Share

BAB 5

Author: Dana Jaryanto
last update Last Updated: 2025-04-09 11:36:35

"Tapi, pesta itu juga akan menjadi momen pengumuman pernikahan kedua Dhirga dengan Clarissa."

Nayara menegang. Dadanya terasa seperti dihantam benda tajam.

Jeni terkikik. "Kasihan sekali, ya! Baru setahun jadi istri, sudah mau dimadu."

Clarissa menatap Nayara dengan sorot penuh kemenangan.

"Aku sudah menunggu saat ini, Nayara. Aku dan Dhirga memang seharusnya bersama."

Bukannya malu, Clarissa justru berkata secara terang-terangan. Padahal Clarissa dan Nayara sama-sama perempuan. Seharusnya, Clarissa tahu isi hati Nayara sangat rapuh.

Istri mana yang sanggup melihat pernikahan kedua suaminya? Apalagi, calon madunya sedang berbadan dua.

Nayara tidak menunjukkan ekspresi terkejut. Ia hanya diam, menatap lurus ke arah Dhirga.

"Jadi ini keputusanmu, Mas?"

Dhirga mengangguk tanpa ragu. "Ya."

Jawaban itu terdengar ringan, seakan pernikahan mereka selama hampir setahun ini tidak berarti apa-apa.

Adinda menyilangkan tangan di dadanya. "Dan kau sendiri yang akan mengumumkannya besok, Nayara. Kau yang akan memberi tahu para tamu bahwa kau merelakan Suamimu untuk wanita lain."

Jantung Nayara mencelos, tetapi ia tetap mempertahankan ekspresi dinginnya.

"Kenapa harus saya?" tanyanya dengan suara tenang, meski dalam hatinya ada badai yang berputar liar.

"Supaya semua orang tahu kau ikhlas. Lagi pula, itu satu-satunya yang bisa kau lakukan setelah apa yang sudah keluarga kami berikan," sahut Leonardo tanpa perasaan.

Nayara mengepalkan tangannya erat. "Setahun ini saya sudah cukup berkorban. Saya tinggal di rumah ini bukan karena saya ingin. Tapi, karena ayah yang meminta sebelum mengembuskan napas terakhirnya. Dhirga berhutang nyawa pada Ayah saya!"

Adinda berdiri.

Plak!

Tangan Adinda melayang ke pipi Nayara, meninggalkan bekas merah yang membakar.

"Jangan bicara seolah-olah kau korban. Kau yang seharusnya berterima kasih karena masih dibiarkan tinggal di sini!" bentaknya.

Jeni dan Sintia tertawa kecil.

"Siapa yang mau mempertahankan perempuan cacat seperti kamu?" kata Sintia penuh ejekan. "Dhirga bahkan tidak pernah menyentuhmu, kan? Satu tahun menikah, tapi kalian masih seperti orang asing."

Nayara menggigit bibirnya kuat-kuat. Air mata menggenang di sudut matanya, tetapi ia menahannya mati-matian.

Dhirga tetap diam. Ia tidak membela dan tidak berniat untuk menyangkal.

"Saya...." Nayara menelan ludah. "Sudah selesai, kan? Boleh saya pergi sekarang?"

Leonardo melambaikan tangannya dengan malas. "Pergilah! Jangan berpikir untuk melakukan sesuatu yang bodoh besok!"

Tanpa menoleh lagi, Nayara berbalik dan berjalan pergi dengan hati yang hancur berkeping-keping.

Tawa mengejek masih terdengar di belakangnya.

Nayara kembali ke kamar, menatap langit-langit yang tampak redup diterpa cahaya lampu. Hatinya masih terasa perih, luka yang belum juga mengering. Sesaat, pikirannya melayang, terbesit keinginan untuk menyerah, meninggalkan rumah ini, pergi sejauh mungkin dari semua penderitaan.

Tapi, bagaimana dengan Ibunya?

Jika Nayara pergi, taruhannya adalah nyawa Ibunya. Keluarga Dhirga pasti akan menghentikan seluruh biaya pengobatan Ibu, dan Nayara tidak sanggup membayangkan hal itu terjadi.

Beberapa jam berlalu, air mata yang tadi membanjiri pipinya kini telah mengering. Tenggorokannya terasa kering, perih setelah begitu lama menangis dalam kesunyian.

Dengan langkah tertatih, Nayara bangkit dari tempat tidur, mengambil tongkatnya, lalu keluar dari kamar menuju dapur untuk membuat secangkir kopi.

Saat sedang menuangkan air panas, suara langkah lain terdengar mendekat. Ia menoleh dan mendapati Dhirga berdiri di sana, tengah mengambil minuman untuk dirinya sendiri.

"Mas, kenapa harus aku yang memberitahu seluruh tamu besok tentang rencana pernikahanmu dengan Clarissa?" Suara Nayara memecah kesunyian.

Dhirga tersentak, matanya melebar sesaat sebelum kembali memasang ekspresi dingin.

"Sssttt... Jangan bahas di sini! Ini sudah malam, Nay!" Ia kesal.

Tanpa aba-aba, Dhirga menarik tangan Nayara dengan kasar, menyeretnya keluar dari dapur. Nayara kehilangan keseimbangan dan terjatuh bersama tongkatnya.

"Aaarrgghh! Sakit, Mas...."

Nayara meringis, tangannya gemetar saat berusaha meraih tongkatnya kembali.

"Jangan berisik!" geram Dhirga. "Aku tunggu kamu di taman depan sekarang!"

Tanpa menoleh lagi, Dhirga melangkah pergi, meninggalkan Nayara yang masih terjatuh di lantai.

Dengan susah payah, Nayara mencoba bangkit. Air mata yang sempat reda kembali menggenang di pelupuk matanya. Ia menggenggam erat tongkatnya, menegakkan tubuh, lalu melangkah tertatih menuju taman kecil yang berada di depan rumah megah keluarga Mahendra.

Taman itu dikelilingi pagar besi berukir yang dipenuhi tanaman rambat. Lampu-lampu taman berbentuk lentera menyebarkan cahaya keemasan yang lembut, menerangi jalan setapak berbatu yang membelah taman menjadi beberapa bagian.

Di tengahnya, ada sebuah air mancur kecil dengan patung angsa berlapis marmer putih. Bunga-bunga mawar merah dan putih tertata rapi di sekelilingnya, semerbak harumnya terbawa angin malam yang berhembus pelan.

Namun, keindahan taman itu tidak mampu menghapus luka di hati Nayara.

Dhirga berdiri di dekat air mancur dengan tangan terlipat di dada. Saat melihat Nayara datang, ia menghela napas kasar.

"Nay, apa salahnya kamu bilang ke seluruh tamu tentang pernikahanku dengan Clarissa? Semua itu juga demi kebaikan kamu."

Nayara menatap suaminya dengan mata yang berkaca-kaca. Bibirnya bergetar, mencoba menahan isakan yang ingin pecah.

"Tidak bisa, Mas. Aku masih punya harga diri."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 66

    “Dimas! Sudah kamu pindahkan perempuan itu?” Suara Oma terdengar tajam dan menggema dari seberang telepon.“Iya, Oma. Sedang aku urus,” jawab Dimas cepat, berusaha terdengar tenang meski jantungnya berdetak tak karuan.Klik.Telepon langsung terputus. Tak ada salam penutup, tak ada waktu untuk membantah. Seperti biasa, Salma bicara dengan nada perintah, tak memberi ruang untuk diskusi.Dimas menghela napas berat lalu menoleh pada Elena yang duduk di sampingnya. Perempuan itu ikut menatapnya, raut wajahnya menyiratkan kekhawatiran yang sama.“Sepertinya memang tak ada pilihan lagi, Len. Aku harus segera pindahkan Nayara malam ini juga,” ujar Dimas, suaranya pelan namun tegas.Elena hanya mengangguk. Sorot matanya tajam, tapi bibirnya membisu. Seolah menyetujui, meski dalam hatinya ada banyak yang ingin ia katakan.Tak lama, seorang dokter lewat di lorong, mengenakan jas putih yang bersih dan tergesa seperti biasa.“Dok!” panggil Dimas cepat.Dokter itu berhenti dan menoleh. “Iya, Pak D

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 65

    “Kondisi tak terduga bagaimana, Dok?” tanya Dimas panik, matanya menatap penuh kecemasan.Dokter menunduk sejenak, lalu menghela napas panjang. “Ibu Nayara, saat menjalani operasi... ia terus-menerus mengigau menyebut nama Dhirga.”Dimas mengerutkan kening. “Tunggu, memangnya bisa seseorang mengigau saat sedang dioperasi?”“Sebenarnya sangat langka, Pak Dimas,” jelas dokter sambil memperbaiki posisi duduknya. “Selama saya menjadi dokter, baru dua kali saya mengalami kejadian semacam ini. Biasanya pasien dalam kondisi anestesi total tidak akan bisa berbicara, apalagi mengigau.”Dimas terdiam. Hatinya berdesir.“Apakah mungkin... Nayara rindu pada suaminya, Dok?” tanyanya ragu.“Saya menduga demikian,” jawab dokter tenang. “Kalau boleh memberi saran, sebaiknya Bapak segera menghubungi suaminya. Secara medis kondisi fisik Ibu Nayara stabil, tapi secara emosional, mungkin ia membutuhkan orang yang paling ia rindukan.”Kata-kata dokter itu bagai pisau bermata dua bagi Dimas. Di satu sisi,

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 64

    "Ibu Clarissa," lanjut Sonia dengan suara bergetar, pelan, tapi cukup untuk membuat ruangan interogasi itu seakan runtuh oleh dentuman kejujuran.Kata-kata itu membuat dunia seperti menggelegar dalam telinga Januar. Sebuah senyum tipis merekah di wajahnya—bukan senyum sombong, tapi senyum lega seorang penyidik yang perjuangannya nyaris mencapai garis akhir. Tatapan matanya tajam menusuk ke dalam jiwa Sonia, memastikan bahwa tak ada lagi dusta tersisa.Kesaksian Sonia menjadi potongan terakhir dari puzzle yang telah ia susun dengan hati-hati. Dua alat bukti sah kini telah dikantongi: hasil digital forensik dan pengakuan langsung dari pelaku lain. Itu cukup untuk menetapkan Clarissa sebagai tersangka.Tanpa menunda waktu, Januar keluar dari ruang interogasi dan menuju ruang gelar perkara. Di sana, ia bersama tim penyidik lainnya mempresentasikan seluruh hasil penyelidikan. Setelah melalui pemaparan yang detail dan diskusi yang hangat, keputusan bulat diambil: Clarissa dan Sonia resmi di

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 63

    “Tidak pernah, setahu saya,” jawab Clarissa dengan nada ragu.“Itu jawaban klien kami saat ini, dan mohon dicatat dengan jelas bahwa segala tuduhan harus berdasarkan bukti, bukan asumsi semata,” potong Nikolas tegas, tatapannya tajam mengarah pada penyidik di depannya.Januar, yang sejak tadi mencatat hasil pemeriksaan dengan serius, mengangguk kecil lalu menatap Clarissa lurus-lurus.“Tentu. Tapi saya ingatkan, jika nantinya ditemukan bukti tambahan yang menguatkan dugaan keterlibatan Saudari, maka kami tidak segan menetapkan status hukum yang berbeda,” ucapnya, tegas dan jelas.Suasana ruang interogasi mendadak terasa lebih dingin. Clarissa menggenggam kedua tangannya di pangkuan, berusaha tetap tenang. Januar melanjutkan pertanyaannya dengan suara yang tenang, namun penuh tekanan.“Apakah Saudari pernah meminjamkan ponsel kepada orang lain dalam dua minggu terakhir?”Clarissa menggeleng cepat. “Tidak. Ponsel saya selalu saya pegang sendiri.”Januar kembali mencatat jawabannya, lalu

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 62

    "Kenal, Pak. Dia adalah istri pertama suami saya," jawab Clarissa pelan namun jelas, suaranya sedikit bergetar.Januar menatapnya tajam lalu mengangguk sebelum melanjutkan, "Apakah akun Facebook bernama CA Lovers ini milik Saudari?""Akun Facebook saya hanya satu, Pak. Atas nama Clarissa Anindita," jawabnya tegas.Januar meletakkan satu berkas di atas meja, menatap Clarissa dalam-dalam. "Saudari Clarissa, Saudari barusan menyatakan bahwa akun Facebook CA Lovers bukan milik Saudari. Namun berdasarkan hasil forensik digital, akun tersebut terhubung ke nomor 08xxxxxxx milik Saudari dan beberapa kali terpantau login dari perangkat yang terdaftar atas nama Saudari. Bisa dijelaskan?"Clarissa menelan ludah, tangannya yang di pangkuan mulai bergetar. "Itu bukan akun saya, Pak... Saya nggak tahu siapa yang bikin akun itu."Nikolas segera menyela, "Maaf, saya minta agar pertanyaan ini dijelaskan lebih lanjut datanya. Klien saya tidak bisa memberikan keterangan tanpa melihat bukti teknis yang d

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 61

    “Silakan duduk, Pak Bram,” ujar Januar, menyilakan pria berjas abu-abu itu masuk ke ruang interogasi.Bram Hadiwijaya, CEO Darmaseraya Group, melangkah masuk dengan wajah tenang namun tegang. Pandangannya langsung bertemu dengan mata Clarissa yang sudah lebih dulu duduk di kursi saksi. Keduanya saling menatap sejenak. Tak ada keakraban di antara mereka—hanya kekosongan, seperti dua orang asing yang kebetulan berada di satu ruang yang sama. Bram pun duduk di kursi yang disediakan, tepat di samping Clarissa.“Apakah Bapak mengenal wanita ini?” tanya Januar, membuka percakapan dengan nada datar.“Saya tidak mengenalnya,” jawab Bram cepat dan lugas.Januar mengangguk pelan, mencatat sesuatu di mapnya. Kemudian ia menoleh ke arah Clarissa.“Ibu Clarissa, apakah Anda sudah siap memberikan kesaksian?” tanyanya.Clarissa menoleh, wajahnya tampak cemas. “Saya masih menunggu suami saya, Pak.”Januar menarik napas panjang. Ia tahu bahwa proses tak bisa ditunda terlalu lama, namun situasi ini mem

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 60

    "Iya, Pak. Pulangnya nanti saya ambil suratnya," balas Dhirga singkat melalui pesan teks. Clarissa yang duduk bersandar di ranjang rumah sakit, memiringkan kepala sedikit sambil menatap wajah suaminya. "Pesan dari siapa?" "Dari satpam rumah. Katanya ada surat penting yang harus aku ambil nanti sore," jawab Dhirga sambil meletakkan kembali ponselnya di meja kecil di samping ranjang. Suaranya tenang, tapi sorot matanya penuh pikiran. Beberapa hari berlalu. Waktu berjalan dengan ritme lambat, namun kepastian kondisi Clarissa menjadi pelipur lara tersendiri bagi Dhirga. Hari itu, matahari bersinar lembut dari jendela rumah sakit saat dokter masuk ke ruangan dengan senyum ringan di wajahnya. "Ibu Clarissa, setelah kami pantau terus selama beberapa hari terakhir, kondisi Ibu kini sudah stabil. Tidak ada lagi indikasi yang mengkhawatirkan. Ibu sudah boleh pulang hari ini," jelas dokter sambil menyerahkan berkas kepada Dhirga. Clarissa mengangguk pelan, wajahnya menunjukkan kelegaan

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 59

    “Pesan dari siapa, Dim?” tanya Elena sambil menatap gelisah wajah Dimas yang mulai pucat.Dimas menelan ludah, menurunkan ponselnya perlahan. “Dari Dokter Enjelin... Katanya Nayara mengigau memanggil nama suaminya.”Elena menarik napas pelan, lalu menunduk sebentar sebelum menatap Dimas lagi. “Sebagus apa pun niatmu, sebaiknya kamu kembalikan Nayara ke suaminya, Dim. Sebelum semuanya menjadi rumit.”Dimas mengangguk pelan, namun ada keraguan yang jelas tergambar di matanya. “Aku akan kembalikan... Tapi tidak sekarang. Biarkan dia pulih dulu. Aku hanya ingin memastikan dia benar-benar sehat sebelum kembali menghadapi dunia yang menyakitinya.”Sebelum Elena sempat menjawab, seorang ibu-ibu paruh baya datang membawa dua mangkuk soto panas dan dua gelas teh hangat di atas nampan.“Permisi... Ini pesanannya,” katanya ramah sambil meletakkan makanan di meja.“Terima kasih, Bu,” ujar Elena sambil tersenyum. Dimas hanya mengangguk kecil, pikirannya masih tertambat pada pesan singkat yang baru

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 58

    Sesaat setelah Dimas tiba di lobi Rumah Sakit Internasional Prayoga, langkah kakinya tak bisa ditahan lagi. Ia berlari melewati lorong panjang yang sunyi, hanya terdengar derap sepatunya yang tergesa-gesa. Aroma khas antiseptik rumah sakit menusuk hidung, namun Dimas tidak peduli. Tujuannya hanya satu—ruangan tempat Nayara dirawat.Di depan pintu ruang rawat, Dimas berpapasan dengan dokter yang baru saja keluar. Napasnya memburu."Dok, bagaimana keadaannya?" tanya Dimas dengan nada cemas.Dokter itu mengangguk pelan sambil membetulkan stetoskop yang menggantung di lehernya. Tatapannya tenang namun penuh kehati-hatian."Barusan saya periksa, Ibu Nayara sedang beristirahat. Kondisinya cukup stabil untuk saat ini," jawabnya."Apa dia sempat bertanya tentang siapa yang menyelamatkannya?" Dimas menggali lebih jauh, raut wajahnya tegang.Dokter menghela napas ringan, lalu menatap Dimas dalam-dalam."Tadi beliau sempat bicara dengan suster, dan sesuai permintaan Pak Dimas, suster telah menja

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status