Share

BAB 10

Author: Dana Jaryanto
last update Huling Na-update: 2025-04-11 19:50:16
"Saya juga mau pernikahan kami diselenggarakan di hotel Raffles karena saya akan mengundang teman-teman kerja saya." Tambah Clarissa

Leonardo mengangguk pelan. "Kalau masalah itu, silakan kalian bicara. Papah dan mama selalu mendukung."

Setelah mendapatkan persetujuan, Dhirga dan Clarissa segera menuju hotel untuk memesan tanggal pernikahan mereka. Semuanya tampak berjalan sesuai rencana, tanpa kendala berarti.

Raffles Hotel.

Bukan sekadar hotel mewah, tetapi yang termewah di seluruh Jawa Barat. Berdiri megah di jantung Kota Bogor, hotel ini menjadi simbol eksklusivitas, kemewahan, dan prestise. Dengan arsitektur modern yang berpadu dengan nuansa klasik, setiap sudutnya memancarkan keanggunan.

Begitu memasuki lobi, kesan mewah langsung terasa. Langit-langit tinggi dengan lampu kristal yang berkilauan, lantai marmer mengilap, serta aroma bunga segar yang memenuhi udara menciptakan suasana yang begitu berkelas. Para tamu yang datang disambut dengan pelayanan terbaik, seolah mer
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Kaugnay na kabanata

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 11

    Dimas menatap jendela lagi, berharap sosok yang ia nantikan muncul dari keramaian di luar. Namun, yang ia lihat hanyalah orang-orang asing berlalu lalang, sibuk dengan kehidupan mereka masing-masing. Tidak ada Nayara.Pukul 14.00. Ia akhirnya menyerah.Dengan enggan, Dimas bangkit dari kursinya, menyambar jaketnya yang terlipat di sandaran kursi. Ia berjalan keluar restoran dengan langkah pelan. Perasaan kecewa masih menggelayuti hatinya. Mungkin ini kesalahan dirinya sendiri, terlalu berharap pada sesuatu yang belum pasti.Di luar, matahari mulai meredup. Dimas menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Pertemuan yang diharapkannya tak terjadi, tapi entah mengapa, ia merasa ini belum berakhir. Ada sesuatu yang membuatnya yakin, Nayara tidak sengaja menghindarinya. Ia hanya perlu mencari tahu alasannya.Di kamar kecilnya, Nayara terbaring diam. Cahaya redup dari jendela yang setengah terbuka membuat bayangan di dinding tampak bergerak pelan. Matanya menatap langit-lang

    Huling Na-update : 2025-04-11
  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 12

    Tok! Tok!“Nay, Non Jeni sudah telepon dari tadi. Minta saya untuk membawa kamu pulang sekarang,” suara pelayan masuk ke ruangan, memecah keheningan yang menyelimuti ruang perawatan.“Iya... sebentar, lima menit lagi,” jawab Nayara pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh isak yang masih tertahan.“Baik, saya tunggu di depan,” ujar pelayan itu sopan, lalu menutup pintu dan kembali membiarkan Nayara berdua dengan ibunya.Nayara menggenggam tangan sang ibu yang masih terbaring koma, kulitnya yang dingin membuat hatinya terasa perih.“Ibu... aku pulang dulu ya,” ucapnya serak. “Aku harap ibu cepat sadar, agar kita nggak terus bergantung pada keluarga Mahendra.”Ia mengusap air matanya dan menunduk dalam-dalam. Hatinya berat meninggalkan satu-satunya sosok yang membuatnya kuat. Tapi hidup harus terus berjalan, meski langkahnya tertatih-tatih.Mobil pelayan keluarga Mahendra kembali mengantarkan Nayara ke rumah megah itu. Namun, saat mobil tiba di halaman, terlihat mobil mewah lain juga baru

    Huling Na-update : 2025-04-12
  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 13

    "Pelayan!" teriak Jeni memanggil."Iya, Non," pelayan berlari menghampiri dengan wajah tegang, napasnya memburu karena tergesa."Buatkan Clarissa minum. Cepat!" perintah Jeni tajam, ekspresinya penuh ketidaksabaran dan kekesalan."Baik, Non." Pelayan itu melirik ke arah Nayara yang masih sibuk memunguti pecahan beling dengan tangan gemetar. "Nay, mau saya bantuin?" bisiknya lirih, penuh simpati."Gausah bantu-bantu Nayara! Kamu urusin kerjaanmu saja!" sahut Jeni dengan nada tinggi."Baik, Non." Pelayan itu menunduk dan segera berlari ke dapur untuk membuatkan minuman sesuai perintah.Sementara itu, Nayara tampak kesulitan untuk bangkit. Tangannya yang terluka terkena pecahan beling membuatnya meringis menahan sakit. Luka kecil di telapak tangannya mengeluarkan darah, namun ia tetap berusaha berdiri. Kakinya sempat terpeleset oleh air yang belum sempat dibersihkan, membuatnya jatuh kembali."Akh..." erangnya pelan.Dengan sisa tenaga dan napas yang tertahan, Nayara bangkit lagi. Ia men

    Huling Na-update : 2025-04-12
  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 14

    “Paman bisa saja,” ujar Dhirga sambil tersenyum tipis. “Ya sudah, aku pergi dulu ya, Paman”“Ya sudah, pergilah,” sahut sang paman sambil melambaikan tangan pelan.Tanpa membuang waktu, Dhirga segera bergegas meninggalkan Hotel Raffles. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, seolah ada sesuatu yang sangat mendesak menunggu di tujuan.Setibanya di depan gerbang kediaman keluarga Mahendra, seorang satpam menghampirinya dan berkata dengan sopan, “Permisi, Bapak mau bertemu siapa? Kebetulan rumah sedang kosong, semua anggota keluarga Mahendra sedang mengadakan pesta di Hotel Raffles.”Dimas turun dari mobilnya dengan tenang, menyembunyikan kegugupan yang sebenarnya mulai merayap di dadanya. “Oh, saya memang tadi dari Hotel Raffles. Saya diminta Pak Dhirga untuk datang ke sini dan bertemu dengan Nona Nayara.”Satpam itu sempat tampak ragu. Namun setelah mendengar nama Dhirga disebut, ia mengangguk pelan. “Baik, silakan masuk, Pak. Saya panggilkan Non Nayara.”Tanpa menunda, satpam

    Huling Na-update : 2025-04-12
  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 15

    "Mas, aku bisa jelasin!" seru Nayara sambil spontan melepaskan genggaman tangan Dimas. Tangannya bergerak cepat mengusap pipi yang masih terasa linangan air mata."Masuk, Nay!" bentak Dhirga dengan nada membara."Mas..." Nayara menatap memohon, matanya berkaca-kaca lagi, berharap setidaknya ada sedikit ruang untuk mendengar."Aku bilang masuk!" Dhirga membentak lebih keras, membuat Nayara terkejut dan akhirnya melangkah masuk ke rumah dengan langkah pelan dan tubuh gemetar.Dhirga kini menatap Dimas tajam, matanya menyala seperti bara api. Rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal seolah menahan gejolak yang siap meledak.“Dimas, saya tidak suka Anda mendekati istri saya! Walaupun saat ini Anda bagian dari keluarga besar ini, Anda tidak punya hak mencampuri urusan rumah tangga saya. Termasuk Nayara!” suaranya meninggi, sorot matanya menusuk, napasnya memburu menahan amarah.“Saya minta Anda pergi sekarang juga!”Dimas tidak langsung mundur. Ia menatap Dhirga dengan tatapan tegas, m

    Huling Na-update : 2025-04-12
  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 16

    "Dimas itu teman aku, Mas... waktu zaman kuliah. Dan aku sempat satu kantor dengannya saat jadi office girl di perusahaan Prayoga Group, itu sebelum aku menikah denganmu." Terang Nayara dengan suara bergetar, matanya menatap Dhirga yang masih berdiri di ambang pintu."Terus kenapa kamu bisa berduaan, Nay!? Di rumah ini lagi!" Nada suara Dhirga meninggi. Rahangnya mengeras, matanya tajam menatap Nayara. Ia bukan marah karena cemburu, bukan karena cinta—tetapi karena harga dirinya sebagai suami dipertaruhkan di depan laki-laki lain.Dhirga tahu, sejak awal pernikahan mereka bukan karena cinta. Hanya janji kepada almarhum ayah Nayara yang mengikatnya. Namun, martabatnya sebagai pria dan kepala keluarga Mahendra tak bisa diinjak begitu saja."Aku juga nggak tahu, Mas. Tiba-tiba dia datang ke rumah ini," jawab Nayara pelan, namun dengan nada penuh tekanan. Ia tahu posisinya lemah, tapi ia juga tahu dirinya tak salah.Dhirga mendekat satu langkah, wajahnya keras namun tenang."Ingat, ya, Na

    Huling Na-update : 2025-04-13
  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 17

    “Pagi, sayang,” suara lembut Clarissa memecah keheningan kamar dengan senyum manis yang menyebalkan.Dhirga membuka matanya perlahan, ekspresinya masih setengah sadar. Ia menguap kecil dan meregangkan tubuh sebelum menjawab pelan, “Iya, pagi juga…”“Kemeja dan jasnya sudah aku siapkan, sekarang kamu mandi dulu, ya,” ucap Clarissa sambil membelai lembut lengan Dhirga.Sementara itu, di dapur, Nayara tengah sibuk menyiapkan sarapan. Walau kondisinya tak begitu kuat, ia tak pernah melewatkan rutinitas ini. Untuk suaminya, ia ingin selalu menjadi yang pertama menyentuh pagi harinya, walaupun suaminya sealu bersikap arogan kepadanya.Dengan tangan gemetar, ia menata hidangan satu per satu di atas meja makan. Nasi gurih pandan dengan taburan kacang mete dan bawang goreng, omelet isi smoked beef dan paprika merah, roti sourdough hangat dengan mentega Eropa, salad buah segar dengan dressing madu lemon, serta jus jeruk asli yang baru diperas. Meja makan itu terlihat seperti hidangan hotel bint

    Huling Na-update : 2025-04-13
  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 18

    “Cukup! Cukup!” teriak Adinda, membanting sendok ke meja hingga membuat semua orang terdiam.“Dhirga, cepat pergi! Jangan dengarkan ocehan Nayara!” lanjutnya tajam.“Iya, sayang. Ayo, aku antar kamu ke depan,” timpal Clarissa manja sambil meraih tangan Dhirga dan menggenggamnya erat—seolah ingin menandai siapa yang layak di samping Dhirga.“Pelayan!” panggil Adinda dengan nada tinggi.“Iya, Nyonya,” jawab seorang pelayan yang langsung berlari mendekat.“Bereskan semua makanan ini. Buang ke tong sampah. Jangan sisakan satu pun!”“Baik, Nyonya.”Nayara yang masih berdiri dengan wajah tertunduk, hanya bisa menarik napas dalam diam. Ia kembali ke kamarnya sambil memeluk dirinya sendiri, seolah ingin meredam amarah dan kesedihannya yang bercampur jadi satu.Sementara itu, Clarissa menggandeng Dhirga ke depan rumah. Matanya berbinar, senyumnya lebar seperti pemenang perang.“Sayang, bulan madu kita kapan?” tanya Clarissa manja, menyandarkan kepalanya di bahu Dhirga saat mereka berjalan menu

    Huling Na-update : 2025-04-13

Pinakabagong kabanata

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 62

    "Kenal, Pak. Dia adalah istri pertama suami saya," jawab Clarissa pelan namun jelas, suaranya sedikit bergetar.Januar menatapnya tajam lalu mengangguk sebelum melanjutkan, "Apakah akun Facebook bernama CA Lovers ini milik Saudari?""Akun Facebook saya hanya satu, Pak. Atas nama Clarissa Anindita," jawabnya tegas.Januar meletakkan satu berkas di atas meja, menatap Clarissa dalam-dalam. "Saudari Clarissa, Saudari barusan menyatakan bahwa akun Facebook CA Lovers bukan milik Saudari. Namun berdasarkan hasil forensik digital, akun tersebut terhubung ke nomor 08xxxxxxx milik Saudari dan beberapa kali terpantau login dari perangkat yang terdaftar atas nama Saudari. Bisa dijelaskan?"Clarissa menelan ludah, tangannya yang di pangkuan mulai bergetar. "Itu bukan akun saya, Pak... Saya nggak tahu siapa yang bikin akun itu."Nikolas segera menyela, "Maaf, saya minta agar pertanyaan ini dijelaskan lebih lanjut datanya. Klien saya tidak bisa memberikan keterangan tanpa melihat bukti teknis yang d

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 61

    “Silakan duduk, Pak Bram,” ujar Januar, menyilakan pria berjas abu-abu itu masuk ke ruang interogasi.Bram Hadiwijaya, CEO Darmaseraya Group, melangkah masuk dengan wajah tenang namun tegang. Pandangannya langsung bertemu dengan mata Clarissa yang sudah lebih dulu duduk di kursi saksi. Keduanya saling menatap sejenak. Tak ada keakraban di antara mereka—hanya kekosongan, seperti dua orang asing yang kebetulan berada di satu ruang yang sama. Bram pun duduk di kursi yang disediakan, tepat di samping Clarissa.“Apakah Bapak mengenal wanita ini?” tanya Januar, membuka percakapan dengan nada datar.“Saya tidak mengenalnya,” jawab Bram cepat dan lugas.Januar mengangguk pelan, mencatat sesuatu di mapnya. Kemudian ia menoleh ke arah Clarissa.“Ibu Clarissa, apakah Anda sudah siap memberikan kesaksian?” tanyanya.Clarissa menoleh, wajahnya tampak cemas. “Saya masih menunggu suami saya, Pak.”Januar menarik napas panjang. Ia tahu bahwa proses tak bisa ditunda terlalu lama, namun situasi ini mem

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 60

    "Iya, Pak. Pulangnya nanti saya ambil suratnya," balas Dhirga singkat melalui pesan teks. Clarissa yang duduk bersandar di ranjang rumah sakit, memiringkan kepala sedikit sambil menatap wajah suaminya. "Pesan dari siapa?" "Dari satpam rumah. Katanya ada surat penting yang harus aku ambil nanti sore," jawab Dhirga sambil meletakkan kembali ponselnya di meja kecil di samping ranjang. Suaranya tenang, tapi sorot matanya penuh pikiran. Beberapa hari berlalu. Waktu berjalan dengan ritme lambat, namun kepastian kondisi Clarissa menjadi pelipur lara tersendiri bagi Dhirga. Hari itu, matahari bersinar lembut dari jendela rumah sakit saat dokter masuk ke ruangan dengan senyum ringan di wajahnya. "Ibu Clarissa, setelah kami pantau terus selama beberapa hari terakhir, kondisi Ibu kini sudah stabil. Tidak ada lagi indikasi yang mengkhawatirkan. Ibu sudah boleh pulang hari ini," jelas dokter sambil menyerahkan berkas kepada Dhirga. Clarissa mengangguk pelan, wajahnya menunjukkan kelegaan

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 59

    “Pesan dari siapa, Dim?” tanya Elena sambil menatap gelisah wajah Dimas yang mulai pucat.Dimas menelan ludah, menurunkan ponselnya perlahan. “Dari Dokter Enjelin... Katanya Nayara mengigau memanggil nama suaminya.”Elena menarik napas pelan, lalu menunduk sebentar sebelum menatap Dimas lagi. “Sebagus apa pun niatmu, sebaiknya kamu kembalikan Nayara ke suaminya, Dim. Sebelum semuanya menjadi rumit.”Dimas mengangguk pelan, namun ada keraguan yang jelas tergambar di matanya. “Aku akan kembalikan... Tapi tidak sekarang. Biarkan dia pulih dulu. Aku hanya ingin memastikan dia benar-benar sehat sebelum kembali menghadapi dunia yang menyakitinya.”Sebelum Elena sempat menjawab, seorang ibu-ibu paruh baya datang membawa dua mangkuk soto panas dan dua gelas teh hangat di atas nampan.“Permisi... Ini pesanannya,” katanya ramah sambil meletakkan makanan di meja.“Terima kasih, Bu,” ujar Elena sambil tersenyum. Dimas hanya mengangguk kecil, pikirannya masih tertambat pada pesan singkat yang baru

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 58

    Sesaat setelah Dimas tiba di lobi Rumah Sakit Internasional Prayoga, langkah kakinya tak bisa ditahan lagi. Ia berlari melewati lorong panjang yang sunyi, hanya terdengar derap sepatunya yang tergesa-gesa. Aroma khas antiseptik rumah sakit menusuk hidung, namun Dimas tidak peduli. Tujuannya hanya satu—ruangan tempat Nayara dirawat.Di depan pintu ruang rawat, Dimas berpapasan dengan dokter yang baru saja keluar. Napasnya memburu."Dok, bagaimana keadaannya?" tanya Dimas dengan nada cemas.Dokter itu mengangguk pelan sambil membetulkan stetoskop yang menggantung di lehernya. Tatapannya tenang namun penuh kehati-hatian."Barusan saya periksa, Ibu Nayara sedang beristirahat. Kondisinya cukup stabil untuk saat ini," jawabnya."Apa dia sempat bertanya tentang siapa yang menyelamatkannya?" Dimas menggali lebih jauh, raut wajahnya tegang.Dokter menghela napas ringan, lalu menatap Dimas dalam-dalam."Tadi beliau sempat bicara dengan suster, dan sesuai permintaan Pak Dimas, suster telah menja

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 57

    “Permisi, Dok.”Suara lembut seorang suster memecah keheningan saat ia mendorong pintu ruangan dokter.“Masuk, Sus,” jawab dokter sambil tetap memandangi layar monitor.Suster itu melangkah masuk, lalu menyerahkan map berwarna biru. “Ini hasil rekam medis pasien setelah operasi, Dok.”“Terima kasih, Sus.” Dokter mengangguk singkat dan menerima map tersebut, kemudian suster itu pamit keluar dengan pelan, meninggalkan ruangan yang kembali sunyi.Dokter membuka lembar demi lembar hasil pemeriksaan, lalu menoleh ke Dimas yang duduk di depannya dengan wajah cemas dan mata tak berkedip.“Pak Dimas,” ujar dokter sambil menata hasil rekam medis di mejanya, “Saya akan jelaskan kondisi Ibu Nayara saat ini.”Dimas langsung menegakkan tubuhnya. “Iya, Dok. Bagaimana hasilnya?” tanyanya dengan suara sedikit gemetar.Dokter tersenyum tipis, lalu mengangguk. “Syukur alhamdulillah, kondisi Ibu Nayara saat ini cukup stabil. Respon tubuhnya terhadap operasi juga sangat baik. Jika tidak ada komplikasi la

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 56

    Suara monitor berdetak pelan "Tit... tit... tit..." seperti ketukan waktu yang menegangkan.Sudah lebih dari enam jam Dimas duduk terpaku di depan ruang operasi. Wajahnya tegang, mata sembab, dan tangan terus menggenggam erat tas kecil berisi dokumen Nayara. Setiap detik terasa lambat, setiap suara dari dalam ruangan membuat jantungnya melompat. Tak ada yang bisa ia lakukan selain berdoa dalam hati, berharap Tuhan masih mengizinkan Nayara bertahan dan kembali pulih.Sementara itu, di rumah sakit berbeda, suasana mendadak tegang. Seorang dokter dan beberapa suster berlari tergesa menuju ruang NICU. Alarm kecil berbunyi cepat dan tajam.Dhirga, Jeni, Sintia, Leonardo, dan Adinda sontak berdiri. Tanpa pikir panjang, mereka mengikuti dokter dan perawat, rasa takut menguasai mereka. Jantung Dhirga berdetak cepat. Ia tidak siap menerima kabar buruk.Beberapa menit kemudian, seorang dokter keluar dari ruangan dengan wajah muram. Ia menghampiri Dhirga perlahan."Dok... bagaimana kondisi anak

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 55

    Tok. Tok.Suara ketukan pintu itu memecah keheningan ruangan kerja Bram yang luas dan minimalis."Permisi, Pak," ujar resepsionis dengan sopan saat membuka pintu."Masuk," jawab Bram tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.Namun, ketika ia melihat dua tamu yang berdiri di ambang pintu, ia segera berdiri dari kursinya."Wisnu!" sapa Bram hangat, menjabat tangan pria berseragam yang kini berdiri di hadapannya.Wisnu tersenyum hormat. "Selamat siang, Pak Bram. Perkenalkan, ini AKP Januar, Kanit yang menangani kasus yang Bapak laporkan.""Saya Januar, Pak," ujar pria berpakaian dinas itu sambil menunduk hormat."Silakan duduk. Kamu boleh kembali," kata Bram kepada resepsionis."Baik, Pak," jawabnya lalu menutup pintu dengan sopan.Bram mempersilakan kedua tamunya duduk di sofa kulit hitam yang terletak di pojok ruangan. Kopi hangat dan air mineral telah tersedia di atas meja kecil di depannya."Bagaimana perkembangan kasus saya, Pak Januar?" tanya Bram dengan nada serius, kedua

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 54

    "Pak Dimas..." suster berlari tergesa ke arah pria yang tengah berdiri gelisah di lorong rumah sakit. "Ada apa, Sus?" tanya Dimas, wajahnya tampak tegang. "Nayara, Pak..." jawab sang suster, nafasnya terengah. Ia seolah menahan sesuatu yang mendesak untuk dikatakan. "Ada apa dengan Nayara?!" suara Dimas meninggi, matanya menatap tajam penuh kekhawatiran. "Nayara kritis, Pak..." akhirnya suster itu menjawab, suaranya pelan namun cukup menusuk telinga siapa pun yang mendengarnya. Tanpa pikir panjang, Dimas berlari menuju ruang ICU, langkahnya cepat dan mantap. Di belakangnya, Dhirga, Jeni, dan Sintia ikut menyusul. Tepat di depan pintu ICU, mereka berpapasan dengan dokter yang menangani Nayara. "Dok, bagaimana keadaan Nayara?" tanya Dimas, suaranya terdengar putus asa. "Iya, Dok... gimana keadaan istri saya?" sela Dhirga dengan nada dibuat-buat seolah benar-benar peduli. Dokter menarik nafas sejenak, lalu menjawab, "Keadaan Nayara kritis. Kami sedang berusaha semaksimal m

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status