Nayara hanyalah seorang mempelai wanita yang tidak pernah diinginkan di keluarga Mahendra.
Meskipun pesta ini adalah pesta pernikahan Nayara dan Dhirga yang pertama, tapi ironisnya tokoh utama dalam pesta ini bukanlah Nayara, melainkan calon madunya! Di sudut ruangan, keluarga Mahendra sibuk menjamu kolega bisnis mereka, seolah pesta ini bukanlah tentang ulang tahun pernikahan putranya, melainkan hanya strategi perusahaan. Lalu, momen itu tiba. Pembawa acara melangkah ke tengah panggung dengan penuh percaya diri, mikrofon di tangannya menggema di seluruh ruangan. “Hadirin yang terhormat, hari ini kita berkumpul untuk merayakan momen spesial ulang tahun pernikahan Dhirga Mahendra yang pertama. Kami mengundang Tuan Leonardo Mahendra, Nyonya Adinda, serta putra mereka, Tuan Dhirga, untuk maju ke depan.” Suara tepuk tangan memenuhi ruangan. Leonardo dan Adinda melangkah dengan anggun, menunjukkan wibawa mereka sebagai keluarga terpandang. Sementara itu, Dhirga berjalan lebih lambat di belakang mereka, wajahnya tetap dingin tanpa ekspresi. Setelah mereka berdiri di tengah ruangan, Dhirga mengambil mikrofon dari tangan pembawa acara. Ia menarik napas, lalu menatap para tamu yang kini memperhatikannya dengan antusias. “Hari ini, saya ingin memperkenalkan istri saya secara resmi,” ucap Dhirga dengan suara yang tenang, tetapi tetap tegas. Ruangan kembali sunyi. Para tamu menunggu dengan penuh rasa ingin tahu. "Nayara, sini!" panggil Dhirga, singkat. Dari sudut ruangan, Nayara tampil dengan gaun putih panjang yang sederhana . Ia melangkah maju. Langkah Nayara tertatih dengan bantuan kedua tongkat yang menopang tubuhnya. Wajahnya yang sebagian tertutup luka bakar tampak tegang, tetapi ia berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Nayara berdiri di samping Dhirga. Matanya berusaha mencari ketulusan di wajah pria itu. Namun yang ia temukan hanyalah kebencian dan dendam. Dhirga mencondongkan tubuhnya, berbisik tepat di telinga Nayara. "Segera umumkan pernikahanku dengan Clarissa," desaknya dengan suara rendah yang penuh tekanan. Nayara mengatur keberanian. Kedua tangannya yang memegang tongkat semakin erat, berusaha meredam gemetar di tubuhnya. Nayara menatap wajah para tamu. Puluhan pasang mata tertuju padanya, menunggu apa yang akan ia katakan. Nayara ingin menolak. Ingin berteriak. Ingin mengatakan bahwa ini tidak adil. Namun Nayara tahu, apapun yang dilakukannya hari ini, tidak akan mengubah keputusan Dhirga. Nayara tetaplah boneka dalam permainan keluarga Mahendra. Dan kini, Nayara harus memainkan perannya—meskipun itu berarti menghancurkan dirinya sendiri. "Nona Clarissa, silakan maju ke depan!" Nayara mempertahankan emosi pada nada suaranya agar tetap stabil. Bagaimana pun juga, ia harus berbesar hati menerima takdirnya. Suasana pesta yang tadinya dipenuhi percakapan mendadak senyap. Semua mata tertuju pada tiga sosok yang kini berdiri di hadapan mereka. Clarissa melangkah maju, bergabung di sisi Nayara. Clarissa tersenyum tipis, seolah menganggap semua ini sebagai permainan belaka. Namun, sebelum Nayara sempat melanjutkan perkataannya, tangisnya pecah. Ia berusaha menahan, tetapi air mata itu jatuh begitu saja, mengalir tanpa bisa dikendalikan. Sesak di dadanya semakin menjadi, menenggelamkan semua keberanian yang tadi ia kumpulkan. "Nay! Cepat bicara!" bisik Dhirga dengan nada tajam, penuh ketidaksabaran. Tubuh Nayara bergetar. Kata-kata yang sudah diperintahkan oleh mertuanya kemarin seakan menguap dari ingatannya. Ia ingin bicara, tapi suaranya tertahan di tenggorokan. Jeni yang sedari tadi berdiri di dekatnya, mendekat dan mengelus bahunya seolah memberi dukungan. Namun, di balik gestur lembut itu, terselip niat lain. Jeni berisik di telinga Nayara, "Heh, Babu! Cepat bicara! Jangan diam saja!" Seketika, cubitan mendarat di pinggang Nayara, membuatnya meringis. Sakitnya tidak seberapa dibandingkan luka di hatinya, tetapi penghinaan itu jauh lebih menyakitkan. Seluruh tamu masih menunggu. Ada yang menatapnya dengan iba, tetapi banyak juga yang mulai kehilangan kesabaran. Nayara mengusap air mata yang terus mengalir di pipinya. Napasnya berat. Untuk apa semua ini? Untuk apa ia harus berdiri di sini, di hadapan orang-orang yang hanya ingin menyaksikan kehancurannya? Tangannya yang menggenggam mikrofon semakin erat. Di dalam dadanya, ada sesuatu yang perlahan bangkit—rasa sakit yang bercampur dengan amarah. Nayara menatap ke suaminya dan Clarissa yang berdiri di sampingnya. Nayara menarik napas dalam, berusaha menenangkan debaran di dadanya. Ia mengangkat kembali mikrofon dengan tangan gemetar, menatap tamu-tamu yang menunggu dengan penuh rasa ingin tahu. “Saya.…” Di tengah badai perasaan yang bergejolak, Nayara tetap memaksakan diri untuk tetap berbicara. “Perkenalkan, saya Nayara Prameswari—Istri sah dari Dhirga Mahendra.” Ruangan semakin sunyi. Semua mata tertuju padanya, termasuk mata Dhirga yang kini menatapnya tajam. Dhirga dan keluarganya sudah tidak sabar menunggu Nayara mengumumkan hal penting. “Saya berdiri di sini untuk mengumumkan bahwa … saya merelakan suami saya untuk menikahi Clarissa Anindita.” Beberapa tamu terkejut. Mereka mulai berbisik-bisik, membicarakan keputusan yang dianggap aneh bagi seorang istri sah. Nayara tidak goyah. Ia tetap berdiri tegak, meskipun hatinya sudah remuk. “Saya sadar .…” Suara Nayara mulai bergetar. “Setahun pernikahan kami, saya belum mampu memberikan keturunan untuk keluarga Mahendra. Itulah sebabnya, saya dengan sadar mengizinkan dia menikah lagi." Dhirga yang berdiri di sampingnya hanya mendengarkan tanpa reaksi. Sementara Clarissa melipat tersenyum bahagia. Nayara menundukkan kepalanya sejenak sebelum kembali menguatkan dirinya. “Itu karena… saya tidak akan pernah bisa memiliki anak.” Desas-desus mulai terdengar dari kerumunan tamu. Leonardo Mahendra yang berdiri di dekatnya pun mengernyitkan dahi. Nayara menarik napas panjang, mempersiapkan diri untuk mengungkapkan kenyataan pahit yang selama ini ia pendam sendiri. “Rahim saya… telah diangkat karena tragedi kecelakaan 1 tahun yang lalu” ucapnya lirih, namun cukup jelas untuk didengar semua orang di ruangan itu.“Dimas! Sudah kamu pindahkan perempuan itu?” Suara Oma terdengar tajam dan menggema dari seberang telepon.“Iya, Oma. Sedang aku urus,” jawab Dimas cepat, berusaha terdengar tenang meski jantungnya berdetak tak karuan.Klik.Telepon langsung terputus. Tak ada salam penutup, tak ada waktu untuk membantah. Seperti biasa, Salma bicara dengan nada perintah, tak memberi ruang untuk diskusi.Dimas menghela napas berat lalu menoleh pada Elena yang duduk di sampingnya. Perempuan itu ikut menatapnya, raut wajahnya menyiratkan kekhawatiran yang sama.“Sepertinya memang tak ada pilihan lagi, Len. Aku harus segera pindahkan Nayara malam ini juga,” ujar Dimas, suaranya pelan namun tegas.Elena hanya mengangguk. Sorot matanya tajam, tapi bibirnya membisu. Seolah menyetujui, meski dalam hatinya ada banyak yang ingin ia katakan.Tak lama, seorang dokter lewat di lorong, mengenakan jas putih yang bersih dan tergesa seperti biasa.“Dok!” panggil Dimas cepat.Dokter itu berhenti dan menoleh. “Iya, Pak D
“Kondisi tak terduga bagaimana, Dok?” tanya Dimas panik, matanya menatap penuh kecemasan.Dokter menunduk sejenak, lalu menghela napas panjang. “Ibu Nayara, saat menjalani operasi... ia terus-menerus mengigau menyebut nama Dhirga.”Dimas mengerutkan kening. “Tunggu, memangnya bisa seseorang mengigau saat sedang dioperasi?”“Sebenarnya sangat langka, Pak Dimas,” jelas dokter sambil memperbaiki posisi duduknya. “Selama saya menjadi dokter, baru dua kali saya mengalami kejadian semacam ini. Biasanya pasien dalam kondisi anestesi total tidak akan bisa berbicara, apalagi mengigau.”Dimas terdiam. Hatinya berdesir.“Apakah mungkin... Nayara rindu pada suaminya, Dok?” tanyanya ragu.“Saya menduga demikian,” jawab dokter tenang. “Kalau boleh memberi saran, sebaiknya Bapak segera menghubungi suaminya. Secara medis kondisi fisik Ibu Nayara stabil, tapi secara emosional, mungkin ia membutuhkan orang yang paling ia rindukan.”Kata-kata dokter itu bagai pisau bermata dua bagi Dimas. Di satu sisi,
"Ibu Clarissa," lanjut Sonia dengan suara bergetar, pelan, tapi cukup untuk membuat ruangan interogasi itu seakan runtuh oleh dentuman kejujuran.Kata-kata itu membuat dunia seperti menggelegar dalam telinga Januar. Sebuah senyum tipis merekah di wajahnya—bukan senyum sombong, tapi senyum lega seorang penyidik yang perjuangannya nyaris mencapai garis akhir. Tatapan matanya tajam menusuk ke dalam jiwa Sonia, memastikan bahwa tak ada lagi dusta tersisa.Kesaksian Sonia menjadi potongan terakhir dari puzzle yang telah ia susun dengan hati-hati. Dua alat bukti sah kini telah dikantongi: hasil digital forensik dan pengakuan langsung dari pelaku lain. Itu cukup untuk menetapkan Clarissa sebagai tersangka.Tanpa menunda waktu, Januar keluar dari ruang interogasi dan menuju ruang gelar perkara. Di sana, ia bersama tim penyidik lainnya mempresentasikan seluruh hasil penyelidikan. Setelah melalui pemaparan yang detail dan diskusi yang hangat, keputusan bulat diambil: Clarissa dan Sonia resmi di
“Tidak pernah, setahu saya,” jawab Clarissa dengan nada ragu.“Itu jawaban klien kami saat ini, dan mohon dicatat dengan jelas bahwa segala tuduhan harus berdasarkan bukti, bukan asumsi semata,” potong Nikolas tegas, tatapannya tajam mengarah pada penyidik di depannya.Januar, yang sejak tadi mencatat hasil pemeriksaan dengan serius, mengangguk kecil lalu menatap Clarissa lurus-lurus.“Tentu. Tapi saya ingatkan, jika nantinya ditemukan bukti tambahan yang menguatkan dugaan keterlibatan Saudari, maka kami tidak segan menetapkan status hukum yang berbeda,” ucapnya, tegas dan jelas.Suasana ruang interogasi mendadak terasa lebih dingin. Clarissa menggenggam kedua tangannya di pangkuan, berusaha tetap tenang. Januar melanjutkan pertanyaannya dengan suara yang tenang, namun penuh tekanan.“Apakah Saudari pernah meminjamkan ponsel kepada orang lain dalam dua minggu terakhir?”Clarissa menggeleng cepat. “Tidak. Ponsel saya selalu saya pegang sendiri.”Januar kembali mencatat jawabannya, lalu
"Kenal, Pak. Dia adalah istri pertama suami saya," jawab Clarissa pelan namun jelas, suaranya sedikit bergetar.Januar menatapnya tajam lalu mengangguk sebelum melanjutkan, "Apakah akun Facebook bernama CA Lovers ini milik Saudari?""Akun Facebook saya hanya satu, Pak. Atas nama Clarissa Anindita," jawabnya tegas.Januar meletakkan satu berkas di atas meja, menatap Clarissa dalam-dalam. "Saudari Clarissa, Saudari barusan menyatakan bahwa akun Facebook CA Lovers bukan milik Saudari. Namun berdasarkan hasil forensik digital, akun tersebut terhubung ke nomor 08xxxxxxx milik Saudari dan beberapa kali terpantau login dari perangkat yang terdaftar atas nama Saudari. Bisa dijelaskan?"Clarissa menelan ludah, tangannya yang di pangkuan mulai bergetar. "Itu bukan akun saya, Pak... Saya nggak tahu siapa yang bikin akun itu."Nikolas segera menyela, "Maaf, saya minta agar pertanyaan ini dijelaskan lebih lanjut datanya. Klien saya tidak bisa memberikan keterangan tanpa melihat bukti teknis yang d
“Silakan duduk, Pak Bram,” ujar Januar, menyilakan pria berjas abu-abu itu masuk ke ruang interogasi.Bram Hadiwijaya, CEO Darmaseraya Group, melangkah masuk dengan wajah tenang namun tegang. Pandangannya langsung bertemu dengan mata Clarissa yang sudah lebih dulu duduk di kursi saksi. Keduanya saling menatap sejenak. Tak ada keakraban di antara mereka—hanya kekosongan, seperti dua orang asing yang kebetulan berada di satu ruang yang sama. Bram pun duduk di kursi yang disediakan, tepat di samping Clarissa.“Apakah Bapak mengenal wanita ini?” tanya Januar, membuka percakapan dengan nada datar.“Saya tidak mengenalnya,” jawab Bram cepat dan lugas.Januar mengangguk pelan, mencatat sesuatu di mapnya. Kemudian ia menoleh ke arah Clarissa.“Ibu Clarissa, apakah Anda sudah siap memberikan kesaksian?” tanyanya.Clarissa menoleh, wajahnya tampak cemas. “Saya masih menunggu suami saya, Pak.”Januar menarik napas panjang. Ia tahu bahwa proses tak bisa ditunda terlalu lama, namun situasi ini mem