dan Seno tidak menginginkan hal itu sampai terjadi. Selain itu, apabila Arimbi menjadi kakak iparnya, akan sulit baginya untuk meraih kembali Arimbi dalam dekapan. Karena seandainya ia bercerai dengan Nina pun, tidak mungkin juga dirinya menjadi pebinor kakak kandungnya sendiri. Ia pasti akan dihujat oleh keluarga besarnya. Lain cerita kalau Arimbi menikahi laki-laki lain. Kesempatan untuk mendapatkan Arimbi kembali masih terbuka lebar. "Lantas, apa kamu punya solusi lain, Seno? Punya tidak?!" Bentakan Pak Hasto membuat Seno kehilangan kata-kata. Ia memang telah melakukan kesalahan. Namun yang lebih salah adal
Arimbi melirik Ganesha yang tengah menyetir di sampingnya. Saat ini mereka berdua akan melakukan fitting terakhir pakaian pengantin. Arimbi sama sekali tidak menduga, kalau pada fitting terakhirnya akan ia lakukan bersama Ganesha setelah dua kali sebelumnya bersama Seno. Tapi seperti inilah kenyataan. Semua hal bisa kita rencanakan. Namun hasil akhirnya, tetap menjadi rahasia Allah. Laju mobil berbelok ke kanan. Jalan yang diambil Ganesha memang benar. Mereka akan ke butik di mana dirinya dan Seno memesan pakaian. Ya, dalam pernikahannya dengan Ganesha tiga hari lagi, dirinya memang tetap akan mengenakan pakaian pengantin seperti yang ia dan Seno pilih tiga bulan yang lalu. Hanya saja mempelai prianya beda. Tiga puluh menit telah berlalu sejak mereka berkendara. Namun tidak sepatah pun kata keluar dari bibir mereka berdua. Ganesha menyetir dengan mulut terkatup rapat dengan pandangan lurus ke depan. Ganesha bersikap seolah-olah tidak ada penumpang di dalam mobilnya. Arimbi m
"Mas Esha sudah datang. Sebentar saya akan mengambilkan jas pesanan Mas Esha. Pak Tian keluar sebentar. Tapi beliau sudah menyelesaikan semua pesanan Mas Esha. Tunggu sebentar ya, Mas?" Tiwi, salah seorang staff Swan Boutique and Bridal, milik Sebastian Reynaldi, sang perancang busana, sekaligus pemilik butik, menyambut Ganesha dan Arimbi hangat. Tiwi adalah asisten senior butik yang biasanya melayani Arimbi dan Seno. Arimbi tersenyum kecil. Ia malu karena datang ke butik bersama laki-laki yang berbeda. Ketika ia masuk ke dalam butik bersama Ganesha saja, beberapa orang staf tampak berbisik-bisik lirih. Arimbi yakin mereka pasti membicarakannya. Wajar, mengingat bahwa biasanya ia mendatangi butik bersama dengan Seno. Arimbi duduk diam di sudut butik. Sementara Ganesha melihat-lihat beberapa kebaya-kebaya kontemporer rancangan Sebastian Reynaldy yang dikenakan pada manekin. Ganesha memesan jas yang lain rupanya. Bukan jas yang sedianya akan dikenakan oleh Seno. Sejurus kemudian
Arimbi terdiam sejenak. Ia menata emosinya dulu, baru bertindak. Melihat gaun pengantin berkerah sabrina yang dipegang oleh Icha di belakang Nina, satu pengertian memasuki benak Arimbi. Seno dan Nina akan menggelar resepsi juga rupanya. Dan gaun yang dipegang oleh Icha itu adalah gaun pengantin untuk resepsinya bersama Seno. Rupanya Nina akan mengenakan gaunnya.'Tenangkan dirimu, Rimbi. Bersikaplah anggun dan penuh harga diri. Jangan membuat ular beludak ini tertawa karena melihat keterpurukanmu,' batin Rimbi."Iya, Mbak. Ini Mas Esha memesan kebaya spesial untuk saya kenakan saat akad nanti. Bagus tidak, Mbak?" Arimbi dengan sengaja memutar tubuhnya sekali. Memperlihatkan siluet tubuh rampingnya yang anggun dengan kebaya putih gadingnya."Ya, lumayanlah. Untuk ukuran calon mempelai pengganti, si Esha cukup royal juga. Asal jangan nanti setelah nikah kamu dicerai ya?"Tiwi terbatuk. Sementara Icha berdiri serba salah. Mereka berdua merasa kasihan pada Arimbi yang diserang oleh peremp
Kini resepsi telah usai. Saat ini, Arimbi telah berada di room 214 Hotel Adiwangsa. Ia terduduk kelelahan di sudut ranjang indah yang ditaburi dengan serpihan bunga berwarna merah. Arimbi memandang sekeliling ruangan takjub. Kamar pengantinnya ini didekorasi dengan sangat apik. Selain serpihan bunga bentuk hati, ada sepasang angsa yang terbuat dari handuk di tengah-tengah ranjang. Kepala kedua angsa tersebut didekorasi saling bertemu dan membentuk gambar hati. Ada beberapa kuntum bunga mawar lagi di samping hiasan kedua angsa yang tengah kasmaran tersebut. Pandangan Arimbi berpindah ke meja rias. Terlihat beberapa lilin aromaterapi dalam wadah-wadah yang klasik dan cantik. Pantulan lilin panjang berulir membuat suasana semakin romantis dengan kilaunya yang keemasan. Dekorasi kamar honeymoonnya ini memang sangat indah. "Hufft...." Arimbi mengela napas kasar. Dirinya duduk sendirian di sini, sementara Ganesha masih berada di luar. Arimbi tidak tahu apa yang dilakukan Ganesha di luar
Napas Arimbi tersangkut-sangkut saat wajah Ganesha kian dekat dengannya. Arimbi memejamkan mata. Ia tidak kuasa menatap manik hitam Ganesha. "Kemarikan ponselmu. Yang meneleponmu terus-terusan itu Seno bukan? Heh, saya berbicara padamu. Ngapain kamu merem-merem seperti itu?" Sebuah sentilan mengenai keningnya. Alhamdullilah! Walau bersyukur, Arimbi tengsin. Ia malu sekali karena mengira akan dimacam-macami oleh Ganesha. Kesal, Arimbi menjitak keningnya sendiri. Bikin malu saja. Demi mendinginkan wajahnya yang memanas, Arimbi kembali masuk ke dalam kamar mandi. Sebaiknya ia mencuci muka, agar wajahnya tidak berwarna seperti tomat masak begini. Ia tidak peduli Ganesha akan berbicara apa pada Seno, terkait chat dan photo yang Seno kirimkan. Biar saja. Toh mereka berdua kakak adik. Ia tidak mau ikut campur. Yang penting ia sudah menaati perintah Ganesha. Bahwa setiap kali Seno menelepon, ia harus memberikan ponsel padanya. Samar-samar Arimbi mendengar kalau Ganesha memperingati Seno
"Bukan, Mas!" Arimbi membantah cepat meski matanya sudah membola. Salah lagi. Mungkin inilah yang membuat kaumnya emoh berdekatan dengan Ganesha? Mulut Ganesha ini sungguh berbisa. Selalu tembak langsung tanpa filter. "Kalau bukan, lalu apa? Hidup itu dibuat simple saja, Rimbi. Kalian kaum perempuan sangat suka membuat asumsi sendiri. Berpikir berlebihan jangan-jangan begini atau kalau-kalau begitu. Kalian kerap overthinking. Padahal semua itu tidak berguna. Kamu hanya menghabiskan waktu tanpa solusi." Ganesha meraih satu handuk lagi untuk mengeringkan rambutnya. Air masih menetes di ujung-ujung rambutnya. "Jadi harusnya bagaimana Mas Ganesha Teguh? Eh maaf, tidak sengaja." Arimbi meringis. Inilah penyakitnya yang sulit ia hilangkan. Ia acapkali menyuarakan apa yang ada di kepalanya. Kalau menurut istilah ibunya, mulutnya lebih dahulu bersuara sebelum otaknya memerintahkan sebaliknya. Kalimat sarkasnya dihadiahi lirikan dingin Ganesha melalui sudut matanya. "Kamu tidak perlu mi
"Saya jelaskan sekali lagi. Kita akan memberi kesan kalau kita akan pindah ke rumah baru hari ini. Untuk itu kita akan berpamitan dulu kepada kedua orang tua saya," terang Ganesha."Padahal?" sela Arimbi tidak sabar. Kata kesannya itu mencurigakan. Saat ini mereka tengah bersiap-siap check out dari hotel. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang kurang dua puluh menit.Dan Ganesha bilang mereka akan berbicara untuk mufakat dulu. Agar jawaban mereka nanti kompak saat diinterogasi oleh kedua orang tuanya."Padahal cuma kamu yang pindah. Saya akan tetap tinggal di apartemen seperti biasa. Pengaturan ini kita buat sebagai konsekuensi dari perjanjian kita sebelumnya. Yaitu ; kita tidak akan mencampuri urusan pribadi masing-masing. Paham?"Ganesha menerangkan maksudnya sekali lagi. Ia tidak ingin Arimbi nanti salah berbicara di hadapan kedua orang tuanya. Bisa panjang nanti urusannya. Makanya ia membriefing istri pura-puranya ini terlebih dahulu."Begitu ya? Lantas kalau nanti ketahuan