"Saya jelaskan sekali lagi. Kita akan memberi kesan kalau kita akan pindah ke rumah baru hari ini. Untuk itu kita akan berpamitan dulu kepada kedua orang tua saya," terang Ganesha.
"Padahal?" sela Arimbi tidak sabar. Kata kesannya itu mencurigakan. Saat ini mereka tengah bersiap-siap check out dari hotel. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang kurang dua puluh menit.
Dan Ganesha bilang mereka akan berbicara untuk mufakat dulu. Agar jawaban mereka nanti kompak saat diinterogasi oleh kedua orang tuanya.
"Padahal cuma kamu yang pindah. Saya akan tetap tinggal di apartemen seperti biasa. Pengaturan ini kita buat sebagai konsekuensi dari perjanjian kita sebelumnya. Yaitu ; kita tidak akan mencampuri urusan pribadi masing-masing. Paham?"
Ganesha menerangkan maksudnya sekali lagi. Ia tidak ingin Arimbi nanti salah berbicara di hadapan kedua orang tuanya. Bisa panjang nanti urusannya. Makanya ia membriefing istri pura-puranya ini terlebih dahulu.
"Begitu ya? Lantas kalau nanti ketahuan bagaimana?" Arimbi bingung. Dirinya tidak masalah kalau ia harus tinggal sendiri. Jauh lebih enak malahan. Ia juga bebas merdeka melakukan apapun sendirian. Masalahnya ia takut ketahuan. Bisa kacau nanti nasib pernikahannya. Ujung-ujungnya ia akan kembali ditertawai oleh Seno dan Nina.
"Tidak akan ketahuan kalau kita merencanakan semuanya dengan teliti." Ganesha menggeleng.
"Baik. Sekarang katakan bagaimana cara kita merencanakannya dengan teliti tersebut?" Arimbi mengulangi kata-kata Seno. Bicara memang gampang. Prakteknya ini yang terkadang tidak sesuai dengan SOP.
"Makanya dengar dulu kalau orang berbicara. Kamu ini seperti sopir angkot saja. Langsung main potong tanpa aba-aba."
Sabar ya, hati? Kita kan baru juga sehari jadi istri. Nanti mudah emosi. Arimbi memanjangkan sabarnya.
"Begini, saya akan rutin mengunjungi rumahmu satu atau dua kali dalam seminggu. Demikian juga sebaliknya. Kamu akan mengunjungi apartemen saya sesekali dalam sepekan juga."
Lah, jadi seperti orang pacaran dong? Ketemunya sesekali saja?
"Nah, selama saya di rumahmu atau kamu ke apartemen saya, kita akan memotret kegiatan kita berdua, dan mengunggahnya ke media sosial kita bersama pula."
Wuidih, membuat akun official suami istri lagi. Ganesha tidak mau berakting seperti aktor sinetron. Tapi malah menyusun strategi ala drama Korea begini. Sami mawon podo wae namanya bukan?
Tuk!
"Aduh!" Arimbi refleks mengelus keningnya ketika
Sebuah selentikan singgah di sana. Sialan, Ganesha menyelentik jidatnya."Kamu ini bukannya mendengarkan rencana saya, malah planga plongo sedari tadi. Fokus, Rimbi. Fokus."
"Maaf, Mas. Lanjutkan." Arimbi mengibaskan kepala. Ia juga memperbaiki sikap tubuhnya. Dari yang tadinya duduk santai di sofa, menjadi lebih serius dengan punggung tegak.
Fokus, Rimbi. Fokus.
"Dengan begitu orang-orang akan tahu bahwa kita mempunyai kegiatan di dua tempat tersebut. Jadi jikalau suatu saat ada orang yang memergoki kita ada di tempat yang berbeda, tidak akan aneh lagi. Karena mereka sudah tahu bahwa kita sering beraktivitas di dua tempat itu. Bahkan mereka juga tidak akan sadar kalau kita berpisah tempat tinggal. Masalah selesai. Gampang bukan?" Ganesha melemparkan tangannya ke udara.
"Ngomong sih gampang." Arimbi ngedumel.
"Eh maaf, Mas. Saya--"
"Tidak usah minta maaf. Karena kita berdua tahu kalau kamu sengaja. Saya ingatkan kamu sekali lagi. Hati-hati dengan pikiranmu. Karena apa yang ada di dalam pikiranmu akan tercetus tanpa kamu sadari."
Ketahuan juga. Ya sudahlah. Mau bagaimana lagi?
"Saya ingatkan satu hal. Hentikan kebiasaanmu menggerutu. Kalau kamu tidak suka akan sesuatu, katakan. Kamu punya mulut bukan?"
Pantas saja Menik minta putus dulu. Punya pacar mirip dengan Jaksa Penuntut Umum seperti ini apa enaknya?
Tuk!
Sialan, Ganesha menyelentik dahinya lagi.
"Ini juga. Hentikan kebiasaan menghibahi orang dalam hati. Tuman."
"Iya, Mas. Nanti dikondisikan." Arimbi mengangguk takzim. Kali ini Ganesha benar. Ia harus mengubah kebiasaan jeleknya ini. Ia memang acapkali ngedumel dalam hati, apabila ia tidak puas akan sesuatu tetapi ia tidak berani mengatakannya.
"Oke. Jadi sekarang kita siap-siap ke rumah orang tua Mas ya?" Arimbi beranjak dari sofa. Ia akan memeriksa seantero kamar terlebih dahulu. Ia takut kalau ada barang-barang yang tertinggal di dalam hotel. Ia memang kerap mengecek dua kali setiap kali ia akan meninggalkan hotel atau di mana pun tempat ia menginap. Dengan begitu ia baru bisa check out dengan tenang.
"Orang tua saya juga orang tua kamu sekarang, Rimbi. Kamu lupa kalau kita sudah menikah?"
Ya Allah. Salah lagi... salah lagi. Astaga, ia ngedumel lagi. Padahal tadi ia baru saja berjanji pada diri sendiri, kalau ia akan berubah.
"Kita bersiap-siap ke rumah orang tua kita ya, Mas?" Arimbi mengeja kalimatnya pelan-pelan. Ia takut salah omong lagi.
"Iya. Kita akan ke sana. Tapi sebelumnya kita akan mendiskusikan beberapa hal dulu."
Tadi membicarakan beberapa hal. Dan sekarang mendiskusikan beberapa hal. Berarti yang akan dibicarakan ini lebih serius sifatnya bukan?
"Iya, Mas. Bilang saja. Saya akan mendengarkan baik-baik." Arimbi berusaha memfokuskan diri dengan menatap Ganesha lurus-lurus. Kebetulan saat ini Ganesha juga tengah menatapnya dalam-dalam. Akibatnya tatapan mereka berdua bertabrakan di udara. Arimbi yang tidak nyaman ditatapi dengan tajam, mengalihkan pandangannya. Ia jadi merasa seperti anak sekolah lagi, dan tengah menghadapi guru BK yang galak. Ia jiper.
Ganesha mendecakkan lidah. Arimbi ini selalu saja tegang apabila berhadapan dengannya, tidak ada cocok-cocoknya menjadi istrinya bukan?
"Oke. Sekarang kita blak-blakan saja. Kamu ingin bekerja di bagian apa dan di mana? Yang pasti tidak di kantor pusat, di mana saya berkantor di sana. Walaupun saya adalah pemilik perusahaan, tetapi peraturan tetaplah peraturan. Di mana salah satu bunyinya adalah, suami istri tidak boleh satu kantor."
Arimbi melongo. Ini Ganesha ngelindur atau bagaimana? Mengapa pembicaraan pribadi tiba-tiba berubah menjadi urusan kantor? Padahal kantor mereka jelas berbeda. Ganesha adalah pemilik perusahaan otomotif PT Caturangga Sarana Indomobil, dengan anak cabang yang tersebar di beberapa provinsi. Sementara dirinya adalah anak owner waralaba beberapa minimarket yang dikelola oleh ayahnya. Jenis pekerjaan mereka berbeda, dan tentu saja kantor mereka berbeda bukan? Arimbi bingung.
"Tapi kamu tidak usah khawatir. Saya dan ayah telah memutuskan akan menempatkanmu di dua kantor cabang. Yaitu cabang Gatot Subroto dan cabang MT Haryono. Karena kami menilai dua daerah itu lokasinya lebih dekat dengan rumah yang akan kamu tinggali nanti. Nah kamu mau ditempatkan di kantor cabang mana?"
Arimbi makin bingung. Ganesha membicarakan apa ini? Memintanya memilih kantor dan jabatan? Perasaan sebelumnya mereka tidak pernah membicarakan masalah pindah kantor? Lagi pula, kalau ia pindah kantor, siapa yang akan membantu ayahnya mengurus bisnis waralaba ayahnya yang lumayan banyak. Ayahnya sudah tua. Tidak seteliti dan sesehat dulu lagi.
"Tunggu... tunggu... Mas Esha ngomong apa sih? Meminta saya memilih jabatan dan kantor? Memangnya siapa yang pindah kantor, Mas? Saya tetap harus membantu ayah saya di mini market. Saya tidak mungkin meninggalkan ayah saya bekerja sendiri." Arimbi mencoba memberi pengertian kepada Ganesha.
Ganesha mengerutkan keningnya. "Sekarang, jadi saya yang bingung. Setelah menikah, bukannya kamu ingin bekerja pada perusahaan suamimu? Entah itu suamimu Seno atau saya. Koreksi kalau saya salah."
Akhirnya, pria itu memutuskan akan mengorek keterangan sedetail mungkin."Siapa yang bilang begitu? Saya tidak pernah ingin bekerja di perusahaan suami. Entah suami saya itu Seno atau Mas Esha. Berpikir ke arah sana pun saya tidak pernah, Mas."
Ganesha menyadari kebingungan Arimbi. Seketika, tatapan pria itu semakin tajam.
"Benar kamu tidak pernah bilang kalau kamu ingin bekerja di perusahaan Caturranga setelah kamu menikah? Ingin mendapatkan saham sekian persen sebagai seorang Nyonya Caturrangga dan menjadi wania karir?"
'Padahal kamu sudah mengucapkannya tiga tahun lalu. Lantas kembali mengucapkannya tidak kurang dari dua minggu yang lalu,' batin Ganesha."Astaga, tidak, Mas. Mana mungkin saya setidaktahu diri itu meminta bagian saham?" cicit Arimbi ngeri. "Coba ingat-ingat lagi. Tiga tahun yang lalu, atau dua minggu yang lalu mungkin?" Ganesha mencoba memberi kata kunci.Tiga tahun yang lalu? Sudah lama sekali. Ia tidak ingat tentu saja. Kalau dua minggu yang lalu? Arimbi mencoba mengingat-ingat. Dua minggu lalu, itu artinya ia masih bersama dengan Seno. Perasaan ia tidak mengatakan apapun pada Seno."Sumpah demi apapun, saya bukan orang yang seperti itu, Mas. Lagi pula untuk apa saya meminta saham, jabatan, ini itu. Bukannya saya sombong. Tapi harta benda kedua orang tua saya sudah lebih dari cukup, Mas. Saya tidak butuh yang lain lagi." Arimbi semakin ngeri.Ganesha mendecakkan lidah. Ternyata ia salah menebak kepribadian Arimbi. Selama tiga tahun menjadi kekasih Seno, ia mengira Arimbi adalah so
"Aku menyindir?" Ganesha menunjuk dadanya sendiri dengan sendok masih di tangan. Bahasa tubuhnya tetap cuek, tak terganggu. "Aku hanya mengatakan kebenaran di depan matamu. Aku bukan tipe orang yang suka menyindir-nyindir. Lagipula, kamu ini aneh. Kamu sendiri yang mengoceh-ngoceh. Giliran diberi tanggapan, malah kamu yang ngamuk-ngamuk. Kamu waras kan?" "Sudah Seno, jangan membuat keributan. Selesaikan makanmu dan segera kembali ke kantor. Kamu makan siang di sini karena ingin makan rendang buatan Ibu bukan?" Bu Santi dengan sigap menengahi pertikaian di antara kedua putranya. Seno dan Ganesha memang seperti ini adanya sedari keduanya remaja. Seperti anjing dan kucing. Tidak pernah akur satu sama lain. Seno kerap membuat masalah, dan Ganesha lah yang menyelesaikannya. "Ibu selalu begini. Membela Mas Esha terus." Seno makin sewot. Dia khawatir Arimbi makin tidak respek padanya karena terus dimarahi seperti seorang anak kecil. "Oh, jadi kamu berharap dibela oleh Ibu? Minta perlin
Laju mobil melambat ketika Ganesha berbelok ke arah perumahan Griya Riatur Residence. Ternyata rumah masa depan Ganesha dan Nelly dulu ada di perumahan mewah ini. Arimbi menarik napas lega. Karena dengan begitu jarak antara rumah dan tempat kerjanya menjadi lebih dekat. Ayahnya memang baru membuka minimarket wiralabanya di daerah ini. Dan kebetulan dirinyalah yang mengurus minimarket baru ini. Sania, kasir minimarket sedang cuti karena baru melahirkan. Dan selama Sania cuti, dirinyalah yang menggantikan tugas Sania menjadi kasir minimarket. Arimbi sudah menjalani tugas barunya ini selama dua minggu. Ganesha membunyikan klakson dua kali kepada Satpam yang berjaga di pos depan perumahan. Salah seorang dari Satpam yang tengah berjaga, mengangkat tangan dan mempersilakan Ganesha melanjutkan perjalanan. Mobil pun kembali melaju dan berangsur melambat ketika mereka tiba di jalan Kemuning nomor sembilan belas. Ganesha menghentikan kendaraan. Namun ia tidak mematikan mesin mobil di depan r
Ruang tamunya terkesan elegan dan klasik dengan sentuhan material kayu dan warna dominan coklat tua serta krem. Lantai terlihat asri dengan serat-serat kayu yang disusun sesuai alurnya. Bagian plafonnya perpaduan antara kayu jati dan juga gipsum berwarna putih bersih. Ada empat buah jendela-jendela kaca dengan ukuran besar yang menghadap langsung ke taman. Ada juga arena foyer yang mengatur sirkulasi udara dan juga cahaya. Kesan yang Arimbi dapatkan adalah rumah ini memberikan kehangatan dan kenyamanan dibalik kemewahannya."Kamu suka rumahnya?""Gila aja kalau rumah seperti istana begini saya tidak suka." Arimbi membatin."Baguslah kalau kamu suka. Berarti kamu tidak gila." Ganesha ngeloyor masuk ke dapur. Ia haus. Arimbi yang ditinggal melongo. Mengapa Ganesha bisa membaca isi hatinya? Padahal tadi ia hanya membatin saja. Sepertinya mulai hari ini ia harus menghilangkan kebiasaannya membatin. Karena ia menduga Ganesha bisa membaca isi hatinya. Bisa gawat kalau ia mengata-ngatai Ga
Arimbi memeriksa keadaan rumah sekali lagi. Ia mengecek kompor gas, keran air, dan sakelar. Arimbi memastikan tidak ada alat-alat elektronik yang masih menyala kecuali lemari es. Ia juga mengecek setiap jendela. Memastikan kalau semuanya sudah terkunci rapat. Setelah memastikan semuanya dalam keadaan aman, Arimbi pun mengunci pintu.Arimbi kemudian berjalan ke arah garasi. Karena di sana lah ia menyimpan motor matic dan helmnya. Setelah membukan pintu garasi Arimbi mendorong motornya keluar, sekaligus mengunci pintunya. Arimbi memastikan bahwa pintu garasi telah ia kunci dengan baik dengan cara mendorongnya sekali lagi. Bukan apa-apa. Di dalam garasi masih ada satu unit mobil milik Ganesha. Jangan gara-gara keteledorannya, mobil tersebut hilang pula. Amit-amit jabang bayi. Jangan sampai terjadi. Arimbi mengendarai motornya hingga ke pintu gerbang. Setelah mengunci pintu gerbang dan mengemboknya sekaligus, Arimbi pun siap berkendara. Rutinitasnya pagi ini adalah menjadi kasir minimar
"Aku nggak punya pacar, Mas. Punyanya suami," pungkas Arimbi sambil lalu. Terlepas seperti apapun perkawinannya dengan Ganesha, ia memang sudah punya suami bukan?"Udah balance hitung-hitungannya, Mas? Kalau udah, langsung clean transaction aja. Biar aku bisa langsung mulai kerja." Demi menghindari pertanyaan lebih panjang dari Hafid, Arimbi ingin lebih cepat bekerja. Apalagi ia melihat ada dua unit mobil yang biasa menyuplai stok barang telah tiba di depan toko. Itu artinya Hafid akan sibuk mengecek barang yang masuk, serta menyiapkan barang yang akan direturn. Pintu kaca minimarket kembali berayun beberapa kali. Para pembeli lain mulai berdatangan. Kesibukan pagi akan segera dimulai."Udah, kok Rim. Wah, sudah ramai pembeli ya? Sebentar, aku akan mencetak rincian laporan shift yang telah berakhir." Wilman dengan cepat mengklik ikon shift pada menu. Selanjutnya ia mengklik akhiri shift serta print shift. Sejurus kemudian printer pun mencetak detail laporan shift kasir."Oke, Rimbi.
Arimbi memindai jam di pergelangan tangannya. Waktu telah menunjukkan pukul tiga sore kurang lima belas menit. Waktunya untuk mengganti shift dengan Lita. Rekannya sesama kasir perempuan. Lita akan menggantikannya hingga pukul sebelas malam. Di atas jam sebelas malam, kasir laki-lakilah yang akan menggantikannya. Di minimarket ini perempuan memang tidak boleh mendapat shift malam. "Mas Hafid. Shiftku sudah akan berakhir lima belas menit lagi. Aku mau clean transaction nih. Tapi aku mau menghitung jumlah uang di drawer dulu ya? Silakan menjadi saksi, Mas." Arimbi memanggil Hafid untuk mengawasinya menghitung uang di laci mesin hitung. Kebetulan hari ini, Pak Arsyad, sang kepala toko berhalangan hadir karena kurang enak badan. Oleh kareannya Arimbi meminta Hafid sebagai asisten kepala toko untuk mengawasinya menghitung uang demi menghindari selisih angka dengan Lita nantinya."Oke, Rimbi. Lanjutkan saja. Aku akan mengawasimu dari jauh saja."Hafid menjawab dengan air muka dibuat seme
Arimbi terkesima. Setitik debu pun ia tidak menduga kalau orang seanggun dan seeducated Nelly, bisa mengeluarkan tuduhan tanpa dasar seperti itu. Istimewa Nelly juga bukan apa-apanya. Rasanya aneh saja kalau Nelly sampai mengetahui soal penggantian mempelai prianya. "Kamu tidak usah kaget begitu. Mas Esha yang mengatakannya pada saya. Bahwa sebenarnya ia terpaksa menikahimu demi menghindari carut marut keluarga. Dia juga--""Maaf, Mbak. Belanjaan Mbak semuanya sembilan puluh tiga ribu rupiah. Ini aja atau ada tambahan lagi?" Lita segera memotong pembicaraan customer cantik yang sepertinya mengenal Arimbi dengan baik ini. Kalimat-kalimat pribadi sarat hinaan yang dituduhkan sang customer cantik pada Arimbi, membuat Lita gregetan. Tidak sepantasnya orang seintelek customer ini mengeluarkan kata-kata sekasar itu. Makanya Lita langsung saja berinisiatif memotong kenyinyiran sang customer. Ia tidak tega melihat Arimbi yang terdiam karena dikata-katai sekasar itu."Tidak, Mbak. Cukup ini