Nayara hanyalah seorang mempelai wanita yang tidak pernah diinginkan di keluarga Mahendra.
Meskipun pesta ini adalah pesta pernikahan Nayara dan Dhirga yang pertama, tapi ironisnya tokoh utama dalam pesta ini bukanlah Nayara, melainkan calon madunya! Di sudut ruangan, keluarga Mahendra sibuk menjamu kolega bisnis mereka, seolah pesta ini bukanlah tentang ulang tahun pernikahan putranya, melainkan hanya strategi perusahaan. Lalu, momen itu tiba. Pembawa acara melangkah ke tengah panggung dengan penuh percaya diri, mikrofon di tangannya menggema di seluruh ruangan. “Hadirin yang terhormat, hari ini kita berkumpul untuk merayakan momen spesial ulang tahun pernikahan Dhirga Mahendra yang pertama. Kami mengundang Tuan Leonardo Mahendra, Nyonya Adinda, serta putra mereka, Tuan Dhirga, untuk maju ke depan.” Suara tepuk tangan memenuhi ruangan. Leonardo dan Adinda melangkah dengan anggun, menunjukkan wibawa mereka sebagai keluarga terpandang. Sementara itu, Dhirga berjalan lebih lambat di belakang mereka, wajahnya tetap dingin tanpa ekspresi. Setelah mereka berdiri di tengah ruangan, Dhirga mengambil mikrofon dari tangan pembawa acara. Ia menarik napas, lalu menatap para tamu yang kini memperhatikannya dengan antusias. “Hari ini, saya ingin memperkenalkan istri saya secara resmi,” ucap Dhirga dengan suara yang tenang, tetapi tetap tegas. Ruangan kembali sunyi. Para tamu menunggu dengan penuh rasa ingin tahu. "Nayara, sini!" panggil Dhirga, singkat. Dari sudut ruangan, Nayara tampil dengan gaun putih panjang yang sederhana . Ia melangkah maju. Langkah Nayara tertatih dengan bantuan kedua tongkat yang menopang tubuhnya. Wajahnya yang sebagian tertutup luka bakar tampak tegang, tetapi ia berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Nayara berdiri di samping Dhirga. Matanya berusaha mencari ketulusan di wajah pria itu. Namun yang ia temukan hanyalah kebencian dan dendam. Dhirga mencondongkan tubuhnya, berbisik tepat di telinga Nayara. "Segera umumkan pernikahanku dengan Clarissa," desaknya dengan suara rendah yang penuh tekanan. Nayara mengatur keberanian. Kedua tangannya yang memegang tongkat semakin erat, berusaha meredam gemetar di tubuhnya. Nayara menatap wajah para tamu. Puluhan pasang mata tertuju padanya, menunggu apa yang akan ia katakan. Nayara ingin menolak. Ingin berteriak. Ingin mengatakan bahwa ini tidak adil. Namun Nayara tahu, apapun yang dilakukannya hari ini, tidak akan mengubah keputusan Dhirga. Nayara tetaplah boneka dalam permainan keluarga Mahendra. Dan kini, Nayara harus memainkan perannya—meskipun itu berarti menghancurkan dirinya sendiri. "Nona Clarissa, silakan maju ke depan!" Nayara mempertahankan emosi pada nada suaranya agar tetap stabil. Bagaimana pun juga, ia harus berbesar hati menerima takdirnya. Suasana pesta yang tadinya dipenuhi percakapan mendadak senyap. Semua mata tertuju pada tiga sosok yang kini berdiri di hadapan mereka. Clarissa melangkah maju, bergabung di sisi Nayara. Clarissa tersenyum tipis, seolah menganggap semua ini sebagai permainan belaka. Namun, sebelum Nayara sempat melanjutkan perkataannya, tangisnya pecah. Ia berusaha menahan, tetapi air mata itu jatuh begitu saja, mengalir tanpa bisa dikendalikan. Sesak di dadanya semakin menjadi, menenggelamkan semua keberanian yang tadi ia kumpulkan. "Nay! Cepat bicara!" bisik Dhirga dengan nada tajam, penuh ketidaksabaran. Tubuh Nayara bergetar. Kata-kata yang sudah diperintahkan oleh mertuanya kemarin seakan menguap dari ingatannya. Ia ingin bicara, tapi suaranya tertahan di tenggorokan. Jeni yang sedari tadi berdiri di dekatnya, mendekat dan mengelus bahunya seolah memberi dukungan. Namun, di balik gestur lembut itu, terselip niat lain. Jeni berisik di telinga Nayara, "Heh, Babu! Cepat bicara! Jangan diam saja!" Seketika, cubitan mendarat di pinggang Nayara, membuatnya meringis. Sakitnya tidak seberapa dibandingkan luka di hatinya, tetapi penghinaan itu jauh lebih menyakitkan. Seluruh tamu masih menunggu. Ada yang menatapnya dengan iba, tetapi banyak juga yang mulai kehilangan kesabaran. Nayara mengusap air mata yang terus mengalir di pipinya. Napasnya berat. Untuk apa semua ini? Untuk apa ia harus berdiri di sini, di hadapan orang-orang yang hanya ingin menyaksikan kehancurannya? Tangannya yang menggenggam mikrofon semakin erat. Di dalam dadanya, ada sesuatu yang perlahan bangkit—rasa sakit yang bercampur dengan amarah. Nayara menatap ke suaminya dan Clarissa yang berdiri di sampingnya. Nayara menarik napas dalam, berusaha menenangkan debaran di dadanya. Ia mengangkat kembali mikrofon dengan tangan gemetar, menatap tamu-tamu yang menunggu dengan penuh rasa ingin tahu. “Saya.…” Di tengah badai perasaan yang bergejolak, Nayara tetap memaksakan diri untuk tetap berbicara. “Perkenalkan, saya Nayara Prameswari—Istri sah dari Dhirga Mahendra.” Ruangan semakin sunyi. Semua mata tertuju padanya, termasuk mata Dhirga yang kini menatapnya tajam. Dhirga dan keluarganya sudah tidak sabar menunggu Nayara mengumumkan hal penting. “Saya berdiri di sini untuk mengumumkan bahwa … saya merelakan suami saya untuk menikahi Clarissa Anindita.” Beberapa tamu terkejut. Mereka mulai berbisik-bisik, membicarakan keputusan yang dianggap aneh bagi seorang istri sah. Nayara tidak goyah. Ia tetap berdiri tegak, meskipun hatinya sudah remuk. “Saya sadar .…” Suara Nayara mulai bergetar. “Setahun pernikahan kami, saya belum mampu memberikan keturunan untuk keluarga Mahendra. Itulah sebabnya, saya dengan sadar mengizinkan dia menikah lagi." Dhirga yang berdiri di sampingnya hanya mendengarkan tanpa reaksi. Sementara Clarissa melipat tersenyum bahagia. Nayara menundukkan kepalanya sejenak sebelum kembali menguatkan dirinya. “Itu karena… saya tidak akan pernah bisa memiliki anak.” Desas-desus mulai terdengar dari kerumunan tamu. Leonardo Mahendra yang berdiri di dekatnya pun mengernyitkan dahi. Nayara menarik napas panjang, mempersiapkan diri untuk mengungkapkan kenyataan pahit yang selama ini ia pendam sendiri. “Rahim saya… telah diangkat karena tragedi kecelakaan 1 tahun yang lalu” ucapnya lirih, namun cukup jelas untuk didengar semua orang di ruangan itu.Sekali lagi, keterkejutan menyelimuti suasana. Adinda, ibu mertua Nayara, menatapnya dengan ekspresi terkejut dan jijik seolah mendengar sesuatu yang memalukan.“Saya menyadari bahwa keluarga Mahendra membutuhkan keturunan untuk meneruskan garis keturunan mereka,” lanjut Nayara, berusaha menahan isak yang mengancam pecah dari dadanya. “Dan karena saya tidak bisa memberikan itu… saya memilih untuk mengalah.”Air mata akhirnya jatuh, mengalir di pipinya yang pucat. Namun, ia tetap tersenyum. Senyum yang begitu menyakitkan.“Saya ikhlas,” ucapnya pelan, meski hatinya menjerit dalam kepedihan. “Saya ikhlas jika suami saya menikah lagi.”Dhirga tidak bereaksi. Wajahnya tetap datar, seolah semua ini bukanlah sesuatu yang penting baginya.Sebaliknya, Clarissa justru mengangkat dagunya dengan penuh kemenangan.Sementara itu, di dalam hati Nayara, hanya ada kehancuran.Akhir dari kata-kata Nayara menjadi pukulan telak baginya. Mana ada seorang istri sah yang rela dimadu?Setelah melakukan sega
"Iya, Kak... Dia memang temanku waktu kuliah dan juga saat bekerja sebelum aku menikah dengan Mas Dhirga." Suara Nayara terdengar lemah, namun ada sedikit ketegasan di dalamnya. Matanya menatap lurus ke arah Jeni, meskipun ada ketidaknyamanan yang jelas tergambar di wajahnya."Ada apa ini?!" suara Sintia tiba-tiba memecah suasana. Ia muncul dari belakang dengan ekspresi penasaran sekaligus sinis."Ini, Nayara! Masa dia bilang temenan sama Dimas?" Jeni melipat tangannya di dada, nada suaranya penuh keraguan dan sindiran."Dimas Prayoga? Pimpinan Prayoga Group?!" Sintia membelalakkan mata, nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar."Iya, aku sih nggak percaya," Jeni menambahkan, bibirnya menyunggingkan senyum penuh ejekan.Sintia melangkah lebih dekat, memandang Nayara dari atas ke bawah dengan tatapan meremehkan. "Heh, babu! Sekalinya babu ya tetap babu. Gausah mimpi ketinggian!" suaranya dipenuhi cibiran dan penghinaan.Nayara mengepalkan jemarinya, berusaha mengendalik
"Saya juga mau pernikahan kami diselenggarakan di hotel Raffles karena saya akan mengundang teman-teman kerja saya." Tambah Clarissa Leonardo mengangguk pelan. "Kalau masalah itu, silakan kalian bicara. Papah dan mama selalu mendukung." Setelah mendapatkan persetujuan, Dhirga dan Clarissa segera menuju hotel untuk memesan tanggal pernikahan mereka. Semuanya tampak berjalan sesuai rencana, tanpa kendala berarti. Raffles Hotel. Bukan sekadar hotel mewah, tetapi yang termewah di seluruh Jawa Barat. Berdiri megah di jantung Kota Bogor, hotel ini menjadi simbol eksklusivitas, kemewahan, dan prestise. Dengan arsitektur modern yang berpadu dengan nuansa klasik, setiap sudutnya memancarkan keanggunan. Begitu memasuki lobi, kesan mewah langsung terasa. Langit-langit tinggi dengan lampu kristal yang berkilauan, lantai marmer mengilap, serta aroma bunga segar yang memenuhi udara menciptakan suasana yang begitu berkelas. Para tamu yang datang disambut dengan pelayanan terbaik, seolah mer
Dimas menatap jendela lagi, berharap sosok yang ia nantikan muncul dari keramaian di luar. Namun, yang ia lihat hanyalah orang-orang asing berlalu lalang, sibuk dengan kehidupan mereka masing-masing. Tidak ada Nayara.Pukul 14.00. Ia akhirnya menyerah.Dengan enggan, Dimas bangkit dari kursinya, menyambar jaketnya yang terlipat di sandaran kursi. Ia berjalan keluar restoran dengan langkah pelan. Perasaan kecewa masih menggelayuti hatinya. Mungkin ini kesalahan dirinya sendiri, terlalu berharap pada sesuatu yang belum pasti.Di luar, matahari mulai meredup. Dimas menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Pertemuan yang diharapkannya tak terjadi, tapi entah mengapa, ia merasa ini belum berakhir. Ada sesuatu yang membuatnya yakin, Nayara tidak sengaja menghindarinya. Ia hanya perlu mencari tahu alasannya.Di kamar kecilnya, Nayara terbaring diam. Cahaya redup dari jendela yang setengah terbuka membuat bayangan di dinding tampak bergerak pelan. Matanya menatap langit-lang
Tok! Tok!“Nay, Non Jeni sudah telepon dari tadi. Minta saya untuk membawa kamu pulang sekarang,” suara pelayan masuk ke ruangan, memecah keheningan yang menyelimuti ruang perawatan.“Iya... sebentar, lima menit lagi,” jawab Nayara pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh isak yang masih tertahan.“Baik, saya tunggu di depan,” ujar pelayan itu sopan, lalu menutup pintu dan kembali membiarkan Nayara berdua dengan ibunya.Nayara menggenggam tangan sang ibu yang masih terbaring koma, kulitnya yang dingin membuat hatinya terasa perih.“Ibu... aku pulang dulu ya,” ucapnya serak. “Aku harap ibu cepat sadar, agar kita nggak terus bergantung pada keluarga Mahendra.”Ia mengusap air matanya dan menunduk dalam-dalam. Hatinya berat meninggalkan satu-satunya sosok yang membuatnya kuat. Tapi hidup harus terus berjalan, meski langkahnya tertatih-tatih.Mobil pelayan keluarga Mahendra kembali mengantarkan Nayara ke rumah megah itu. Namun, saat mobil tiba di halaman, terlihat mobil mewah lain juga baru
"Pelayan!" teriak Jeni memanggil."Iya, Non," pelayan berlari menghampiri dengan wajah tegang, napasnya memburu karena tergesa."Buatkan Clarissa minum. Cepat!" perintah Jeni tajam, ekspresinya penuh ketidaksabaran dan kekesalan."Baik, Non." Pelayan itu melirik ke arah Nayara yang masih sibuk memunguti pecahan beling dengan tangan gemetar. "Nay, mau saya bantuin?" bisiknya lirih, penuh simpati."Gausah bantu-bantu Nayara! Kamu urusin kerjaanmu saja!" sahut Jeni dengan nada tinggi."Baik, Non." Pelayan itu menunduk dan segera berlari ke dapur untuk membuatkan minuman sesuai perintah.Sementara itu, Nayara tampak kesulitan untuk bangkit. Tangannya yang terluka terkena pecahan beling membuatnya meringis menahan sakit. Luka kecil di telapak tangannya mengeluarkan darah, namun ia tetap berusaha berdiri. Kakinya sempat terpeleset oleh air yang belum sempat dibersihkan, membuatnya jatuh kembali."Akh..." erangnya pelan.Dengan sisa tenaga dan napas yang tertahan, Nayara bangkit lagi. Ia men
“Paman bisa saja,” ujar Dhirga sambil tersenyum tipis. “Ya sudah, aku pergi dulu ya, Paman”“Ya sudah, pergilah,” sahut sang paman sambil melambaikan tangan pelan.Tanpa membuang waktu, Dhirga segera bergegas meninggalkan Hotel Raffles. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, seolah ada sesuatu yang sangat mendesak menunggu di tujuan.Setibanya di depan gerbang kediaman keluarga Mahendra, seorang satpam menghampirinya dan berkata dengan sopan, “Permisi, Bapak mau bertemu siapa? Kebetulan rumah sedang kosong, semua anggota keluarga Mahendra sedang mengadakan pesta di Hotel Raffles.”Dimas turun dari mobilnya dengan tenang, menyembunyikan kegugupan yang sebenarnya mulai merayap di dadanya. “Oh, saya memang tadi dari Hotel Raffles. Saya diminta Pak Dhirga untuk datang ke sini dan bertemu dengan Nona Nayara.”Satpam itu sempat tampak ragu. Namun setelah mendengar nama Dhirga disebut, ia mengangguk pelan. “Baik, silakan masuk, Pak. Saya panggilkan Non Nayara.”Tanpa menunda, satpam
"Mas, aku bisa jelasin!" seru Nayara sambil spontan melepaskan genggaman tangan Dimas. Tangannya bergerak cepat mengusap pipi yang masih terasa linangan air mata."Masuk, Nay!" bentak Dhirga dengan nada membara."Mas..." Nayara menatap memohon, matanya berkaca-kaca lagi, berharap setidaknya ada sedikit ruang untuk mendengar."Aku bilang masuk!" Dhirga membentak lebih keras, membuat Nayara terkejut dan akhirnya melangkah masuk ke rumah dengan langkah pelan dan tubuh gemetar.Dhirga kini menatap Dimas tajam, matanya menyala seperti bara api. Rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal seolah menahan gejolak yang siap meledak.“Dimas, saya tidak suka Anda mendekati istri saya! Walaupun saat ini Anda bagian dari keluarga besar ini, Anda tidak punya hak mencampuri urusan rumah tangga saya. Termasuk Nayara!” suaranya meninggi, sorot matanya menusuk, napasnya memburu menahan amarah.“Saya minta Anda pergi sekarang juga!”Dimas tidak langsung mundur. Ia menatap Dhirga dengan tatapan tegas, m
Sesaat setelah Dimas tiba di lobi Rumah Sakit Internasional Prayoga, langkah kakinya tak bisa ditahan lagi. Ia berlari melewati lorong panjang yang sunyi, hanya terdengar derap sepatunya yang tergesa-gesa. Aroma khas antiseptik rumah sakit menusuk hidung, namun Dimas tidak peduli. Tujuannya hanya satu—ruangan tempat Nayara dirawat.Di depan pintu ruang rawat, Dimas berpapasan dengan dokter yang baru saja keluar. Napasnya memburu."Dok, bagaimana keadaannya?" tanya Dimas dengan nada cemas.Dokter itu mengangguk pelan sambil membetulkan stetoskop yang menggantung di lehernya. Tatapannya tenang namun penuh kehati-hatian."Barusan saya periksa, Ibu Nayara sedang beristirahat. Kondisinya cukup stabil untuk saat ini," jawabnya."Apa dia sempat bertanya tentang siapa yang menyelamatkannya?" Dimas menggali lebih jauh, raut wajahnya tegang.Dokter menghela napas ringan, lalu menatap Dimas dalam-dalam."Tadi beliau sempat bicara dengan suster, dan sesuai permintaan Pak Dimas, suster telah menja
“Permisi, Dok.”Suara lembut seorang suster memecah keheningan saat ia mendorong pintu ruangan dokter.“Masuk, Sus,” jawab dokter sambil tetap memandangi layar monitor.Suster itu melangkah masuk, lalu menyerahkan map berwarna biru. “Ini hasil rekam medis pasien setelah operasi, Dok.”“Terima kasih, Sus.” Dokter mengangguk singkat dan menerima map tersebut, kemudian suster itu pamit keluar dengan pelan, meninggalkan ruangan yang kembali sunyi.Dokter membuka lembar demi lembar hasil pemeriksaan, lalu menoleh ke Dimas yang duduk di depannya dengan wajah cemas dan mata tak berkedip.“Pak Dimas,” ujar dokter sambil menata hasil rekam medis di mejanya, “Saya akan jelaskan kondisi Ibu Nayara saat ini.”Dimas langsung menegakkan tubuhnya. “Iya, Dok. Bagaimana hasilnya?” tanyanya dengan suara sedikit gemetar.Dokter tersenyum tipis, lalu mengangguk. “Syukur alhamdulillah, kondisi Ibu Nayara saat ini cukup stabil. Respon tubuhnya terhadap operasi juga sangat baik. Jika tidak ada komplikasi la
Suara monitor berdetak pelan "Tit... tit... tit..." seperti ketukan waktu yang menegangkan.Sudah lebih dari enam jam Dimas duduk terpaku di depan ruang operasi. Wajahnya tegang, mata sembab, dan tangan terus menggenggam erat tas kecil berisi dokumen Nayara. Setiap detik terasa lambat, setiap suara dari dalam ruangan membuat jantungnya melompat. Tak ada yang bisa ia lakukan selain berdoa dalam hati, berharap Tuhan masih mengizinkan Nayara bertahan dan kembali pulih.Sementara itu, di rumah sakit berbeda, suasana mendadak tegang. Seorang dokter dan beberapa suster berlari tergesa menuju ruang NICU. Alarm kecil berbunyi cepat dan tajam.Dhirga, Jeni, Sintia, Leonardo, dan Adinda sontak berdiri. Tanpa pikir panjang, mereka mengikuti dokter dan perawat, rasa takut menguasai mereka. Jantung Dhirga berdetak cepat. Ia tidak siap menerima kabar buruk.Beberapa menit kemudian, seorang dokter keluar dari ruangan dengan wajah muram. Ia menghampiri Dhirga perlahan."Dok... bagaimana kondisi anak
Tok. Tok.Suara ketukan pintu itu memecah keheningan ruangan kerja Bram yang luas dan minimalis."Permisi, Pak," ujar resepsionis dengan sopan saat membuka pintu."Masuk," jawab Bram tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.Namun, ketika ia melihat dua tamu yang berdiri di ambang pintu, ia segera berdiri dari kursinya."Wisnu!" sapa Bram hangat, menjabat tangan pria berseragam yang kini berdiri di hadapannya.Wisnu tersenyum hormat. "Selamat siang, Pak Bram. Perkenalkan, ini AKP Januar, Kanit yang menangani kasus yang Bapak laporkan.""Saya Januar, Pak," ujar pria berpakaian dinas itu sambil menunduk hormat."Silakan duduk. Kamu boleh kembali," kata Bram kepada resepsionis."Baik, Pak," jawabnya lalu menutup pintu dengan sopan.Bram mempersilakan kedua tamunya duduk di sofa kulit hitam yang terletak di pojok ruangan. Kopi hangat dan air mineral telah tersedia di atas meja kecil di depannya."Bagaimana perkembangan kasus saya, Pak Januar?" tanya Bram dengan nada serius, kedua
"Pak Dimas..." suster berlari tergesa ke arah pria yang tengah berdiri gelisah di lorong rumah sakit. "Ada apa, Sus?" tanya Dimas, wajahnya tampak tegang. "Nayara, Pak..." jawab sang suster, nafasnya terengah. Ia seolah menahan sesuatu yang mendesak untuk dikatakan. "Ada apa dengan Nayara?!" suara Dimas meninggi, matanya menatap tajam penuh kekhawatiran. "Nayara kritis, Pak..." akhirnya suster itu menjawab, suaranya pelan namun cukup menusuk telinga siapa pun yang mendengarnya. Tanpa pikir panjang, Dimas berlari menuju ruang ICU, langkahnya cepat dan mantap. Di belakangnya, Dhirga, Jeni, dan Sintia ikut menyusul. Tepat di depan pintu ICU, mereka berpapasan dengan dokter yang menangani Nayara. "Dok, bagaimana keadaan Nayara?" tanya Dimas, suaranya terdengar putus asa. "Iya, Dok... gimana keadaan istri saya?" sela Dhirga dengan nada dibuat-buat seolah benar-benar peduli. Dokter menarik nafas sejenak, lalu menjawab, "Keadaan Nayara kritis. Kami sedang berusaha semaksimal m
“Jangan ikut campur kamu, Ardi!” bentak Dimas, suaranya menggelegar memantul di sepanjang koridor rumah sakit.Ardi Kusuma Prayoga, seorang direktur utama di Rumah Sakit Internasional Prayoga, melangkah mendekat. Wajahnya datar, tapi matanya menyorotkan ketidaksenangan. Ia adalah adik sepupu Dimas, satu darah, satu garis keturunan, namun hubungan mereka jauh dari kata harmonis. Sejak Dimas dipercaya menggantikan ayahnya sebagai pimpinan Prayoga Group—konglomerasi besar yang menaungi berbagai lini bisnis termasuk rumah sakit ini—api cemburu terus membara di dada Ardi.“Bagaimana aku bisa diam kalau suara kalian terdengar sampai ke dalam?” sahut Ardi tajam. “Kalian pikir tempat ini pasar?”Ia tertawa sinis, nada tawanya seperti ejekan yang ditusuk dengan pisau tajam.“Oh... jadi perempuan yang dirawat di dalam itu istri kamu?” tanyanya sinis pada Dhirga, matanya melirik ke arah ruang VVIP. “Dan kamu, Dimas... kamu benar-benar tak punya malu. Sudah tak ada perempuan lain di dunia ini sam
"Mau apa kalian ke sini?" tanya Dimas dengan suara dingin namun tegas, saat membuka pintu dari dalam ruangan VVIP tempat Nayara dirawat. Bajunya rapi, wajahnya tegang, dan matanya memerah menahan amarah. Di belakangnya, terlihat tubuh Nayara terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit, diselimuti selimut putih dengan infus menggantung di sampingnya."Harusnya aku yang bertanya! Kenapa kamu bawa kabur Nayara tanpa seizinku?!" bentak Dhirga dengan mata melotot, rahangnya mengeras. Napasnya memburu, dadanya naik turun dengan cepat. Ia benar-benar terbakar emosi.Dimas menutup pintu pelan, lalu berjalan mendekat ke arah Dhirga dengan tatapan yang tak gentar."Bawa kabur? Seharusnya aku yang ambil Nayara dari kamu, Dhirga! Dia lebih pantas menjauh dari kamu!" suaranya meninggi, dan aura protektif terpancar dari sikapnya."Apa maksudmu, hah?!" Dhirga mencengkram kerah jas Dimas, namun Dimas tak mundur. Dengan tenang, ia menarik selembar kertas dari map di tangannya dan menyodorkannya ke waj
“Siap, Pak,” jawab dokter singkat, lalu segera berbalik arah memasuki ruang ICU.Adinda datang tergesa bersama Leonardo. Wajahnya cemas, sorot matanya mencari-cari sosok Dhirga. Begitu melihatnya berdiri di sudut lorong rumah sakit, ia langsung mendekat.“Dhirga,” sapa Adinda pelan, “bagaimana keadaan Clarissa?”Dhirga menoleh, matanya sembab, wajahnya kelelahan. “Clarissa belum stabil, Mah…” suaranya nyaris tak terdengar.“Anakmu sudah lahir belum?” tanya Leonardo.“Sudah, Pah… Sebentar lagi akan dipindahkan ke ruang NICU karena lahir prematur,” jawab Dhirga dengan lirih, berusaha tetap tenang meski jantungnya berkecamuk hebat.Belum sempat mereka berbincang lebih jauh, pintu ruang ICU terbuka lebar. Seorang suster mendorong tandu besar beroda yang membawa inkubator transparan. Di dalamnya, seorang bayi mungil terlelap, tubuhnya dibungkus selimut tipis, dan wajahnya begitu damai—meski tubuhnya sangat kecil dan rapuh.“Itu... cucu kita, Pah,” bisik Adinda, matanya berkaca-kaca.Semua
Dimas Prayoga berdiri di depan ruang donor dengan napas tak beraturan. Matanya langsung menatap tubuh Nayara yang terkulai lemah di atas kursi donor. Ia melangkah cepat masuk ke ruangan. "Suster, ini kenapa Nayara seperti ini?" tanyanya dengan suara yang nyaris bergetar. "Beliau baru saja mendonorkan darah untuk pasien yang ada di ruang ICU, Pak. Golongan darahnya sangat langka," jawab suster itu tanpa menoleh, sibuk mencatat. Tanpa banyak bicara, Dimas segera membopong tubuh Nayara keluar dari ruangan. Langkahnya cepat dan mantap. Suster di belakangnya langsung berseru panik. "Pak, mau dibawa ke mana? Pasien belum stabil!" Namun Dimas tak menggubris. Ia membuka pintu mobilnya, meletakkan Nayara dengan hati-hati, lalu tancap gas menuju rumah sakit internasional milik keluarganya. Hujan masih turun, dan jalanan lengang di tengah malam mempercepat lajunya. Sesampainya di rumah sakit, petugas sudah sigap menyambut. Seorang suster datang membawa tandu dorong. "Cepat! Dia kehi