"Bukan, Mas!" Arimbi membantah cepat meski matanya sudah membola.
Salah lagi. Mungkin inilah yang membuat kaumnya emoh berdekatan dengan Ganesha? Mulut Ganesha ini sungguh berbisa. Selalu tembak langsung tanpa filter.
"Kalau bukan, lalu apa? Hidup itu dibuat simple saja, Rimbi. Kalian kaum perempuan sangat suka membuat asumsi sendiri. Berpikir berlebihan jangan-jangan begini atau kalau-kalau begitu. Kalian kerap overthinking. Padahal semua itu tidak berguna. Kamu hanya menghabiskan waktu tanpa solusi."
Ganesha meraih satu handuk lagi untuk mengeringkan rambutnya. Air masih menetes di ujung-ujung rambutnya.
"Jadi harusnya bagaimana Mas Ganesha Teguh? Eh maaf, tidak sengaja." Arimbi meringis. Inilah penyakitnya yang sulit ia hilangkan. Ia acapkali menyuarakan apa yang ada di kepalanya. Kalau menurut istilah ibunya, mulutnya lebih dahulu bersuara sebelum otaknya memerintahkan sebaliknya.
Kalimat sarkasnya dihadiahi lirikan dingin Ganesha melalui sudut matanya.
"Kamu tidak perlu minta maaf, karena kamu memang sengaja. Artinya kamu memang menggaungkan kata-kata itu dalam benakmu. Makanya kalimat itu keluar secara natural begitu saja."
Seratus buatmu, Mas!
"Menjawab pertanyaanmu tadi, saya akan memberikan satu trik berpikir cerdas."
Merasa rambutnya sudah cukup kering, Ganesha menggantungkan handuk ke kapstok. Ia kemudian menyugar rambut lembabnya dengan kelima jemarinya.
"Begini, Rimbi. Setiap ada masalah yang muncul, biasakan fokus pada solusi. Bukan pada masalah. Kebanyakan perempuan menempatkannya terbalik. Mereka sibuk memikirkan masalah alih-alih mencari solusi."
Sembari berbicara, Ganesha membuka koper kecilnya. Ia mengeluarkan pakaian dalam, kaos oblong dan juga celana pendek.
Selebar wajah Arimbi yang sudah merah, kian menjadi-jadi saat melihat Ganesha mengeluarkan dalamannya yang berwarna coklat muda. Sumpah, Arimbi rikuh berat. Ganesha mengeluarkan perabotannya dengan santai.
"Dalam kasusmu tadi. Kamu rikuh karena malu melihat saya berpakaian bukan? Kalau begitu fokuslah pada solusinya. Berpalinglah ke sisi lain agar kamu tidak perlu melihatnya. Jangan malah membatin, nanti kamu melihat penampakan inilah, itulah yang malah semakin membuatmu senewen. Benar tidak?"
"Seratus buatmu, Mas."
Mampus, ia membunyikan gerutuannya lagi.
"Hati-hati dengan pikiranmu. Karena pikiranmu akan menjadi ucapanmu. Biasakan jangan suka ngedumel."
Ganesha menguap. Ia memang lelah sekali. Dalam lima hari ini ia hanya tidur beberapa jam. Ia harus mengurus masalah kantor dan juga tetek bengek pernikahan. Hari ini setelah semua urusannya usai, ia akan membalas dendam. Ia ingin tidur nyenyak dan bangun lebih siang esok pagi. Kebetulan besok adalah hari Minggu. Jadi ia tidak perlu masuk kantor.
Sebenarnya kedua orang tuanya menyarankannya untuk mengajak Arimbi honeymoon. Namun ia menolak usul itu. Untuk apa ia berhoneymoon ria, padahal pernikahannya hanya terjadi di atas kertas? Selain menyia-nyiakan waktu, ia juga tengah menggarap proyek besar bersama Nelly. Mereka bekerjasama untuk memenangkan tender pembangunan hotel dan condominum dengan perusahaan Jepang. Perusahaan Nelly yang bekerjasama dengan perusahaan besar tersebut menawarkan project besar yang sudah lama ia incar.
Saat Ganesha akan menanggalkan handuk di pinggulnya, Arimbi buru-buru memalingkan wajah dan melompat ke tempat tidur. Demi Tuhan, Arimbi sama sekali tidak menyangka kalau Ganesha benar-benar akan berbugil ria di hadapannya.
Daripada ia kian senewen dan bertingkah yang memalukan, Arimbi segera menyelinap ke dalam bedcover. Taburan kelopak bunga di atas bedcover ia kibaskan begitu saja hingga berjatuhan di lantai. Terkadang Arimbi tidak mengerti dengan konsep interior kamar honeymoon yang ini. Kalau interiornya adalah lampu-lampu romantis atau taburan kelopak bunga di bathup, itu masih bisa dimengerti. Karena setelah berendam, bunga-bunga tersebut tinggal dibuang saja. Tapi kalau di ranjang seperti ini, pasti repot bukan? Kotor juga.
Arimbi mengibaskan kepala. Otaknya ini memang membagongkan. Lihatlah, di saat-saat kritis seperti ini ia malah memikirkan masalah sampah, alih-alih nasibnya.
'Fokus Arimbi, fokus. Tarik napas, buang napas. Tenang.'
Sejurus kemudian Arimbi merasa tempat tidurnya bergoyang. Ada beban di sampingnya, yang membuat ranjang sedikit melesak.
'Heh, apa-apaan ini? Jangan... jangan...'
"Lho, kok Mas Esha tidur di ranjang?" Arimbi membalikkan tubuh. Dugaannya benar. Ganesha sudah terlentang dengan gaya bebas. Kedua kakinya sedikit terbuka dan kedua tangan diletakkan di bawah kepala. Gayanya santai seperti sedang berjemur di pantai. Apa-apaan ini?
"Kenapa? Sudah benar bukan kalau saya tidur di ranjang? Masa saya tidur di kolam renang?" jawab Ganesha malas dengan mata terpejam. Demi Tuhan, ia lelah sekali. Tidak bisakah Arimbi membiarkannya beristirahat sebentar?
"Memang benar, kalau tidur itu di ranjang. Tapi harus melihat-lihat sikon dong, Mas. Pernikahan kita 'kan hanya di atas kertas. Masa kita tidur seranjang sih. Bahaya dong, Mas!" Arimbi bangkit dari posisi tidurnya. Ia kini duduk tegak di atas ranjang. Ia tidak terima Ganesha tidur seranjang dengannya.
"Bahaya? Di mana bahayanya? Apa kalau kita tidur seranjang akan menyebabkan bencana alam? Banjir bandang, topan badai atau gempa bumi? Tidak bukan? Kita ini cuma tidur bersama di atas ranjang yang sama. Tidak ada bahaya-bahayanya sama sekali. Yang bahaya itu kalau kita tidak tidur, tetapi melakukan kegiatan yang bisa menyebabkan gempa bumi di atas ranjang. Paham kamu?"
Ganesha mementahkan semua keberatan Arimbi dengan logika dasar. Perempuan memang cenderung over thinking. Padahal tadi baru saja dibahas. Dan sekarang Arimbi sudah lupa lagi.
"Yang Mas bilang memang benar. Tapi saya tidak nyaman karena Mas tidur di sini."
"Lantas kamu ingin saya tidur di mana? Di sofa, di ubin. Sorry ya, saya tidak sudi melakukan scene-scene yang menyusahkan diri sendiri seperti di sinetron-sinetron lebay, tentang pernikahan di atas kertas. Ini realita, Rimbi. Kamu jangan berharap saya akan bersikap bodoh dengan mengikuti akting para pemain sinetron itu. Lagi pula itu semua cuma akting. Kalau sungguh-sungguh terjadi, kamu pikir mereka benar-benar mau bertingkah begitu? Mikir, Rimbi. Mikir!"
Kali ini Ganesha tidak lagi memejamkan mata. Ia memelototi Arimbi yang terus saja memprotesnya. Lelah, mengantuk dan harus menjelaskan hal-hal konyol membuat Ganesha gusar.
"Mengerti, Mas. Tapi dengan tidur berduaan begini akan membuat iblis leluasa untuk menggoda--"
"Nah ini. Satu lagi pemikiran tidak logis yang harus diluruskan."
Kali ini Ganesha ikut duduk di atas ranjang. Sepertinya ia harus meluruskan cara berpikir Arimbi yang masih mengikuti zaman feodal. Beginilah kalau seseorang dibesarkan dengan selalu menyalahkan orang atau barang yang tidak bersalah, padahal yang tidak berhati-hati adalah orangnya. Mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang ngelesan karena tidak terbiasa menerima kesalahan.
"Dengar baik-baik, Arimbi. Jangan membawa-bawa iblis yang tidak tahu apa-apa menjadi kambing hitam hanya karena manusia itu gagal mengawal hasratnya sendiri. Dalam masalah ini, kamu jangan membuat asumsi apalagi sampai menuduh si iblis yang bahkan kehadirannya pun belum bisa dibuktikan secara signifikan, sebagai objek yang harus disalahkan. Memangnya kamu sudah pernah melihat wujud iblis?" Ganesha terus mencecar Arimbi. Ia ingin agar Arimbi lebih logis dalam menyikapi masalah.
Arimbi menggeleng cepat.
"Nah, wujudnya saja belum pernah kamu lihat, tapi kamu sudah main fitnah saja. Arimbi, seperti yang saya katakan tadi ; fokuslah mencari solusi daripada terus berasumsi. Coba pikir, kita berdua ini sudah mengantuk dan kelelahan selama beberapa hari ini. Yang kita butuhkan saat ini adalah istirahat yang lebih berkualitas. Solusinya apa? Tidur yang cukup. Setuju, Rimbi?" Ganesha menatap Arimbi dalam-dalam. Ia ingin agar Arimbi mengerti kalau dirinya benar-benar membutuhkan waktu untuk beristirahat.
"Mengerti, Mas," cicit Arimbi pelan. Alasan yang Ganesha terangkan begitu runut dan logis. Bagian mana dari penjelasannya itu yang bisa ia bantah bukan.
"Bagus. Kalau begitu sekarang kita tidur. Besok pagi banyak hal yang harus kita urus. Termasuk kepindahan kita ke rumah yang sudah saya persiapkan sejak lama."
Ganesha menguap lebar seraya kembali membaringkan tubuh. Nikmatnya berbaring membuat tubuhnya rileks. Sungguh, matanya sudah tinggal lima watt kurang. Ia benar-benar mengantuk.
Di samping Ganesha, Arimbi ikut membaringkan tubuh. Namun berbeda dengan gestur Ganesha yang rileks dan santai, sikap tubuhnya sangat tegang. Seumur hidupnya ia tidak pernah seranjang dengan orang lain. Dan kini tiba-tiba saja ia harus seranjang dengan seorang laki-laki. Tentu saja hal ini ia membuatnya tegang.
"Ngomong sih gampang. Tapi saya tegang." Arimbi segera membekap mulutnya sendiri. Mampus, ia keceplosan lagi.
Takut-takut Arimbi melirik ke samping. Ia takut kembali diceramahi oleh Ganesha karena celetukan tidak sadarnya. Untunglah tidak ada suara mencela yang keluar dari sosok laki-laki yang berbaring di sampingnya. Sepertinya Ganesha sudah tertidur. Alhamdullilah.
"Keteganganmu adalah urusanmu. Bukan masalah saya. Atasi sendiri," sahut Ganesha mendadak.
'Eh, ini orang dalam tidur pun masih bisa menyahut juga. Astaganaga.'
"Relakan, Mbak. Tempatkan masalah sesuai dengan masanya. Masa lalu tempatnya memang di waktu lalu. Dewasalah untuk menerima kenyataan bahwa tidak ada yang bisa Mbak lakukan tentang masa lalu, kecuali memutuskan terus hidup di sana dan menderita selamanya atau berubah menjadi lebih baik."Nina tidak menjawab pertanyaan Arimbi. Dirinya sangat mengerti apa yang dikatakan oleh Arimbi. Ia bukanlah orang bodoh. Dirinya hanya seorang pendengki serakah yang tidak bisa melihat kebahagiaan orang lain."Kita pulang ya, Nin? Ayah yakin setelah minum obat dan tidur pasti kamu akan merasa lebih baik. Kalau ada waktu, Rimbi pasti akan menengokmu ke rumah. Iya 'kan, Rim?" Pak Sujatmiko menatap Arimbi sendu dengan pandangan meminta pertolongan.Arimbi langsung tidak menjawab pertanyaan terselubung pamannya. Melainkan ia menatap Ganesha terlebih dahulu. Meminta izin tanpa bicara. Ketika melihat Ganesha mengangguk samar barulah Arimbi berbicara."Iya, Mbak. Nanti kalau ada waktu luang, Rimbi akan menjen
"Kamu di sini saja, Rim. Ingat kamu sedang hamil. Nina itu sedang depresi. Apa pun akan berani ia lakukan." Ganesha menahan bahu Arimbi saat istrinya itu ingin bangkit dari tempat tidur."Tapi saya harus, Mas. Bagaimanapun Mbak Nina itu sepupu saya. Sedikit banyak saya memahami kepribadiannya. Lagi pula ada Mas juga. Saya pasti aman." Arimbi membujuk Ganesha."Ayolah, Mas. Daripada Nina membuat ulah yang mengacaukan acara, sebaiknya kita cegah terlebih dahulu." Arimbi menghela lengan Ganesha. Teriakan histeris Nina makin membahana."Baiklah. Tapi kamu jangan jauh-jauh dari Mas. Mas tidak mau kamu sampai kenapa-kenapa." Kalimat Ganesha ditanggapi anggukan singkat oleh Arimbi. Sesampai di ruang tamu, keadaan mulai kacau. Nina terus menjerit histeris, dan mengatakan bahwa ia tidak terima diperlakukan tidak adil oleh Seno. Sejurus kemudian dua orang Satpam komplek terlihat memasuki rumah. Dengan segera mereka mengamankan Nina. Namun Nina terus meronta-ronta liar dan memaki-maki Seno sera
"He eh," Bu Astuti mengangguk lemah. Mata tuanya berkaca-kaca. Sungguh ia menyesal pernah berbuat tidak baik pada Arimbi, hanya karena ia kesal pada Ganesha. Jika saja waktu bisa diulang, betapa ingin dirinya mengubah sikap judes dan nyinyirnya dulu pada Arimbi. Istri Ganesha ini lembut dan baik hati."Ini minumnya, Bu. Kalau Ibu tidak keberatan saya bantu meminumkannya ya, Bu?" Dengan sopan Arimbi meminta izin Bu Astuti."He eh... he eh..." Bu Astuti mengangguk berkali-kali. Kedua mata tuanya kini membentuk kolam air mata. Bu Astuti menangis tanpa suara."Ayo diminum, Bu. Pelan-pelan saja agar tidak tersedak." Arimbi membungkuk. Ia memeluk bahu Bu Astuti sambil mendekatkan bibir Bu Astuti pada birai gelas. "Sudah, Bu?" tanya Arimbi lagi. Bu Astuti sudah menghabiskan seperempat gelas air putih. Bu Astuti mengangguk. "Sebentar ya, Bu. Saya mengambil tissue dulu." Arimbi menarik selembar tissue dari atas meja. Setelahnya ia mengelap sudut bibir dan dagu Bu Astuti yang basah. "Maaf...
Dua tahun kemudian."Sah!" Arimbi, Ganesha dan beberapa kerabat lain ikut mengucapkan kata sah, saat penghulu menyatakan ijab kabul Seno dan Rina sah. Ya, hari ini adalah hari yang membahagiakan untuk Seno, Rina dan juga Mahesa. Karena keduanya pada akhirnya memutuskan menikah setelah dua tahun berpacaran."Akhirnya mereka menikah juga ya, Rim?" Ganesha tersenyum sumringah melihat sepasang pengantin baru di depannya saling memasang cincin. Ia ikut gembira untuk Seno. Sebagai seorang kakak, ia mengasihi Seno dengan caranya sendiri. Di masa lalu Seno memang banyak sekali melakukan kesalahan. Namun perlahan-lahan ia berubah dan menjadi pribadi yang lebih. "Iya, Mas." Arimbi menimpali kalimat Ganesha singkat. Ia memang selalu hati-hati apabila membicarakan soal Seno. Ia tidak mau Ganesha mengira kalau dirinya masih peduli pada Seno."Seno sekarang sudah banyak berubah ya, Rim? Tepatnya sejak ia tahu kalau dirinya ternyata memiliki Mahes. Sekarang kebahagiaan Mahes adalah prioritasnya, Ma
"Ayo lanjutkan ceritamu di taman belakang saja." Arimbi membawa Menik ke taman kecil kesayangannya. Di sana ia kerap menghabiskan waktu bercocok tanam. Mulai dari berbagai macam jenis bunga hingga tanaman herbal ada di tamannya."Lanjutkan ceritamu, Nik." Arimbi menghempaskan pinggulnya di kursi taman. "Tuh, Mbak Tini juga sudah menyiapkan makanan kecil. Kita mengobrol di sini saja sementara Mas Esha dan Bang Ivan bekerja." Arimbi kian semangat mengorek cerita tatkala Mbak Tini muncul dengan sepiring pisang goreng hangat dan dua gelas sirup markisa."Ya, terus aku membawa Bu Mirna ke rumah sakit. Beberapa saat kemudian Ivan dan Pak Kristov menyusul. Di situ aku baru tahu kalau ibu-ibu yang aku tolong adalah ibunya Ivan. Singkat cerita aku dan Bu Mirna kemudian menjadi akrab. Tidak lama kemudian Ivan pun menembakku. Katanya untuk pertama kalinya ibunya mencomblanginya. Dengan dua mantan Ivan terdahulu Bu Mirna tidak cocok. Ivan juga bilang ia sudah lelah pacaran ala remaja ingusan. Ia
Arimbi termangu menatap televisi. Baru saja diberitakan bahwa Bastian Hadinata yang digadang-gadang akan menjadi walikota telah dilengserkan. Selain dinilai tidak layak menjadi calon walikota, saat ini Bastian juga telah diamankan karena terbukti melakukan gratifikasi terhadap beberapa proyek pemerintah.Televisi juga menayangkan wawancara singkat dengan Bastian dalam seragam berwarna oranye. Di scene-scene lain, terlihat Priska dan Prisila berlarian sambil menutupi wajah mereka dengan syal. Mereka berdua tampak menghindari awak media yang terus memburu saat mereka baru saja keluar dari kantor polisi. Berita tentang korupsi dan gratifikasi yang dilakukan oleh Bastian Hadinata memang tengah menjadi headline di mana-mana. Apalagi semua aset-aset Bastian Hadinata saat ini telah disita oleh negara. Tidak heran kalau Prisila dan Priska sekarang menjadi bulan-bulanan pers. Mereka dikejar di mana pun mereka berada."Kamu percaya dengan karma bukan, Ri? Lihatlah, apa yang sekarang terjadi pa