Sekali lagi, keterkejutan menyelimuti suasana. Adinda, ibu mertua Nayara, menatapnya dengan ekspresi terkejut dan jijik seolah mendengar sesuatu yang memalukan.
“Saya menyadari bahwa keluarga Mahendra membutuhkan keturunan untuk meneruskan garis keturunan mereka,” lanjut Nayara, berusaha menahan isak yang mengancam pecah dari dadanya. “Dan karena saya tidak bisa memberikan itu… saya memilih untuk mengalah.” Air mata akhirnya jatuh, mengalir di pipinya yang pucat. Namun, ia tetap tersenyum. Senyum yang begitu menyakitkan. “Saya ikhlas,” ucapnya pelan, meski hatinya menjerit dalam kepedihan. “Saya ikhlas jika suami saya menikah lagi.” Dhirga tidak bereaksi. Wajahnya tetap datar, seolah semua ini bukanlah sesuatu yang penting baginya. Sebaliknya, Clarissa justru mengangkat dagunya dengan penuh kemenangan. Sementara itu, di dalam hati Nayara, hanya ada kehancuran. Akhir dari kata-kata Nayara menjadi pukulan telak baginya. Mana ada seorang istri sah yang rela dimadu? Setelah melakukan segala perintah Dhirga dan mertuanya, Nayara melangkah perlahan menuju kerumunan tamu yang sejak tadi memperhatikannya. Namun, di antara mereka, matanya menangkap sosok yang tak asing. "Dimas?" Suara Nayara lirih, hampir tak terdengar. Tatapannya berkabut, jemarinya mengusap sisa air mata yang masih mengalir. Lelaki itu tidak tampak terkejut. "Nay..." ujar Dimas ragu. Ada banyak emosi di wajahnya—kebingungan, kesedihan, sekaligus kelegaan. Namun, Nayara tak ingin berlama-lama. Ia menarik napas dalam, lalu mengalihkan pandangan. "Maaf, Dim. Aku mau ke belakang." Ucapannya singkat, dingin, seolah tak ingin membuka celah untuk percakapan lebih lanjut. Saat Nayara hendak melangkah, Dimas buru-buru meraih tongkat yang dipegang Nayara. "Nay, tunggu." Langkah Nayara terhenti tepat di depan pintu kamarnya. Ia tak menoleh, hanya berdiri diam, menanti. "Kenapa, Dim?" Akhirnya ia bertanya, suaranya nyaris bergetar. Dimas menelan ludah. Ada begitu banyak yang ingin ia katakan, namun lidahnya terasa kelu. "Boleh aku bicara? Sebentar saja..." Nayara menghela napas panjang. Ia ragu. Jika Dhirga sampai tahu, entah apa yang akan terjadi. "Mau bicara apa? Bicaralah di sini. Aku nggak punya banyak waktu." Dimas menatapnya, mencari jawaban dalam sorot mata itu. "Sudah lebih dari setahun aku nggak bertemu denganmu, Nay. Aku coba cari kabar tentangmu, tapi nggak pernah dapat informasi apa pun. Sekarang, tiba-tiba aku bertemu denganmu di rumah keluarga Mahendra. Apa yang sebenarnya terjadi?" Nayara terdiam. Bibirnya terbuka, namun tak ada kata yang keluar. Menjelaskan segalanya dalam waktu singkat? Mustahil. "Panjang ceritanya, Dim. Aku nggak mungkin cerita sekarang." Ia menelan ludah, mencoba mengalihkan pembicaraan. "Tapi kamu sendiri kenapa ada di sini? Apa kamu punya hubungan dengan keluarga Mahendra?" Dimas tersenyum tipis, seakan sudah menebak pertanyaan itu. "Aku dapat undangan khusus dari Clarissa. Dia sepupuku, Nay." Mata Nayara membelalak. "Apa?" Dunia benar-benar sesempit itu? Ia bertemu teman lamanya dalam momen yang paling tak diinginkan. Dan lebih parahnya lagi, Dimas masih memiliki hubungan darah dengan Clarissa. Namun, tanpa mereka sadari, di balik tembok, sepasang mata tajam tengah mengawasi dengan penuh selidik. Jeni mengerutkan dahi, menyimak percakapan dengan seksama. Dimas melangkah lebih dekat, suaranya merendah. "Nay, aku ingin tahu... kenapa kamu bisa jadi seperti ini? Kapan sebenarnya kamu menikah dengan Dhirga?" Nayara semakin gelisah. Pandangannya mengarah ke depan, memastikan tak ada orang lain yang memperhatikan mereka. Ia tak ingin pertemuannya dengan Dimas menjadi bahan gosip, terutama di rumah ini. "Dim, sepertinya kita cukup sampai di sini saja. Aku nggak mau ada yang melihat kita sedang berdua." Dimas tampak enggan melepaskannya begitu saja. Dengan cepat, ia menyelipkan secarik kertas ke tangan Nayara. "Temui aku besok jam dua belas di alamat ini. Aku harap kamu datang." Nayara menatap kertas itu sesaat sebelum Dimas berbalik dan pergi. Ia masih berdiri diam di tempat, tangannya gemetar menggenggam alamat yang baru saja diberikan. Namun ketenangan itu tak bertahan lama. Suara langkah mendekat dengan cepat, diikuti dengan suara yang tajam menusuk telinga. "Oh, bagus ya!" Nayara menoleh, jantungnya mencelos. Jeni berdiri dengan tangan di pinggang, tatapan matanya seperti pisau yang siap menguliti. "Ada hubungan apa kamu dengan Dimas Prayoga, hah?!" Nada suaranya penuh kecurigaan. Nayara mencoba tetap tenang. "Nggak ada hubungan apa-apa, Kak. Dia cuma teman lama aku." Jeni mendengus sinis. "Ah, mana mungkin babu seperti kamu punya teman kaya raya seperti Dimas?" Mata Jeni menyipit, sorotnya penuh amarah dan penghinaan. Bibirnya menyeringai, seperti singa yang baru saja menemukan mangsanya.“Dimas! Sudah kamu pindahkan perempuan itu?” Suara Oma terdengar tajam dan menggema dari seberang telepon.“Iya, Oma. Sedang aku urus,” jawab Dimas cepat, berusaha terdengar tenang meski jantungnya berdetak tak karuan.Klik.Telepon langsung terputus. Tak ada salam penutup, tak ada waktu untuk membantah. Seperti biasa, Salma bicara dengan nada perintah, tak memberi ruang untuk diskusi.Dimas menghela napas berat lalu menoleh pada Elena yang duduk di sampingnya. Perempuan itu ikut menatapnya, raut wajahnya menyiratkan kekhawatiran yang sama.“Sepertinya memang tak ada pilihan lagi, Len. Aku harus segera pindahkan Nayara malam ini juga,” ujar Dimas, suaranya pelan namun tegas.Elena hanya mengangguk. Sorot matanya tajam, tapi bibirnya membisu. Seolah menyetujui, meski dalam hatinya ada banyak yang ingin ia katakan.Tak lama, seorang dokter lewat di lorong, mengenakan jas putih yang bersih dan tergesa seperti biasa.“Dok!” panggil Dimas cepat.Dokter itu berhenti dan menoleh. “Iya, Pak D
“Kondisi tak terduga bagaimana, Dok?” tanya Dimas panik, matanya menatap penuh kecemasan.Dokter menunduk sejenak, lalu menghela napas panjang. “Ibu Nayara, saat menjalani operasi... ia terus-menerus mengigau menyebut nama Dhirga.”Dimas mengerutkan kening. “Tunggu, memangnya bisa seseorang mengigau saat sedang dioperasi?”“Sebenarnya sangat langka, Pak Dimas,” jelas dokter sambil memperbaiki posisi duduknya. “Selama saya menjadi dokter, baru dua kali saya mengalami kejadian semacam ini. Biasanya pasien dalam kondisi anestesi total tidak akan bisa berbicara, apalagi mengigau.”Dimas terdiam. Hatinya berdesir.“Apakah mungkin... Nayara rindu pada suaminya, Dok?” tanyanya ragu.“Saya menduga demikian,” jawab dokter tenang. “Kalau boleh memberi saran, sebaiknya Bapak segera menghubungi suaminya. Secara medis kondisi fisik Ibu Nayara stabil, tapi secara emosional, mungkin ia membutuhkan orang yang paling ia rindukan.”Kata-kata dokter itu bagai pisau bermata dua bagi Dimas. Di satu sisi,
"Ibu Clarissa," lanjut Sonia dengan suara bergetar, pelan, tapi cukup untuk membuat ruangan interogasi itu seakan runtuh oleh dentuman kejujuran.Kata-kata itu membuat dunia seperti menggelegar dalam telinga Januar. Sebuah senyum tipis merekah di wajahnya—bukan senyum sombong, tapi senyum lega seorang penyidik yang perjuangannya nyaris mencapai garis akhir. Tatapan matanya tajam menusuk ke dalam jiwa Sonia, memastikan bahwa tak ada lagi dusta tersisa.Kesaksian Sonia menjadi potongan terakhir dari puzzle yang telah ia susun dengan hati-hati. Dua alat bukti sah kini telah dikantongi: hasil digital forensik dan pengakuan langsung dari pelaku lain. Itu cukup untuk menetapkan Clarissa sebagai tersangka.Tanpa menunda waktu, Januar keluar dari ruang interogasi dan menuju ruang gelar perkara. Di sana, ia bersama tim penyidik lainnya mempresentasikan seluruh hasil penyelidikan. Setelah melalui pemaparan yang detail dan diskusi yang hangat, keputusan bulat diambil: Clarissa dan Sonia resmi di
“Tidak pernah, setahu saya,” jawab Clarissa dengan nada ragu.“Itu jawaban klien kami saat ini, dan mohon dicatat dengan jelas bahwa segala tuduhan harus berdasarkan bukti, bukan asumsi semata,” potong Nikolas tegas, tatapannya tajam mengarah pada penyidik di depannya.Januar, yang sejak tadi mencatat hasil pemeriksaan dengan serius, mengangguk kecil lalu menatap Clarissa lurus-lurus.“Tentu. Tapi saya ingatkan, jika nantinya ditemukan bukti tambahan yang menguatkan dugaan keterlibatan Saudari, maka kami tidak segan menetapkan status hukum yang berbeda,” ucapnya, tegas dan jelas.Suasana ruang interogasi mendadak terasa lebih dingin. Clarissa menggenggam kedua tangannya di pangkuan, berusaha tetap tenang. Januar melanjutkan pertanyaannya dengan suara yang tenang, namun penuh tekanan.“Apakah Saudari pernah meminjamkan ponsel kepada orang lain dalam dua minggu terakhir?”Clarissa menggeleng cepat. “Tidak. Ponsel saya selalu saya pegang sendiri.”Januar kembali mencatat jawabannya, lalu
"Kenal, Pak. Dia adalah istri pertama suami saya," jawab Clarissa pelan namun jelas, suaranya sedikit bergetar.Januar menatapnya tajam lalu mengangguk sebelum melanjutkan, "Apakah akun Facebook bernama CA Lovers ini milik Saudari?""Akun Facebook saya hanya satu, Pak. Atas nama Clarissa Anindita," jawabnya tegas.Januar meletakkan satu berkas di atas meja, menatap Clarissa dalam-dalam. "Saudari Clarissa, Saudari barusan menyatakan bahwa akun Facebook CA Lovers bukan milik Saudari. Namun berdasarkan hasil forensik digital, akun tersebut terhubung ke nomor 08xxxxxxx milik Saudari dan beberapa kali terpantau login dari perangkat yang terdaftar atas nama Saudari. Bisa dijelaskan?"Clarissa menelan ludah, tangannya yang di pangkuan mulai bergetar. "Itu bukan akun saya, Pak... Saya nggak tahu siapa yang bikin akun itu."Nikolas segera menyela, "Maaf, saya minta agar pertanyaan ini dijelaskan lebih lanjut datanya. Klien saya tidak bisa memberikan keterangan tanpa melihat bukti teknis yang d
“Silakan duduk, Pak Bram,” ujar Januar, menyilakan pria berjas abu-abu itu masuk ke ruang interogasi.Bram Hadiwijaya, CEO Darmaseraya Group, melangkah masuk dengan wajah tenang namun tegang. Pandangannya langsung bertemu dengan mata Clarissa yang sudah lebih dulu duduk di kursi saksi. Keduanya saling menatap sejenak. Tak ada keakraban di antara mereka—hanya kekosongan, seperti dua orang asing yang kebetulan berada di satu ruang yang sama. Bram pun duduk di kursi yang disediakan, tepat di samping Clarissa.“Apakah Bapak mengenal wanita ini?” tanya Januar, membuka percakapan dengan nada datar.“Saya tidak mengenalnya,” jawab Bram cepat dan lugas.Januar mengangguk pelan, mencatat sesuatu di mapnya. Kemudian ia menoleh ke arah Clarissa.“Ibu Clarissa, apakah Anda sudah siap memberikan kesaksian?” tanyanya.Clarissa menoleh, wajahnya tampak cemas. “Saya masih menunggu suami saya, Pak.”Januar menarik napas panjang. Ia tahu bahwa proses tak bisa ditunda terlalu lama, namun situasi ini mem