"Dalam mimpimu, Tuan Xander yang suka bikin onar!" Dengan kasar kutarik sebuah bantal dari atas ranjang.
Suamiku terkekeh, dan masih lanjut mengoceh. "Baiklah, akan kulakukan, Theodora. Aku akan bermimpi, dan mimpi itu akan jadi kenyataan," sahutnya dengan nada menggoda.
Kubalikkan badan, dan kulirik tajam dirinya lagi. Oh, Tuhan! Manusia satu ini benar-benar menguji kesabaranku yang setipis tisu dibelah dua.
Andai aku tak sedang lelah, pasti sudah kuamuk lagi dirinya.
Dengan langkah berat aku berjalan menuju satu-satunya sofa yang ada di kamar tidur, dan berbaring di sana. Mau bagaimana lagi, tak ada tempat lain yang cocok untuk tidur, ketimbang aku tidur di lantai.
"Good night, istriku sayang." Samar kudengar suara Xander mengucapkan selamat tidur. Tak kutanggapi dirinya sebab aku sudah terlalu mengantuk.
Tak butuh waktu lama bagiku untuk terlelap. Aku memang tipe orang yang dapat tidur di mana saja, dan begitu mencium bau bantal aku langsung tertidur.
Mimpiku begitu indah; terbang ke langit biru, lalu mendarat dan berbaring di atas awan yang lembut. Sinar mentari begitu hangat. Kuhirup udara kebebasan ini ... ah, sungguh menyenangkan.
"Theodora sayang," panggil satu suara manis. Xander datang menghampiriku. Pria itu tersenyum begitu hangat, wajahnya sama sekali tak menyiratkan kelicikan.
Penampilannya pun seperti Xander yang dulu kukenal; masih lugu dan berkacamata dengan ketampanan tersembunyi yang membuatku terpesona, bukan seperti dirinya sekarang, yang semakin tampan dan macho, tetapi berkepribadian buruk.
"Xander!" Aku bangkit dan menghamburkan diri ke pelukannya. Kusandarkan kepalaku di dadanya yang bidang. Ah, andai dia selalu seperti ini, nyaman rasanya, aku suka.
"Aku mencintaimu, Theodora," ucapnya sembari membelai lembut rambutku. Dikecupnya puncak kepalaku penuh sayang.
"Aku juga mencintaimu, Xander," desahku dipenuhi kebahagiaan mendalam.
Sepanjang malam mimpiku dipenuhi dengan Xander, pria yang mencuri hatiku untuk kali pertama saat diriku masih begitu belia. Cinta yang terkubur itu seakan bangkit kembali.
Aku begitu bahagia, hingga pagi harinya aku terbangun, dan mendapati diriku tidak tidur sendirian.
"Aaaaarrrkkhh! Mengapa kamu tidur di sini?" jeritku, refleks menendang sosok di sampingku sampai tubuhnya terjatuh ke lantai dengan suara yang cukup keras.
Pria itu mengaduh, lalu terduduk di lantai. "Kenapa aku ditendang?" erangnya sembari mengusap lengannya yang kesakitan.
"Siapa yang menyuruhmu tidur di sini? Sudah kubilang aku tak mau tidur seranjang denganmu," sahutku berapi-api.
Bisa-bisanya pria itu membela diri dan playing victim. Jelas-jelas Xander tidur di ranjang, di sebelahku.
Namun, lagi-lagi Xander tak menunjukkan ekspresi bersalah. Perlahan pria itu berdiri.
"Sadarkan dirimu, Theodora, cuci muka dulu sana," ujarnya dengan suara malas.
"Apa maksudmu? Jangan ngaco, deh!" Aku menatapnya tak percaya. Bisa-bisanya Xander menyuruhku untuk sadar diri, sementara dirinya sendiri bersikap aneh.
"Coba kau ingat dulu, di mana kau tidur semalam, baru kau akan tahu siapa yang bersalah dalam hal ini!" Ia memandangku dengan tangan terlipat di depan dada. Dalam kondisi baru bangun tidur dan rambut masih berantakan saja Xander terlihat menawan ... aaah, mikir apa sih aku ini???
Sebentar, ingatanku baru terkumpul. Semalam aku tidur di sofa, lalu bagaimana bisa aku terbangun di atas ranjang? Tidak!!
"Kau punya kebiasaan tidur yang unik, Theodora. Kamu bisa tidur, lalu tiba-tiba terduduk, tapi masih dalam kondisi tidur. Bahkan ibumu bilang kamu pernah berjalan dalam tidurmu," tambah Xander, menjawab pertanyaan yang belum kulontarkan.
"Itu ...," cicitku tak berdaya untuk menyangkal.
Apa yang Xander sampaikan memang sesuai dengan kenyataan, terutama saat aku kelelahan, aku akan mengerang, lalu terduduk, tapi masih dalam kondisi mata terpejam, lalu kembali tak sadarkan diri. Setidaknya itu yang ibuku katakan.
Dan soal berjalan dalam tidur ... yang kutahu hal ini sangat jarang terjadi. Kayaknya cuma sekali deh. Mengapa semalam malah begitu lagi?
"Aku sih nggak akan heran kalau kamu lagi tidur, terus tiba-tiba berjalan, dan pindah ke ranjang. Masuk akal, bukan?" pungkasnya, menumpahkan semua kesalahan padaku.
"Aaarkh, terserah!" seruku frustasi, tak mampu membela diri. "Yang jelas, kau tidak berbuat macam-macam, kan, semalam?"
Memang, aku masih berpakaian lengkap, dan tak ada yang aneh dengan tubuhku, tapi siapa tahu Xander mengambil kesempatan dalam kesempitan.
"Hah!" Lelaki itu mendengus, lalu memegang lengan kanannya di bagian atas. "Asal kau tahu, Theodora, justru kamu yang macam-macam. Kau menggunakan lenganku ini sebagai bantal, nih, sampai rasanya pegal sekali, karena lenganku harus menahan kepalamu yang berat. Belum lagi kamu mengiler di bajuku."
"Tidak mungkin!" jeritku menyangkal tuduhannya.
"Benar! Kalau tak percaya, sini, cium saja sendiri, masih ada bau jigongmu." Lantas Xander berjalan mendekat, sambil memegang lengan bajunya yang katanya terkena ilerku.
Sontak kulempar bantal ke arahnya, lalu aku berlari masuk ke kamar mandi.
"Menyebalkan!" Kugertakkan gigiku, kesal pada diriku sendiri. Bagaimana bisa aku menjadi pihak yang terkesan murahan? Ini sungguh memalukan.
Berjalan dalam tidur ... ah, rasanya itu tak mungkin. Seingatku kala itu aku memang terbangun dari tidur dalam kondisi masih sangat mengantuk. Aku berjalan gontai dengan mata terpejam, hingga nyaris menabrak lemari di rumah. Kebetulan Ibu dan Ayah melihatku, jadi mereka berpikir aku ngelindur.
Hanya sekali itu, aku sama sekali tak memiliki kebiasaan berjalan dalam tidur. Tapi tak mungkin aku kembali membahas hal ini dengan Xander, sudah terlanjur malu. Lagi pula pria reseh itu pasti tetap tak mau disalahkan.
"Bagaimana kalau malam ini terulang lagi?" desahku putus asa. Barangkali aku merasa tidak nyaman tidur di sofa, lalu terbangun dan tanpa sadar mencari ranjang yang empuk, yang sayangnya sudah ditempati oleh si laki-laki serigala.
Sedangkan untuk memintanya gantian tempat tidur, aku di ranjang, dan Xander di sofa, aku malu. Gengsi dong!
Untungnya, seolah bisa membaca pikiranku, di malam kedua pria itu menawarkan diri untuk tidur di sofa, dan memperbolehkanku tidur di ranjang.
"Kamu serius? Jangan bilang nanti malam kamu akan bergabung bersamaku di tempat tidur, ya," tanyaku mengantisipasi. Suami abal-abalku ini punya kecenderungan mengambil kesempatan dalam kesempitan, makanya sulit bagiku untuk percaya kepadanya begitu saja.
Xander mendengus. "Kamu pikir aku laki-laki apaan? I'm a gentleman, you know."
Hih! Rasanya pingin sekali kutabok lengannya, menyebalkan sekali tingkahnya itu.
Tanpa melirikku lagi, pria itu berbaring miring menghadap punggung sofa, ia tidur membelakangiku.
"Selamat tidur, Theodora," gumamnya dengan suara mengantuk.
Duh, masih ingat pula dia untuk mengucapkan selamat tidur.
Berhubung Xander bertubuh jangkung, kakinya menjulur hingga melewati tepian sofa. Tak tega sebenarnya aku melihatnya.
'Ah, biarkan sajalah! Ngapain sih mesti kasihan kepadanya? Dia kan laki-laki, seorang suami, jadi harus siap memberikan kenyamanan untuk istrinya,' batinku menghibur diri sendiri.
Jadilah kuabaikan Xander yang kini menarik kakinya, dan tidur meringkuk seperti ular di sofa. Tak lama berselang aku pun tertidur.
Entah karena masih memikirkan Xander, atau takut kalau-kalau aku berjalan dalam tidur lagi, aku terjaga di tengah malam. Diterangi temaram lampu kamar, aku bisa melihat Xander yang sedang tertidur pulas. Lalu mataku yang mengantuk pun terbuka lebar.
"Oh, Tuhan!" erangku tatkala menyaksikan pemandangan di depanku. Sambil memegang jidat, aku bergumam menyesali kebodohanku sendiri, "Jadi begitu, ya, Xander. Kau benar-benar telah menipuku."
"Nakal sekali kamu!" Kutumbuk pelan lengan sahabatku yang otaknya sanggup memikirkan ide-ide random tapi kreatif itu. "Itu sangat tidak perlu, Jud, sebab suamiku sebenarnya sangat berjiwa modus."Selama berbulan-bulan aku memendam perasaanku sendiri, dan bertanya-tanya bila Xander juga mencintaiku, kadang tersipu-sipu atas sikap manisnya, dan di saat lain frustasi karena sikap dinginnya, padahal dalam kenyataan Xander-lah yang lebih dahulu menyukaiku."Hmm, sebenarnya hal semacam ini sudah kuduga, sih," sahut Judith dengan tampang sok tahu. Saat itu wajahnya terlihat sangat konyol sehingga alih-alih mencemooh, aku justru menertawakan tampang lucunya.Xander di masa kuliah yang kukenal dahulu terkesan sangat berbeda dari Xander sang pengusaha yang kutemui di hari pernikahan kami, sehingga aku sempat mengira kepribadiannya telah berubah.Padahal itu semua adalah bagian dari upaya serta modusnya untuk memenangkan hatiku. Mulai dari pernyataan tentang hukuman, permintaan untuk berakting me
"Kemarin kau bilang Vanessa orangnya perhitungan, sekarang malah justru aku menyaksikan kakak lelaki Vanessa bersikap jauh lebih perhitungan. Benar-benar, ya, kakak adik sama saja!" Kulirik Xander dengan apa yang orang sebut sebagai bombastic side eye.Xander tertawa, lalu dengan liciknya menyahut, "Kalau kau tidak suka kita bisa langsung pulang -""Eh, jangan! Sudah sampai sini masa langsung pulang sih?" Sebelum didahului oleh suamiku yang selalu bertindak ala seorang gentleman, aku bergegas membuka pintu mobil, keluar, dan berjalan mendahuluinya ke rumah yang kami tuju sambil cengar-cengir.Lebih baik melarikan diri sebelum Xander menggangguku lebih lanjut, atau malah betulan membawa kami pergi dari tempat ini.Suamiku memang se-sweet itu sampai-sampai saat kami pergi berdua dirinya selalu membukakan serta menutupkan pintu mobil untukku. Di dalam rumah pun kadang ia masih membukakan pintu untukku, sampai aku memarahinya karena ia ingin membukakan pintu toilet juga sewaktu aku kebelet
"Memangnya apa lagi? Sudah jelas karena Xander adalah pria yang lebih baik dari Alex; tampan, kaya, mandiri, bertanggung jawab, dan yang pasti menyayangimu," cerocos ibuku. "Bahkan Ibu sudah melihat sendiri sekarang kau juga ....""Ibu, tolong!" Kuhardik ibuku dengan mata melotot, ia membalas dengan lirikan masam. Biar saja masam, yang penting Bu Agatha Wilson tak melanjutkan omong kosongnya itu."Ibu," panggilku lebih lembut, "aku tahu ibuku ini adalah wanita yang keras, galak, suka mengomel, atau apalah.""Enak saja kau menyebut Ibu seperti itu." Ibuku bersungut dengan bibir komat-kamit."Tapi aku tahu," potongku tak mengalah, "Ibu adalah ibu terbaik yang kumiliki, yang menyayangi serta mendidik anak-anak untuk menjadi orang yang jujur."Kuingatkan dirinya tentang nilai-nilai luhur yang selalu ia ajarkan kepadaku dan Theo agar tidak menyontek, tidak mengganggu teman, dan tidak berbohong."Iya, aku memang telah menikah dengan Xander, dan benar, kami telah menemukan kebahagiaan dalam
"Mengapa kita ke mari, Xander? Kau mau kita membeli oleh-oleh untuk Ayah Ibu? Atau ... membelikanku lebih banyak kukis dan kue?" Mataku berbinar senang sekaligus penasaran saat mendapati mobil yang membawa kami berdua berhenti di depan Whatever Bakery, toko kue dan kukis favoritku.Siang ini kami berencana mengunjungi orang tuaku di Hazelton. Selama ini kami berkomunikasi lewat telepon atau panggilan video. Sudah lama aku ingin menengok mereka, tetapi Xander baru sempat sekarang. Suamiku melarangku pergi sendirian, dengan dalih aku tengah hamil, makanya aku harus menunggu sampai Xander punya waktu untuk pergi."Dua-duanya boleh," sahut Xander sembari membukakan pintu mobil untukku."Terima kasih." Kubalas kebaikannya dengan senyuman manis. Bergandengan tangan kami berjalan menuju toko.Aroma kue yang menyenangkan menyapa penciuman kami begitu kami memasuki bangunan itu. Serta merta waitress yang bertugas menyambut kami dengan keramahan luar biasa. "Selamat datang, Tuan dan Nyonya Smith
"Awalnya aku tidak mau," ucapnya terus terang. Sebagai seorang pebisnis yang memiliki citra bersih, serta selalu bermain adil, Xander menolak tawaran untuk menikahi calon istri sang sepupu. Namun, pada akhirnya ia merasa kasihan kepadaku."Kasihan?" tanyaku sedikit bingung. "Jika kau merasa kasihan, harusnya kau tak perlu menikahiku. Lunasi saja utang Alex, lalu kau buat perhitungan dengannya, seumur hidup, bila perlu."Meskipun pada akhirnya pernikahan kami telah mencapai titik sepakat, dan kami bahagia bisa hidup bersama, kemungkinan semacam itu lebih masuk akal. Toh mereka masih kerabat, orang tua mereka pun bisa dilibatkan.Xander tersenyum sedih. "Masalahnya tak sesederhana itu, sayang." Dengan lembut dibelainya pipiku. "Aku juga menyarankan agar dirinya membatalkan pernikahan itu, tetapi Alex terus mendesakku untuk menikahimu. Ketika akhirnya sepupuku berhenti memaksa, ia mengatakan bahwa kalian akan tetap menikah seperti rencana semula."Xander panik, pendiriannya goyah. Ia tahu
"Xander, tak bisakah kau melihat perasaanku dari perhatian yang kuberikan kepadamu selama ini? Juga bagaimana wajahku tersipu-sipu karena rayuan gombalmu, tak bisakah kau lihat itu?" Mataku menatapnya dengan perasaan terluka yang kurekayasa agar terkesan dramatis.Namun, Xander menanggapinya dengan serius. Ia mendesah berat, seolah hidupnya penuh dengan masalah pelik. Aku jadi sedikit merasa bersalah, tapi lagi-lagi ia terlihat menggemaskan, sampai-sampai aku nyaris gagal berakting."Thea, bahkan seorang pria paling percaya diri sekalipun perlu diyakinkan bahwa wanita yang dicintainya memiliki perasaan yang sama. Kau sendiri sering menggerutu bahwa aku ini kurang peka," keluh Xander dengan wajah semakin murung.Oh, tidak! Ini terlalu lucu. Kami seakan mengulang percakapan beberapa menit lalu di saat Xander menanyakan perasaanku. Interaksinya mirip, hanya saja fakta bahwa Xander menyebutkan ketidakpekaan di pihaknya membuat keseriusan pembicaraan ini buyar."Ahahahaha!" Aku tertawa terb