"Terima kasih, Pak," ucap Nayara lembut begitu ia turun dari taksi online yang berhenti tepat di depan gedung utama kantor Darmaseraya Group. Tangannya menggenggam erat tongkat yang selalu menemani langkahnya. Meski perlahan, ia tampak tenang.Langkah Nayara baru beberapa meter dari pintu masuk ketika suara familiar menyapanya."Nay, kamu nggak pakai mobil kantor hari ini?" Sapa Bram"Enggak, Pak. Katanya mobilnya mogok," jawab Nayara tenang sambil tersenyum kecil. Ia berusaha tampak biasa saja meski dalam hatinya masih menyimpan cemas.Bram mengangguk, matanya menatap Nayara sejenak sebelum berkata, "Kalau begitu, nanti sore saya antar pulang ya."Nayara segera menggeleng. "Duh, jangan, Pak. Saya takut suami saya marah."Bram terlihat berpikir sejenak, lalu menimpali, "Kalau begitu, kamu pakai mobil saya saja. Sopir biasa nanti yang antar."Mata Nayara sedikit melebar, lalu mengangguk pelan. "Kalau itu boleh, Pak. Terima kasih banyak, ya." Senyum tipis terukir di bibirnya, tulus namu
"Aku lagi ada masalah," ucap Dhirga pelan, menunduk lesu. Wajahnya tampak berbeda—tak ada lagi sorot tajam, tak ada arogansi yang biasa melekat pada pria itu. Suaranya terdengar berat, seperti sedang memikul beban dunia.Nayara menatap suaminya dengan hati-hati. Selama lebih dari setahun pernikahan mereka, baru kali ini Dhirga Mahendra berbicara dengan nada lembut. Biasanya, Dhirga hanya menunjukkan wajah dingin, kadang membentak, bahkan tak jarang mengabaikannya seolah Nayara bukan siapa-siapa. Namun malam ini... ada sesuatu yang berbeda."Masalah apa, Mas?" tanyanya lirih, pelan seperti takut memancing emosi pria itu.Dhirga menatap tangannya sendiri. Jemarinya bergetar ringan. "Aku punya utang besar di perusahaan. Parahnya lagi, uang yang kupakai itu... uang dari investor."Nayara terdiam. Napasnya tercekat, namun ia berusaha tetap tenang."Untuk apa uang itu, Mas?""Untuk investasi," jawab Dhirga. "Ada tawaran masuk, proyek luar negeri. Imbal baliknya katanya besar. Aku tergiur...
“Oke, Bu. Saya mau,” akhirnya jawaban Sonia terdengar mantap, tanpa ragu sedikit pun.Clarissa tersenyum puas. “Ini kartu namaku, dan ini kartu ATM-nya. Pin-nya 321321. Ini baru DP,” ucap Clarissa pelan tapi penuh tekanan. “Kalau kamu berhasil, aku akan transfer jumlah yang jauh lebih besar ke rekening ini.”Sonia menerima kartu emas dsn kartu nama Clarissa itu dengan tatapan penuh antusias.“Nama saya Sonia, Bu,” ucapnya.“Aku Clarissa, Sonia. Aku tunggu kabar baik darimu. Kamu harus bisa dapatkan foto skandal antara Nayara dan bosnya. Jelas?”“Siap, Bu Clar,” jawab Sonia tegas.Setelah Clarissa pergi, Sonia tak membuang waktu. Ia langsung membuka aplikasi belanja online dan memesan obat tidur dosis tinggi. Ia tahu, waktunya terbatas dan rencana ini harus sempurna.Tak butuh waktu lama, kurir instan tiba di lobi kantor Darmaseraya. Ia menyerahkan paket ke meja resepsionis.“Paket atas nama Ibu Sonia,” kata sang kurir.Resepsionis menerima paket itu, matanya sempat menelusuri tulisan
Sonia menatap layar ponselnya. Pesan dari Clarissa muncul dengan jelas:"Good, cek di ATM ya, aku sudah transfer, nominalnya lebih besar dari sebelumnya."Mata Sonia langsung berbinar seperti kilatan berlian. Senyum licik tersungging di wajahnya. Ia segera meraih tas kecilnya, memasukkan kartu ATM berwarna emas itu, lalu berjalan cepat ke arah mesin ATM di sudut gedung. Di dalam hatinya, Sonia membayangkan deretan angka besar yang akan memenuhi saldo rekening itu. Bayangan hidup mewah sudah menari-nari dalam benaknya. Sepatu mahal, tas branded, perhiasan berkilauan—semua kini terasa semakin dekat dalam genggamannya.Sementara itu, di ruangan CEO, Bram mengerjapkan matanya, terbangun dari tidurnya yang aneh. Pandangannya masih buram, napasnya sedikit berat. Ia mengangkat kepala perlahan, mendapati dirinya tengah berbaring di atas sofa kulit berwarna cokelat tua di sudut ruangan.Kening Bram mengerut."Perasaan tadi aku di kursi kerja," gumamnya, mencoba mengingat. Ia mengedarkan pandan
"Pak Bram," panggil Wisnu dengan ekspresi serius di wajahnya.Bram segera menghampiri, detak jantungnya berdegup tak karuan."Dari hasil pemeriksaan, ada kandungan benzodiazepine dalam teh ini," jelas Wisnu sambil menunjukkan berkas laporan. "Obat penenang kuat, biasa digunakan untuk menginduksi rasa kantuk berat atau bahkan membuat seseorang kehilangan kesadaran dalam waktu singkat."Mendengar itu, rahang Bram mengeras. Tangan kirinya mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih, matanya menyala penuh amarah."Apa maksudnya... ada yang berusaha membuat aku dan Nayara tak sadarkan diri?" gumam Bram lirih, nadanya bergetar. Wajahnya memerah, amarah perlahan memenuhi pikirannya."Bagaimana, Pak Bram? Kasus ini bisa kami selidiki lebih lanjut, asalkan Bapak bersedia membuat laporan resmi," kata Wisnu hati-hati.Bram menggeleng pelan. "Tidak perlu, Wis. Terima kasih banyak sudah membantu. Kalau nanti aku butuh bantuanmu lagi, aku akan hubungi.""Siap, Pak Bram." Wisnu mengangguk hormat,
"Sekarang kamu kemasi semua barang-barangmu dan angkat kaki dari rumah ini!" bentak Dhirga, wajahnya memerah karena amarah yang meledak-ledak."Mas..." suara Nayara lirih, hatinya bagai teriris. "Mengapa kamu setega ini padaku?""Kamu sudah mencoreng nama besar keluarga Mahendra! Sudah tak ada ampun!" bentak Dhirga lebih keras, suaranya menggema di seluruh sudut rumah.Belum sempat Nayara menjawab, suara lain menyeruak di antara ketegangan itu."Babu jelek!" cibir Sintia dengan tatapan menghina, langkah kakinya menghentak lantai. "Sudah dapat kerjaan bagus malah buat skandal murahan! Apa gak malu lihat dirimu di cermin?""Usir saja, Dhirg!" potong Jeni cepat, berdiri di sisi Sintia dengan tangan terlipat di dada, matanya penuh jijik menatap Nayara."Aku sudah perintahkan itu kak," sahut Dhirga dingin, tanpa sedikitpun iba.Nayara hanya diam. Air matanya mengalir tanpa suara. Hatinya berontak, tapi bibirnya tak mampu bersuara. Yang terbayang di pikirannya hanya satu: bagaimana dengan b
Dhirga, Jeni, dan Sintia sontak berlari menuju sumber suara itu. Teriakan nyaring yang baru saja terdengar begitu familiar di telinga mereka. Begitu tiba di tangga, mata mereka membelalak."Clarissa!" teriak Dhirga panik, melihat istri keduanya itu terkapar lemah di lantai marmer dingin.Tubuh Clarissa menggeliat menahan sakit. Kedua tangannya menggenggam perutnya erat-erat, wajahnya pucat pasi, keringat membanjiri pelipisnya."Sayang... tolong... perut aku sakit," erangnya lemah, suaranya nyaris tak terdengar.Dhirga membungkuk, melihat noda darah segar menggenang di bawah tubuh Clarissa."Ada darah!" serunya panik."Cepat, Dhirga! Bawa Clarissa ke rumah sakit sekarang juga!" desak Sintia dengan suara bergetar.Tanpa pikir panjang, Dhirga mengangkat tubuh Clarissa ke pelukannya. Jeni dan Sintia bergegas mengikuti dari belakang. Dengan langkah tergesa, Dhirga membawanya menuju mobil. Dengan cepat ia menyalakan mesin dan menancap gas menuju rumah sakit terdekat.Di dalam mobil, Clariss
Di tempat lain, Nayara melangkah pelan, membawa tas jinjing berisi beberapa helai pakaian. Hujan mulai turun rintik-rintik, membasahi jalanan di sekitar komplek keluarga Mahendra. Malam yang semakin larut membuat jalanan sepi, dan tak satu pun taksi terlihat lewat. Nayara merapatkan jaket tipis yang dikenakannya, berusaha menghalau rasa dingin yang mulai menusuk.Melihat sebuah halte tak jauh dari komplek, Nayara mempercepat langkah dan berteduh di sana. Tubuhnya menggigil, rambutnya basah, dan wajahnya pucat diterpa angin malam. Ia melipat kedua tangannya ke dada, mencoba menjaga tubuhnya tetap hangat.Beberapa menit kemudian, sebuah mobil mendekat dengan lampu sorot yang menyilaukan. Mobil itu berhenti tepat di depan halte. Nayara mengerjap, mengenali mobil itu dengan cepat. Mobil Dhirga.Pintu mobil terbuka dan dari dalam, Dhirga keluar membawa sebuah payung hitam besar. Dengan langkah cepat ia mendekati Nayara, ekspresi wajahnya tegang."Nay, masuk ke mobil," perintah Dhirga, suar
"Iya, Pak. Pulangnya nanti saya ambil suratnya," balas Dhirga singkat melalui pesan teks. Clarissa yang duduk bersandar di ranjang rumah sakit, memiringkan kepala sedikit sambil menatap wajah suaminya. "Pesan dari siapa?" "Dari satpam rumah. Katanya ada surat penting yang harus aku ambil nanti sore," jawab Dhirga sambil meletakkan kembali ponselnya di meja kecil di samping ranjang. Suaranya tenang, tapi sorot matanya penuh pikiran. Beberapa hari berlalu. Waktu berjalan dengan ritme lambat, namun kepastian kondisi Clarissa menjadi pelipur lara tersendiri bagi Dhirga. Hari itu, matahari bersinar lembut dari jendela rumah sakit saat dokter masuk ke ruangan dengan senyum ringan di wajahnya. "Ibu Clarissa, setelah kami pantau terus selama beberapa hari terakhir, kondisi Ibu kini sudah stabil. Tidak ada lagi indikasi yang mengkhawatirkan. Ibu sudah boleh pulang hari ini," jelas dokter sambil menyerahkan berkas kepada Dhirga. Clarissa mengangguk pelan, wajahnya menunjukkan kelegaan
“Pesan dari siapa, Dim?” tanya Elena sambil menatap gelisah wajah Dimas yang mulai pucat.Dimas menelan ludah, menurunkan ponselnya perlahan. “Dari Dokter Enjelin... Katanya Nayara mengigau memanggil nama suaminya.”Elena menarik napas pelan, lalu menunduk sebentar sebelum menatap Dimas lagi. “Sebagus apa pun niatmu, sebaiknya kamu kembalikan Nayara ke suaminya, Dim. Sebelum semuanya menjadi rumit.”Dimas mengangguk pelan, namun ada keraguan yang jelas tergambar di matanya. “Aku akan kembalikan... Tapi tidak sekarang. Biarkan dia pulih dulu. Aku hanya ingin memastikan dia benar-benar sehat sebelum kembali menghadapi dunia yang menyakitinya.”Sebelum Elena sempat menjawab, seorang ibu-ibu paruh baya datang membawa dua mangkuk soto panas dan dua gelas teh hangat di atas nampan.“Permisi... Ini pesanannya,” katanya ramah sambil meletakkan makanan di meja.“Terima kasih, Bu,” ujar Elena sambil tersenyum. Dimas hanya mengangguk kecil, pikirannya masih tertambat pada pesan singkat yang baru
Sesaat setelah Dimas tiba di lobi Rumah Sakit Internasional Prayoga, langkah kakinya tak bisa ditahan lagi. Ia berlari melewati lorong panjang yang sunyi, hanya terdengar derap sepatunya yang tergesa-gesa. Aroma khas antiseptik rumah sakit menusuk hidung, namun Dimas tidak peduli. Tujuannya hanya satu—ruangan tempat Nayara dirawat.Di depan pintu ruang rawat, Dimas berpapasan dengan dokter yang baru saja keluar. Napasnya memburu."Dok, bagaimana keadaannya?" tanya Dimas dengan nada cemas.Dokter itu mengangguk pelan sambil membetulkan stetoskop yang menggantung di lehernya. Tatapannya tenang namun penuh kehati-hatian."Barusan saya periksa, Ibu Nayara sedang beristirahat. Kondisinya cukup stabil untuk saat ini," jawabnya."Apa dia sempat bertanya tentang siapa yang menyelamatkannya?" Dimas menggali lebih jauh, raut wajahnya tegang.Dokter menghela napas ringan, lalu menatap Dimas dalam-dalam."Tadi beliau sempat bicara dengan suster, dan sesuai permintaan Pak Dimas, suster telah menja
“Permisi, Dok.”Suara lembut seorang suster memecah keheningan saat ia mendorong pintu ruangan dokter.“Masuk, Sus,” jawab dokter sambil tetap memandangi layar monitor.Suster itu melangkah masuk, lalu menyerahkan map berwarna biru. “Ini hasil rekam medis pasien setelah operasi, Dok.”“Terima kasih, Sus.” Dokter mengangguk singkat dan menerima map tersebut, kemudian suster itu pamit keluar dengan pelan, meninggalkan ruangan yang kembali sunyi.Dokter membuka lembar demi lembar hasil pemeriksaan, lalu menoleh ke Dimas yang duduk di depannya dengan wajah cemas dan mata tak berkedip.“Pak Dimas,” ujar dokter sambil menata hasil rekam medis di mejanya, “Saya akan jelaskan kondisi Ibu Nayara saat ini.”Dimas langsung menegakkan tubuhnya. “Iya, Dok. Bagaimana hasilnya?” tanyanya dengan suara sedikit gemetar.Dokter tersenyum tipis, lalu mengangguk. “Syukur alhamdulillah, kondisi Ibu Nayara saat ini cukup stabil. Respon tubuhnya terhadap operasi juga sangat baik. Jika tidak ada komplikasi la
Suara monitor berdetak pelan "Tit... tit... tit..." seperti ketukan waktu yang menegangkan.Sudah lebih dari enam jam Dimas duduk terpaku di depan ruang operasi. Wajahnya tegang, mata sembab, dan tangan terus menggenggam erat tas kecil berisi dokumen Nayara. Setiap detik terasa lambat, setiap suara dari dalam ruangan membuat jantungnya melompat. Tak ada yang bisa ia lakukan selain berdoa dalam hati, berharap Tuhan masih mengizinkan Nayara bertahan dan kembali pulih.Sementara itu, di rumah sakit berbeda, suasana mendadak tegang. Seorang dokter dan beberapa suster berlari tergesa menuju ruang NICU. Alarm kecil berbunyi cepat dan tajam.Dhirga, Jeni, Sintia, Leonardo, dan Adinda sontak berdiri. Tanpa pikir panjang, mereka mengikuti dokter dan perawat, rasa takut menguasai mereka. Jantung Dhirga berdetak cepat. Ia tidak siap menerima kabar buruk.Beberapa menit kemudian, seorang dokter keluar dari ruangan dengan wajah muram. Ia menghampiri Dhirga perlahan."Dok... bagaimana kondisi anak
Tok. Tok.Suara ketukan pintu itu memecah keheningan ruangan kerja Bram yang luas dan minimalis."Permisi, Pak," ujar resepsionis dengan sopan saat membuka pintu."Masuk," jawab Bram tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.Namun, ketika ia melihat dua tamu yang berdiri di ambang pintu, ia segera berdiri dari kursinya."Wisnu!" sapa Bram hangat, menjabat tangan pria berseragam yang kini berdiri di hadapannya.Wisnu tersenyum hormat. "Selamat siang, Pak Bram. Perkenalkan, ini AKP Januar, Kanit yang menangani kasus yang Bapak laporkan.""Saya Januar, Pak," ujar pria berpakaian dinas itu sambil menunduk hormat."Silakan duduk. Kamu boleh kembali," kata Bram kepada resepsionis."Baik, Pak," jawabnya lalu menutup pintu dengan sopan.Bram mempersilakan kedua tamunya duduk di sofa kulit hitam yang terletak di pojok ruangan. Kopi hangat dan air mineral telah tersedia di atas meja kecil di depannya."Bagaimana perkembangan kasus saya, Pak Januar?" tanya Bram dengan nada serius, kedua
"Pak Dimas..." suster berlari tergesa ke arah pria yang tengah berdiri gelisah di lorong rumah sakit. "Ada apa, Sus?" tanya Dimas, wajahnya tampak tegang. "Nayara, Pak..." jawab sang suster, nafasnya terengah. Ia seolah menahan sesuatu yang mendesak untuk dikatakan. "Ada apa dengan Nayara?!" suara Dimas meninggi, matanya menatap tajam penuh kekhawatiran. "Nayara kritis, Pak..." akhirnya suster itu menjawab, suaranya pelan namun cukup menusuk telinga siapa pun yang mendengarnya. Tanpa pikir panjang, Dimas berlari menuju ruang ICU, langkahnya cepat dan mantap. Di belakangnya, Dhirga, Jeni, dan Sintia ikut menyusul. Tepat di depan pintu ICU, mereka berpapasan dengan dokter yang menangani Nayara. "Dok, bagaimana keadaan Nayara?" tanya Dimas, suaranya terdengar putus asa. "Iya, Dok... gimana keadaan istri saya?" sela Dhirga dengan nada dibuat-buat seolah benar-benar peduli. Dokter menarik nafas sejenak, lalu menjawab, "Keadaan Nayara kritis. Kami sedang berusaha semaksimal m
“Jangan ikut campur kamu, Ardi!” bentak Dimas, suaranya menggelegar memantul di sepanjang koridor rumah sakit.Ardi Kusuma Prayoga, seorang direktur utama di Rumah Sakit Internasional Prayoga, melangkah mendekat. Wajahnya datar, tapi matanya menyorotkan ketidaksenangan. Ia adalah adik sepupu Dimas, satu darah, satu garis keturunan, namun hubungan mereka jauh dari kata harmonis. Sejak Dimas dipercaya menggantikan ayahnya sebagai pimpinan Prayoga Group—konglomerasi besar yang menaungi berbagai lini bisnis termasuk rumah sakit ini—api cemburu terus membara di dada Ardi.“Bagaimana aku bisa diam kalau suara kalian terdengar sampai ke dalam?” sahut Ardi tajam. “Kalian pikir tempat ini pasar?”Ia tertawa sinis, nada tawanya seperti ejekan yang ditusuk dengan pisau tajam.“Oh... jadi perempuan yang dirawat di dalam itu istri kamu?” tanyanya sinis pada Dhirga, matanya melirik ke arah ruang VVIP. “Dan kamu, Dimas... kamu benar-benar tak punya malu. Sudah tak ada perempuan lain di dunia ini sam
"Mau apa kalian ke sini?" tanya Dimas dengan suara dingin namun tegas, saat membuka pintu dari dalam ruangan VVIP tempat Nayara dirawat. Bajunya rapi, wajahnya tegang, dan matanya memerah menahan amarah. Di belakangnya, terlihat tubuh Nayara terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit, diselimuti selimut putih dengan infus menggantung di sampingnya."Harusnya aku yang bertanya! Kenapa kamu bawa kabur Nayara tanpa seizinku?!" bentak Dhirga dengan mata melotot, rahangnya mengeras. Napasnya memburu, dadanya naik turun dengan cepat. Ia benar-benar terbakar emosi.Dimas menutup pintu pelan, lalu berjalan mendekat ke arah Dhirga dengan tatapan yang tak gentar."Bawa kabur? Seharusnya aku yang ambil Nayara dari kamu, Dhirga! Dia lebih pantas menjauh dari kamu!" suaranya meninggi, dan aura protektif terpancar dari sikapnya."Apa maksudmu, hah?!" Dhirga mencengkram kerah jas Dimas, namun Dimas tak mundur. Dengan tenang, ia menarik selembar kertas dari map di tangannya dan menyodorkannya ke waj