"Harga diri, kamu bilang?"
Dhirga meludah ke tanah, ekspresinya penuh penghinaan. Matanya yang tajam menusuk langsung ke arah Nayara, yang berdiri dengan tubuh gemetar. "Harga diri kamu cuma bisa dibayar pakai uang, Nay!" Dhirga mencemooh. "Kamu tahu berapa biaya pengobatan Ibumu? Masih mau bicara soal harga diri sama aku, hah?" "Tapi, Mas—" suara Nayara bergetar, kedua tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. "Cukup, Nay!" bentak Dhirga. "Kalau besok kamu tidak menuruti kemauan keluargaku, aku pastikan nyawa Ibumu terancam!" Ancaman itu bagaikan cambuk yang menghantam jiwanya. Tubuh Nayara membeku. Ia tahu, melawan hanya akan memperburuk keadaan. Malam itu, di taman belakang rumah keluarga Mahendra yang megah, dua hati bertarung dalam kesunyian. Namun, hanya satu yang memegang kendali dan Nayara bukanlah pemenangnya. Keesokan harinya. Hiruk-pikuk memenuhi kediaman keluarga Mahendra. Para pekerja mondar-mandir, menata hidangan mewah di atas meja panjang. Pelayan sibuk menyusun dekorasi. Sementara itu, anggota keluarga Mahendra sudah berdandan rapi, bersiap menyambut para tamu. Di sudut ruangan, Nayara berdiri terpaku di depan cermin kamarnya. Tatapan matanya kosong, menatap bayangannya sendiri—wajah yang selama ini selalu ia hindari. Separuhnya penuh luka bakar. Kulit yang dulunya mulus kini rusak, meninggalkan bekas yang tak hanya di kulitnya, tetapi juga di jiwanya. Gaun putih yang diberikan Dhirga terasa dingin di tubuhnya. Tidak ada kebahagiaan dalam mengenakannya, hanya penderitaan yang semakin dalam. Tanpa mengetuk, pintu kamarnya terbuka kasar. "Heh, cepetan keluar! Tamu sudah datang!" suara Sintia terdengar tajam. Nayara menoleh sekilas, lalu mengangguk pelan. Dengan susah payah, ia meraih tongkatnya dan mulai berjalan keluar kamar. Langkahnya berat, tapi bukan karena fisiknya yang lemah. Ada luka yang lebih dalam dari sekadar tubuhnya—luka yang tidak terlihat oleh mata, namun terasa menyesakkan di dada. Saat Nayara muncul di ruang utama, semua mata langsung tertuju padanya. Bisikan-bisikan mulai terdengar. "Kasihan sekali dia..." "Dia siapa ya? Apa masih ada hubungan darah dengan keluarga Mahendra? Tapi, kenapa cacat seperti itu?" "Lihat, dia bahkan harus pakai tongkat!" Nayara tetap berjalan, meski setiap langkah terasa seperti perjalanan menuju kehancuran. Di tengah pesta yang meriah itu, sepasang mata hitam yang yang tajam menatap Nayara dari kejauhan. Tatapan yang tak sekadar melihat, melainkan mengunci. Seolah mencoba menyelami setiap luka yang kini tertoreh di wajah dan jiwanya. Pria itu adalah Dimas Prayoga, pria yang mengenakan setelan hitam elegan. Ia memperhatikan Nayara dari kejauhan. Di balik senyum tipis Dimas, ada perasaan yang telah dipendamnya selama bertahun-tahun. Dulunya, Nayara dan Dimas hanyalah dua rekan kerja biasa di perusahaan yang kini ia pimpin—Prayoga Group. Namun bagi Dimas, Nayara bukan sekadar teman. Nayara adalah seseorang yang diam-diam ia kagumi sejak masa kuliah. Seorang pria paruh baya mendekati Dimas, menepuk bahunya dengan ringan. "Kau tampak begitu serius, Dimas. Ada yang menarik perhatianmu?" ujar pria itu, yang tak lain adalah pamannya. Dimas tersenyum kecil. "Tidak ada, Paman. Aku hanya menikmati suasana. Pesta saja" Pria itu mengikuti arah pandangan Dimas, lalu tersenyum paham. "Ah, gadis itu... namanya Nayara, bukan? Dulu dia bekerja sebagai office girl di perusahaan kita. Tapi, kok sekarang wajah dan kakinya..." Dimas mengangguk pelan. "Ya, Paman. Aku juga bingung apa yang sudah terjadi dengannya!" Pamannya terdiam sejenak sebelum mengatakan sesuatu. "Kau selalu mematuhi aturan keluarga untuk merintis dari bawah. Aku ingat saat kau hanya seorang karyawan magang di divisi keuangan. Sekarang, kau sudah menjadi penerus Prayoga Group. Tapi tetap saja, aku bisa melihat bahwa ada hal lain yang masih kau perjuangkan." Dimas menghela napas pelan, matanya tak lepas dari sosok Nayara yang kini sedang berjalan dengan bantuan tongkatnya. "Dia tidak tahu statusku, Paman. Tidak tahu bahwa selama ini aku...." Dimas terlihat ragu-ragu. Ia membiarkan kalimatnya menggantung begitu saja. Pamannya menepuk bahunya sekali. "Kalau kamu sungguh menginginkan Nayara, bicaralah! Jangan biarkan waktu menghapus kesempatan yang mungkin hanya datang sekali, Dimas!" Dimas tidak merespon. Bukan tidak ingin mendekati Nayara. Dimas bahkan sudah mencari Nayara dan mempertimbangkan langkah selanjutnya. Dimas tahu, malam ini mungkin adalah awal dari segalanya atau justru akhir dari harapannya. Di saat yang sama, lagi-lagi Nayara mendapatkan perlakuan keji dari salah satu kakak iparnya. "Heh, Babu! Berdiri yang tegap! Jangan bikin malu keluarga!" Suara Jeni terdengar tajam seperti tatapannya saat berbicara dengan Nayara. Nayara menunduk, menahan napas. Hinaan itu sudah biasa. Tapi tetap saja, sakitnya tak pernah berkurang. Suasana berubah seketika ketika seorang wanita masuk dari pintu utama. Clarissa Anindita. Gaun berwarna merah marun yang dikenakannya begitu mewah, berhias detail kristal yang berkilauan setiap kali terkena cahaya. Potongan gaun yang pas menonjolkan tubuhnya yang sempurna. Rambut panjangnya ditata rapi, wajahnya dihiasi riasan yang sempurna. Di sampingnya, seorang pria berdiri dengan gagah. Dhirga Mahendra. Setelan jas hitam membalut tubuhnya dengan sempurna, menambah pesona pria itu. Ia tampak berwibawa dan yang lebih menyakitkan, sama sekali tidak menoleh ke arah Nayara. Para tamu kini hanya tertuju pada Clarissa dan Dhirga. Keduanya benar-benar pasangan yang serasi. Sementara Nayara?“Dimas! Sudah kamu pindahkan perempuan itu?” Suara Oma terdengar tajam dan menggema dari seberang telepon.“Iya, Oma. Sedang aku urus,” jawab Dimas cepat, berusaha terdengar tenang meski jantungnya berdetak tak karuan.Klik.Telepon langsung terputus. Tak ada salam penutup, tak ada waktu untuk membantah. Seperti biasa, Salma bicara dengan nada perintah, tak memberi ruang untuk diskusi.Dimas menghela napas berat lalu menoleh pada Elena yang duduk di sampingnya. Perempuan itu ikut menatapnya, raut wajahnya menyiratkan kekhawatiran yang sama.“Sepertinya memang tak ada pilihan lagi, Len. Aku harus segera pindahkan Nayara malam ini juga,” ujar Dimas, suaranya pelan namun tegas.Elena hanya mengangguk. Sorot matanya tajam, tapi bibirnya membisu. Seolah menyetujui, meski dalam hatinya ada banyak yang ingin ia katakan.Tak lama, seorang dokter lewat di lorong, mengenakan jas putih yang bersih dan tergesa seperti biasa.“Dok!” panggil Dimas cepat.Dokter itu berhenti dan menoleh. “Iya, Pak D
“Kondisi tak terduga bagaimana, Dok?” tanya Dimas panik, matanya menatap penuh kecemasan.Dokter menunduk sejenak, lalu menghela napas panjang. “Ibu Nayara, saat menjalani operasi... ia terus-menerus mengigau menyebut nama Dhirga.”Dimas mengerutkan kening. “Tunggu, memangnya bisa seseorang mengigau saat sedang dioperasi?”“Sebenarnya sangat langka, Pak Dimas,” jelas dokter sambil memperbaiki posisi duduknya. “Selama saya menjadi dokter, baru dua kali saya mengalami kejadian semacam ini. Biasanya pasien dalam kondisi anestesi total tidak akan bisa berbicara, apalagi mengigau.”Dimas terdiam. Hatinya berdesir.“Apakah mungkin... Nayara rindu pada suaminya, Dok?” tanyanya ragu.“Saya menduga demikian,” jawab dokter tenang. “Kalau boleh memberi saran, sebaiknya Bapak segera menghubungi suaminya. Secara medis kondisi fisik Ibu Nayara stabil, tapi secara emosional, mungkin ia membutuhkan orang yang paling ia rindukan.”Kata-kata dokter itu bagai pisau bermata dua bagi Dimas. Di satu sisi,
"Ibu Clarissa," lanjut Sonia dengan suara bergetar, pelan, tapi cukup untuk membuat ruangan interogasi itu seakan runtuh oleh dentuman kejujuran.Kata-kata itu membuat dunia seperti menggelegar dalam telinga Januar. Sebuah senyum tipis merekah di wajahnya—bukan senyum sombong, tapi senyum lega seorang penyidik yang perjuangannya nyaris mencapai garis akhir. Tatapan matanya tajam menusuk ke dalam jiwa Sonia, memastikan bahwa tak ada lagi dusta tersisa.Kesaksian Sonia menjadi potongan terakhir dari puzzle yang telah ia susun dengan hati-hati. Dua alat bukti sah kini telah dikantongi: hasil digital forensik dan pengakuan langsung dari pelaku lain. Itu cukup untuk menetapkan Clarissa sebagai tersangka.Tanpa menunda waktu, Januar keluar dari ruang interogasi dan menuju ruang gelar perkara. Di sana, ia bersama tim penyidik lainnya mempresentasikan seluruh hasil penyelidikan. Setelah melalui pemaparan yang detail dan diskusi yang hangat, keputusan bulat diambil: Clarissa dan Sonia resmi di
“Tidak pernah, setahu saya,” jawab Clarissa dengan nada ragu.“Itu jawaban klien kami saat ini, dan mohon dicatat dengan jelas bahwa segala tuduhan harus berdasarkan bukti, bukan asumsi semata,” potong Nikolas tegas, tatapannya tajam mengarah pada penyidik di depannya.Januar, yang sejak tadi mencatat hasil pemeriksaan dengan serius, mengangguk kecil lalu menatap Clarissa lurus-lurus.“Tentu. Tapi saya ingatkan, jika nantinya ditemukan bukti tambahan yang menguatkan dugaan keterlibatan Saudari, maka kami tidak segan menetapkan status hukum yang berbeda,” ucapnya, tegas dan jelas.Suasana ruang interogasi mendadak terasa lebih dingin. Clarissa menggenggam kedua tangannya di pangkuan, berusaha tetap tenang. Januar melanjutkan pertanyaannya dengan suara yang tenang, namun penuh tekanan.“Apakah Saudari pernah meminjamkan ponsel kepada orang lain dalam dua minggu terakhir?”Clarissa menggeleng cepat. “Tidak. Ponsel saya selalu saya pegang sendiri.”Januar kembali mencatat jawabannya, lalu
"Kenal, Pak. Dia adalah istri pertama suami saya," jawab Clarissa pelan namun jelas, suaranya sedikit bergetar.Januar menatapnya tajam lalu mengangguk sebelum melanjutkan, "Apakah akun Facebook bernama CA Lovers ini milik Saudari?""Akun Facebook saya hanya satu, Pak. Atas nama Clarissa Anindita," jawabnya tegas.Januar meletakkan satu berkas di atas meja, menatap Clarissa dalam-dalam. "Saudari Clarissa, Saudari barusan menyatakan bahwa akun Facebook CA Lovers bukan milik Saudari. Namun berdasarkan hasil forensik digital, akun tersebut terhubung ke nomor 08xxxxxxx milik Saudari dan beberapa kali terpantau login dari perangkat yang terdaftar atas nama Saudari. Bisa dijelaskan?"Clarissa menelan ludah, tangannya yang di pangkuan mulai bergetar. "Itu bukan akun saya, Pak... Saya nggak tahu siapa yang bikin akun itu."Nikolas segera menyela, "Maaf, saya minta agar pertanyaan ini dijelaskan lebih lanjut datanya. Klien saya tidak bisa memberikan keterangan tanpa melihat bukti teknis yang d
“Silakan duduk, Pak Bram,” ujar Januar, menyilakan pria berjas abu-abu itu masuk ke ruang interogasi.Bram Hadiwijaya, CEO Darmaseraya Group, melangkah masuk dengan wajah tenang namun tegang. Pandangannya langsung bertemu dengan mata Clarissa yang sudah lebih dulu duduk di kursi saksi. Keduanya saling menatap sejenak. Tak ada keakraban di antara mereka—hanya kekosongan, seperti dua orang asing yang kebetulan berada di satu ruang yang sama. Bram pun duduk di kursi yang disediakan, tepat di samping Clarissa.“Apakah Bapak mengenal wanita ini?” tanya Januar, membuka percakapan dengan nada datar.“Saya tidak mengenalnya,” jawab Bram cepat dan lugas.Januar mengangguk pelan, mencatat sesuatu di mapnya. Kemudian ia menoleh ke arah Clarissa.“Ibu Clarissa, apakah Anda sudah siap memberikan kesaksian?” tanyanya.Clarissa menoleh, wajahnya tampak cemas. “Saya masih menunggu suami saya, Pak.”Januar menarik napas panjang. Ia tahu bahwa proses tak bisa ditunda terlalu lama, namun situasi ini mem
"Iya, Pak. Pulangnya nanti saya ambil suratnya," balas Dhirga singkat melalui pesan teks. Clarissa yang duduk bersandar di ranjang rumah sakit, memiringkan kepala sedikit sambil menatap wajah suaminya. "Pesan dari siapa?" "Dari satpam rumah. Katanya ada surat penting yang harus aku ambil nanti sore," jawab Dhirga sambil meletakkan kembali ponselnya di meja kecil di samping ranjang. Suaranya tenang, tapi sorot matanya penuh pikiran. Beberapa hari berlalu. Waktu berjalan dengan ritme lambat, namun kepastian kondisi Clarissa menjadi pelipur lara tersendiri bagi Dhirga. Hari itu, matahari bersinar lembut dari jendela rumah sakit saat dokter masuk ke ruangan dengan senyum ringan di wajahnya. "Ibu Clarissa, setelah kami pantau terus selama beberapa hari terakhir, kondisi Ibu kini sudah stabil. Tidak ada lagi indikasi yang mengkhawatirkan. Ibu sudah boleh pulang hari ini," jelas dokter sambil menyerahkan berkas kepada Dhirga. Clarissa mengangguk pelan, wajahnya menunjukkan kelegaan
“Pesan dari siapa, Dim?” tanya Elena sambil menatap gelisah wajah Dimas yang mulai pucat.Dimas menelan ludah, menurunkan ponselnya perlahan. “Dari Dokter Enjelin... Katanya Nayara mengigau memanggil nama suaminya.”Elena menarik napas pelan, lalu menunduk sebentar sebelum menatap Dimas lagi. “Sebagus apa pun niatmu, sebaiknya kamu kembalikan Nayara ke suaminya, Dim. Sebelum semuanya menjadi rumit.”Dimas mengangguk pelan, namun ada keraguan yang jelas tergambar di matanya. “Aku akan kembalikan... Tapi tidak sekarang. Biarkan dia pulih dulu. Aku hanya ingin memastikan dia benar-benar sehat sebelum kembali menghadapi dunia yang menyakitinya.”Sebelum Elena sempat menjawab, seorang ibu-ibu paruh baya datang membawa dua mangkuk soto panas dan dua gelas teh hangat di atas nampan.“Permisi... Ini pesanannya,” katanya ramah sambil meletakkan makanan di meja.“Terima kasih, Bu,” ujar Elena sambil tersenyum. Dimas hanya mengangguk kecil, pikirannya masih tertambat pada pesan singkat yang baru
Sesaat setelah Dimas tiba di lobi Rumah Sakit Internasional Prayoga, langkah kakinya tak bisa ditahan lagi. Ia berlari melewati lorong panjang yang sunyi, hanya terdengar derap sepatunya yang tergesa-gesa. Aroma khas antiseptik rumah sakit menusuk hidung, namun Dimas tidak peduli. Tujuannya hanya satu—ruangan tempat Nayara dirawat.Di depan pintu ruang rawat, Dimas berpapasan dengan dokter yang baru saja keluar. Napasnya memburu."Dok, bagaimana keadaannya?" tanya Dimas dengan nada cemas.Dokter itu mengangguk pelan sambil membetulkan stetoskop yang menggantung di lehernya. Tatapannya tenang namun penuh kehati-hatian."Barusan saya periksa, Ibu Nayara sedang beristirahat. Kondisinya cukup stabil untuk saat ini," jawabnya."Apa dia sempat bertanya tentang siapa yang menyelamatkannya?" Dimas menggali lebih jauh, raut wajahnya tegang.Dokter menghela napas ringan, lalu menatap Dimas dalam-dalam."Tadi beliau sempat bicara dengan suster, dan sesuai permintaan Pak Dimas, suster telah menja