“Mana Beruang Gila itu?” gumam Amber saat mendapati Tuan Dingin tidak lagi berada di balik punggungnya. Sambil mengernyitkan wajah, ia beranjak duduk. “Astaga! Ini sudah pukul 11? Aku tidur lebih dari 12 jam?” desah perempuan itu saat melihat penunjuk waktu di dinding. Seraya berkedip-kedip tak percaya, ia bergegas melipat selimut. “Ini gawat! Beruang Gila itu pasti akan memarahiku.” Secepat kilat, Amber bangkit dari sofa. Tepat pada saat itulah, matanya tertuju pada secarik kertas lusuh di atas meja. “Apa ini?” Dengan alis terangkat tinggi, wanita itu membaca pesan yang tertulis. “Aku sudah menunggumu sejak pagi, tapi kau tidak bangun-bangun. Jadi, aku terpaksa berangkat sendiri ke kota besar.” “Dia pergi menemui Adam Smith tanpa mengajakku?” seru Amber dengan mata lebar. “Ah, aku seharusnya bangun lebih awal.” Sembari meringis, ia meneruskan bacaan. “Tapi kau tidak perlu cemas. Aku akan membawakan idolamu itu ke hadapanmu. Jadi bersiaplah! Pakaianmu ada di atas tempat tidur,
"Sekarang, apakah kau puas? Kau sudah melihat betapa menderitanya perempuan yang kau benci ini. Sudah cukupkah hukuman yang kuterima?" Amber mengepalkan tangan, berusaha menghentikan tangis. Akan tetapi, air matanya terus mendesak keluar. Mendengar suara lirih wanita itu, dada Adam bertambah sesak. Setelah menarik napas berat, ia akhirnya memecah hening. "Di sini dingin. Sebaiknya kita bicara baik-baik di dalam." "Kau kira aku sudi menginjak rumahmu lagi?" Sang wanita tertawa datar sejenak. "Jangan bodoh, Tuan Smith. Pondokmu adalah tempat terburuk di muka bumi. Aku sangat menyesal pernah tinggal di sini." Tanpa basa-basi, Amber berjalan melewati pundak sang pria. Spontan saja, Adam menahan lengannya. "Kau tidak perlu pergi. Aku sudah bertekad untuk tidak bersikap kasar lagi." Sorot mata Amber otomatis menajam, sementara sudut bibirnya berkedut jijik. "Simpan omong kosong itu untuk dirimu sendiri! Kau membuatku semakin muak!" Sebelum wanita itu menepis tangannya, Adam memajukan k
"Tidak!" Amber menghindar dari mulut botol. "Jangan meracuniku!" "Tenang, Nona. Ini tidak akan mengantarmu ke neraka. Kau malah akan merasakan surga dunia," bisik sang pria sebelum mencengkeram dagu korbannya lebih kuat. Ketika air berhasil masuk ke mulut, Amber dengan sigap menyemburnya. Melihat perempuan itu masih sanggup melawan, sang pria mulai menggeram. "Minum!" Namun, setiap kali ia mengangkat dasar botol, Amber selalu berhasil menumpahkan air yang dituang. Merasa kesal, laki-laki itu akhirnya melayangkan tamparan keras. Seketika, sang wanita tertunduk dengan alis berkerut dan mata terpejam. Rasa pusing yang hebat telah mengguncang kepalanya. "Seharusnya kau menurut sejak tadi! Minum!" Dalam kondisi setengah sadar, Amber menuruti paksaan. Meski sempat terbatuk-batuk, ia terus dicekoki hingga tidak ada air yang tersisa. Para penjamah semakin bersemangat melihatnya. Mereka tertawa puas selagi membayangkan malam yang membara. "Bagus, Nona," ujar si pemimpin gerombolan sebe
“Aku saja yang ke dapur. Kau beristirahatlah di sini,” ujar Adam sembari mengangguk tulus. Namun, bukannya beranjak, sang wanita malah bergeming. Ia telah terhipnotis oleh mata hijau yang hanya berjarak beberapa inci dari hidungnya. “Amber?” panggil pria yang kebingungan menyaksikan diamnya sang wanita. Tanpa terduga, Amber menangkup pipi Adam dengan kedua tangan. Sembari menutup mata, ia pun merapatkan jarak di antara bibir mereka. Tubuh sang pria seketika menegang. Alisnya terangkat maksimal dan kedipannya tertahan. Selama beberapa saat, ia tidak berani bergerak. Hati dan logikanya sedang bertempur hebat. "Haruskah aku menyambut kecupan? Sudah dua tahun aku lebih tidak merasakan kenikmatan ini. Tapi aku bukan laki-laki berengsek yang memanfaatkan keadaan." Ketika Amber memberi jeda untuk mengambil napas, Adam cepat-cepat memisahkan pundak mereka. Dengan tampang datar, ia mencoba untuk membangkitkan akal sehat sang wanita. "Berhentilah! Bukankah kau tidak mau melakukannya d
“Kau mandul?” desah Amber tak percaya. Tatapannya tak lepas dari kilau mata yang memancarkan kesedihan. “Tolong jangan kau sebarkan berita ini, tapi ya ... aku mandul. Karena itulah, aku marah saat kau menuduhku impoten.” Adam mengangkat bahu sambil memaksakan senyum. Sang wanita berkedip-kedip tanpa suara. Informasi tersebut terasa ganjil baginya. Selang perenungan singkat, barulah ia memecah kebekuan lewat dengus dan gelengan samar. “Berhentilah membohongiku! Aku tidak bodoh. Kau kira aku lupa dengan bayi dalam foto itu? Kau sudah punya anak.” “Itu juga yang kupikirkan dulu. Aku mengira bayi lucu itu adalah anakku. Tapi ternyata ... bukan,” timpal Adam dengan suara yang semakin pelan. Kekesalan di wajah Amber mendadak pudar. Ia tahu, pria di sampingnya tidak sedang bercanda. “Apa yang terjadi?” tanyanya ketus. Kepeduliannya tidak boleh terdengar. “Dulu aku sangat mencintai istriku. Meski bertahun-tahun menikah tanpa dikaruniai anak, kami tet
"Kau sudah menyentuhku sejak awal?" tuduh Amber dengan nada tak senang. "Bukan begitu. Kau tahu kalau aku sudah pernah menikah. Tentu saja aku tahu ukuran wanita hanya dalam sekali lihat," terang Adam datar. "Saat berada di kota kecil itu, kau bilang tidak tahu ukuranku. Kau berbohong?" Nada bicara Amber semakin menanjak. Sekali lagi, sang duda menggaruk kuping. "Aku terpaksa bilang begitu demi menghindari keributan," ujarnya hampir tak terdengar. Sebelum sang wanita meluapkan kemarahan, cepat-cepat ia menyerahkan tas selanjutnya. "Aku juga membeli ini untukmu. Kau pasti membutuhkannya." Dengan wajah kusut, Amber menengok ke dalam tas. Begitu menemukan beragam produk kecantikan, kekesalannya mendadak tergantikan oleh keheranan. "Dari mana kau tahu kalau aku memakai merk ini?" selidik perempuan itu sembari mengambil concealer yang sempat dicarinya di kota. "Bukankah kau merekomendasikannya di media sosialmu?" Dalam sekejap, Amber ternganga. "Kau memata-mataiku?" "Bukan mat
"Maaf aku baru menelepon. Aku masih bersama Julian dan Mia tadi. Jadi, bagaimana keadaanmu sekarang? Apa maksudmu semua sudah terkendali? Apakah kau sudah pergi dari pondok itu? Atau jangan-jangan kau sudah membunuh laki-laki berengsek itu?" Mendengar bagaimana Sebastian menyebutnya, Adam mendengus samar. Sambil terus melangkah menuju kursi di dekat jendela, ia berkata, "Maaf. Amber sedang tidur. Nanti kalau dia sudah bangun, saya pastikan dia segera menghubungi Anda." Suasana mendadak hening. Suara Adam sukses mengejutkan si penelepon. "Siapa ini? Di mana Amber?" tanya Sebastian dengan nada bingung. "Amber sedang tidur." Adam mengulangi pernyataan dengan penekanan lebih. "Anda tidak perlu khawatir. Dia baik-baik saja." Dalam sekejap, dengusan Sebastian menggetarkan speaker ponsel. "Apakah kau Tuan Smith?" Mendengar nada sinis tersebut, Adam tersenyum miring. "Ya." "Apakah Amber memang sedang tidur? Kau tidak menyekapnya dalam suatu ruangan, bukan?" "Imajinasi Anda tinggi
“Kau tidak sportif, rupanya,” desah Adam dengan alis melengkung tinggi. “Kalau kau tidak ingin disentuh, kau seharusnya lebih berhati-hati menggerakkan tanganmu. Amber sontak menggigit bibir. Jemarinya terkepal erat mengaku bersalah. “Bukannya tidak sportif. Kau tahu kalau ini bagian privat wanita, bukan? Mana mungkin aku membiarkanmu menyentuhnya?” “Bukan hanya wanita, tapi pria juga!” bantah si Beruang Gila sembari memasang tampang terhina. “Kaum kalian tidak boleh menyentuh kaum kami seenaknya. Itu juga pelecehan.” “Tapi aku tidak sengaja. Kalau kau membalas, itu baru sengaja.” Amber mulai tampak putus asa. Kakinya sedikit demi sedikit menjauh dari sang pria. Sedikit demi sedikit pula, Adam bergerak maju. Rahangnya berdenyut-denyut menuntut keadilan. “Aku tidak bisa membiarkanmu terus mencuri keuntungan dariku. Sudah terlalu banyak kelonggaran yang kuberikan kepadamu.” “Apa maksudmu? Aku tidak pernah menyentuhmu,” sanggah sang wanita sebelum terbelalak. Gerakannya baru saja te