Share

BAB 2

Author: Dana Jaryanto
last update Last Updated: 2025-04-09 11:34:21

"Mas, aku sudah berusaha. Tapi Kak Jeni dan Kak Sintia selalu menyudutkan aku."

Nayara menoleh kepada kedua kakak iparnya. Ia masih berharap hati dingin suaminya mencair dan melihat kebenaran yang terpampang nyata.

Dhirga menatap tajam. "Kakak-kakakku nggak mungkin marah kalau kamu nggak berulah. Aku lebih kenal mereka daripada kamu."

Belum sempat Nayara membela diri, Dhirga berkata lagi, "Cepat minta maaf sama mereka, terutama Kak Jeni!"

Nayara menunduk. Ia hanya bisa mengangguk, menelan kepahitan yang tak pernah habis. Membela diri hanya akan membuat luka di hatinya semakin dalam.

Maka, lagi-lagi Nayara harus mengalah. Demi mempertahankan keutuhan rumah tangganya, kenapa tidak?

Nayara memang bukan babu di rumah mertuanya. Namun sejak menikah dengan Dhirga Mahendra, hidup Nayara tak ubahnya seperti seorang babu.

Siapa Nayara?

Nayara hanyalah seorang Istri pajangan yang menikah bukan atas dasar saling cinta. Namun, hanyalah berdasarkan kesepakatan diantara kedua keluarga.

Sedangkan Dhirga?

Ia adalah lelaki tampan yang merupakan anak bungsu keluarga Mahendra. Ia akan menjadi penerus Mahendra Group di masa depan.

Maka, tidak pantas bagi Nayara sejajar dengan Dhirga yang mulia.

Semua anggota keluarga Mahendra menolak pernikahan Nayara dan Dhirga. Mereka memandang Nayara seperti duri dalam daging. Tak heran jika penyiksaan secara perlahan terus dirasakan Nayara.

Nayara mendekati Jeni. "Kak, akuー"

Jeni memotong kata-kata Nayara. "Diam! Aku nggak sudi terima permintaan maaf kamu."

Dhirga beranjak duduk dan berkata, "Dengar-dengar, ada gaun model terbaru dari Givenchy. Aku akan beliin satu untuk Kak Jeni dan Kak Sintia. Gimana?"

Jeni dan Sintia terkesiap. Kedua pasang mata mereka berbinar-binar. Kemudian, mereka berdua saling pandang.

Siapa yang tidak tahu Givenchy? Merek fesyen mewah Prancis yang didirikan oleh desainer Hubert de Givenchy. Desainnya terkenal dengan desainnya yang elegan, klasik, dan inovatif. Tidak hanya pakaian pria dan wanita, Givenchy juga memiliki beberapa desain lainnya seperti aksesoris, parfum dan kosmetik.

Sintia memberikan usul. "Jeni, ada gaun koktail modern terbaru yang keluar di weekend ini. Gimana kalau kita pergi melihatnya sekarang?"

Jeni mengangguk setuju. "Oke. Kenapa nggak? Kita harus apresiasi niat baik Dhirga, kan?"

Melihat kedua kakaknya tampak senang, Dhirga tersenyum puas. Baginya, semua masalah akan cepat selesai dengan uang.

Nayara mengerucutkan bibirnya. Bisa-bisanya Dhirga menghabiskan banyak uang untuk kedua kakaknya!

Selama hampir setahun menikah dengannya, jangankan hadiah, Dhirga bahkan tidak pernah memberikan Nayara nafkah, baik nafkah lahir maupun batin. Jadi, hati Istri mana yang tidak merasakan sakit diperlakukan tidak adil seperti ini?

Jeni dan Sintia sudah pergi. Tak lama, Nayara memperhatikan penampilan Dhirga. Ia merasa ada yang tidak biasa dengan suaminya.

"Mas, kamu mau ke mana? Hari Sabtu biasanya kamu nggak serapi ini."

"Bukan urusanmu," jawab Dhirga, ketus.

Dhirga berdiri dan langsung pergi begitu saja meninggalkan Nayara.

Selepas kepergian Dhirga, Adinda DewiーIbu mertua Nayara, muncul dengan wajah masam.

"Saya dengar, kamu buat keributan lagi?"

Adinda berdiri dengan anggun. Sorot matanya menusuk, membuat Nayara merasa canggung.

"Bukan saya, Ma. Saya—"

"Diam!" bentak Adinda, membuat Nayara tidak berdaya.

Adinda mendekat, menatap Nayara dari atas ke bawah, seolah menilai sesuatu yang menjijikkan.

"Kamu pikir, dengan sikapmu yang sok lemah ini bisa membuat anakku berpihak padamu dan jatuh cinta?! Jangan bermimpi, Nay! Rumah ini bukan tempat untuk orang miskin nggak tahu diri seperti kamu."

Nayara menunduk. Ia berusaha menahan air mata, dan menahan semua perasaan yang tak bisa diungkapkan.

Adinda mendekatkan wajahnya, berbisik, "Ingat, Nayara! Nggak semua luka harus terlihat untuk terasa sakitnya."

Tanpa menunggu balasan, Adinda berbalik dan melangkah pergi. Ia meninggalkan Nayara dengan kata-kata yang menggantung, membakar hatinya hingga terasa sesak.

"Ya Tuhan, kapan semua ini akan berakhir?"

Suasana menjadi hening. Nayara membersihkan meja makan dan mencuci semua peralatan makan yang sudah terpakai.

Lalu, Nayara pergi ke ruang laundry, melanjutkan pekerjaan menyetrika. Suara gesekan setrika terus terdengar di ruang laundry.

Wangi deterjen masih menusuk hidung Nayara. Ia menyeka keringat yang mulai membanjiri pelipisnya. Tangannya yang kecil dan lemah masih berusaha merapikan pakaian yang sudah disetrika.

Setiap gerakan terasa berat karena pergerakan kakinya yang terbatas. Tubuh Nayara mulai menyerah, tapi pikirannya memaksa untuk bertahan.

Satu jam berlalu dengan lambat. Terdengar langkah berat mendekat. Dhirga berdiri di ambang pintu dengan tatapan dingin.

"Kamu belum selesai, Nay? Ada yang mau aku omongin."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 66

    “Dimas! Sudah kamu pindahkan perempuan itu?” Suara Oma terdengar tajam dan menggema dari seberang telepon.“Iya, Oma. Sedang aku urus,” jawab Dimas cepat, berusaha terdengar tenang meski jantungnya berdetak tak karuan.Klik.Telepon langsung terputus. Tak ada salam penutup, tak ada waktu untuk membantah. Seperti biasa, Salma bicara dengan nada perintah, tak memberi ruang untuk diskusi.Dimas menghela napas berat lalu menoleh pada Elena yang duduk di sampingnya. Perempuan itu ikut menatapnya, raut wajahnya menyiratkan kekhawatiran yang sama.“Sepertinya memang tak ada pilihan lagi, Len. Aku harus segera pindahkan Nayara malam ini juga,” ujar Dimas, suaranya pelan namun tegas.Elena hanya mengangguk. Sorot matanya tajam, tapi bibirnya membisu. Seolah menyetujui, meski dalam hatinya ada banyak yang ingin ia katakan.Tak lama, seorang dokter lewat di lorong, mengenakan jas putih yang bersih dan tergesa seperti biasa.“Dok!” panggil Dimas cepat.Dokter itu berhenti dan menoleh. “Iya, Pak D

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 65

    “Kondisi tak terduga bagaimana, Dok?” tanya Dimas panik, matanya menatap penuh kecemasan.Dokter menunduk sejenak, lalu menghela napas panjang. “Ibu Nayara, saat menjalani operasi... ia terus-menerus mengigau menyebut nama Dhirga.”Dimas mengerutkan kening. “Tunggu, memangnya bisa seseorang mengigau saat sedang dioperasi?”“Sebenarnya sangat langka, Pak Dimas,” jelas dokter sambil memperbaiki posisi duduknya. “Selama saya menjadi dokter, baru dua kali saya mengalami kejadian semacam ini. Biasanya pasien dalam kondisi anestesi total tidak akan bisa berbicara, apalagi mengigau.”Dimas terdiam. Hatinya berdesir.“Apakah mungkin... Nayara rindu pada suaminya, Dok?” tanyanya ragu.“Saya menduga demikian,” jawab dokter tenang. “Kalau boleh memberi saran, sebaiknya Bapak segera menghubungi suaminya. Secara medis kondisi fisik Ibu Nayara stabil, tapi secara emosional, mungkin ia membutuhkan orang yang paling ia rindukan.”Kata-kata dokter itu bagai pisau bermata dua bagi Dimas. Di satu sisi,

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 64

    "Ibu Clarissa," lanjut Sonia dengan suara bergetar, pelan, tapi cukup untuk membuat ruangan interogasi itu seakan runtuh oleh dentuman kejujuran.Kata-kata itu membuat dunia seperti menggelegar dalam telinga Januar. Sebuah senyum tipis merekah di wajahnya—bukan senyum sombong, tapi senyum lega seorang penyidik yang perjuangannya nyaris mencapai garis akhir. Tatapan matanya tajam menusuk ke dalam jiwa Sonia, memastikan bahwa tak ada lagi dusta tersisa.Kesaksian Sonia menjadi potongan terakhir dari puzzle yang telah ia susun dengan hati-hati. Dua alat bukti sah kini telah dikantongi: hasil digital forensik dan pengakuan langsung dari pelaku lain. Itu cukup untuk menetapkan Clarissa sebagai tersangka.Tanpa menunda waktu, Januar keluar dari ruang interogasi dan menuju ruang gelar perkara. Di sana, ia bersama tim penyidik lainnya mempresentasikan seluruh hasil penyelidikan. Setelah melalui pemaparan yang detail dan diskusi yang hangat, keputusan bulat diambil: Clarissa dan Sonia resmi di

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 63

    “Tidak pernah, setahu saya,” jawab Clarissa dengan nada ragu.“Itu jawaban klien kami saat ini, dan mohon dicatat dengan jelas bahwa segala tuduhan harus berdasarkan bukti, bukan asumsi semata,” potong Nikolas tegas, tatapannya tajam mengarah pada penyidik di depannya.Januar, yang sejak tadi mencatat hasil pemeriksaan dengan serius, mengangguk kecil lalu menatap Clarissa lurus-lurus.“Tentu. Tapi saya ingatkan, jika nantinya ditemukan bukti tambahan yang menguatkan dugaan keterlibatan Saudari, maka kami tidak segan menetapkan status hukum yang berbeda,” ucapnya, tegas dan jelas.Suasana ruang interogasi mendadak terasa lebih dingin. Clarissa menggenggam kedua tangannya di pangkuan, berusaha tetap tenang. Januar melanjutkan pertanyaannya dengan suara yang tenang, namun penuh tekanan.“Apakah Saudari pernah meminjamkan ponsel kepada orang lain dalam dua minggu terakhir?”Clarissa menggeleng cepat. “Tidak. Ponsel saya selalu saya pegang sendiri.”Januar kembali mencatat jawabannya, lalu

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 62

    "Kenal, Pak. Dia adalah istri pertama suami saya," jawab Clarissa pelan namun jelas, suaranya sedikit bergetar.Januar menatapnya tajam lalu mengangguk sebelum melanjutkan, "Apakah akun Facebook bernama CA Lovers ini milik Saudari?""Akun Facebook saya hanya satu, Pak. Atas nama Clarissa Anindita," jawabnya tegas.Januar meletakkan satu berkas di atas meja, menatap Clarissa dalam-dalam. "Saudari Clarissa, Saudari barusan menyatakan bahwa akun Facebook CA Lovers bukan milik Saudari. Namun berdasarkan hasil forensik digital, akun tersebut terhubung ke nomor 08xxxxxxx milik Saudari dan beberapa kali terpantau login dari perangkat yang terdaftar atas nama Saudari. Bisa dijelaskan?"Clarissa menelan ludah, tangannya yang di pangkuan mulai bergetar. "Itu bukan akun saya, Pak... Saya nggak tahu siapa yang bikin akun itu."Nikolas segera menyela, "Maaf, saya minta agar pertanyaan ini dijelaskan lebih lanjut datanya. Klien saya tidak bisa memberikan keterangan tanpa melihat bukti teknis yang d

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 61

    “Silakan duduk, Pak Bram,” ujar Januar, menyilakan pria berjas abu-abu itu masuk ke ruang interogasi.Bram Hadiwijaya, CEO Darmaseraya Group, melangkah masuk dengan wajah tenang namun tegang. Pandangannya langsung bertemu dengan mata Clarissa yang sudah lebih dulu duduk di kursi saksi. Keduanya saling menatap sejenak. Tak ada keakraban di antara mereka—hanya kekosongan, seperti dua orang asing yang kebetulan berada di satu ruang yang sama. Bram pun duduk di kursi yang disediakan, tepat di samping Clarissa.“Apakah Bapak mengenal wanita ini?” tanya Januar, membuka percakapan dengan nada datar.“Saya tidak mengenalnya,” jawab Bram cepat dan lugas.Januar mengangguk pelan, mencatat sesuatu di mapnya. Kemudian ia menoleh ke arah Clarissa.“Ibu Clarissa, apakah Anda sudah siap memberikan kesaksian?” tanyanya.Clarissa menoleh, wajahnya tampak cemas. “Saya masih menunggu suami saya, Pak.”Januar menarik napas panjang. Ia tahu bahwa proses tak bisa ditunda terlalu lama, namun situasi ini mem

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status