Sekali lagi, keterkejutan menyelimuti suasana. Adinda, ibu mertua Nayara, menatapnya dengan ekspresi terkejut dan jijik seolah mendengar sesuatu yang memalukan.
“Saya menyadari bahwa keluarga Mahendra membutuhkan keturunan untuk meneruskan garis keturunan mereka,” lanjut Nayara, berusaha menahan isak yang mengancam pecah dari dadanya. “Dan karena saya tidak bisa memberikan itu… saya memilih untuk mengalah.” Air mata akhirnya jatuh, mengalir di pipinya yang pucat. Namun, ia tetap tersenyum. Senyum yang begitu menyakitkan. “Saya ikhlas,” ucapnya pelan, meski hatinya menjerit dalam kepedihan. “Saya ikhlas jika suami saya menikah lagi.” Dhirga tidak bereaksi. Wajahnya tetap datar, seolah semua ini bukanlah sesuatu yang penting baginya. Sebaliknya, Clarissa justru mengangkat dagunya dengan penuh kemenangan. Sementara itu, di dalam hati Nayara, hanya ada kehancuran. Akhir dari kata-kata Nayara menjadi pukulan telak baginya. Mana ada seorang istri sah yang rela dimadu? Setelah melakukan segala perintah Dhirga dan mertuanya, Nayara melangkah perlahan menuju kerumunan tamu yang sejak tadi memperhatikannya. Namun, di antara mereka, matanya menangkap sosok yang tak asing. "Dimas?" Suara Nayara lirih, hampir tak terdengar. Tatapannya berkabut, jemarinya mengusap sisa air mata yang masih mengalir. Lelaki itu tidak tampak terkejut. "Nay..." ujar Dimas ragu. Ada banyak emosi di wajahnya—kebingungan, kesedihan, sekaligus kelegaan. Namun, Nayara tak ingin berlama-lama. Ia menarik napas dalam, lalu mengalihkan pandangan. "Maaf, Dim. Aku mau ke belakang." Ucapannya singkat, dingin, seolah tak ingin membuka celah untuk percakapan lebih lanjut. Saat Nayara hendak melangkah, Dimas buru-buru meraih tongkat yang dipegang Nayara. "Nay, tunggu." Langkah Nayara terhenti tepat di depan pintu kamarnya. Ia tak menoleh, hanya berdiri diam, menanti. "Kenapa, Dim?" Akhirnya ia bertanya, suaranya nyaris bergetar. Dimas menelan ludah. Ada begitu banyak yang ingin ia katakan, namun lidahnya terasa kelu. "Boleh aku bicara? Sebentar saja..." Nayara menghela napas panjang. Ia ragu. Jika Dhirga sampai tahu, entah apa yang akan terjadi. "Mau bicara apa? Bicaralah di sini. Aku nggak punya banyak waktu." Dimas menatapnya, mencari jawaban dalam sorot mata itu. "Sudah lebih dari setahun aku nggak bertemu denganmu, Nay. Aku coba cari kabar tentangmu, tapi nggak pernah dapat informasi apa pun. Sekarang, tiba-tiba aku bertemu denganmu di rumah keluarga Mahendra. Apa yang sebenarnya terjadi?" Nayara terdiam. Bibirnya terbuka, namun tak ada kata yang keluar. Menjelaskan segalanya dalam waktu singkat? Mustahil. "Panjang ceritanya, Dim. Aku nggak mungkin cerita sekarang." Ia menelan ludah, mencoba mengalihkan pembicaraan. "Tapi kamu sendiri kenapa ada di sini? Apa kamu punya hubungan dengan keluarga Mahendra?" Dimas tersenyum tipis, seakan sudah menebak pertanyaan itu. "Aku dapat undangan khusus dari Clarissa. Dia sepupuku, Nay." Mata Nayara membelalak. "Apa?" Dunia benar-benar sesempit itu? Ia bertemu teman lamanya dalam momen yang paling tak diinginkan. Dan lebih parahnya lagi, Dimas masih memiliki hubungan darah dengan Clarissa. Namun, tanpa mereka sadari, di balik tembok, sepasang mata tajam tengah mengawasi dengan penuh selidik. Jeni mengerutkan dahi, menyimak percakapan dengan seksama. Dimas melangkah lebih dekat, suaranya merendah. "Nay, aku ingin tahu... kenapa kamu bisa jadi seperti ini? Kapan sebenarnya kamu menikah dengan Dhirga?" Nayara semakin gelisah. Pandangannya mengarah ke depan, memastikan tak ada orang lain yang memperhatikan mereka. Ia tak ingin pertemuannya dengan Dimas menjadi bahan gosip, terutama di rumah ini. "Dim, sepertinya kita cukup sampai di sini saja. Aku nggak mau ada yang melihat kita sedang berdua." Dimas tampak enggan melepaskannya begitu saja. Dengan cepat, ia menyelipkan secarik kertas ke tangan Nayara. "Temui aku besok jam dua belas di alamat ini. Aku harap kamu datang." Nayara menatap kertas itu sesaat sebelum Dimas berbalik dan pergi. Ia masih berdiri diam di tempat, tangannya gemetar menggenggam alamat yang baru saja diberikan. Namun ketenangan itu tak bertahan lama. Suara langkah mendekat dengan cepat, diikuti dengan suara yang tajam menusuk telinga. "Oh, bagus ya!" Nayara menoleh, jantungnya mencelos. Jeni berdiri dengan tangan di pinggang, tatapan matanya seperti pisau yang siap menguliti. "Ada hubungan apa kamu dengan Dimas Prayoga, hah?!" Nada suaranya penuh kecurigaan. Nayara mencoba tetap tenang. "Nggak ada hubungan apa-apa, Kak. Dia cuma teman lama aku." Jeni mendengus sinis. "Ah, mana mungkin babu seperti kamu punya teman kaya raya seperti Dimas?" Mata Jeni menyipit, sorotnya penuh amarah dan penghinaan. Bibirnya menyeringai, seperti singa yang baru saja menemukan mangsanya."Iya, Kak... Dia memang temanku waktu kuliah dan juga saat bekerja sebelum aku menikah dengan Mas Dhirga." Suara Nayara terdengar lemah, namun ada sedikit ketegasan di dalamnya. Matanya menatap lurus ke arah Jeni, meskipun ada ketidaknyamanan yang jelas tergambar di wajahnya."Ada apa ini?!" suara Sintia tiba-tiba memecah suasana. Ia muncul dari belakang dengan ekspresi penasaran sekaligus sinis."Ini, Nayara! Masa dia bilang temenan sama Dimas?" Jeni melipat tangannya di dada, nada suaranya penuh keraguan dan sindiran."Dimas Prayoga? Pimpinan Prayoga Group?!" Sintia membelalakkan mata, nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar."Iya, aku sih nggak percaya," Jeni menambahkan, bibirnya menyunggingkan senyum penuh ejekan.Sintia melangkah lebih dekat, memandang Nayara dari atas ke bawah dengan tatapan meremehkan. "Heh, babu! Sekalinya babu ya tetap babu. Gausah mimpi ketinggian!" suaranya dipenuhi cibiran dan penghinaan.Nayara mengepalkan jemarinya, berusaha mengendalik
"Saya juga mau pernikahan kami diselenggarakan di hotel Raffles karena saya akan mengundang teman-teman kerja saya." Tambah Clarissa Leonardo mengangguk pelan. "Kalau masalah itu, silakan kalian bicara. Papah dan mama selalu mendukung." Setelah mendapatkan persetujuan, Dhirga dan Clarissa segera menuju hotel untuk memesan tanggal pernikahan mereka. Semuanya tampak berjalan sesuai rencana, tanpa kendala berarti. Raffles Hotel. Bukan sekadar hotel mewah, tetapi yang termewah di seluruh Jawa Barat. Berdiri megah di jantung Kota Bogor, hotel ini menjadi simbol eksklusivitas, kemewahan, dan prestise. Dengan arsitektur modern yang berpadu dengan nuansa klasik, setiap sudutnya memancarkan keanggunan. Begitu memasuki lobi, kesan mewah langsung terasa. Langit-langit tinggi dengan lampu kristal yang berkilauan, lantai marmer mengilap, serta aroma bunga segar yang memenuhi udara menciptakan suasana yang begitu berkelas. Para tamu yang datang disambut dengan pelayanan terbaik, seolah mer
Dimas menatap jendela lagi, berharap sosok yang ia nantikan muncul dari keramaian di luar. Namun, yang ia lihat hanyalah orang-orang asing berlalu lalang, sibuk dengan kehidupan mereka masing-masing. Tidak ada Nayara.Pukul 14.00. Ia akhirnya menyerah.Dengan enggan, Dimas bangkit dari kursinya, menyambar jaketnya yang terlipat di sandaran kursi. Ia berjalan keluar restoran dengan langkah pelan. Perasaan kecewa masih menggelayuti hatinya. Mungkin ini kesalahan dirinya sendiri, terlalu berharap pada sesuatu yang belum pasti.Di luar, matahari mulai meredup. Dimas menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Pertemuan yang diharapkannya tak terjadi, tapi entah mengapa, ia merasa ini belum berakhir. Ada sesuatu yang membuatnya yakin, Nayara tidak sengaja menghindarinya. Ia hanya perlu mencari tahu alasannya.Di kamar kecilnya, Nayara terbaring diam. Cahaya redup dari jendela yang setengah terbuka membuat bayangan di dinding tampak bergerak pelan. Matanya menatap langit-lang
Tok! Tok!“Nay, Non Jeni sudah telepon dari tadi. Minta saya untuk membawa kamu pulang sekarang,” suara pelayan masuk ke ruangan, memecah keheningan yang menyelimuti ruang perawatan.“Iya... sebentar, lima menit lagi,” jawab Nayara pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh isak yang masih tertahan.“Baik, saya tunggu di depan,” ujar pelayan itu sopan, lalu menutup pintu dan kembali membiarkan Nayara berdua dengan ibunya.Nayara menggenggam tangan sang ibu yang masih terbaring koma, kulitnya yang dingin membuat hatinya terasa perih.“Ibu... aku pulang dulu ya,” ucapnya serak. “Aku harap ibu cepat sadar, agar kita nggak terus bergantung pada keluarga Mahendra.”Ia mengusap air matanya dan menunduk dalam-dalam. Hatinya berat meninggalkan satu-satunya sosok yang membuatnya kuat. Tapi hidup harus terus berjalan, meski langkahnya tertatih-tatih.Mobil pelayan keluarga Mahendra kembali mengantarkan Nayara ke rumah megah itu. Namun, saat mobil tiba di halaman, terlihat mobil mewah lain juga baru
"Pelayan!" teriak Jeni memanggil."Iya, Non," pelayan berlari menghampiri dengan wajah tegang, napasnya memburu karena tergesa."Buatkan Clarissa minum. Cepat!" perintah Jeni tajam, ekspresinya penuh ketidaksabaran dan kekesalan."Baik, Non." Pelayan itu melirik ke arah Nayara yang masih sibuk memunguti pecahan beling dengan tangan gemetar. "Nay, mau saya bantuin?" bisiknya lirih, penuh simpati."Gausah bantu-bantu Nayara! Kamu urusin kerjaanmu saja!" sahut Jeni dengan nada tinggi."Baik, Non." Pelayan itu menunduk dan segera berlari ke dapur untuk membuatkan minuman sesuai perintah.Sementara itu, Nayara tampak kesulitan untuk bangkit. Tangannya yang terluka terkena pecahan beling membuatnya meringis menahan sakit. Luka kecil di telapak tangannya mengeluarkan darah, namun ia tetap berusaha berdiri. Kakinya sempat terpeleset oleh air yang belum sempat dibersihkan, membuatnya jatuh kembali."Akh..." erangnya pelan.Dengan sisa tenaga dan napas yang tertahan, Nayara bangkit lagi. Ia men
“Paman bisa saja,” ujar Dhirga sambil tersenyum tipis. “Ya sudah, aku pergi dulu ya, Paman”“Ya sudah, pergilah,” sahut sang paman sambil melambaikan tangan pelan.Tanpa membuang waktu, Dhirga segera bergegas meninggalkan Hotel Raffles. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, seolah ada sesuatu yang sangat mendesak menunggu di tujuan.Setibanya di depan gerbang kediaman keluarga Mahendra, seorang satpam menghampirinya dan berkata dengan sopan, “Permisi, Bapak mau bertemu siapa? Kebetulan rumah sedang kosong, semua anggota keluarga Mahendra sedang mengadakan pesta di Hotel Raffles.”Dimas turun dari mobilnya dengan tenang, menyembunyikan kegugupan yang sebenarnya mulai merayap di dadanya. “Oh, saya memang tadi dari Hotel Raffles. Saya diminta Pak Dhirga untuk datang ke sini dan bertemu dengan Nona Nayara.”Satpam itu sempat tampak ragu. Namun setelah mendengar nama Dhirga disebut, ia mengangguk pelan. “Baik, silakan masuk, Pak. Saya panggilkan Non Nayara.”Tanpa menunda, satpam
"Mas, aku bisa jelasin!" seru Nayara sambil spontan melepaskan genggaman tangan Dimas. Tangannya bergerak cepat mengusap pipi yang masih terasa linangan air mata."Masuk, Nay!" bentak Dhirga dengan nada membara."Mas..." Nayara menatap memohon, matanya berkaca-kaca lagi, berharap setidaknya ada sedikit ruang untuk mendengar."Aku bilang masuk!" Dhirga membentak lebih keras, membuat Nayara terkejut dan akhirnya melangkah masuk ke rumah dengan langkah pelan dan tubuh gemetar.Dhirga kini menatap Dimas tajam, matanya menyala seperti bara api. Rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal seolah menahan gejolak yang siap meledak.“Dimas, saya tidak suka Anda mendekati istri saya! Walaupun saat ini Anda bagian dari keluarga besar ini, Anda tidak punya hak mencampuri urusan rumah tangga saya. Termasuk Nayara!” suaranya meninggi, sorot matanya menusuk, napasnya memburu menahan amarah.“Saya minta Anda pergi sekarang juga!”Dimas tidak langsung mundur. Ia menatap Dhirga dengan tatapan tegas, m
"Dimas itu teman aku, Mas... waktu zaman kuliah. Dan aku sempat satu kantor dengannya saat jadi office girl di perusahaan Prayoga Group, itu sebelum aku menikah denganmu." Terang Nayara dengan suara bergetar, matanya menatap Dhirga yang masih berdiri di ambang pintu."Terus kenapa kamu bisa berduaan, Nay!? Di rumah ini lagi!" Nada suara Dhirga meninggi. Rahangnya mengeras, matanya tajam menatap Nayara. Ia bukan marah karena cemburu, bukan karena cinta—tetapi karena harga dirinya sebagai suami dipertaruhkan di depan laki-laki lain.Dhirga tahu, sejak awal pernikahan mereka bukan karena cinta. Hanya janji kepada almarhum ayah Nayara yang mengikatnya. Namun, martabatnya sebagai pria dan kepala keluarga Mahendra tak bisa diinjak begitu saja."Aku juga nggak tahu, Mas. Tiba-tiba dia datang ke rumah ini," jawab Nayara pelan, namun dengan nada penuh tekanan. Ia tahu posisinya lemah, tapi ia juga tahu dirinya tak salah.Dhirga mendekat satu langkah, wajahnya keras namun tenang."Ingat, ya, Na
Sesaat setelah Dimas tiba di lobi Rumah Sakit Internasional Prayoga, langkah kakinya tak bisa ditahan lagi. Ia berlari melewati lorong panjang yang sunyi, hanya terdengar derap sepatunya yang tergesa-gesa. Aroma khas antiseptik rumah sakit menusuk hidung, namun Dimas tidak peduli. Tujuannya hanya satu—ruangan tempat Nayara dirawat.Di depan pintu ruang rawat, Dimas berpapasan dengan dokter yang baru saja keluar. Napasnya memburu."Dok, bagaimana keadaannya?" tanya Dimas dengan nada cemas.Dokter itu mengangguk pelan sambil membetulkan stetoskop yang menggantung di lehernya. Tatapannya tenang namun penuh kehati-hatian."Barusan saya periksa, Ibu Nayara sedang beristirahat. Kondisinya cukup stabil untuk saat ini," jawabnya."Apa dia sempat bertanya tentang siapa yang menyelamatkannya?" Dimas menggali lebih jauh, raut wajahnya tegang.Dokter menghela napas ringan, lalu menatap Dimas dalam-dalam."Tadi beliau sempat bicara dengan suster, dan sesuai permintaan Pak Dimas, suster telah menja
“Permisi, Dok.”Suara lembut seorang suster memecah keheningan saat ia mendorong pintu ruangan dokter.“Masuk, Sus,” jawab dokter sambil tetap memandangi layar monitor.Suster itu melangkah masuk, lalu menyerahkan map berwarna biru. “Ini hasil rekam medis pasien setelah operasi, Dok.”“Terima kasih, Sus.” Dokter mengangguk singkat dan menerima map tersebut, kemudian suster itu pamit keluar dengan pelan, meninggalkan ruangan yang kembali sunyi.Dokter membuka lembar demi lembar hasil pemeriksaan, lalu menoleh ke Dimas yang duduk di depannya dengan wajah cemas dan mata tak berkedip.“Pak Dimas,” ujar dokter sambil menata hasil rekam medis di mejanya, “Saya akan jelaskan kondisi Ibu Nayara saat ini.”Dimas langsung menegakkan tubuhnya. “Iya, Dok. Bagaimana hasilnya?” tanyanya dengan suara sedikit gemetar.Dokter tersenyum tipis, lalu mengangguk. “Syukur alhamdulillah, kondisi Ibu Nayara saat ini cukup stabil. Respon tubuhnya terhadap operasi juga sangat baik. Jika tidak ada komplikasi la
Suara monitor berdetak pelan "Tit... tit... tit..." seperti ketukan waktu yang menegangkan.Sudah lebih dari enam jam Dimas duduk terpaku di depan ruang operasi. Wajahnya tegang, mata sembab, dan tangan terus menggenggam erat tas kecil berisi dokumen Nayara. Setiap detik terasa lambat, setiap suara dari dalam ruangan membuat jantungnya melompat. Tak ada yang bisa ia lakukan selain berdoa dalam hati, berharap Tuhan masih mengizinkan Nayara bertahan dan kembali pulih.Sementara itu, di rumah sakit berbeda, suasana mendadak tegang. Seorang dokter dan beberapa suster berlari tergesa menuju ruang NICU. Alarm kecil berbunyi cepat dan tajam.Dhirga, Jeni, Sintia, Leonardo, dan Adinda sontak berdiri. Tanpa pikir panjang, mereka mengikuti dokter dan perawat, rasa takut menguasai mereka. Jantung Dhirga berdetak cepat. Ia tidak siap menerima kabar buruk.Beberapa menit kemudian, seorang dokter keluar dari ruangan dengan wajah muram. Ia menghampiri Dhirga perlahan."Dok... bagaimana kondisi anak
Tok. Tok.Suara ketukan pintu itu memecah keheningan ruangan kerja Bram yang luas dan minimalis."Permisi, Pak," ujar resepsionis dengan sopan saat membuka pintu."Masuk," jawab Bram tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.Namun, ketika ia melihat dua tamu yang berdiri di ambang pintu, ia segera berdiri dari kursinya."Wisnu!" sapa Bram hangat, menjabat tangan pria berseragam yang kini berdiri di hadapannya.Wisnu tersenyum hormat. "Selamat siang, Pak Bram. Perkenalkan, ini AKP Januar, Kanit yang menangani kasus yang Bapak laporkan.""Saya Januar, Pak," ujar pria berpakaian dinas itu sambil menunduk hormat."Silakan duduk. Kamu boleh kembali," kata Bram kepada resepsionis."Baik, Pak," jawabnya lalu menutup pintu dengan sopan.Bram mempersilakan kedua tamunya duduk di sofa kulit hitam yang terletak di pojok ruangan. Kopi hangat dan air mineral telah tersedia di atas meja kecil di depannya."Bagaimana perkembangan kasus saya, Pak Januar?" tanya Bram dengan nada serius, kedua
"Pak Dimas..." suster berlari tergesa ke arah pria yang tengah berdiri gelisah di lorong rumah sakit. "Ada apa, Sus?" tanya Dimas, wajahnya tampak tegang. "Nayara, Pak..." jawab sang suster, nafasnya terengah. Ia seolah menahan sesuatu yang mendesak untuk dikatakan. "Ada apa dengan Nayara?!" suara Dimas meninggi, matanya menatap tajam penuh kekhawatiran. "Nayara kritis, Pak..." akhirnya suster itu menjawab, suaranya pelan namun cukup menusuk telinga siapa pun yang mendengarnya. Tanpa pikir panjang, Dimas berlari menuju ruang ICU, langkahnya cepat dan mantap. Di belakangnya, Dhirga, Jeni, dan Sintia ikut menyusul. Tepat di depan pintu ICU, mereka berpapasan dengan dokter yang menangani Nayara. "Dok, bagaimana keadaan Nayara?" tanya Dimas, suaranya terdengar putus asa. "Iya, Dok... gimana keadaan istri saya?" sela Dhirga dengan nada dibuat-buat seolah benar-benar peduli. Dokter menarik nafas sejenak, lalu menjawab, "Keadaan Nayara kritis. Kami sedang berusaha semaksimal m
“Jangan ikut campur kamu, Ardi!” bentak Dimas, suaranya menggelegar memantul di sepanjang koridor rumah sakit.Ardi Kusuma Prayoga, seorang direktur utama di Rumah Sakit Internasional Prayoga, melangkah mendekat. Wajahnya datar, tapi matanya menyorotkan ketidaksenangan. Ia adalah adik sepupu Dimas, satu darah, satu garis keturunan, namun hubungan mereka jauh dari kata harmonis. Sejak Dimas dipercaya menggantikan ayahnya sebagai pimpinan Prayoga Group—konglomerasi besar yang menaungi berbagai lini bisnis termasuk rumah sakit ini—api cemburu terus membara di dada Ardi.“Bagaimana aku bisa diam kalau suara kalian terdengar sampai ke dalam?” sahut Ardi tajam. “Kalian pikir tempat ini pasar?”Ia tertawa sinis, nada tawanya seperti ejekan yang ditusuk dengan pisau tajam.“Oh... jadi perempuan yang dirawat di dalam itu istri kamu?” tanyanya sinis pada Dhirga, matanya melirik ke arah ruang VVIP. “Dan kamu, Dimas... kamu benar-benar tak punya malu. Sudah tak ada perempuan lain di dunia ini sam
"Mau apa kalian ke sini?" tanya Dimas dengan suara dingin namun tegas, saat membuka pintu dari dalam ruangan VVIP tempat Nayara dirawat. Bajunya rapi, wajahnya tegang, dan matanya memerah menahan amarah. Di belakangnya, terlihat tubuh Nayara terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit, diselimuti selimut putih dengan infus menggantung di sampingnya."Harusnya aku yang bertanya! Kenapa kamu bawa kabur Nayara tanpa seizinku?!" bentak Dhirga dengan mata melotot, rahangnya mengeras. Napasnya memburu, dadanya naik turun dengan cepat. Ia benar-benar terbakar emosi.Dimas menutup pintu pelan, lalu berjalan mendekat ke arah Dhirga dengan tatapan yang tak gentar."Bawa kabur? Seharusnya aku yang ambil Nayara dari kamu, Dhirga! Dia lebih pantas menjauh dari kamu!" suaranya meninggi, dan aura protektif terpancar dari sikapnya."Apa maksudmu, hah?!" Dhirga mencengkram kerah jas Dimas, namun Dimas tak mundur. Dengan tenang, ia menarik selembar kertas dari map di tangannya dan menyodorkannya ke waj
“Siap, Pak,” jawab dokter singkat, lalu segera berbalik arah memasuki ruang ICU.Adinda datang tergesa bersama Leonardo. Wajahnya cemas, sorot matanya mencari-cari sosok Dhirga. Begitu melihatnya berdiri di sudut lorong rumah sakit, ia langsung mendekat.“Dhirga,” sapa Adinda pelan, “bagaimana keadaan Clarissa?”Dhirga menoleh, matanya sembab, wajahnya kelelahan. “Clarissa belum stabil, Mah…” suaranya nyaris tak terdengar.“Anakmu sudah lahir belum?” tanya Leonardo.“Sudah, Pah… Sebentar lagi akan dipindahkan ke ruang NICU karena lahir prematur,” jawab Dhirga dengan lirih, berusaha tetap tenang meski jantungnya berkecamuk hebat.Belum sempat mereka berbincang lebih jauh, pintu ruang ICU terbuka lebar. Seorang suster mendorong tandu besar beroda yang membawa inkubator transparan. Di dalamnya, seorang bayi mungil terlelap, tubuhnya dibungkus selimut tipis, dan wajahnya begitu damai—meski tubuhnya sangat kecil dan rapuh.“Itu... cucu kita, Pah,” bisik Adinda, matanya berkaca-kaca.Semua
Dimas Prayoga berdiri di depan ruang donor dengan napas tak beraturan. Matanya langsung menatap tubuh Nayara yang terkulai lemah di atas kursi donor. Ia melangkah cepat masuk ke ruangan. "Suster, ini kenapa Nayara seperti ini?" tanyanya dengan suara yang nyaris bergetar. "Beliau baru saja mendonorkan darah untuk pasien yang ada di ruang ICU, Pak. Golongan darahnya sangat langka," jawab suster itu tanpa menoleh, sibuk mencatat. Tanpa banyak bicara, Dimas segera membopong tubuh Nayara keluar dari ruangan. Langkahnya cepat dan mantap. Suster di belakangnya langsung berseru panik. "Pak, mau dibawa ke mana? Pasien belum stabil!" Namun Dimas tak menggubris. Ia membuka pintu mobilnya, meletakkan Nayara dengan hati-hati, lalu tancap gas menuju rumah sakit internasional milik keluarganya. Hujan masih turun, dan jalanan lengang di tengah malam mempercepat lajunya. Sesampainya di rumah sakit, petugas sudah sigap menyambut. Seorang suster datang membawa tandu dorong. "Cepat! Dia kehi