POV Wisnu
"Nikahi Aida, Wisnu," perintah Ibu saat aku berkunjung ke Bandung.
"Tidak Bu. Wisnu sudah bilang, balas Budi gak harus menikahinya. Wisnu siap menanggung hidup Aida. Memberinya uang tiap bulan. Asal, tidak menikah dengannya."
"Gak bisa Wisnu. Itu permintaan terakhir Pak Reno. Dia ingin kamu menjaga Aida.""Aku bisa menjaganya, tanpa harus menikah dengannya, Bu!" bentakku geram.
"Tolong, Wisnu, menikahlah dengan Aida, agar kamu bisa punya anak. Lihatlah, sudah enam tahu pernikahan, kalian belum mempunyai anak."
"Belum rezeki, Bu. Kami sama-sama subur. Jadi, jangan beri alasan apapun. Sampai kapan pun, Wisnu tidak akan mempoligami Elina. Wisnu sangat mencintainya."
"Wisnu, mau ke mana?"
"Aku mau kembali ke Jakarta."
"Wisnu, jangan pergi. Temani Ibu!" teriak Ibu tak aku hiraukan.
Aku berlalu pergi dari rumah Ibu. Sungguh, permintaannya diluar akal sehat. Aku sangat mencintai Elina. Perempuan paling sempurna di mataku.Sekuat tenaga, aku tolak permintaan gila dari Ibu. Tak akan tega menduakan Elina. Dia Pasri tersakiti. Tidak ada istri yang mau berbagi suami. Aku juga tak sampai hati, melihatnya menangis, atau terluka karena mempunyai adik madu.
Drat!Drat!Ponsel berbunyi. Ada panggilan dari Aida. Sengaja aku tolak. Namun, Aida terus memanggil. Terpaksa, menepikan mobil, dan mengangkat telepon darinya."Hallo, Aida, ada apa?""Mas Wisnu, tolong aku. Di rumah kaya ada maling gitu. Aku takut Mas. Cepetan ke sini."
"Kamu serius ada maling?"
"Iya, Mas cepat ke sini. Aku sendirian, takut."
"Baiklah, cari benda tajam untuk jaga-jaga, aku putar balik menuju rumahmu."
Seharusnya, aku pulang ke Jakarta Elina sudah menunggu di rumah. Namun, takut terjadi apa-apa kepada Aida. Aku putuskan, membatalkan rencana kembali ke Jakarta."Hallo, Neng?" Di perjalanan, aku sengaja mengabari Elina Via telepon agar dia tidak khawatir.
"Iya Mas, jadi pulang?"
"Maaf Neng, Ibu pengen ditemenin dulu. Jadi, Mas pulangnya besok, yah."
"Bagaimana keadaan Ibu, Mas? apa aku harus menyusul ke Bandung?" tanya Elina cemas.
Elina begitu menyayangi Ibu. Awalnya, dia memaksa untuk ikut, tetapi aku larang. Karena aku tahu, Ibu sakit ingin dijenguk dan memaksaku menikah dengan Aida. Elina pasti sakit hati, Jika mengetahui, Mertua yang dia sayangi, malah berusaha menghancurkan rumah tangganya.
Tok! tok! tok!"Aida, buka pintunya."
Ada kejanggalan yang aku rasakan. Aida bilang, ada orang yang mengintainya. Namun, aku perhatikan, tidak ada tanda-tanda maling di sini.
"Mas Wisnu."Aida langsung memelukku. Segera aku lepas rangkulannya.
"Kamu baik-baik saja?"
"Iya, Mas. Tadi ada orang Ronda, jadi malingnya sudah mereka tangkap."
Apa benar perkataan Aida? aku amati, tidak ada bekas perkelahian di sini. Hanya bagian pelipis Aida yang nampak memar.
"Mas, tolong tetap di sini dulu, yah. Aku takut. lihat, penjahat itu mau melukaiku." Aida menunjuk bagian wajahnya yang memar.
"Baiklah, tapi hanya sebentar saja. Aku tidak mungkin menginap di sini."
"Iya, Mas. Temani sebentar saja. Ayok, masuk."
Aku duduk di ruang tamu. Firasat buruk seketika menerpa. Aku berusaha menepisnya. Aida tidak mungkin berbuat buruk padaku. Dia adalah sahabatku, sejak kecil."Minum dulu, Mas."
Tenggorokan terasa haus. Kebetulan, Aida menyuguhkan segelas minuman dingin. Segera aku minum sampai tandas.
"Aida, kenapa aku tiba-tiba ngantuk, yah?"
"Mas, cape kali. Ayok, aku antar ke kamar untuk istirahat sebentar."
Rasa kantuk mendera begitu hebat. Aku tidak sanggup menolak, saat Aida memapah menuju kamar. Setelah itu, aku terbaring, dan tidak tahu apa-apa lagi.
******
"Hiks, hiks." Suara tangisan membangunkanku dari tidur."Aida, apa yang terjadi?"Mata melotot sempurna. Tubuh ini tidak memakai sehelai benang pun, sama seperti Aida.
"Mas Wisnu sudah merenggut kesucianku. Aku sudah berusaha menolak, tapi Mas terus memaksa."
"Gak mungkin, aku tidak mungkin melakukan itu."
Aku bangkit mengambil baju dan pergi meninggalkan Aida. Terus bergeming, meskipun Aida menahanku pergi. Aku tak mungkin melakukan perbuatan keji itu.Beberapa bulan kemudian, Ibu mengabari bahwa Aida hamil. Tubuh lemas tak bertenaga. Tak mungkin benihku langsung jadi di rahimnya. Bahkan, kejadian malam itu saja, aku tidak mengingatnya.
Perintah Ibu sengaja aku abaikan. Diri ini sangat yakin, bahwa anak itu bukan darah dagingku.
"Wisnu, cepat ke sini. Aida mau bunuh diri jika kami tidak menikahinya."
Denga rasa cemas, aku segera ke Bandung. Takut terjadi apa-apa pada Aida.
Setelah sampai di rumah Aida, aku langsung menyaksikan pemandangan yang sangat pilu. Wajah Aida nampak semrawut. Rambut tak beraturan. Dia terduduk sambil terus menangis di kamar. Sebuah pisau terletak di tangan bagian kiri, siap mengiris urat nadinya.
"Aida, hentikan."
"Wisnu, ibu takut Aida kenapa-kenapa. Kesian dia sedang mengandung anakmu. Segera bujuk dia."
"Aku harus apa, Bu? gak mungkin nikahin dia. Wisnu terlalu sayang pada Elina."
"Kalau Mas Wisnu gak mau tanggung jawab, Aida lebih baik mati saja."
"Argh!"
"Aida!"
Aku dan Ibu histeris ketika melihat darah mengucur. Aida terkulai lemas. Tubuh Aida aku gendong menuju mobil dan membawanya ke rumah sakit.
Beruntung, Aida tidak meregang nyawa. Urat nadinya tak sampai putus. Kejadian itu, membuat hati nuraaniku terketuk, untuk mengalah dan menikah dengan Aida.
"Aku akan bertanggung jawab, Aida," ujarku saat Aida berangsur pulih.
"Benar, Mas?" tanya Aida berbinar. Aku hanya mengangguk.
"Ada syaratnya. Aku ingin kamu menandatangani surat perjanjian ini."
"Surat perjanjian apa?"
"Surat ini menyatakan, bahwa kamu tidak akan menyuruhku untuk bercerai dengan Elina. Jangan katakatan pada Elina bahwa kamu hamil. Tunggu sampai kamu melahirkan. Jika tes DNA menyatakan anak itu benar-benar darah dagingku, maka Elina boleh tahu."
"Kamu gila, Wisnu. Kenapa buat surat perjanjian aneh itu," hardik Ibu.
"Wisnu sudah bilang, kalau Wisnu sulit menerima pernikahan ini. Wisnu terpaksa menikahinya, agar Aida tidak berbuat nekat lagi."
"Kamu sudah dibutakan cinta, Wisnu. Sudah jelas anak Aida adalah anak kandungmu. Aida tidak pernah berhubungan dengan pria lain. Ibu yakin itu. Dia selalu menemani Ibu. Jadi, Ibu paham pergaulannya."
"Terserah. Jika tidak setuju, aku gak akan menikah dengan Aida."
"Baiklah, Mas. Suatu saat kamu akan yakin, bahwa anak ini memang darah dagingmu. Aku ingin pernikahannya dilakukan malam ini juga."
"Tapi Aida a-"
"Sudahlah, Wisnu, jangan berkelit. Kamu harus tanggung jawab," cecar Ibu.
Aku hanya mengangguk pasrah. Malam itu, janji suci aku ucapkan untuk kedua kalinya. Sanubariku, terasa sakit melakukannya. Elina, maafkan diriku yang sudah menghianati cinta suci kita.
Satu bulan sesudah akad nikah. Aida memaksa mengadakan resepsi pernikahan. Awalnya aku menolak, takut Elina curiga. Namun, Ibu dan Aida terus mendesak."Kasihan Aida, Wisnu. Ini pernikahan pertama untuknya. Turuti saja, siapa tahu, itu permintaan anak dalam kandungannya."
"Baik, Bu. Tapi, aku hanya ingin orang tertentu saja yang datang di resepsi. Jangan sampai Elina tahu.""Kalau itu gampang, bisa diatur," ujar Ibu menyakinkan.
Aku tidak pernah menyangka, resepsi pernikahan bersama Aida adalah awal kehancuran rumah tanggaku dengan Elina. Istriku, tiba-tiba datang dan memberi kejutan yang cukup membuat sakit jantung.Elina mengamuk tak terkontrol. Dengan berutal, dia memukulku, dan membuat kekacauan yang begitu mengerikan. Matanya yang selalu berseriseri, berubah sendu. Aku bisa merasakan, luka begitu dalam di hatinya.Lagi-lagi aku gagal untuk mengusir duka di hati Elina. Dia datang ke rumah ibu, tetapi Aida melarangku untuk pergi bersamanya. Aida juga memaksa ikut ke Jakarta, dengan alasan kehamilannya. Hidupku sangat dilema. Di satu sisi, ada Elina yang harus aku jaga hatinya. Namun, di sisi lain, ada janin calon anakku yang mulai aku akui keberadaannya.
*****
"Wow, bagus sekali."
Raut bahagia baru nampak kembali di wajah cantik Elina. Aku senang, hadiah mobil ini bisa membuatnya kembali ceria dan menerima poligami yang sudah aku lakukan.
"Suka?" tanyaku.
"Banget," jawab Elina semringah.
"Ada satu lagi."Aku keluarkan sebuah cincin berlian yang sangat indah untuk Elina. Sengaja memilih cincin paling indah, meskipun mahal. Asalkan, Elina bahagia, pasti aku lakukan.
"Wah, bagus banget. Makasih, Mas."Elina mencium pipi kanan dan kiriku. Jantung berdesir halus meraskaan kehangatannya. Sosok istri yang aku cintai, mulai kembali.
"Buat aku mana, Mas?" tanya Aida yang tiba-tiba muncul.Wajah Elina kembali muram. Senyum yang merekah, seketika hilang saat Aida datang. Hatiku begitu tersayat menyaksikannya. Andai ada pilihan lain, aku juga tidak rela menyakiti Elina.
"Ini berlian untukmu, Aida."
Bagaimanapun kondisinya, aku juga harus bersikap adil kepada Aida. Cincin yang sama, aku belikan juga untuknya.
Aku tahu, sikapku makin melukai Elina. Raut kecewa tergambar jelas. Biasanya, hadiah spesial yang aku beri, khusus untuknya. Saat ini, semua harus dibagi sama rata dengan Aida.
Realitanya, aku belum bisa bersikap adil pada mereka. Hatiku, masih sepenuhnya milik Elina. Mobil permintaan Aida juga belum bisa diberikan, karena uangku hampir menipis untuk membahagiakan Elina. Syukurlah, Aida bisa menerima. Dia bersikap hangat malam ini. Aku segera mandi agar tidak menyakiti Elina dengan sikap Aida yang begitu perhatian."Mas, tolong!"
Belum sempat membuka baju, suara minta tolong terdengar jelas dari mulut Aida. Aku segera berlalu menuju sumber suara.
"Mas, sakit. Elina mendorongku. Anak kita, Mas. perutku sakit."Mataku terbelalak ketika melihat darah mengalir di bagian kaki Aida. Rasa cemas menguasai diri. Aku takut, terjadi apa-apa pada Aida dan bayi kami.
"Elina, apa yang kamu lakukan?" tanyaku geram.
"Aku tidak melakukan apapun, Mas."
"Jangan bohong. lihat, Aida mengeluarkan darah. Kamu sengaja mau membunuh anakku?"
"Anak? Aida hamil?"
"Jangan pura-pura tidak tahu. Kamu pasti sengaja melukainya, karena aku menyembunyikan kehamilan Aida? tega sekali kamu, Elin. Aku menutupinya demi kamu. Tapi, dirimu malah melukai anakku."
"Mas, buruan ke dokter, sakit ...," rintih Aida.Tubuh Aida aku gendong menuju mobil.
"Elina, ikut denganku. Kamu harus tanggung jawab!" bentakku.
Tak menyangka Elina akan berbuat sejahat itu pada Aida. Istri yang selama ini aku banggakan, ternyata mempunyai sisi kriminal.
"Mas, cepat, perutku sakit," Aida terus merintih kesakitan saat di mobil.
"Halah, gak usah akting, Aida. Kamu bener-bener gila, yah," maki Elina.
Aku tidak habis pikir, pada Elina. Di kondisi genting seperti ini, dia masih bisa berpikir buruk pada Aida. Di mana hati nuraninya? Emosi semakin meletup melihat tingkah Elina.
"Diam Elina. Jangan bicara omong kosong!"
"Aku bicara apa adanya, Mas. Aida cuman pura-pura. Kalau gak percaya, lihat saja kata dokter."
"Elina, kamu jahat. Aku benar-benar kesakitan. Cepat Mas, bawa aku ke dokter Mawar."
Dokter mawar merupakan sahabat kami di Jakarta. Dia biasa praktek di rumah sakit dekat rumahku. Aku memang akan membawanya ke sana.
"Jangan di situ. Mereka pasti bersekongkol."
"Jangan dengarkan Elina Mas, dia hanya benci padaku, karena bisa mengandung anakmu."
"Dih, sorry, yah. Aku cuman pengen Mas Wisnu tahu kebusukanmu. Cepat Mas, bawa dia ke rumah sakit Bunda Pelita saja. Tempatnya juga gak jauh. Di sana rumah sakit besar, dokternya lebih handal."
"Tidak, aku tidak mau, Mas. Aku ingin periksa ke dokter mawar saja. Dia sahabat kita, pasti memberi pelayanan terbaik."
"Halah, kamu takut 'kan? lihat tuh, gundikmu, Mas. Kebakaran jenggot takut ketahuan."
Kepalaku makin pusing mendengar perdebatan mereka. Ternyata, punya dua istri rasanya seperti di demo rakyat satu negara. Penuh permintaan, dan keributan.
"Diam! biar aku yang menentukan."
POV AishApa kira-kira tugas terkahir Jex sebagai mafia? sepanjang perjalanan Jakarta - Bandung aku terus berpikir keras. "Sayang, apa sebenernya yang harus diselesaikan? kamu tidak berniat membunuh seseorang 'kan?""Tidak, istriku. Ada wasiat dari Ayah. Setelah itu, hidupku akan bebas.""Apa?""Nanti aku beritahu, lebih baik kamu tidur. Kamu pasti lelah.""Baiklah."Jex bukan orang yang bisa dipaksa untuk bicara. Maka aku ikuti saja keinginannya. Yang terpenting, dia sudah tidak terobsesi lagi oleh dendam. Aku hanya ingin kami bisa hidup bahagia tanpa di bayang-bayangi kecemasan. Ternyata hidup menjadi bagian dari seorang mafia sangat tidak nyaman. Meskipun uang berserakan di mana-mana. ****Satu bulan berlalu, Perlahan Jex menyelesaikan tugas terakhirnya. Dia menyerahkan semua saham perusahaan Sagar Buana pada Denis. Dengan rasa tak percaya, Denis mau menerimanya. Jex hanya akan mengambil sedikit harta untuk membeli tanah dan modal untuk memulai hidup baru di desa emak dan bapakku
POV JexMataku membeliak kaget. Kamar berantakan. Baju-baju Aish sudah berkurang dari lemari. Aku pikir dia hanya marah biasa. Ternyata, Aish nekat pergi dari rumah ini. Hampir 5 jam aku melupakannya setelah pertengkaran yang terjadi di antara kami. Aku terlalu sibuk dengan dunia kesedihanku. Sampai tidak sadar Aish meninggalkanku."Ke mana istriku pergi?" tanyaku penuh amarah kepada penjaga."Ta-tadi nyonya naik taksi online sambil membawa koper, Tuan. Saya pikir sudah izin sama Tuan.""Bodoh!"Bugh. Aku pukuli para penjaga satu persatu. Dasar manusia berotot yang tidak bisa diandalkan. Mana mungkin aku membiarkan Aish keluar sendirian tanpa penjagaan anak buahku. Kenapa mereka begitu bodoh, sampai tidak bisa melarang kepergian istriku? Amarah aku luapakan secara brutal. Semua anak buahku menjadi pelampiasan emosi. Mereka semua babak belur. Darah mengucur di bagian bibir. Aku berubah seperti Jex yang dulu. Menjadi brutal dan ganas. Bagaikan singa hitam. Aku segera menuju rumah Mb
POV Aish "Ayah!" teriak suamiku diiringi isak tangis.Persendian lemas. Aku tersungkur di lantai. Menunduk sambil mengeluarkan air mata. Tak sanggup memandang wajah ayah yang sudah penuh darah. Sedangkan suamiku terus meraung mengeluarkan kesedihan. Dia memeluk dan mencoba membangunkan ayahnya. Namun, semua itu percuma. Ayah sudah kembali ke alam keabadian. Dia meninggal karena memilih menyelamatkanku dan cucunya. Tak gentar menghadapi ajal. Pengorbanannya untukku dan Jex begitu luar biasa. Namamu akan tersimpan baik di hatiku ayah.Maafkan aku tak bisa menyelamatkanmu. Terima kasih telah mengorbankan nyawa demi aku. Kau bagai malaikat penolongku. Jujur, sesak di dada begitu menghimpit. Oksigen seakan tak mau masuk ke rongga paru-paruku. Rumah yang penuh canda tawa dan ketenangan ini, mendadak gelap. Seiring dengan kepergianmu. "Ayah ... maafkan aku. Ayah ... bangunlah, Arrgh!"Jex mencengkram pundak ayah. Menggoyangkan tubuhnya. Mengaggap ayah hanya sedang tertidur pulas. Suamiku
POV AraavSialan. Pria tua seperti Sagara bisa memporak porandakan bisnisku dalam hitungan hari. Di tambah lagi kecerobohan Arka dan anak buahnya. Mereka memang tidak bisa diandalkan. Lengah meninggalkan jejak ketika membakar ruko. Arka juga dituduh melakukan penculikan karena bertingkah gegabah. Aku sudah bilang, jangan bertindak sembarangan. Rusak sudah rencanaku. Jex dan Sagara bersekongkol menghancurkanku. Dia membuatku masuk penjara. Semua karena penghianatan manusia busuk seperti Arka. Dia dijebloskan terlebih dahulu ke penjara, dan sengaja menyeret namaku ikut dengannya. Dasar manusia sialan. "Aku sudah bilang, kau ini bodoh. Kau pintar bercuap-cuap, tapi selalu salah bertindak," hardik Gisel.Adik sialan yang merasa paling hebat. Beruntung aku berhutang pertolongan kepadanya. Kalau bukan karena dia aku masih mendekam di penjara. Ruangan yang mirip tempat pembuangan sampah. Mimpi buruk berada di sana. Hanya dalam hitungan hari saja, membuatku trauma. Aku bersumpah akan mengh
POV Tuan Sagara"Tu-tuan, jangan emosi dong. 'Kan bukan aku yang seperti iblis."Perempuan bodoh kesayangan Jex ketakutan. Dia tak setangguh yang aku pikir. Awalnya, aku mengira dia perempuan tangguh, karena berani melawanku pada waktu itu. Namun, tetap saja seorang perempuan sesuai kodratnya. Hatinya lembut. Lebih tepatnya dinamakan lemah."Jangan cengeng. Baru seperti itu saja ketakutan. Kamu sedang mendengar aku bercerita, bukan menonton arena gulat.""Hihihi, Tuan tetep serem walaupun sedang curhat."Anak ingusan ini malah mengejekku. Kalau bukan istri dari putra angkatku, sudah aku tampar dia. Tak sopan bersikap demikian di hadapanku. Berani meledek mafia paling hebat se-Asia. Sebenernya, dia orang kedua. Maria sudah terlebih dahulu bersikap konyol begitu ketika bersamaku. "Cepat bereskan dapur ini. Jangan sampai ada debu sedikit pun. Kau terlalu lancang menyuruhku banyak bicara.""Maaf, Tuan. Aku tidak menyuruh. Hanya saja, Tuan yang bercerita duluan. Tapi, tak apa. Sebagai me
"Buburnya sudah siap, Ayah.""Hahaha, aku suka panggilan itu, Lion.""Ternyata kau membawa pujaan hatimu, hahaha. Kita tidak sedarah, tapi tingkahmu mirip denganku," sambungnya ketika menyadari kehadiranku.Sungguh aneh. Tuan Sagara yang ada di hadapanku saat ini, sangat berbeda dengan sosok Tuan Sagara saat kami pertama berjumpa. Dia kelihatan seperti orang tua pada umumnya. Dengan rambut yang beruban, dan kesehatan yang mulai memburuk. Apa memang begini kehidupan seorang mafia? mereka bisa menyesuaikan diri dengan sesuka hati. Tergantung tempat dan kepentingan. "Aish sudah membuat bubur. Silakan di makan, Ayah. Setelah itu, minumlah obat.""Berikan buburnya, jika tidak enak, istri cantikmu ini tak akan selamat, hahaha.""Ih, serem, Jex," bisikku panik. Baru saja pria tua ini aku puji, karena bersikap normal. Sekarang dia malah berani mengancamku. Padahal aku tidak melakukan kesalahan ."Tak usah takut, hanya bercanda.""Bercanda dari Hongkong. Orang mukanya serem gitu," bisikku kes