Share

Part 12

Author: Sriayu23
last update Last Updated: 2022-07-19 14:50:06

Pov Elina

"Tidak, aku tidak mau, Mas. Aku ingin periksa ke Dokter Mawar saja. Dia sahabat kita, pasti memberi pelayanan terbaik," sanggah Aida panik

"Halah, kamu takut 'kan? lihat tuh, gundikmu, Mas. Kebakaran jenggot takut ketahuan."

 Dia pikir aku bodoh dan bisa masuk perangkapnya? oh tidak, semudah itu. Aku sudah bisa membaca kelakuan pelakor model Aida. Sekarang, dia panik karena permainannya sendiri.

"Diam! biar aku yang menentukan!" bentak Mas Wisnu.

Hatiku dongkol kepada Mas Wisnu. Hanya karena istri keduanya, dia membentakku. Tak ada penawar bagi lukaku ini. Tekad semakin bulat untuk menggugat ceria. Modal usaha sudah aku kantongi. Soal aset rumah, aku tak berminat menguasainya.

Harta bukan penentu sebuah kebahagian. Hal terpenting, aku punya modal untuk memulai hidup baru tanpa Mas Wisnu. Dibandingkan terus bertahan tapi tersakiti. Uang masih bisa aku cari sendiri. Namun, kebahagian dan kesehatan mental tidak bisa dibeli materi. Buat apa aku berhasil mengeruk harta Mas Wisnu tetapi sesudahnya mengalami depresi berat karena hidup satu atap bersama manusia setengah ibl*s seperti Aida. 

Aku harus keluar dari sangkar emas milik Mas Wisnu. Terbang bebas bak burung merpati. Merasakan kembali kedamaian dunia luar. Menghembus udara bebas tanpa bayang-bayang rasa yang membelenggu.

"Mas kenapa ke sini?" tanya Aida tegang.

"Benar kata Elina, rumah sakit Bunda Pelita lebih besar. Dokter di sini pasti lebih bagus. Ayok, keluar."

"Gak mau, Mas. Aku mau di tempat praktek Dokter Mawar. Aku gak mau turun."

"Tuh, keliatan bohongnya. Masa cuman karena beda dokter gak mau periksa. Kamu mau anakmu keguguran?"

"Jangan sembarangan bicara. Aku hanya tak percaya jika berobat di sini."

"Sudah, cepat turun. Jika kamu tak mau, berarti perkataan Elina benar adanya."

"Baik, cepat gendong aku, Mas. Perutku sakit sekali."

"Aktingmu, gak berbakat Aida," ledekku sambil tertawa.

Raut resah sangat kentara. Akan tetapi, Aida tidah bisa menolak. Mas Wisnu segera membawanya ke UGD agar segera ditangani.

Kita saksikan pertunjukan spektakuler. Mau ditaruh dimana muka si Aida kalau Mas Wisnu tahu dia berbohong. Tahu rasa kamu, Aida. Jangan macam-macam denganku.

"Maaf Pak, tolong tunggu di luar," perintah suster.

Mas Wisnu sangat panik menunggu tim medis yang sedang mengobati Aida. Berbeda denganku yang sedang duduk santai sambil menontot status para artis idola di I*******m.

"Neng, kenapa kamu tidak cemas sama sekali? aku gak nyangka Neng berubah jadi kejam gini."

"Terserah."

"Elina, aku bicara serius!" 

Mas Wisnu mencengkram rahangku. Mata kami saling bertatapan. Aku tak menyangka, dia berbuat sekejam ini. Bulir bening mengalir begitu saja.

"Neng, ma-maaf."  

Tangannya terlepas, dengan rasa tak enak hati. Aku masih memandang matanya yang kecoklatan. Rasa syok mengguncang jiwa. Tak pernah menyangka, Mas Wisnu berbuat kasar. Rasa perih di bagian wajah, tak sebanding dengan nyeri di hati. Hancur lebur cintaku untuknya.

"Neng, maafin Mas. Mas kelepasan, dan gak bermaksud kasar."

"Cukup tahu, Mas. Ternyata Cintamu tak sebesar yang aku bayangkan. Bahkan, kamu menuduh begitu saja, padahal dirimu yang sudah membohongiku."

"Neng ma-"

"Suaminya Bu Aida." 

Dokter tiba-tiba keluar dari ruang UGD. Perdebatan antara kami harus terhenti. Mas Wisnu menghadap dokter penuh kecemasan.

"Bagaimana kondisi Istri dan anak saya, Dok."

"Mari kita bicara di ruangan saya."

Aku mengekor di belakang mereka. Tak sabar melihat Mas Wisnu kena jantungan karena di tipu Aida. Aku akan bersorak riang saat detik-detik itu terjadi.

"Bagaimana Dok, apa anak dan istri saya baik-baik saja?" tanya Mas Wisnu tak sabar saat di ruang dokter.

"Syukurlah, benturan di perut Ibu Aida tidak parah. Dia hanya mengalami pendarahan ringan. Tolong, untuk Pak Wisnu agar lebih hati-hati. Jika, terjadi lagi kejadian serupa, bisa mengancam keberlangsungan janin dan ibunya," papar dokter di luar dugaan.

Kenapa dokter berkata seperti itu? Sudah jelas Aida hanya bersandiwara. Aku sangat ingat, tak pernah mendorong bahkan menyentuh kulitnya. Pasti telah terjadi konspirasi untuk menjatuhkanku.

"Elin, kamu dengan kata Dokter. Untung Tuhan masih menyelematkan mereka," maki Mas Wisnu menatap nyalang.

"Gak mungkin, Dokter pasti berbohong. Aida tidak pernah jatuh, Mas. itu hanya darah buatan saja."

"Cukup, Elina. Kamu mau mengelak bagaimana lagi, buktinya sudah jelas. Lihat, Aida benar-benar hampir keguguran. Apa yang kamu tuduhkan tentang dia tidak terbukti."

"Dokter ini pasti membuat konspirasi, untuk memfitnahku," ucapku lantang.

Wajah Dokter pria itu terlihat gugup. Dia berusaha tenang, tapi aku paham bahwa dia berbohong.

"Hahaha, Elina, setan apa yang membuat hatimu buta seperti ini. Setelah menuduh Aida, sekarang kamu menyalahkan Dokter yang baru dikenal," umpat Mas Wisnu geram. 

Dia mencengkram tanganku erat. Menimbulkan rasa sakit di pergelangan tangan. 

"Lepaskan!" pekikku.

"Sudahlah, ayok kita selesaikan semuanya di luar." Mas Wisnu memaksaku keluar.

"Diam kamu, Mas. Biar aku buktikan sendiri kebenarannya."

Aku berdiri sambil menatap tajam pada Mas Wisnu. Kemudian, melotot ke arah dokter. Ekspresi takut makin tergambar jelas diwajahnya.

"Pak Dokter, apa anda tahu pasal 3 undang-undang nomer 11 tahun 1980 yang menerangkan tentang sanksi pidana bagi pihak penerima suap?" tanyaku berusaha tenang.

"Ti-tidak," jawab Dokter makin gugup.

"Baik, akan saya terangkan.   

 

Barangsiapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyakbanyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah)," paparku begitu meyakinkan. Mas Wisnu hanya mematung.

"Katakan yang sejujurnya, atau saya perkarakan ini ke jalur hukum. Jika anda berbohong, sama saja ikut menuduh saya berencana membunuh nyawa seseorang. Itu termasuk pencemaran nama baik. Saya bisa mengusutnya kepengadilan, dan dengan mudah membuktikan bahwa anda memberi diagnosis palsu."

"Sa-saya tidak berbohong. Anda jangan menuduh," jawab Dokter menunjukan wajah tak suka.

"Elina, sudah ja-"

"Diam." Mataku memandang tajam pada Mas Wisnu, lalu beralih pada Si Dokter.

"Aida membayar anda berapa? pasti tidak semahal harga yang harus dibayarkan jika mendekam di penjara, bukan? Cepat katakan, atau saya telpon pengacara saya detik ini juga."

Jujur, aku hanya mengancam saja. Bermodalkan hafal undang-undang tentang suap yang baru aku baca di goegle. Aku  sudah mengantisipasi jika kejadian ini terjadi. Aida, kamu tak akan menyangka seorang Elina sangat cerdik 

"Saya ti-tidak berbohong."

"Baik." 

Aku angkat ponsel, pura-pura memanggil pengacara, padahal sama sekali tidak punya nomer pengacara.

"Jangan-jangan, baik, saya jujur. Ibu Aida telah memberi saya uang sebesar sepuluh juta untuk mengatakan diagnosis palsu. Bu Aida tidak pernah terbentur. Dia menggunakan darah palsu yang di simpan dibagian paha, lalu sengaja memecahkan wadahnya, sehingga mengucur sampai kaki."

Wajah Mas Wisnu sangat terkejut, bercampur amarah. Napasnya tak beraturan menahan gejolak di dada.

"Makasih dokter. Untuk kali ini, saya maafkan."

Aku tatap Mas Wisnu dengan senyum kemenangan. Kemudian, berjalan dengan angkuh keluar ruangan. Rasakan kamu Mas. Sudah bertahun-tahun kita bersama, tapi kamu begitu mudah percaya pada sesuatu yang tak pernah aku lakukan. Membunuh semut saja tidak tega, apalagi mencelakai bayi tak berdosa.

"Elina, tunggu," ujar Mas Wisnu.

Aku hiraukan panggilannya. Berjalan dengan pongah menuju ruang UGD. Melabrak perempuan gila yang berani memfitnahku.

"Selamat Aida, kamu gagal membodohiku dan Mas Wisnu."

"Ma-maksud kamu apa?"

"Jangan mengelak Aida. Aku tidak menyangka kamu sengaja bersandiwara untuk menjatuhkan Elina."

"Apa yang kalian maksud, aku sungguh tidak mengerti," jawab Aida pura-pura lugu.

"Hahaha, gak usah berkelit. Aku sudah membongkar kebusukan kamu. Dokter tadi, sudah bicara sejujurnya. Lihat Aida, aku lebih pintar darimu."

"Ma-Mas Elina bo-"

"Cukup! aku kecewa kepadamu Aida." 

Gejolak Emosi nampak jelas di wajah Mas Wisnu. Jika, bukan di rumah sakit, perang dunia pasti terjadi. Mas Wisnu tipe orang yang paling tidak suka dibohongi. Kemarahannya akan seperti Guntur di malah hari. Menggelegar dan membuat takut siapapun yang mengecewakannya.

"Satu lagi, aku sudah muak melihat kalian. Aida, silakan ambil Mas Wisnu. Semua aku lakukan, bukan karena kalah. Tapi, aku menyadari, pria tukang bohong hanya pantas bersanding dengan perempuan yang sama busuknya."

Netra nyalang memandang Mas Wisnu. Raut gamang nampak jelas. Rasa bersalah telah menguasainya. Namun, tak ada kata maaf untuknya. Kekecewaanku sudah menjulang tinggi seperti gunung tertinggi di Asia-- gunung Everest.

"Neng, maafkan Mas," seru Mas Wisnu.

"Mas jangan pergi!" teriak Aida.

Aku lari sekencang mungkin. Menerobos keramaian di rumah sakit ini. Berusaha tetap tegar, meski nyatanya hatiku juga rapuh. Air mata terus bercucuran bagai hujan deras. Dada sesak mengingat kejadian yang menusuk malam ini. Baru sedikit kebahagian itu datang, karena sikap manis Mas Wisnu, seketika dicampakkan ke jurang terdalam.

"Elina, tunggu!"

"Elina jangan pergi!" 

Tak ada lagi tenaga. Tubuh ini tersungkur di tepi jalan. Mas Wisnu masih mengejarku. Persendian lemas, tak kuasa lagi lari darinya.

"Elina, jangan pergi."

Mas Wisnu memeluk tubuhku sangat erat. Derai air mata menghiasi pipinya. Kami menangis bersama di tengah bisingnya kendaraan yang berlalu lalang.

"Lepaskan, Mas, aku benci padamu. Lepaskan, hiks, hiks."

Tangan berusaha berontak, dan memukul dada Mas Wisnu sekuat mungkin. Namun, pelukannya makin kuat.

"Ayok, kita pulang. Bahaya meluapkan emosi di pinggir jalan seperti ini."

"Tidak!" jeritku. 

Banyak mata memandang heran. Raungan tangis tak henti terlontar dari mulutku. Rasa benci, marah, dan kecewa bercampur aduk tak karuan. 

"kita pulang, Elin. Mari selesaikan semuanya di rumah."

"Turunkan aku!" 

Mas Wisnu menggendongku dengan paksa. Dia tak perduli teriakan dan pukulan. Menurunkanku di dalam mobil, lalu segera melajukan mobilnya. Tak ada celah untukku kabur. 

"Turunkan aku! tak Sudi bersamamu lagi Mas. Aku sudah tidak kuat menjalani rumah tangga ini!" raungku menggelegar di dalam mobil.

"Tenanglah Elina, percaya padaku, aku melakukan ini karena begitu mencintaimu. Maafkan aku yang sudah meragukanmu."

"Turunkan aku!"

Mobil melaju sangat cepat. Mas Wisnu hanya bergeming mendengar luapan emosiku.

"Hiks, hiks, turunkan aku, Mas. Kamu jahat," ucapku lirih.

 Emosi telah menguras seluruh energi. Tak ada daya lagi untuk melawan. Aku pasrah ketika Mas Wisnu membawaku menuju rumah. Mungkin, aku harus mengontrol diri agar punya kekuatan. 

"Elina, ayok turun, kita bicarakan baik-baik," perintah Mas Wisnu sambil mengulurkan tangan.

Aku keluar begitu saja, dan mengabaikannya. 

"Mbak, kenapa?" tanya Aish saat aku masuk ke ruang tengah.

"Aish, bawa Mbak pergi dari sini. Mas Wisnu sudah keterlaluan." 

Aku peluk tubuh Aish dan menyandarkan segala beban yang dirasa.

"Ada apa Mbak?"

"Hanya salah paham, Aish. Tolong, beri waktu kami untuk menyelesaikannya."

"Tidak!" 

Aish menepis tangan Mas Wisnu yang ingin menggenggamku.

"Siapkan baju Mbak, kita pergi dari sini." 

"Aish, jangan ikut campur," protes Mas Wisnu.

"Dia Kakakku. Tidak ada yang boleh menyakitinya. Cepat Mbak, pria ini biar aku yang urus."

Aish mencengkram tangan Mas Wisnu sangat kuat. Dia memang lebih hebat dariku dalam hal bela diri. Tak sia-sia ayah memaksa anaknya untuk berlatih pencak silat. Keahlian ini, memang ampuh melindungi kami dari para pria kurang ajar, seperti Mas Wisnu.

"Ayok, Aish," intruksiku setelah membawa satu koper berisi pakaian.

Prang!

Mas Wisnu memecahkan meja kaca menggunakan hiasan patung dari batu yang ada di lemari tempat televisi.

"Jangan pergi, atau aku bunuh diri," gertak Mas Wisnu sambil meletakan pecahan kaca pada lengan kirinya.

  

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rini Setyawati
bunuh diri aja, I don't care
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Mempermalukan Suamiku Di Resepsi Pernikahanya   Tamat

    POV AishApa kira-kira tugas terkahir Jex sebagai mafia? sepanjang perjalanan Jakarta - Bandung aku terus berpikir keras. "Sayang, apa sebenernya yang harus diselesaikan? kamu tidak berniat membunuh seseorang 'kan?""Tidak, istriku. Ada wasiat dari Ayah. Setelah itu, hidupku akan bebas.""Apa?""Nanti aku beritahu, lebih baik kamu tidur. Kamu pasti lelah.""Baiklah."Jex bukan orang yang bisa dipaksa untuk bicara. Maka aku ikuti saja keinginannya. Yang terpenting, dia sudah tidak terobsesi lagi oleh dendam. Aku hanya ingin kami bisa hidup bahagia tanpa di bayang-bayangi kecemasan. Ternyata hidup menjadi bagian dari seorang mafia sangat tidak nyaman. Meskipun uang berserakan di mana-mana. ****Satu bulan berlalu, Perlahan Jex menyelesaikan tugas terakhirnya. Dia menyerahkan semua saham perusahaan Sagar Buana pada Denis. Dengan rasa tak percaya, Denis mau menerimanya. Jex hanya akan mengambil sedikit harta untuk membeli tanah dan modal untuk memulai hidup baru di desa emak dan bapakku

  • Mempermalukan Suamiku Di Resepsi Pernikahanya   Part 61

    POV JexMataku membeliak kaget. Kamar berantakan. Baju-baju Aish sudah berkurang dari lemari. Aku pikir dia hanya marah biasa. Ternyata, Aish nekat pergi dari rumah ini. Hampir 5 jam aku melupakannya setelah pertengkaran yang terjadi di antara kami. Aku terlalu sibuk dengan dunia kesedihanku. Sampai tidak sadar Aish meninggalkanku."Ke mana istriku pergi?" tanyaku penuh amarah kepada penjaga."Ta-tadi nyonya naik taksi online sambil membawa koper, Tuan. Saya pikir sudah izin sama Tuan.""Bodoh!"Bugh. Aku pukuli para penjaga satu persatu. Dasar manusia berotot yang tidak bisa diandalkan. Mana mungkin aku membiarkan Aish keluar sendirian tanpa penjagaan anak buahku. Kenapa mereka begitu bodoh, sampai tidak bisa melarang kepergian istriku? Amarah aku luapakan secara brutal. Semua anak buahku menjadi pelampiasan emosi. Mereka semua babak belur. Darah mengucur di bagian bibir. Aku berubah seperti Jex yang dulu. Menjadi brutal dan ganas. Bagaikan singa hitam. Aku segera menuju rumah Mb

  • Mempermalukan Suamiku Di Resepsi Pernikahanya   Part 60

    POV Aish "Ayah!" teriak suamiku diiringi isak tangis.Persendian lemas. Aku tersungkur di lantai. Menunduk sambil mengeluarkan air mata. Tak sanggup memandang wajah ayah yang sudah penuh darah. Sedangkan suamiku terus meraung mengeluarkan kesedihan. Dia memeluk dan mencoba membangunkan ayahnya. Namun, semua itu percuma. Ayah sudah kembali ke alam keabadian. Dia meninggal karena memilih menyelamatkanku dan cucunya. Tak gentar menghadapi ajal. Pengorbanannya untukku dan Jex begitu luar biasa. Namamu akan tersimpan baik di hatiku ayah.Maafkan aku tak bisa menyelamatkanmu. Terima kasih telah mengorbankan nyawa demi aku. Kau bagai malaikat penolongku. Jujur, sesak di dada begitu menghimpit. Oksigen seakan tak mau masuk ke rongga paru-paruku. Rumah yang penuh canda tawa dan ketenangan ini, mendadak gelap. Seiring dengan kepergianmu. "Ayah ... maafkan aku. Ayah ... bangunlah, Arrgh!"Jex mencengkram pundak ayah. Menggoyangkan tubuhnya. Mengaggap ayah hanya sedang tertidur pulas. Suamiku

  • Mempermalukan Suamiku Di Resepsi Pernikahanya   Part 59

    POV AraavSialan. Pria tua seperti Sagara bisa memporak porandakan bisnisku dalam hitungan hari. Di tambah lagi kecerobohan Arka dan anak buahnya. Mereka memang tidak bisa diandalkan. Lengah meninggalkan jejak ketika membakar ruko. Arka juga dituduh melakukan penculikan karena bertingkah gegabah. Aku sudah bilang, jangan bertindak sembarangan. Rusak sudah rencanaku. Jex dan Sagara bersekongkol menghancurkanku. Dia membuatku masuk penjara. Semua karena penghianatan manusia busuk seperti Arka. Dia dijebloskan terlebih dahulu ke penjara, dan sengaja menyeret namaku ikut dengannya. Dasar manusia sialan. "Aku sudah bilang, kau ini bodoh. Kau pintar bercuap-cuap, tapi selalu salah bertindak," hardik Gisel.Adik sialan yang merasa paling hebat. Beruntung aku berhutang pertolongan kepadanya. Kalau bukan karena dia aku masih mendekam di penjara. Ruangan yang mirip tempat pembuangan sampah. Mimpi buruk berada di sana. Hanya dalam hitungan hari saja, membuatku trauma. Aku bersumpah akan mengh

  • Mempermalukan Suamiku Di Resepsi Pernikahanya   Part 58

    POV Tuan Sagara"Tu-tuan, jangan emosi dong. 'Kan bukan aku yang seperti iblis."Perempuan bodoh kesayangan Jex ketakutan. Dia tak setangguh yang aku pikir. Awalnya, aku mengira dia perempuan tangguh, karena berani melawanku pada waktu itu. Namun, tetap saja seorang perempuan sesuai kodratnya. Hatinya lembut. Lebih tepatnya dinamakan lemah."Jangan cengeng. Baru seperti itu saja ketakutan. Kamu sedang mendengar aku bercerita, bukan menonton arena gulat.""Hihihi, Tuan tetep serem walaupun sedang curhat."Anak ingusan ini malah mengejekku. Kalau bukan istri dari putra angkatku, sudah aku tampar dia. Tak sopan bersikap demikian di hadapanku. Berani meledek mafia paling hebat se-Asia. Sebenernya, dia orang kedua. Maria sudah terlebih dahulu bersikap konyol begitu ketika bersamaku. "Cepat bereskan dapur ini. Jangan sampai ada debu sedikit pun. Kau terlalu lancang menyuruhku banyak bicara.""Maaf, Tuan. Aku tidak menyuruh. Hanya saja, Tuan yang bercerita duluan. Tapi, tak apa. Sebagai me

  • Mempermalukan Suamiku Di Resepsi Pernikahanya   Part 57

    "Buburnya sudah siap, Ayah.""Hahaha, aku suka panggilan itu, Lion.""Ternyata kau membawa pujaan hatimu, hahaha. Kita tidak sedarah, tapi tingkahmu mirip denganku," sambungnya ketika menyadari kehadiranku.Sungguh aneh. Tuan Sagara yang ada di hadapanku saat ini, sangat berbeda dengan sosok Tuan Sagara saat kami pertama berjumpa. Dia kelihatan seperti orang tua pada umumnya. Dengan rambut yang beruban, dan kesehatan yang mulai memburuk. Apa memang begini kehidupan seorang mafia? mereka bisa menyesuaikan diri dengan sesuka hati. Tergantung tempat dan kepentingan. "Aish sudah membuat bubur. Silakan di makan, Ayah. Setelah itu, minumlah obat.""Berikan buburnya, jika tidak enak, istri cantikmu ini tak akan selamat, hahaha.""Ih, serem, Jex," bisikku panik. Baru saja pria tua ini aku puji, karena bersikap normal. Sekarang dia malah berani mengancamku. Padahal aku tidak melakukan kesalahan ."Tak usah takut, hanya bercanda.""Bercanda dari Hongkong. Orang mukanya serem gitu," bisikku kes

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status