Home / Romansa / Menaklukkan Duda Dingin / 3. Bagian Favoritku

Share

3. Bagian Favoritku

Author: Pixie
last update Last Updated: 2022-06-27 11:03:52

“Aku pasti sudah gila. Kenapa aku malah memancing kemarahan Beruang Gila itu?” sesal Amber sambil berusaha mengatur napas. Dengan kepala tertunduk, ia mencoba menata ulang pikiran.

“Apakah benar laki-laki itu tidak meniduriku?” tanyanya lirih.

Sembari mengerutkan alis, Amber menggerak-gerakkan kaki, memeriksa apakah ada yang aneh pada bagian bawah tubuhnya. Setelah memiringkan kepala, wanita itu mulai mengangguk samar.

“Dia pasti impoten. Kalau tidak, kenapa dia semarah itu?” gerutu Amber sebelum terdiam sesaat. “Tapi, apa maksudnya dengan memakanku bulat-bulat? Apakah dia benar-benar psikopat?”

Sembari merenung, tatapan Amber mulai menjelajahi dapur. Tanpa sadar, tangannya bergerak sendiri mengelus perut. “Aku butuh makanan.”

Masih dengan selimut membungkus tubuh, wanita itu bergerak memeriksa apa yang ada di atas meja. Begitu menemukan tumpukan Cinnamon Roll di atas piring, mata Amber sontak membulat.

“Ini pasti enak,” ujarnya bahagia. Tanpa berpikir panjang, ia mulai melahap kue berbentuk gulungan itu.

Setelah menghabiskan satu potong, Amber kembali memeriksa ruangan. “Akan sempurna jika ada susu hangat,” gumamnya sebelum membuka sebuah lemari.

Sedetik kemudian, mata wanita itu membulat. Puluhan botol berisi cairan merah berbaris di hadapannya.

“Apakah ini wine? Kenapa warnanya kental sekali?”

Setelah berkedip-kedip sesaat, ia menutup lemari dan beralih ke kulkas. Di sanalah ia menemukan apa yang dicari.

“Ah, ini dia!”

Dengan sebelah tangan, Amber mengeluarkan sebotol susu dan langsung mengenggaknya. Walau tidak hangat, ia tetap gembira.

“Kenapa rasanya enak sekali? Apakah karena aku kelaparan?” gumam wanita itu sebelum mengembalikan botol ke dalam kulkas.

Menit berikutnya, Amber mulai sibuk mencari di mana mantelnya berada. Malangnya, semua pintu yang ingin ia periksa terkunci rapat. Alhasil, wanita itu malah membongkar laci-laci, menyelidiki identitas si pemilik pondok.

“Siapa sesungguhnya orang ini? Kenapa dia begitu kasar dan dingin?” gerutu Amber sambil terus menggeledah. Sayangnya, tidak ada informasi yang bisa didapat. Sebagian laci tidak berisi dan sebagian lagi memuat barang-barang tak penting.

“Dan kenapa tidak ada foto sama sekali di rumah ini? Apakah Tuan Dingin benar-benar seorang psikopat?” celetuk Amber seraya membuka lemari di dekat sofa.

Sedetik kemudian, alis wanita itu melengkung maksimal. Aneka bentuk tulang terpajang rapi di hadapannya. “A-apa ini?”

Dengan tatapan ngeri, Amber meneliti setiap bagian lemari. Hanya tingkat teratas yang tidak diisi dengan tulang. Gumpalan kertas memenuhi ruangnya. Penasaran, ia pun meraih satu. Sambil menjepit selimut agar tidak melorot, wanita itu meluruskannya.

“ENYAHLAH KANIBAL JAHAT!”

Membaca pesan singkat itu, Amber pun mengerutkan alis. “Kanibal?”

Tanpa mengubah ekspresi, ia mengambil gumpalan kertas lain.

“KANIBAL SEPERTIMU TIDAK LAYAK HIDUP!”

Dalam sekejap, mulut sang wanita ternganga lebar. Sebuah ide baru saja melintas dalam benaknya. Dengan bola mata yang bergetar, ia menyusun bukti-bukti yang telah ditemukan—papan peringatan yang tidak manusiawi, omongan Tuan Dingin tentang memakannya bulat-bulat, puluhan botol berisi cairan semerah darah, dan kumpulan tulang yang dipajang. Ketika mendapat kesimpulan, wajahnya langsung memucat.

“Laki-laki itu kanibal?” desah Amber dengan mata bulat. Seketika, keringat dingin mulai membanjiri tengkuknya.

Tiba-tiba, seseorang membuka pintu dengan kasar. Sedetik kemudian, Tuan Dingin masuk dengan sebuah sekop di tangannya.

“Apa yang kau lakukan?” tanya pria itu dengan nada tak senang. Bola matanya bergerak-gerak mengamati Amber yang terbelalak, lemari yang terbuka lebar, serta dua lembar kertas yang tergeletak di lantai.

Merasa terancam, sang wanita spontan melangkah mundur. Kurang berhati-hati, ia pun membentur lemari. Beberapa tulang berjatuhan di dekat kakinya. Menyaksikan kecerobohan itu, alis Tuan Dingin otomatis melengkung tinggi.

“Tulang-tulangku!” seru pria itu sambil bergegas menghampiri.

Berpikir “sang Kanibal” akan membunuhnya, nyali Amber mendadak lenyap. Wanita itu sadar bahwa dirinya tidak akan bisa lolos dari terkaman sang pria kekar. Sambil merapatkan mata, ia pun menjatuhkan lutut dan bersimpuh.

“Tolong jangan makan aku! Tubuhku terlalu kurus untukmu. Kau tidak akan merasa kenyang,” ucapnya dengan suara bergetar.

Mendengar nada ketakutan itu, Tuan Dingin sontak menghentikan langkah. Dengan raut heran, ia memperhatikan wanita yang menghindari tatapan matanya. “Kau berpikir aku akan memakanmu?” desah pria itu penuh tanya.

“Kumohon maafkan aku!” seru Amber sambil mencengkeram selimut lebih erat. “Aku tidak bermaksud mengganggumu. Kedatanganku ke sini hanyalah sebuah kebetulan, dan aku menyesal telah memarahimu. Aku seharusnya berterima kasih karena kau sudah berbaik hati membiarkanku hidup.”

Sambil berkedip-kedip, Tuan Dingin mencerna situasi. Setelah melihat tulang-tulang dalam lemari dan tulisan “kanibal” di sisi Amber, barulah ia tersenyum miring.

“Dasar perempuan bodoh,” umpatnya dalam hati. Sedetik kemudian, pria itu mendatarkan ekspresi.

“Kau pikir, permohonan maaf saja cukup untuk menyelamatkanmu?” tanya Tuan Dingin dengan nada garang.

Amber sontak kebingungan. Selang perenungan singkat, ia akhirnya mengintip lewat sudut atas matanya. “Apa yang harus kulakukan agar kau mau membebaskanku?” tanya wanita itu takut-takut.

“Entahlah. Aku sudah lama tidak memakan daging manusia.”

Jawaban ringan itu sontak membuat napas Amber tertahan. Kengerian wanita itu kini tumbuh berlipat ganda. “T-tapi, kau punya roti di dapur. Itu jauh lebih enak daripada ... aku.”

Sekali lagi, alis sang pria terangkat maksimal. “Kau mencuri makananku?”

Secepat kilat, Amber menggeleng. “Tidak. Aku tidak mencurinya,” jawabnya dengan suara tertekan.

“Kau mengambil makananku lalu memohon agar aku tidak memakanmu. Apakah itu adil?”

Merasa terdesak, Amber pun menegakkan kepala. “Sungguh. Aku tidak mencuri makananmu,” tegasnya senatural mungkin.

Setelah menyandarkan sekop ke dinding, Tuan Dingin mendekatkan hidungnya ke wajah Amber. Selagi perempuan yang masih berlutut itu menahan napas, ia mulai mengendus-endus.

“Kau memakan Cinnamon Roll-ku,” ujar pria itu sebelum memicingkan mata. “Sekarang, haruskah aku memakanmu?”

Sekujur tubuh Amber mendadak kaku. Ketakutan yang amat besar telah melumpuhkan saraf-sarafnya. Bahkan, untuk berpikir saja, wanita itu sudah tidak sanggup. Ia hanya bisa membayangkan bagaimana Tuan Dingin mencabik-cabik kulit yang selama ini dirawat dengan segenap jiwa.

“T-tolong ... jangan makan aku,” bisiknya hampir tak terdengar. “Aku masih ingin hidup.”

Sembari tersenyum sinis, sang pria menggeleng. “Aku tidak peduli.”

Sedetik kemudian, Tuan Dingin menarik tangan kiri Amber. Mengetahui “si Kanibal” hendak menggigit, sang wanita pun memberikan perlawanan. Dengan sekuat tenaga, ia menarik tangannya.

“Jangan makan aku! Aku terlalu kurus untukmu!” pekik Amber sambil meronta-ronta.

Malangnya, wanita itu kalah tenaga. Tangannya terus mendekat ke arah mulut sang pria.

“Lepaskan! Lepaskan aku!”

Dengan tangannya yang bebas, Amber mendorong wajah Tuan Dingin agar menjauh. Ia tidak peduli jika selimut tak lagi membungkusnya. Wanita itu belum siap kehilangan nyawa.

Tak menduga gerakan itu, sang pria spontan menyerang lebih agresif. Selang beberapa detik, ia telah berhasil menjepit Amber di antara tubuhnya dan lantai kayu beralaskan karpet.

“Tidakkah kau lihat? Tanganku ini hanya tulang berbalut kulit! Gigimu bisa rontok jika memakannya!” seru wanita yang tidak bisa lagi berpikir normal. Apa pun yang terlintas dalam pikiran meluncur begitu saja dari mulutnya. Ia benar-benar putus asa.

“Justru itulah bagian favoritku. Tulang manusia,” ujar Tuan Dingin sambil menahan tawa. Ia gembira melihat si perempuan bodoh menderita. “Sekarang, ucapkan selamat tinggal pada dunia. Kau akan segera menjadi santapan lezat.”

“Tidak,” desah Amber seraya melirik ke arah tangannya yang semakin dekat dengan mulut sang pria. Begitu Tuan Dingin menganga lebar, ia pun memekik di puncak suara. “Tidak ...!”

Tanpa terduga, sang pria berhenti mendekatkan tangan Amber ke mulutnya. Bekas luka pudar yang melintang di pergelangan sang wanita telah mencuri perhatian. Mengapa ia tidak melihatnya semalam?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
mayang wijaya
Hahahha kanibal
goodnovel comment avatar
Fahmi
Bekas luka pudar
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Menaklukkan Duda Dingin   S2| 52. Jangan Makan Aku, Tuan Smith (TAMAT)

    Amber diam-diam membuka pintu ruang kerja. Melihat suaminya sedang melamun, ia pun menarik sebelah sudut bibir. "Apa yang sedang kau lakukan, Jewel?" Adam spontan menoleh ke arah datangnya suara. Melihat kehadiran sang istri, senyumnya pun mengembang. "Hei .... Apakah Ashley sudah tidur?" "Sudah dari tadi," sahut Amber seraya menghampiri. Kemudian, dengan santai, ia duduk di pangkuan sang suami. "Kenapa kau masih di sini? Apakah pekerjaanmu belum selesai?" Selagi sang suami menggosok tengkuk, ia mulai menyoroti meja. Ternyata, komputer sudah dimatikan. Berkas-berkas pun sudah tertata rapi dalam map. Yang tersisa di sana hanyalah ponsel yang memajang sebuah gambar. "Kau sangat menyukai foto itu, hmm?" simpul Amber seraya melirik dengan tatapan manis. Disoroti oleh mata sehangat itu, Adam pun mendesahkan senyum. Setelah mengecup pundak sang istri, ia mengangguk. "Terima kasih, Precious. Semua ini berkat dirimu. Aku tidak mungkin bisa memperbaiki hubunganku dengan Ibu kalau kau ti

  • Menaklukkan Duda Dingin   S2| 51. Bagian dari Sejarah

    "Aku tahu, kau pasti meragukan ucapanku," ringis Nyonya Smith memecah keheningan. "Apa ada sesuatu yang harus kulakukan untuk membuktikan ucapanku? Ibumu ini sungguh-sungguh ingin berubah, Adam." Masih dengan alis berkerut, sang pria mendengus. "Kenapa baru sekarang? Apakah karena Ed menelantarkan Ibu?" Nyonya Smith menggeleng sigap. "Tidak, kau jangan salah paham. Ketegangan di antara kita tidak ada sangkut pautnya dengan Ed. Akulah yang terlalu bodoh memanfaatkannya untuk merebut semua milikmu." "Omong kosong ...." "Apa kau tahu kalau Ed memarahiku? Dia sudah jenuh terseret oleh keegoisanku. Kakakmu itu bilang kalau dia tidak mau membantuku untuk menindasmu lagi." Sebelum Adam sempat membantah, Nyonya Smith lanjut bicara. "Sejak itu, aku mulai sadar. Tapi, aku masih meyakinkan diri kalau kau tidak layak bahagia. Ibumu ini sangat bodoh, hmm?" Adam mendadak bungkam. Dari bawah kernyit dahinya, ia menatap sang ibu dengan saksama. "Karena itu juga, aku belum menggunakan sepeser

  • Menaklukkan Duda Dingin   S2| 50. Ketulusan

    Usai sang ibu membanting pintu, Adam mengusap-usap lengan Amber. Sambil memperhatikan wajah kusut istrinya itu, ia berbisik, "Kau baik-baik saja?" Sang wanita mengangguk. "Kau?" Adam menarik napas panjang. Setelah menaikkan alis, ia melengkungkan bibir. "Ya. Aku lega tidak terjadi apa-apa. Aku sempat takut kalau ibuku melakukan sesuatu yang nekat. Maaf telah membiarkannya menggendong Ashley." "Tidak apa-apa, Jewel. Kurasa, Ashley justru senang telah bertemu dengan neneknya," tutur Amber seraya mengeus kepala sang putri. Bayi mungil itu sudah kembali merapatkan mata. "Lihatlah, dia tersenyum lagi." "Dia pasti ingin menghiburmu," bisik Adam sebelum mendaratkan kecupan lembut di kening Ashley. "Bukan hanya aku, tapi kau juga. Kita beruntung dikaruniai anak yang berbakti. Ini pasti karma baikmu. Kau tetap sabar menghadapi ibumu, meskipun sudah berkali-kali disakiti." Adam spontan menggeleng. "Karma baikmu juga, Precious. Kau jauh lebih ber

  • Menaklukkan Duda Dingin   S2| 49. Bayi Mungil

    Beberapa detik berlalu, orang-orang masih bertukar pandang. Tidak ada yang berani bicara sampai Ruby memecah keheningan. "Apakah aku boleh menggendongnya?" "Tentu saja," sahut Amber seraya menepuk-nepuk lengan Adam. Memahami kode yang diberikan, Adam pun mengeluarkan Ashley dari tempat tidur mungilnya. Begitu bayi itu tiba dalam dekapan Ruby, semua mata mulai berkaca-kaca. "Astaga .... Dia menggemaskan sekali," bisik Ruby dengan suara bergetar. Keharuan nyaris mendesak air mata keluar dari batasnya. "Lihatlah hidung mungil ini ... sangat mirip dengan milik Amber, sedangkan bibir tipis ini ... seratus persen salinan ayahnya." "Apakah kau mau berfoto dengan Ashley?" tanya Amber ringan. Dalam sekejap, mata sendu Ruby diwarnai keterkejutan. "Apakah boleh? Bukankah kalian sepakat untuk tidak mempublikasikan wajah putri kalian?" "Berfotolah untuk kenang-kenangan. Kau bisa mencetak lalu menyimpannya dalam dompet atau buku harian," ujar Amber sembari melirik ke arah Nick. Menyad

  • Menaklukkan Duda Dingin   S2| 48. Tak Tahan Lagi

    “Cepatlah! Aku sudah tidak tahan!” pekik Amber seraya meremas baju suaminya. Adam pun berputar-putar memeriksa pekarangan. Barangkali, ia menjatuhkan kuncinya di sekitar sana. Sementara itu, Nick malah sibuk meraba tubuhnya sendiri. Ketika tangannya menekan saku celana, matanya membulat sempurna. "Bagaimana kalau kita naik mobilku saja?" usul pria berbadan gempal itu seraya memperlihatkan kunci mobilnya. Masih dengan napas tersengal-sengal, Amber menoleh ke arah kendaraan yang terparkir di samping mobil Adam. "Kalian kira beratku mencapai satu ton? Orang-orang pasti tertawa melihat kalian membawaku dengan truk itu!" omelnya dengan suara melengking. Nick spontan meringis mendengarnya. "Maaf, Nyonya. Itu bukan truk, tapi mini box van untuk kargo kering. Aku biasa menggunakannya untuk mengantar perhiasan." "Kau tidak perlu malu, Precious," sambung Adam ditemani anggukan meyakinkan. "Mobil itu terbiasa membawa baran

  • Menaklukkan Duda Dingin   S2| 47. Waktunya Sudah Dekat

    "Halo, Nyonya Smith. Bagaimana kondisimu dan si Kecil?" sapa Nick ketika menyambut kedatangan Amber dan Adam. Diam-diam, ia merasa bangga melihat peluitnya tergantung di leher sang wanita. "Sangat baik. Maaf kalau harus merepotkan dirimu. Sebetulnya, ini satu minggu lebih awal dari prediksi dokter. Tapi, Adam terus mendesak agar kami menginap di rumahmu." Melihat raut bersalah Amber, Nick pun terkekeh. "Sama sekali bukan masalah, Nyonya. Apa yang dipikirkan oleh Bos memang benar. Ada baiknya jika kita berjaga-jaga. Rumah sakit terlalu jauh dari pondok kalian." "Kau memang bijak, Nick," ujar Adam seraya menenteng tiga tas besar yang diambilnya dari bagasi. "Tidak salah jika aku menaruh kepercayaan padamu." Sekali lagi, pria bertubuh gempal itu terkekeh. Setelah mengambil salah satu tas dari tangan Adam, ia melambai. "Ayo kutunjukkan kamar kalian! Aku sudah meminta Tina untuk membersihkannya tadi pagi." Selagi Nick memimpin jalan, Amber mencondo

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status