"Belum, Mas. Ada apa?"
Nayara menoleh sekilas. Ia balik bertanya. Hari Sabtu seperti ini, suasana di rumah mertuanya begitu sepi. Anggota keluarga Mahendra bepergian menikmati waktu akhir pekan. Sedangkan semua pelayan sibuk dengan urusan masing-masing. Sejak kedatangannya, tak satu pun yang peduli pada Nayara. Ia tahu, keberadaannya di rumah ini tidak lebih dari sekadar bayangan. Dhirga bersedekap, matanya mengamati ruangan yang berantakan dengan pakaian yang masih bertumpuk. Ia menghela napas, lalu menatap Nayara dengan tatapan penuh curiga. "Kamu nggak buat ulah lagi, kan?" Nayara tersenyum miris, meski hatinya tersayat. Lalu, menggeleng. Nayara masih teringat perlakuan Dhirga padanya tadi. Ia seolah tidak ingin berbicara dengan suaminya. "Kamu tahu maksudku, Nay. Jangan bikin masalah di rumah ini! Karena semua orang sudah cukup terganggu dengan kehadiranmu." Kalimat itu menghantam Nayara lebih keras dari tamparan. "Mengganggu? Aku di sini karena Ayahku menukar nyawanya dengan pernikahan ini. Aku di sini karena Ibu masih koma dan butuh biaya yang kamu janjikan. Aku di sini bukan kemauanku, Mas!" Dhirga terdiam. Wajahnya tetap tanpa ekspresi. Ia dan seluruh anggota keluarga Mahendra tahu hal itu! "Jangan salahin aku atas kesepakatan yang dibuat Ayahmu! Aku sudah menepati janjiku menikahi kamu dan membiayai pengobatan Ibumu, kan?" Nayara membalas, "Tapi, menikahi aku bukan berarti memperlakukan aku seperti budak!" Dhirga tertawa sinis. "Istri? Kamu mau aku perlakuan seperti Istri? Kita hanya dua orang asing yang terjebak dalam janji. Kamu tahu itu, Nay." Nayara menggigit bibirnya. "Iya, aku tahu. Tapi, setidaknya hargai aku sebagai manusia!" Dhirga berjalan mendekat, menatap wajah Istrinya yang penuh luka bakar. Luka yang ia sebabkan. Luka yang mengingatkan bahwa semua ini terjadi karena dirinya. Dhirga menyeret Nayara ke depan wastafel. "Lihat wajah kamu!" Dhirga berdiri di belakang Nayara. Tangannya mencubit dagu Istrinya. Lalu, memaksa Nayara untuk melihat pantulan dirinya sendiri di cermin wastafel. "Seandainya malam itu aku nggak mabuk, pernikahan ini nggak akan pernah terjadi," kata Dhirga, sinis. "Tapi kamu mabuk, Mas! Kamu nabrak kami. Kamulah yang membunuh Ayahku. Kamu juga yang menghancurkan hidupku! Semua ini salahmu!" Entah memiliki keberanian dari mana, Nayara berkata tanpa jeda sampai kedua matanya basah. Dhirga tercengang. Jika selama ini Nayara hanya diam dan menjadi sosok Istri yang penurut, tapi tidak dengan hari ini! Tangan Dhirga terangkat. Plak! Dhirga menamparnya lagi. Kata-kata Nayara seperti belati yang menusuk dadanya. "Dengar, Nay! Jangan pernah ucapkan kata-kata itu lagi! Kalau kamu membangkang, jangan salahin aku bertindak kejam pada Ibumu!" Dada Nayara terasa sesak. Ia menunduk, menyembunyikan air matanya. Ia tidak bisa berkata-kata. Hening. Dhirga akhirnya melangkah pergi, meninggalkan Nayara yang menangis. Setelah merasa tenang, Nayara segera merapikan pekerjaannya. Tidak lama, Nayara masuk ke kamarnya. Kamar yang jauh dari kamar utama. Sejak menikah, ia dan Dhirga tak pernah tidur di kamar yang sama. Rumah besar ini bukan tempatnya. Ia hanya seorang perempuan tak diinginkan. Nayara duduk di atas sajadah. Menghela napas panjang, lalu mengangkat tangannya. "Ya Allah… sampai kapan aku harus bertahan seperti ini?" Air matanya jatuh. Ia menangis dalam sujudnya, memohon agar penderitaannya segera berakhir. Nayara ingin bebas. Ingin lepas dari belenggu pernikahannya dengan Dhirga, lelaki yang tidak pernah menganggapnya sebagai Istri. Di luar kamar, Dhirga berdiri diam. Mendengar suara tangis Nayara. Mendengar doa yang dipanjatkannya. Hatinya bergetar… tapi seperti biasa, ia segera menepisnya. Ia berpikir bahwa Nayara sengaja memancing rasa empatinya. Keesokan harinya, Nayara sudah selesai memasak sarapan untuk Dhirga dan keluarganya. Semua orang sudah duduk di meja makan. "Mas, makan dulu. Sarapannya sudah siap," ucap Nayara pelan. Terselip harapan pada kata-kata Nayara. Ia ingin Dhirga mencicipi masakannya pagi ini. Dhirga menapaki kakinya di anak tangga paling bawah. Ia menghentikan langkah. Matanya sekilas melirik perempuan yang tengah berdiri di meja makan. Namun, tatapan itu tak lebih dari lirikan kosong. "Ada Clarissa di depan," ujar Dhirga, singkat. Nayara terpaku. Hatinya perih mendengar nama perempuan yang menghuni hati suaminya. Ia menahan perasaannya. Tatapannya mengikuti langkah Dhirga, berharap ada sedikit empati yang ditinggalkan untuknya. Dengan langkah tertatih, Nayara mencoba menyusul. Tongkat di tangannya menopang tubuh yang lemah. Setiap langkah terasa berat, tapi ia tetap memaksakan diri. Belum sempat mencapai ruang tamu, telinganya menangkap suara percakapan yang samar-samar dari arah ruang tengah. Langkah Nayara terhenti. Napasnya seolah tersendat sehingga tubuhnya membeku. Ia mencoba memfokuskan pendengarannya, berusaha memahami obrolan yang seharusnya tak terdengar oleh siapa pun.“Dimas! Sudah kamu pindahkan perempuan itu?” Suara Oma terdengar tajam dan menggema dari seberang telepon.“Iya, Oma. Sedang aku urus,” jawab Dimas cepat, berusaha terdengar tenang meski jantungnya berdetak tak karuan.Klik.Telepon langsung terputus. Tak ada salam penutup, tak ada waktu untuk membantah. Seperti biasa, Salma bicara dengan nada perintah, tak memberi ruang untuk diskusi.Dimas menghela napas berat lalu menoleh pada Elena yang duduk di sampingnya. Perempuan itu ikut menatapnya, raut wajahnya menyiratkan kekhawatiran yang sama.“Sepertinya memang tak ada pilihan lagi, Len. Aku harus segera pindahkan Nayara malam ini juga,” ujar Dimas, suaranya pelan namun tegas.Elena hanya mengangguk. Sorot matanya tajam, tapi bibirnya membisu. Seolah menyetujui, meski dalam hatinya ada banyak yang ingin ia katakan.Tak lama, seorang dokter lewat di lorong, mengenakan jas putih yang bersih dan tergesa seperti biasa.“Dok!” panggil Dimas cepat.Dokter itu berhenti dan menoleh. “Iya, Pak D
“Kondisi tak terduga bagaimana, Dok?” tanya Dimas panik, matanya menatap penuh kecemasan.Dokter menunduk sejenak, lalu menghela napas panjang. “Ibu Nayara, saat menjalani operasi... ia terus-menerus mengigau menyebut nama Dhirga.”Dimas mengerutkan kening. “Tunggu, memangnya bisa seseorang mengigau saat sedang dioperasi?”“Sebenarnya sangat langka, Pak Dimas,” jelas dokter sambil memperbaiki posisi duduknya. “Selama saya menjadi dokter, baru dua kali saya mengalami kejadian semacam ini. Biasanya pasien dalam kondisi anestesi total tidak akan bisa berbicara, apalagi mengigau.”Dimas terdiam. Hatinya berdesir.“Apakah mungkin... Nayara rindu pada suaminya, Dok?” tanyanya ragu.“Saya menduga demikian,” jawab dokter tenang. “Kalau boleh memberi saran, sebaiknya Bapak segera menghubungi suaminya. Secara medis kondisi fisik Ibu Nayara stabil, tapi secara emosional, mungkin ia membutuhkan orang yang paling ia rindukan.”Kata-kata dokter itu bagai pisau bermata dua bagi Dimas. Di satu sisi,
"Ibu Clarissa," lanjut Sonia dengan suara bergetar, pelan, tapi cukup untuk membuat ruangan interogasi itu seakan runtuh oleh dentuman kejujuran.Kata-kata itu membuat dunia seperti menggelegar dalam telinga Januar. Sebuah senyum tipis merekah di wajahnya—bukan senyum sombong, tapi senyum lega seorang penyidik yang perjuangannya nyaris mencapai garis akhir. Tatapan matanya tajam menusuk ke dalam jiwa Sonia, memastikan bahwa tak ada lagi dusta tersisa.Kesaksian Sonia menjadi potongan terakhir dari puzzle yang telah ia susun dengan hati-hati. Dua alat bukti sah kini telah dikantongi: hasil digital forensik dan pengakuan langsung dari pelaku lain. Itu cukup untuk menetapkan Clarissa sebagai tersangka.Tanpa menunda waktu, Januar keluar dari ruang interogasi dan menuju ruang gelar perkara. Di sana, ia bersama tim penyidik lainnya mempresentasikan seluruh hasil penyelidikan. Setelah melalui pemaparan yang detail dan diskusi yang hangat, keputusan bulat diambil: Clarissa dan Sonia resmi di
“Tidak pernah, setahu saya,” jawab Clarissa dengan nada ragu.“Itu jawaban klien kami saat ini, dan mohon dicatat dengan jelas bahwa segala tuduhan harus berdasarkan bukti, bukan asumsi semata,” potong Nikolas tegas, tatapannya tajam mengarah pada penyidik di depannya.Januar, yang sejak tadi mencatat hasil pemeriksaan dengan serius, mengangguk kecil lalu menatap Clarissa lurus-lurus.“Tentu. Tapi saya ingatkan, jika nantinya ditemukan bukti tambahan yang menguatkan dugaan keterlibatan Saudari, maka kami tidak segan menetapkan status hukum yang berbeda,” ucapnya, tegas dan jelas.Suasana ruang interogasi mendadak terasa lebih dingin. Clarissa menggenggam kedua tangannya di pangkuan, berusaha tetap tenang. Januar melanjutkan pertanyaannya dengan suara yang tenang, namun penuh tekanan.“Apakah Saudari pernah meminjamkan ponsel kepada orang lain dalam dua minggu terakhir?”Clarissa menggeleng cepat. “Tidak. Ponsel saya selalu saya pegang sendiri.”Januar kembali mencatat jawabannya, lalu
"Kenal, Pak. Dia adalah istri pertama suami saya," jawab Clarissa pelan namun jelas, suaranya sedikit bergetar.Januar menatapnya tajam lalu mengangguk sebelum melanjutkan, "Apakah akun Facebook bernama CA Lovers ini milik Saudari?""Akun Facebook saya hanya satu, Pak. Atas nama Clarissa Anindita," jawabnya tegas.Januar meletakkan satu berkas di atas meja, menatap Clarissa dalam-dalam. "Saudari Clarissa, Saudari barusan menyatakan bahwa akun Facebook CA Lovers bukan milik Saudari. Namun berdasarkan hasil forensik digital, akun tersebut terhubung ke nomor 08xxxxxxx milik Saudari dan beberapa kali terpantau login dari perangkat yang terdaftar atas nama Saudari. Bisa dijelaskan?"Clarissa menelan ludah, tangannya yang di pangkuan mulai bergetar. "Itu bukan akun saya, Pak... Saya nggak tahu siapa yang bikin akun itu."Nikolas segera menyela, "Maaf, saya minta agar pertanyaan ini dijelaskan lebih lanjut datanya. Klien saya tidak bisa memberikan keterangan tanpa melihat bukti teknis yang d
“Silakan duduk, Pak Bram,” ujar Januar, menyilakan pria berjas abu-abu itu masuk ke ruang interogasi.Bram Hadiwijaya, CEO Darmaseraya Group, melangkah masuk dengan wajah tenang namun tegang. Pandangannya langsung bertemu dengan mata Clarissa yang sudah lebih dulu duduk di kursi saksi. Keduanya saling menatap sejenak. Tak ada keakraban di antara mereka—hanya kekosongan, seperti dua orang asing yang kebetulan berada di satu ruang yang sama. Bram pun duduk di kursi yang disediakan, tepat di samping Clarissa.“Apakah Bapak mengenal wanita ini?” tanya Januar, membuka percakapan dengan nada datar.“Saya tidak mengenalnya,” jawab Bram cepat dan lugas.Januar mengangguk pelan, mencatat sesuatu di mapnya. Kemudian ia menoleh ke arah Clarissa.“Ibu Clarissa, apakah Anda sudah siap memberikan kesaksian?” tanyanya.Clarissa menoleh, wajahnya tampak cemas. “Saya masih menunggu suami saya, Pak.”Januar menarik napas panjang. Ia tahu bahwa proses tak bisa ditunda terlalu lama, namun situasi ini mem
"Iya, Pak. Pulangnya nanti saya ambil suratnya," balas Dhirga singkat melalui pesan teks. Clarissa yang duduk bersandar di ranjang rumah sakit, memiringkan kepala sedikit sambil menatap wajah suaminya. "Pesan dari siapa?" "Dari satpam rumah. Katanya ada surat penting yang harus aku ambil nanti sore," jawab Dhirga sambil meletakkan kembali ponselnya di meja kecil di samping ranjang. Suaranya tenang, tapi sorot matanya penuh pikiran. Beberapa hari berlalu. Waktu berjalan dengan ritme lambat, namun kepastian kondisi Clarissa menjadi pelipur lara tersendiri bagi Dhirga. Hari itu, matahari bersinar lembut dari jendela rumah sakit saat dokter masuk ke ruangan dengan senyum ringan di wajahnya. "Ibu Clarissa, setelah kami pantau terus selama beberapa hari terakhir, kondisi Ibu kini sudah stabil. Tidak ada lagi indikasi yang mengkhawatirkan. Ibu sudah boleh pulang hari ini," jelas dokter sambil menyerahkan berkas kepada Dhirga. Clarissa mengangguk pelan, wajahnya menunjukkan kelegaan
“Pesan dari siapa, Dim?” tanya Elena sambil menatap gelisah wajah Dimas yang mulai pucat.Dimas menelan ludah, menurunkan ponselnya perlahan. “Dari Dokter Enjelin... Katanya Nayara mengigau memanggil nama suaminya.”Elena menarik napas pelan, lalu menunduk sebentar sebelum menatap Dimas lagi. “Sebagus apa pun niatmu, sebaiknya kamu kembalikan Nayara ke suaminya, Dim. Sebelum semuanya menjadi rumit.”Dimas mengangguk pelan, namun ada keraguan yang jelas tergambar di matanya. “Aku akan kembalikan... Tapi tidak sekarang. Biarkan dia pulih dulu. Aku hanya ingin memastikan dia benar-benar sehat sebelum kembali menghadapi dunia yang menyakitinya.”Sebelum Elena sempat menjawab, seorang ibu-ibu paruh baya datang membawa dua mangkuk soto panas dan dua gelas teh hangat di atas nampan.“Permisi... Ini pesanannya,” katanya ramah sambil meletakkan makanan di meja.“Terima kasih, Bu,” ujar Elena sambil tersenyum. Dimas hanya mengangguk kecil, pikirannya masih tertambat pada pesan singkat yang baru
Sesaat setelah Dimas tiba di lobi Rumah Sakit Internasional Prayoga, langkah kakinya tak bisa ditahan lagi. Ia berlari melewati lorong panjang yang sunyi, hanya terdengar derap sepatunya yang tergesa-gesa. Aroma khas antiseptik rumah sakit menusuk hidung, namun Dimas tidak peduli. Tujuannya hanya satu—ruangan tempat Nayara dirawat.Di depan pintu ruang rawat, Dimas berpapasan dengan dokter yang baru saja keluar. Napasnya memburu."Dok, bagaimana keadaannya?" tanya Dimas dengan nada cemas.Dokter itu mengangguk pelan sambil membetulkan stetoskop yang menggantung di lehernya. Tatapannya tenang namun penuh kehati-hatian."Barusan saya periksa, Ibu Nayara sedang beristirahat. Kondisinya cukup stabil untuk saat ini," jawabnya."Apa dia sempat bertanya tentang siapa yang menyelamatkannya?" Dimas menggali lebih jauh, raut wajahnya tegang.Dokter menghela napas ringan, lalu menatap Dimas dalam-dalam."Tadi beliau sempat bicara dengan suster, dan sesuai permintaan Pak Dimas, suster telah menja